Jumat, 11 Agustus 2023

Uskup Sutikno Wisaksono Dirawat Intensif Sejak 2017 - Menulis Puisi Perpisahaan "Going Home"

Sudah lama Uskup Surabaya Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono menderita sakit. Umat Katolik di Keuskupan Surabaya, yang rajin misa, aktif ke gereja, pasti tahu. Khususnya ketika Bapa Uskup memimpin ekaristi di atas kursi roda.

Tapi apa sebetulnya penyakit yang diderita uskup asal Tanjung Perak, Surabaya, yang wafat pada Kamis 10 Agustus 2023 itu?

Komplikasi, kata teman mantan pentolan PMKRI. "Sakitnya campur-campur. Istilah medisnya gak ingat," katanya. 

Riwayat kesehatan mendiang Uskup Sutikno Wisaksono akhirnya bisa diketahui jelang misa arwah (requiem) di Gereja Katedral HKY Surabaya, Kamis malam (10/8). Saya ikut. Tapi tidak dapat tempat di dalam meski sudah berada di gereja sekitar 40 menit sebelum misa.

Misa requiem dipimpin Uskup Malang Monsinyur Henricus Pidyarto Gunawan OCarm didampingi Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko. Banyak sekali pastor, suster, umat yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada Bapa Uskup Sutikno. 

Jenazah baru saja dipindahkan dari Kapel RKZ ke depan altar Gereja Katedral. Kedua uskup tamu melakukan pendupaan dan memimpin doa-doa sebagai bekal untuk Bapa Uskup yang resquescat in pace (RIP).

Sebelum misa Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya Romo Yosef Eko Budi Susila membacakan riwayat kesehatan Monsinyur Sutikno. Romo asal Solo ini paling dekat dengan almarhum. Bahkan sering mengambil alih tugas Bapa Uskup seperti penerimaan Sakramen Krisma.

 Dimulai tahun 2017 ada gangguan buang air kecil. Dibawa ke RKZ. Diagnosa: kanker prostat!

Sebelum itu Bapa Uskup yang meninggal dunia dalam usia 70 tahun itu punya riwayat kencing manis (diabetes), sirosis hati, dan lambung kronis.

Setelah tindakan di RKZ, lanjut perawatan di Singapura selama dua bulan. Radioterapi untuk mengatasi masalah kanker prostat itu. Ada juga terapi hormonal.

Setelah itu kondisi Mgr Sutikno relatif membaik. Tapi tetap kontrol ke dokter di RKZ.

Saat pandemi beliau sempat kena Covid-19. Tapi bisa pulih dengan lekas.

Tahun 2021, masih pandemi, tepatnya 26 Desember 2021, Uskup Sutikno kembali opname di RKZ. Masalah prostat.

April 2022: pengobatan di Singapura dengan radioisotop. Mulai pertengahan 2022 sampai awal 2023 terapi radioisotop di negara tetangga itu.

Maret 2023: rawat inap di RKZ Surabaya.

26 Juli 2023: opname di RKZ karena infeksi paru-paru.

Tak lama kemudian, 4 Agustus 2023, Uskup Sutikno kejang-kejang. Dilarikan ke RKZ bagian ICU.

10 Agustus 2023: Uskup Sutikno pulang ke Rumah Bapa di surga. Tepat pukul 10.29 WIB.

Saat dirawat di ICU RKZ, Bapa Uskup Sutikno sempat menulis sebuah puisi. Kata-katanya seperti ucapan perpisahan. Pulang dengan damai. Memulai hidup abadi.


GOING HOME

Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka

Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
 
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba

Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya

Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang...

Tuhan memberkati & Bunda merestui

Kamis, 10 Agustus 2023

Selamat Jalan Bapa Uskup Surabaya Msgr Vincentius Sutikno Wisaksono (1953-2023)

Kabar duka bagi umat Katolik di Keuskupan Surabaya. Bapa Uskup Surabaya Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono telah meninggal dunia pada pukul 10.29 WIB di ICU RKZ Surabaya, Kamis 10 Agustus 2023. Uskup asal Tanjung Perak Surabaya ini tutup usia pada 70 tahun. 

"Mari kita berdoa bagi kedamaian abadi jiwa beliau oleh karena belas kasih-Nya. Pengumuman tentang hal-hal selanjutnya akan disampaikan secara resmi oleh pihak Keuskupan Surabaya," tulis RD. Paulus Febrianto, Sekretaris Keuskupan Surabaya.

Mgr Sutikno Wisaksono ditahbiskan pada 29 Juni 2007 di Lapangan Kodikal, Bumimoro, Surabaya. Beliau menggantikan Mgr Johanes Hadiwikarta yang berpulang pada 13 Desember 2023. 

