Minggu, 14 Januari 2024

Djagat Ngadianto dan kawan-kawan pelukis pameran bersama di Balai Pemuda

Djagad Ngadianto pelukis yang rajin nggowes pagi. Saya sering ketemu dia di kawasan Tambak Oso, Tambak Sumur, atau Gunung Anyar. Dekat perbatasan Surabaya dan Sidoarjo.

Djagat seniman yang tekun. Meski hasil melukis sulit ditebak, lukisan-lukisan sulit laku, apalagi di masa pandemi, pria asal Bojonegoro ini terus berkarya. Lebih produktif selama pandemi corona.

"Tetep dilakoni ae, Cak. Rejeki sudah ada yang ngatur," katanya.

Selain melukis, Djagat bekerja serabutan. Kadang masih ada kaitan dengan seni rupa, pertamanan, tapi kadang kerjaan biasa. Sepulang bekerja, dia melukis dan melukis.

 Karyanya lebih ke refleksi kehidupan. Mengkritik situasi sosial dengan bahasa visual. Kadang dibalut dunia pewayangan.

Masih di awal tahun 2024, Djagat Ngadiyanto bersama beberapa pelukis Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya gelar pameran bersama di Balai Pemuda, Surabaya. Ada pelukis senior  Setyoko, Ambdo Brada, Benny Dewo, Djagad Ngadianto, Te Kamajaya.

Ada lagi Nunung Harso, Esti S. Ardian, Hence, Anny Djon, Pingki Ayako. Judul pameran bersama: Energy of Future. Dibuka 12 Januari dan ditutup 17 Januari 2024. Pameran lukisan di Surabaya memang rata-rata satu pekan saja.

 "Pameran ini jadi titik awal kegiatan seni rupa di Surabaya tahun 2024. Jadi pemicu untuk pameran-pameran selanjutnya," kata Setyoko pelukis senior Surabaya, sekarang tinggal di kawasan Waru, Sidoarjo.

Selepas pandemi dunia seni rupa di Surabaya kembali menggeliat. Tahun lalu cukup banyak pameran di Balai Pemuda, Alun-Alun Surabaya, beberapa galeri, hingga hotel-hotel. Tapi penjualan lukisan rupanya belum normal. Kawan-kawannya Djagat masih sering sambat di media sosial.



Sabtu, 13 Januari 2024

Semua toko di Kembang Jepun diminta pasang nama beraksara Tionghoa

Selepas tahun baru umum (d/h Masehi), bakal menjelang tahun baru Imlek. Sudah dipastikan pada 10 Februari 2024. Meski menggunakan penanggalan bulan, tidak akan ada perbedaan tanggal.

 Orang Fujian, Guangdong, Beijing, Xinjiang, Yunnan, dan warga Tionghoa di luar Tiongkok pun sepakat tahun barunya 10 Februari. Tahun Naga. Binatang ini disebut-sebut membawa hoki atawa keberuntungan.

Berbahagialah mereka yang punya shio Naga!

Ada yang berubah di kawasan pecinan Kembang Jepun, Surabaya, jelang Imlek. Toko-toko memasang papan nama dalam dua aksara: bahasa Indonesia pakai aksara Latin (biasa) dan bahasa Tionghoa (aksara hanzi).

Nama-nama jalan di pecinan juga dibuat dalam dua bahasa. Tujuannya untuk mempertegas dan memberi warna kawasan pecinan Surabaya. 

Sebelumnya Pemkot Surabaya membuka wisata kuliner Kya-Kya di Jalan Kembang Jepun. Pemkot ingin menggairahkan suasana di Surabaya Utara yang cenderung lengang pada malam hari. 

Kawasan pecinan dijadikan salah satu titik wisata heritage. Suroboyo Kutho Lawas istilah resminya. 

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang punya ide untuk revitalisasi kawasan pecinan, Jembatan Merah, Taman Sejarah, hingga Ampel bernuansa Timur Tengah.

Aneh kalau kawasan pecinan tapi tidak ada toko-toko atau kantor yang pakai tulisan Tionghoa! Begitu pemikiran Cak Eri. Sekaligus mengembalikan aksara Tionghoa ke ruang publik setelah diharamkan rezim Orde Baru.

Owe sempat perhatikan suasana rapat bersama pemkot dan pengusaha-pengusaha Kembang Jepun dan sekitarnya di kantor Radar Surabaya. Salah satunya membahas plang toko yang pakai dua bahasa itu. 

Hampir semuanya sepakat meski ada beberapa yang masih pikir-pikir. Dulu aksara Tionghoa dilarang keras, sekarang malah diminta memasang di toko-toko. Wolak-walike jaman!