Uskup Sutikno anak kedua dari tiga bersaudara dari pasutri Stephanus Oei Kok Tjia (Widiatmo Wisaksono) dan ibu Ursula Mady Kwa Siok Nio (Madijanti Wisaksono).

Motonya sebagai Uskup: "Ego veni ut vitam habeant et abundantius habeant." (Yoh 10:10). Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.

Selama 16 tahun menduduki takhta Keuskupan Surabaya, Uskup Sutikno melakukan berbagai kebijakan. Boleh dikata cukup drastis. Salah satunya di awal jabatannya adalah menarik semua imam projo Keuskupan Surabaya dari Seminari Tinggi Inter Diosesan di Malang.

Setelah itu didirikan seminari tinggi baru di Surabaya. Seminari Tinggi Providentia Dei pun kini berdiri megah di kawasan Pakuwon City, Sukolilo, Surabaya. Sudah banyak imam atau romo yang dihasilkan seminari itu.

"Mgr Sutikno orangnya tegas dan berprinsip. Tapi orangnya juga sangat baik," kata Thomas dari salah satu paroki di Sidoarjo.

Uskup Sutikno pula yang akhirnya meresmikian Stasi Krian di Sidoarjo sebagai paroki baru di Keuskupan Surabaya. Begitu juga paroki baru di kawasan perumahan TNI AL di Semampir, Sukolilo. Paroki Santo Yosafat.

Dalam beberapa tahun terakhir kondisi fisik Uskup Sutikno memang melemah. Masuk keluar, opname di rumah sakit. Bapa Uskup juga sering memimpin misa dengan duduk di kursi roda. 

"Terima kasih banyak atas kepemimpinan Bapa Uskup Sutikno di Keuskupan Surabaya," kata Retno dari Paroki Karangpilang. 

Selamat jalan, Monsinyur Sutikno. Jasa-jasamu akan selalu dikenang umat Katolik di Keuskupan Surabaya dan Jawa Timur umumnya. 

Resquescat in pace! 

Kamis, 03 Agustus 2023

96% orang Indonesia percaya Tuhan, kata Pew Research

Riset Pew terbaru: 96% orang Indonesia percaya pada Tuhan. Angka ini tertinggi sedunia. Bahkan lebih tinggi ketimbang di Timur Tengah.

Orang Indonesia yang 4% itu pun sebetulnya bukan tidak percaya Tuhan. Percaya sih percaya.. tapi kadarnya agak kurang. Orang Indonesia yang atheis ada juga. Tapi mungkin tidak sampai 1%.

Di era keterbukaan, banjir informasi, ada kecenderungan makin banyak orang Indonesia yang percaya Tuhan, tapi tidak ikut agama apa pun. Agnostik. Tapi di KTP tetap ditulis beragama Islam, Kristen, Hindu, dsb. Warga negara Indonesia wajib punya agama.

Presiden Jokowi kelihatannya senang dengan hasil penelitian Pew itu. Bahwa hampir semua orang Indonesia percaya Tuhan. Ini jadi modal sosial untuk pembangunan. Setidaknya menjauhkan perilaku yang melawan perintah dan larangan Tuhan.

Semakin percaya Tuhan, semakin takut mencuri, korupsi, salah guna kuasa, melanggar HAM, dan sebagainya. Mestinya begitu. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Indonesia yang rakyatnya 96% percaya Tuhan masih banyak korupsi. Bahkan, departemen urusan ketuhanan dan agama pun masih ada korupsinya.

Di dunia ini indeks korupsi rupanya tidak ada kaitan dengan percaya Tuhan, punya agama atau tidak, rajin sembahyang dan sejenisnya. Negara-negara yang banyak rakyatnya (pemerintahnya juga) tidak percaya Tuhan malah angka korupsinya kecil. 

Tiongkok yang komunis dan atheis malah sering dijadikan contoh bagaimana harus tegas menghadapi koruptor. Eksekusi saja. Jangan kasih hidup koruptor-koruptor itu. Tiongkok memang belum bebas korupsi. Tapi pemerintahnya sejak dulu sangat tegas berantas korupsi.

Karena itu, jangan terlalu bangga dengan hasil penelitian Pew. Biasa-biasa sajalah. 

Prof Andrew Weintraub dari USA Bikin Riset Orkes Melayu, Ludruk, Genjer-Genjer dan Lekra di Jawa Timur

Prof Andrew Noah Weintraub PhD pernah melakukan penelitian mendalam tentang musik dangdut di Indonesia. Kajian profesor etnomusikologi dari University of Pittsburgh, Pennsylvania, California, Amerika Serikat, itu juga telah dibukukan dalam buku Dangdut Stories.

Meski begitu, profesor yang lebih suka dipanggil Andrew tanpa embel-embel profesor, doktor, atau mister itu rupanya belum puas. Dia masih terus menggali lagi sejarah orkes Melayu (OM) yang menjadi cikal bakal musik dangdut.

 "Makanya, saya datang ke Surabaya untuk riset orkes Melayu," ujar Andrew kepada Amahurek di Hotel Kokoon, Jalan Slompretan Nomor 26, Surabaya, Rabu (2/8/2023).

Menurut Andrew, salah satu kota yang menjadi pusat orkes Melayu di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an adalah Surabaya. Khususnya kawasan Ampel yang dihuni banyak warga keturunan Arab. Salah satu orkes terkemuka adalah OM Sinar Kemala pimpinan Abdul Kadir.

OM Sinar Kemala dibentuk pada 1952-1953. Kelompok musik di kawasan Ampel ini disebut Andrew sebagai orkestra terbesar pada dekade 1960-an. Jumlah anggotanya 15-25 musisi. Aransemen musiknya terpengaruh Timur Tengah, khususnya Mesir dan Lebanon.

 "OM Sinar Kemala memakai empat sampai enam penyanyi. Di antaranya, Ida Laila, Nur Kumala, Latifah, dan Nur A'in," ungkap profesor berusia 61 tahun itu.

Berbeda dengan orkes-orkes di Jakarta dan Medan, menurut Andrew, OM Sinar Kemala membawakan lagu-lagu dengan tema keagamaan (Islam). Ada kemiripan dengan orkes gambus yang tempo doeloe juga tumbuh subur di kawasan Ampel. "Penyanyi-penyanyi Sinar Kemala punya cengkok seperti seni baca Alquran," katanya.

Sayang sekali, hampir semua personel OM Sinar Kemala sudah berpulang. Abdul Kadir sudah lama tiada. A. Malik Buzaid, komposer lagu-lagu Sinar Kemala, dan vokalis andalan Ida Laila pun telah menghadap Ilahi beberapa tahun lalu. Karena itu, Andrew bakal menemui putra-putri sejumlah dedengkot orkes Melayu tempo doeloe itu.

Selain riset tentang orkes Melayu, Prof Andrew Weintraub juga memanfaatkan kunjungan ke Jawa Timur untuk menggali informasi tentang kesenian ludruk di masa lalu. Khususnya pada era 1960-an. "Ludruk-ludruk yang terkenal dulu punya kaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)," katanya.

Sayang sekali, kelompok-kelompok ludruk tempo doeloe itu tidak ada lagi di Surabaya dan sekitarnya. Padahal, kesenian tradisional itu sangat hidup di masyarakat. Setiap malam ada pertunjukan di berbagai tempat. Kini, praktis tak ada lagi pertunjukan ludruk secara rutin di Surabaya.

Karena itu, Andrew akan berangkat ke Banyuwangi untuk menemui sejumlah seniman tradisional yang pernah aktif pada tahun 1960-an. Mereka diduga punya keterkaitan dengan Lekra. "Termasuk musisi Genjer-Genjer," kata Andrew.

Menurut profesor yang juga pimpinan Dangdut Cowboy Band di USA itu, selama ini belum ada riset atau kajian mengenai respons masyarakat atau penonton terhadap kesenian-kesenian rakyat seperti ludruk, ketoprak, wayang, dan sebagainya pada masa Orde Lama. Yang ada hanyalah pendapat-pendapat atau sikap para elite Lekra hingga politisi di Jakarta.

"Beberapa narasumber yang akan saya temui di Banyuwangi sudah sangat tua. Tapi mudah-mudahan mereka bisa memberikan informasi yang penting tentang ludruk di masa Lekra dulu," katanya.

Obrolan dengan Andrew terhenti sejenak. Seorang pelayan hotel datang membawa capcay pesanan sang profesor cum seniman itu. Andrew perlu makan banyak karena kondisinya agak drop setelah berada di Surabaya.

 "Badan saya kurang enak," katanya.

"Obatnya makan yang banyak, Prof!"

Andrew tersenyum. Lalu menikmati capcay yang masih hangat. "Di Indonesia kalau beli obat tidak harus pakai resep dokter, ya?" 

"Dianjurkan pakai resep dokter. Tapi ada juga obat-obat bebas yang bisa dibeli bebas di mana saja tanpa resep."

Selamat berkelana, Andrew!

Selamat meneliti Orkes Melayu, ludruk, kesenian rakyat, Lekra, dan sebagainya! 

Orang Indonesia mestinya berutang ilmu padamu. Merdeka!!!

Jumat, 28 Juli 2023

Sinead Pulang sebagai Shuhada! Kyrie Eleison

Anak muda 90-an pasti kenal Sinead O'Connor. Paling tidak pernah dengar Nothing Compares 2 U. Lagu ini dulu diputar saban hari di radio-radio yang sebagian besar masih AM. 