"Puji Tuhan, kita orang tentu seneng dengen pemkot punya kebijakan. Cuma kita orang perlu waktu untuk cari nama yang hoki," kata seorang pengusaha.

Selain aksara Tionghoa, owe lihat aksara Jawa juga mulai dipasang di kantor-kantor pemkot. Makin warna-warni Surabaya ini. Ke depan anak-anak muda tak hanya belajar bahasa Inggris tapi juga bahasa Jawa dan Mandarin. 

Gubernur Khofifah makan nasi sangat sedikit - biar sehat dan langsing

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa cukup aktif di media sosial. Dia kerap membagi cerita dan foto ringan yang tak akan ada di media massa.

Pekan lalu Khofifah bagi gambar menu sarapan. "Jangan lupa sarapan, agar lebih berenergi mengejar harapan dan angan-angan setinggi awan. Menu sarapan sampean opo rek?" tulisnya.

Cukup banyak komentar dari warganet. Salah satunya porsi nasi yang sangaat sedikit. Lauknya jauh lebih banyak.

"Bu Gub ini sarapannya iwak penyet, lauknya nasi," tulis seorang komentator.

Kelihatannya menu makanan para pejabat seperti itu. Porsi karbo atau nasi sangat sedikit. Dua atau empat sendok saja. Porsi ikan, daging, sayur lebih banyak. Mungkin pola makan inilah yang membuat Gubernur Khofifah langsing sejak dulu.

Saya jadi ingat ceramah Gubernur NTT Victor Laiskodat menjelang lengser tahun lalu. Pentolan Nasdem itu mengkritik keras pola makan rakyat NTT yang sangat dominan karbo (beras, jagung, singkong). Tidak cukup satu piring nasi, kadang tambah satu piring lagi. 

"Itu pola makan orang miskin. Makannya nasi, nasi, nasi.. tidak ada daging, jarang makan ikan. Bagaimana kita mau maju kalau rakyatnya makan macam itu?" ujar Victor.

Gubernur yang kontroversial itu minta agar porsi makanan dibalik. Protein harus lebih banyak daripada karbohidrat. 

"Pak Gub lupa kalau sebagian besar rakyat NTT itu kerja di kebun, petani, nelayan, kuli bangunan, buruh tani. Kalau makan nasi sedikit bagaimana bisa kerja? Beda dengan orang kantoran yang kerja di belakang meja," kata Gaby, teman asal Larantuka.

Kalau di Jawa Timur, porsi makanan Gubernur Khofifah bisa diterapkan di era beras mahal ini. Kalau biasanya makan satu piring nasi bisa dikurangi separo. Kalau cuma beberapa sendok ala Khofifah rasanya kok berat.

Selamat makan nasi (sedikit)!

Jumat, 05 Januari 2024

Gadis Lamaholot memakai "kwatek" di Gereja Kayutangan

Wanita-wanita suku Lamaholot biasa pakai kwatek saat misa atau ibadat sabda di gereja. Kebiasaan lama ini masih bertahan sampai sekarang meski gadis-gadis remaja agak jarang pakai kwatek.

Kwatek itu sarung dari tenun ikat buatan mama-mama di kampung. Ada kwatek kiwanen: kwatek asli yang 100 persen bahannya diambil dari hasil bumi di kampung. Mulai kapas, pewarna hitam, kuning, biru.. memintal benang, menenun hingga jadi kain semuanya manual.

Kwatek kiwanan ini makin langka di era modern. Tahun 90-an mama-mama jalan kaki sambil "tue lelu" - memintal kapas jadi benang. Saat ini pemandangan masa kecilku itu hampir tak ada lagi. Sudah bisa dihitung dengan jari tangan.

Karena itu, dibuatlah kwatek muringen atawa sarung modern. Kain sarung dibuat pakai ATBM - alat tenun bukan mesin. Kainnya halus, bagus, modern. Tapi nilainya jauh berbeda dengan "kwatek kiwanen" yang asli 100 persen buatan sendiri di kampung itu meski teksturnya agak kasar.

Kwatek alias sarung Lamaholot sudah jadi busana wanita untuk acara-acara resmi. Salah satunya misa di gereja. Begitu besarnya nilai misa atau kebaktian, orang Lamaholot tidak boleh memakai pakai sembarangan.

 Kaos oblong tidak boleh. Baju mahal tapi sporty atau kasual setengah dilarang. Saya sering ditegur gara-gara memakai kaos meski ada kerahnya. 

"Kaos atau t-shirt tidak boleh untuk misa. Lembata ini bukan Jawa," kata Christophora adik saya serius.

Saya pun disuruh pulang ganti baju. Disuruh pakai baju batik. Atau kemeja resmi. Barangsiapa yang pakai kaos oblong ke gereja akan jadi gunjingan. Bahkan dilarang terima komuni.

Nostalgia kwatek di bumi Lamaholot muncul lagi di Malang belum lama ini. Saya lihat ada gadis berwajah Lamaholot memakai sarung atau kwatek ke Gereja Kayutangan, Malang. 

Haleluya! Puji Tuhan!

 Ternyata ada wanita muda Lamaholot yang mengenakan kwatek ke gereja. Persis di Adonara, Solor, Lembata, Flores bagian timur, Alor. Anak muda, generasi Z, yang saban hari main media sosial ternyata masih mempertahankan budaya Lamaholot. Kalau masih di NTT mah biasa, tapi ini di Malang. Di Gereja Kayutangan yang berada di pusat Kota Malang.

Betul dugaan saya. Nona ini berasal dari Adonara Barat. Kuliah di Malang. Dia memang biasa pakai kwatek ke gereja. Ada juga beberapa wanita lain yang pakai kwatek tapi motifnya bukan Lamaholot.

Kami pun ngobrol dalam bahasa Lamaholot. Beda dialek, beda lagu, tapi kata-katanya masih sama dan bisa saling mengerti. Luar biasa "kebarek" (gadis) ini. Di Surabaya dan Sidoarjo saya tidak pernah melihat gadis-gadis NTT mengenakan kwatek atau sarung ke gereja.

Senin, 01 Januari 2024

Malam tahun baru di Gereja Jago, Lawang

Ayas tak asing dengan Lawang. Apalagi Sumber Porong yang ada RSJ terbesar itu. Ada orang Lembata yang menikah dengan wanita asal Sumber Porong pada pertengahan 80-an. Dibawa ke Lembata dan kerasan sampai tua.

Karena itu, dulu ayas sering mampir ke rumah orang tua istrinya Om Ignatius Hurek itu. Sejuk nyaman asri. Daratannya lebih tinggi Kota Malang yang +429 dpl (kalau tak salah ingat).

Ayas juga beberapa kali diajak eksplorasi gedung tua di Lawang. Salah satunya Hotel Niagara. Banyak gosip berbau klenik tentang hotel ini. Tapi ternyata ayas tidak pernah diganggu nonik-nonik Londo atawa Tenglang. Lelap sekali tidur di Hotel Niagara meski tanpa AC.

Tidak jauh dari pasar ada gereja Protestan peninggalan Belanda: GPIB. Pinggir jalan raya. Sudah direnovasi sehingga tidak asli lagi. Tak jauh dari GPIB ada Gereja Jago. Ada juga orang Lawang atau Malang menyebut Gereja Ayam.

 Entah mengapa disebut Gereja Jago atau Gereja Ayam. Mungkin ada kaitan dengan kata-kata peringatan Yesus Kristus kepada Petrus tentang penyangkalan itu. Yang pasti, Gereja Jago ini tidak ada kaitan dengan Jamu Jago.

Meski sudah sering blusukan di Lawang, ayas atau saya belum pernah mampir ke halamannya. Apalagi masuk untuk ikut ekaristi. Sebab bukan hari Minggu. Nawak-nawak justru lebih suka eksplorasi bangunan GPIB.

Karena itu, Minggu, 31 Januari 2023, ayas mampir ke Gereja Jago. Ikut misa tutup tahun dan menyambut tahun baru 2024. Ada pastor tapi tidak ada misa. Hanya ibadat sabda. Dipimpin seorang frater muda (pasti muda lah) yang sedang melaksakan TOP (tahun orientasi pastoral) di Paroki Lawang.

Ibadat sabda di Lawang ini hanya sekitar 30 menit. Beda dengan ibadat sabda tanpa imam di NTT, khususnya Lembata, yang bisa sampai 90 menit. Kadang ngalah-ngalahi misa kudus.

Homili frater di Lawang ini juga pendek saja. Datar-datar tanpa mengeraskan suara. Apalagi berteriak-teriak sampai suara serak. Umat diajak refleksi tentang kehidupan selama tahun 2023. Kemudian membuka lembaran baru di tahun 2024.

Ibadat sabda usai. Hujan yang sempat mengguyur Lawang sejak sore pun berhenti. Selanjutnya acara bebas di halaman gereja yang luas. Bakar jagung, bakar sate, ngopi, ngeteh, acara bebas.

Anak-anak muda OMK menampilkan aneka atraksi untuk menunggu detik-detik pergantian tahun. Gayeng sekali suasananya.