Kita orang kurang paham kata-kata bahasa Inggris. Tapi kawan-kawan mahasiswa dulu senang betul dengar lagu Nothing Compares 2 U itu. Gaya nyanyi Sinead unik. Rada nyeleneh.

Apa lagu-lagu lain Sinead? Tak banyak yang tahu. Kecuali penggemar berat yang punya koleksi kaset dan CD-nya. Di era digital baru semua orang bisa menikmati lagu-lagu penyanyi asal Irlandia tersebut.

Ayas sendiri cuma samar-samar dengar Kyrie Eleison. Salah satu lagu Sinead yang merujuk lagu liturgi Katolik, Tuhan Kasihanilah Kami. Melodinya Gregorian 8 yang sangat dikenal umat Katolik di Indonesia. Lagu Gregorian itu hampir selalu dinyanyikan saat misa di gereja saban Ahad.

Ayas pikir Sinead ini artis yang ,,sangat Katolik". Kok bisa ya seorang artis mempopkan lagu Kyrie Eleison? Kalau bukan orang Katolik yang dekat dengan tradisi liturgi Latin tidak mungkin paham dan fasih menyanyikan Kyrie Eleison, Agnus Dei, Sanctus dsb.

Belakangan baru Ayas tahu bahwa Sinead seorang aktivis yang sangat kritis. Khususnya terhadap Katolik. Khususnya lagi terhadap Paus di Vatikan. Sinead secara demonstratif menyobek foto Paus Yohanes Paulus II. Sebagai protes kekerasan seksual terhadap anak-anak di lingkungan Gereja Katolik.

Keras sekali pernyataan-pernyataan Sinead yang terekam di YouTube. Khususnya terhadap Katolik, Paus, kekristenan. Orang Katolik yang rajin pigi misa, sering mendaraskan Gregorian, akhirnya menjauh dari Sinead. 

Lama tak ada kabar, Sinead muncul lagi di pemberitaan. Sinead berubah jadi Shuhada Sadaqat. Jadi mualaf. Pakai hijab. Warganet di Indonesia, Malaysia, Pakistan dsb menyambut hangat kedatangan Sinead, eh Shuhada. 

Shuhada makin sering muncul di media. Wawancara-wawancara lama sering dimuat ulang. Dari sini kita bisa melihat perkembangan kejiwaan dan karir seniman besar itu. Mulai era 80an sampai sekarang.

Sinead telah mencapai garis akhir hayatnya. Bertemu Allah sebagai Shuhada. Nothing compares to you!

Kyrie eleison! 
Lord have mercy!
Tuhan kasihanilah kami!

Kamis, 27 Juli 2023

Genit Inggris-Inggrisan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan

Oleh L. Murbandono Hs
Mantan Wartawan Radio Nederland di Hilversum

Di Indonesia genit inggris-inggrisan untuk urusan berkata-kata dan menulis itu agaknya sudah diterima sebagian masyarakat dengan riang gembira. Mungkin karena bangsa Indonesia termasuk bangsa yang suka berkelakar. "I don't care with my popularity!" ujar bekas Presiden SBY.

Anak-anak muda kita sudah barang tentu lebih ahli dalam hal tersebut. Genit inggris-inggrisan mereka habis-habisan.

 Disebut genit, pertama, sebab perilaku dalam berbahasa yang merusak bahasa Indonesia itu diucapkan atau ditulis di Indonesia, dalam rangka Indonesia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia pula. 

Kedua, penggunaan kosakata-kosakata Inggris atau berbau Inggris itu mubazir, sebab selalu tersedia kosakata Indonesianya. Ketiga, tidak jarang penggunaan kosakata asing tersebut dengan pemaknaan yang keliru pula.

Di hampir semua koran dan majalah Indonesia selalu kita jumpai tulisan-tulisan yang genit inggris-inggrisan. Hampir di semua rubriknya. Apalagi di ruang opini (pendapat) nya. Rata-rata penulisnya – tidak semua tentunya, perlu penelitian sekolahan – menggunakan keprigelan menulis gaya kegemaran anak-anak ingusan tersebut. 

Hampir tiap hari selalu bisa ditemukan hal ihwal dan perkara tersebut. Contohnya terlalu banyak untuk disebutkan. Tak ada hari pers media Indonesia – cetak, elektronik dan sibernetika – yang terbit, berbunyi, dan tertayang tanpa dikotori tulisan atau bunyi yang genit inggris-inggrisan.

BERBAGAI KELAS

Segala sesuatu ada kelasnya. Begitu pula kegenitan inggris-inggrisan. Ada kelas ringan, kelas bulu, kelas berat, dan kelas mahaberat.

Termasuk kegenitan kelas ringan adalah penggunaan si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, dan sejenisnya. Mereka termasuk kelas "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". 

Semua kosakata jenis ini hampir selalu ada kosakata Indonesianya, dalam arti enak dan pas.

Sungguh menakjubkan! Sebab budidaya merusak bahasa Indonesia lewat tulisan dan bunyi tersebut pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar.

Mereka dimuat, dibunyikan dan dipertontonkan oleh pers media Indonesia dan disebarluaskan ke masyarakat sebagai bacaan, bahan dengar atau bahan tontonan orang-orang yang berbahasa Indonesia.

 Pers media di Indonesia sendiri merupakan perusahaan pers yang dimiliki dan diurus oleh orang-orang Indonesia. Para pengguna pers Indonesia bukan hanya orang-orang Indonesia. Pers di Indonesia juga dibaca oleh orang-orang asing yang sudah mahir atau masih belajar bahasa Indonesia.

Jadi, semua tulisan dan risalah yang dimuat di dan disebarluaskan oleh pers Indonesia tersebut mempunyai tanggung jawab keIndonesiaan yang serius. Tanggung jawab bagi peradaban Indonesia dan bahasa Indonesia. Dan terutama tanggung jawab di depan kesopansantunan berbahasa yang agung dan patut.

MERISAUKAN

Lepas dari isi dan pesan dari sekian banyak risalah di pers Indonesia yang perlu setulus hati dihargai sebab harus diakui rata-rata bermutu dan berguna bagi bangsa Indonesia, tetapi mereka menjadi merisaukan, sebab dengan kegenitan inggris-inggrisan itu langsung bisa dirasakan kerendahdirian Nusantara di hadapan Barat. Lewat bahasa!

Dari berjubelnya penggunaan kosakata Inggris yang jelas-jelas ada kosakata Indonesianya, kita mungkin menjadi sedih dan bertanya, apa sejatinya yang nista dalam kosakata Indonesia? 

Apakah bahasa Indonesia amat melarat sehingga tidak punya kosakata-kosakata sendiri yang mampu menyampaikan isi dan pesan suatu risalah, sehingga harus merelakan diri dikotori oleh kata-kata Inggris? Atau, apakah harga satu kata Indonesia satu rupiah dan harga satu kata Inggris satu dolar AS?

Itu semua memaksa kelahiran catatan-catatan kecil ini. Apakah akan ada gunanya. Sebab suasana "merusak bahasa Indonesia" itu sudah amat meluas dan berlarut-larut di Indonesia.

 Apa pun, catatan ini bermaksud menunjukkan dan membuktikan kepada semua orang dewasa bahwa seluruh kosakata Inggris yang digunakan dan membanjiri pers media Indonesia itu tidak ada nilai lebihnya bagi bahasa dan kebudayaan serta peradaban Indonesia.

 Dengan mudah sekali semua kosakata asing itu bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan.

KOSAKATA SENDIRI

Sebelum contoh-contoh nyata itu disajikan, perlu disampaikan, penelusuran genit Inggris-Inggrisan ini mungkin mengesankan "sok suci bersih murni mau bebas dari unsur asing secara mutlak", yang tidak terhindarkan. Tapi itu samasekali bukan maksudnya.

Itu soal terpisah lebih luas, yang tidak dikupas dalam kolom terbatas ini.

Jadi, penelusuran ini sekedar cara untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa bahasa Indonesia mempunyai kosakata sendiri yang sanggup mengalihkan kosakata asing secara tepat, benar, baik, dan indah. 

Dengan mudah banyak sekali kosakata asing bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan. Juga, akan ditunjukkan, dalam penggunaan kata asing atau berbau asing itupun, di samping hanya mempersulit hal yang sejatinya gampang, juga bisa ditemukan kekeliruan pula.

CONTOH NYATA

Dalam kerangka contoh nyata itu, kita tengok sebuah tulisan di ruang pendapat – biasa disebut opini – di sebuah surat kabar terkemuka di ibukota.

Di situ antara lain kita temukan bahasa tulisan dalam bahasa Indonesia yang berbunyi : "poverty targeting policy". Mengapa tidak ditulis, "kebijakan mengurus kemiskinan"? Apakah "kebijakan mengurus kemiskinan" lebih jelek katimbang "poverty targeting policy"?

Masih dalam tulisan tersebut, juga kita jumpai bukan kata asing asli, tetapi kata bentukan dari kata asing yang tidak terlalu berguna, sebab justru bisa menjadi alat pembenaran untuk kemalasan membuka kamus. Yaitu, asal ada kata Inggris berakhiran "tion" tinggal ganti saja dengan "si" atau "asi", maka lahirlah kata-kata blasteran yang "megah". 

Eksekusi! Dalam bahasa Indonesia, tersedia kosakatanya yang lebih bermartabat. Yaitu, pelaksanaan.