 Ayas lihat cukup banyak jemaat berwajah Flobamora yang jadi aktivis di Gereja Ayam. Orang Flores, Lembata, Timor ada juga di Lawang. "Kalau orang Sumba dan Kupang ada banyak di sebelah, Bung," kata seorang jemaat asal Flores.

Yang dimaksud "di sebelah" itu pasti GPIB. Sebab, orang Kupang dan Sumba hampir bisa dipastikan Protestan ikut GMIT (Gereja Masehi Injili Timor). Mereka rata-rata jemaat GPIB kalau berada di perantauan di Jawa. GMIT dan GPIB sebetulnya gereja yang sama alirannya. Cuma beda nama saja, kata teman senior dari Kupang.

Seperti biasa, perayaan tahun baruan diakhiri dengan acara tiup trompet. 

"We wish you a Merry Christmas and Happy New Year!" 🎶🎶

Senin, 25 Desember 2023

Malam Natal di Kayutangan bersama Pater Karmelit dari Flores

Sejak dulu pater-pater asal Flores, NTT, sudah bertugas di Malang. Khususnya di Gereja HKY Kayutangan yang terkenal itu. Pater yang paling terkenal dulu adalah Romo Dr Berthold Anton Pareira, OCarm.

Romo Pareira kemudian jadi rektor seminari tinggi dan STFT Widya Sasana Malang. Kampus yang menghasilkan sebagian besar pastor di Jawa Timur. Romo Pareira asal Maumere ini punya kemampuan retorika dan homilitika yang m biasa.

Tiga dekade kemudian masih ada pastor asal Flores di Kayutangan Church. Romo Yohanes S Bhaha, OCarm. Pastor asal Ende ini yang pimpin Misa Malam Natal pada 24 Desember 2023. Misa kedua dimulai pukul 21.00.

Sayang, tahun ini rupanya tidak ada homili dari imam. Diganti pembacaan Pesan Natal KWI dan PGI sebagai ganti khotbah. Sebagian umat tentu sudah membaca pesan gembala yang sudah lama dirilis itu.

Misa Natal 2023 ini jauh lebih meriah. Normal. Tak ada lagi prokes pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dsb. Tapi masih banyak juga jemaat yang pakai masker. Romo pun pakai masker. Maklum, virus corona masih ada dan akan terus bermutasi.

Sayang, kali ini saya tidak sempat bersalaman dengan Romo Yohanes Bhaha. Salam damai Natal. Semoga semua makhluk bahagia!

Minggu, 24 Desember 2023

Cari kalender yang pakai Ahad, bukan Minggu

Nama hari bisa jadi masalah. Serius. Ada orang yang menolak kalender gratis gara-gara nama hari. Dia tidak mau ada tulisan hari Minggu. Maunya Ahad.


Alasannya sangat prinsipil. Soal akidah. Doktrin yang diyakininya. Sebutan Minggu dianggap berbau Nasrani. Orang kafir. Yang benar itu Ahad, katanya.

Orang ini pemeluk teguh. Kelihatannya dia sudah lama menghapus Minggu dari kamus bahasa Indonesia versi dia. Maka "seminggu" diganti "sepekan". Malam Minggu jadi malam Ahad. Minggu depan jadi pekan depan.

Lama-lama lagu lama Koes Plus: Kisah Sedih di Hari Minggu pun diganti dengan Kisah Sedih di Hari Ahad. 

Lagu Gombloh: Malam Minggu pukul tujuh aku apel... diganti jadi malam Ahad pukul tujuh dst.

Ayas pun mencari kalender di lapak pinggir jalan. Kalender yang pakai Ahad, bukan Minggu. Ternyata sulit. Di Surabaya (hampir) semua kalender pakai Minggu dan Sunday. 

Oh, ada satu kalender di Pasar Kembang yang pakai kata Ahad. Tapi masih ada tulisan Minggu dan Sunday. Ayas pun tidak jadi beli.

Minggu pagi, 24 Desember 2023, Ayas lewat di kawasan Pasar Besar Malang. Petjinanstraat alias Jalan Pecinan. Ada beberapa orang Madura jualan kalender di emperan toko.

 Ayas cek nama-nama hari. Alhamdulillah, ada satu kalender yang gunakan nama hari Ahad. Lengkap dengan jadwal salat. Ayas pun beli meski sempat menggerutu karena harganya tiga kali lipat di Surabaya.

"Kalau gak mau ya beli aja di Surabaya," kata Bu Madas (Madura Asli) itu.

Syukurlah, orang Madas yang jualan kalender itu tidak ambil pusing polemik soal Minggu vs Ahad. Baginya, Minggu ya Ahad dan Ahad ya Minggu. Sama saja.