Juga kita temukan penyakit sekelas yang tadi. Yaitu, kata: limitasi. Mengapa tidak keterbatasan atau batas? Apalagi, penggunaan kata "limitasi" dalam bagian kalimat "Betapa pun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita…" adalah keliru. 

Limitasi bukanlah keterbatasan atau hal yang terbatas, melainkan pembatasan, yakni tindakan melakukan sesuatu agar pihak lain menjadi terbatas. Jadi, kalau tidak berkenan menggunakan "keterbatasan" atau "batas" ya kalau masih mau inggris-inggrisan juga, minimal "limit" – ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah contoh genit inggris-inggrisan, dan, keliru pula.

Kosa-kosakata "enggan Nusantara" lain yang kita temukan dalam tulisan tersebut adalah kompensasi (pengganti kerugian), anonim (tidak dikenal), targeting (mengarah, mengarahkan, menuju, menujukan, mengurus, mengelola, dll ), disagregasi (kerincian), indikator (penanda), debatable (bisa dipertengkarkan), dan dispute (pertengkaran, perselisihan, percekcokan, keributan, kehebohan, kegemparan, dll).

Mungkin Anda akan menanggapi. Semisal begini:  kata 'dapat diperdebatkan' akan lebih tepat sebagai terjemahan dari debatable. Kata 'debat' itu sudah meng-Indonesia kok, seperti misalnya dalam ungkapan 'debat kusir'. Terlebih lagi, kata 'bertengkar' tidak sama dengan 'berdebat', bukan?

Tanggapan itu benar dan baik. 

Ya, debat memang tidak sama dengan tengkar. Lalu, apa padanan Nusantaranya yang paling tepat untuk kata "debat"? Rembug? Adu-kata? Gumul-pendapat? Memang, tidak mudah.

 Justru kosakata sejenis "debat" dan semacam itulah yang akan menjadi PR jangka panjang bahasa Indonesia urusan kosakata Nusantara. 

Dalam rangka (istilah gagahnya adalah "konteks") ini, mungkin masih sulit untuk "menusantarakan" kosakata-kosakata semisal: diskusi, politik, demokrasi, pers, media, jurnalisme, radio, televisi, film, ekonomi, nasional, frustrasi, bank, teknik, mekanisme, stasiun, bus, taksi, faktor, dan kata-kata lain sejenis yang bisa banyak sekali.

Nah, kembali ke uraian awal. Maka kita akan menemukan sebuah kalimat yang sejatinya mengandung pesan yang amat bermutu. Kalimat tersebut berbunyi: "Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan." 

Kosakata yang kita persoalkan adalah "instant". Mengapa tidak "seketika"? Bahkan kalau mau lebih berani, kata "proses" itupun sejatinya masih bisa diganti dengan berbagai kosakata lain Indonesia semisal perjalanan, penggarapan, penanganan, pengolahan, dll.

ASLI DAN BENTUKAN

Selanjutnya kita temukan berbagai ungkapan Inggris asli maupun bentukan, yaitu (1) program-program targeting (rencana-rencana pengurusan), 

(2) necessary condition (persyaratan penting)

 (3) sufficient condition (persyaratan secukupnya), dan

 (4) indikator lokal (penanda setempat).

Dan tentu saja, juga kita temukan kosakata berbau Inggris dan gado-gado, ialah analisis (penguraian), mainstreaming (pengarus-utamaan), karakter (sifat, watak), mendistribusikan (membagi-bagikan, menyebarkan), "random" ("acak"), probabilitas (kemungkinan), dan masih banyak lagi.

ABJAD KOSAKATA

Menelusuri  genit Inggris-inggrisan ini, kita semua bisa menyusun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-inggrisan tersebut. Tentu saja hanya bagian kecil dari contoh-contoh yang bisa seabrek-abrek, sejauh yang nyata muncul dalam persuratkabaran dan penerangan di Indonesia sendiri.

Namun, sekali lagi, wacana perkara genit Inggris-Ingrisan ini tidak bermaksud berurusan dengan "pemurnian" bahasa. Sebab, apakah mungkin? 

Tidak ada bahasa di dunia ini yang seratus persen suci murni. Apalagi bahasa Indonesia kita yang tercinta. "Ketidakmurnian"-nya habis-habisan dalam hal menelan dan memamahbiak unsur-unsur asing.

SUDAH RUSAK

Jadi, soalnya lebih berurusan dengan ketidakwajaran dalam berbahasa Indonesia. Genit Inggris-Inggrisan di bidang perkabaran dan penerangan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan. Sudah bukan taraf perbuatan anak manja atau remaja ingusan lagi. 

Genit Inggris-Inggrisan dan kebanggaan berasing-asing ria secara berlebihan dalam berbahasa Indonesia yang tanpa guna itu, sudah amat mengerikan. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit peragawati nan cantik, maka kulit tersebut sudah penuh dengan panu dan kudis. Jadi, sungguh-sungguh menimbulkan rasa iba. Kasihan sekali.

Hal yang menimbulkan rasa iba nan kasihan sekali itu, contohnya bisa kita saksikan dalam tulisan seorang terpelajar di sebuah koran ibukota. Hampir di setiap paragrafnya bisa kita temukan panu dan kudis tersebut, misalnya: negosiasi, money politic, kondisi, sentralistik, direct democracy, kolusi, money politic, konsesi-konsesi, konsolidasi, momentum, strategis, eksistensi , agenda, kongres, fenomena, elitis, sentralistis, kolektif, intensif, konteks, relasi, personifikasi, krusial, eksekutif, legitimator, kontrol, aspirasi, kader, berpotensi, aktif, eksekutif, produktif, relasi, kategori, antagonis, posisi, kontrol, hegemonik, stempel, akomodasionis, kondisi, "karismanya", oligarki, demokrasi, politik, konkret, proses, demokrasi lokal, barometer, elitisme, sentralisme, proses, civil society, potensi, partisipasi, dimobilisasi, emosi, psikologis, prosesi, demokrasi, elektoral, sosial, strategis, desentralisasi, aspirasi, kaderisasi, simpatisan, sosialisasi, aksi-aksi, dan eksistensi.

APA ALASANNYA?

Mengapa kosakata-kosakata di atas ibarat panu dan kudis yang menimbulkan rasa iba? Sebab semua kata tersebut, bisa dengan mudah ditemukan kosakata Nusantaranya dengan cukup mudah, tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan.

Soalnya, mengapa? Buat apa mengembangbiakkan kegemaran memalukan yang menyebarkan panu-panu dan kudis-kudis itu? 

Mungkin bukan sekedar karena bahasa Inggris dianggap lebih hebat katimbang bahasa Indonesia, melainkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan dan irit. Maka, tidak tega membuang kosakata-kosakata asing. Ini kemungkinan pertama.

Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Karena itu, kita merdeka memperlakukan bahasa kita dan bahasa asing sesuka hati. Mengapa tidak boleh mencampuraduk mereka menjadi bahasa gado-gado?

Ketiga, dugaan bahwa dengan bahasa gado-gado itu bahasa Indonesia akan tampil lebih indah, lebih meyakinkan, dan lebih beradab.

Namun, untunglah, genit Inggris-Inggrisan itu – sudah sedikit disinggung di atas tetapi belum lengkap  – ternyata berkelas-kelas. Paling sedikit tiga kelas. Ada kelas ringan, kelas berat, dan kelas algojo alias kelas dasamuka. Tapi mohon jangan lupa, apapun kelasnya, semua kosakata Inggris dan berbau Inggris itu rata-rata ada kosakata Nusantaranya.

TIGA KELAS

Kelas ringan adalah gemar menggunakan kata berakhiran si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, tas-tas-tas, dan sejenisnya. Yang masuk kelas ini adalah kaum yang takluk kepada falsafah gombal yang berbunyi "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela".

 Rumitnya, ini sejatinya kebingungan kelas gajah. Politik bahasa! Bahkan "kitab suci" bahasa Indonesia – Kamus Besar Bahasa Indonesia – itupun, memasukkan kosakata-kosakata sejenis itu sebagai lema.

Tergolong kelas berat adalah kosakata berbau Inggris atau Barat yang dahulu tidak ada atau belum terkenal. Lalu sekarang tiba-tiba ada. Ini bisa berupa kata utuh semisal "bias" dan "dispute" atau akhiran baru semisal "bel-bel" itu.

Kelas algojo dasamuka adalah kosakata Inggris yang digelundungkan begitu saja ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Bukan cuma satu atau dua kosakata, bahkan satu kalimat atau satu paragraf sekalian. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi kosakata, kalimat, dan paragraf bahasa Indonesia. Genit macam inilah sejatinya yang membuat bahasa Indonesia kian lama kian amburadul, kian terbunuh, kian terbantai-bantai!

HARUS MENDERITA

Agaknya, bahasa Indonesia memang harus menderita sebab wajib belajar terus, atau binasa! Jalan salib penderitaan harus ia tempuh. Khususnya saat bergaul dengan aneka rupa kosakata asing. Agar sampai pada kebangkitan kebahasaan yang indah mulia.

Suatu masa ia pernah kikuk di hadapan kosakata Belanda, di kota-kota. Kosakata Arab sejak dahulu jaya di desa-desa dan kini makin meriah, percaya diri melewati jalan-jalan bebas hambatan dan memasuki gedung-gedung bertingkat. 

Kosakata India, saya kurang paham, di Bali mungkin bisa dirasakan. Kosakata Latin, ini suasana khusus di salah satu sudut di Ledalero, Kentungan, Pineleng, Abepura, Pematang Siantar dan sebangsanya – di seminari-seminari. Semuanya ini masih perlu uraian lebih luas, yang di luar kemampuan catatan kecil ini. Ia hanya mengupas kosakata Inggris atau berbau Inggris, dan terbatas mempersoalkan kegenitan Inggris-Inggrisan.

EMPAT KEINGINAN

Meski mungkin membuat uring-uringan kaum "genit Inggris-Inggrisan", catatan kecil ini sejatinya bernyali amat kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, pengikut kaum tersebut sudah telanjur amat kuat perkasa dan meluas di seluruh Indonesia. 

Kaum itu telah memenuhi desa-desa, kota-kota, toko-toko kelontong, kantor resmi, pemukiman kumuh dan apalagi pemukiman mewah, meja-meja persuratkabaran, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan tentu saja di semua gedung lembaga tinggi negara.

Karena itu, catatan kecil ini cuma mampu mengusung empat keinginan.

Pertama, ingin berterus terang.
Kedua, ingin melontarkan tanggapan yang membangun.

Ketiga, ingin mengimbau, agar tiap manusia Indonesia yang dewasa tanpa pandang bulu lebih bersikap wajar dalam berbahasa Indonesia dan menghormati bahasa Indonesia.

Keempat, ingin memperkenalkan "iman" yang mengakui bahwa gemar menggunakan kosakata-kosakata asing secara tidak perlu di dalam berbahasa Indonesia adalah perbuatan tercela yang merusak bahasa Indonesia.

Hilversum, Juli 2005
Tulis Ulang, Kopeng, Juli 2023

Selasa, 25 Juli 2023

Menemani turis Singapura yang faham bahasa Melayu sikit-sikit lah


Dulu aku pikir semua orang Singapura yang Tionghoa bisa berbicara dalam bahasa Melayu dan Inggris. Ternyata aku keliru. Ternyata banyak juga warga negara Singapura yang Tionghoa hanya bisa ,,sikit-sikit cakap Melayu".

,,Melayu sikit-sikit lah," kata pasangan suami istri saat jelajah kota lama di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya kemarin.

,,Boleh cakap bahasa Indonesia?"

Pasutri 60-an tahun itu geleng kepala. Lalu dia beralih ke Singlish. Bahasa Inggris ala Singapura yang khas itu. Tapi itu pun tidak jelas juga omongannya. Sulit ditangkap kata-katanya.

Kita orang omong dalam bahasa Inggris yang jelas dan pelan pun pasutri itu agak sulit mengerti. Tapi lebih nyambung ketimbang kita bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu ala Ipin dan Upin di Malaysia.

Aku sebagai pemandu wisata dadakan pun tak kehilangan akal. Pelancong Singapura itu aku ajak lihat-lihat beberapa objek di bangunan tua kawasan pecinan. Melihat lukisan, foto bareng dsb. Bahasa Tarzan kadang masih perlu di era digital ini.

Tidak hanya turis Singapura, menghadapi wisatawan dari non English speaking countries memang tidak mudah. Misalnya turis asal Taiwan, Tiongkok, Thailand. Ucapan kata-kata bahasa Inggris mereka tidak jelas. Logatnya pun sesuai dengan logat bahasa daerah atau bahasa nasionalnya.

Bicara dengan orang Amerika atau British jauh lebih enak. Meskipun kemampuan berbahasa Inggris kita orang masih jauh di bawah standar TOEFL, orang USA dengan mudah menebak maksud kalimat-kalimat atau pertanyaan orang Indonesia dalam broken English.

 Itu yang sering aku lihat dalam konferensi pers di Indonesia. Wartawan-wartawan Indonesia umumnya sangat mampu dalam written English tapi lemah dalam spoken English. Itu juga hasil pelajaran bahasa Inggris kita (dulu) yang sangat menekankan tata bahasa atau grammar rules. 

Syukurlah, di era digital sudah banyak aplikasi untuk menerjemahkan bahasa apa saja lewat telepon genggam. Hanya dalam hitungan detik kalimat-kalimat dalam aksara Tionghoa atau Arab atau Thai atau India bisa dibaca dalam bahasa yang kita kuasai. 

Kembali ke turis Singapura tadi. Kalau dipikir-pikir wajar sekali kalau suami istri itu tidak bisa berbahasa Melayu karena jarang bergaul atau bertemu dengan orang Melayu di negaranya. Apalagi etnis Melayu di Singapura pun minoritas. Karena itu, lagu kebangsaan Singapura yang berbahasa Melayu itu mungkin hanya dimengerti dan dihayati orang Singapura yang Melayu. 

Warga Singapura yang Tionghoa dan India mungkin ,,cuma faham sikit-sikit lah."