Kamis, 20 April 2023

Derana, renjana, produksi performa yang komplet

Ayas sudah lama tidak baca Kompas. Kali terakhir awal Maret lalu. Koran terbitan Jakarta itu memang makin sulit ditemukan di Surabaya dan sekitarnya.

Pagi tadi, awal libur panjang Lebaran, Ayas mampir di kios koran dan majalaj di dekat Sungai Porong. Ternyata ada Kompas. Harganya sekarang Rp 7500. Mahal banget? Gak bisa Rp 5000 kayak Jawa Pos?

Sudah naik sejak awal Januari, kata pedagang media cetak itu. Setorannya naik. Kalau jual 5000 ya aku tekor.

Apa boleh buat. Ayas membeli Kompas yang makin tipis itu. 16 halaman saja. Padahal dulu biasanya 36 halaman. Di era digital ini dagang koran cetak memang tidak gampang. Koran-koran lama berguguran. Pekan lalu Koran Sindo berhenti terbit.

Ayas sering menemukan kata-kata unik di Kompas. Dulu kata "petahana"  untuk incumbent. Kata "tengkes" untuk stunting. Bulan lalu kata "renjana" untuk passion.

Kali ini ada kata "derana". Ayas belum pernah dengar dan baca kata itu. Maka langsung buka kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Ternyata ada lemanya. 

<< derana (ark):
tahan dan tabah menderita sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa, dsb). >>

Ayas juga buka kamus bahasa Melayu (Malaysia). Penjelasannya singkat: derana artinya sabar (ark).

Keterangan ark artinya arkaik. Kata yang sudah kuna. Saking kunanya tidak dipakai lagi. Hebat, Kompas malah menghidupkan lagi kata-kata arkaik macam renjana dan derana ini. Dulu kata arkaik "canggih" juga dihidupkan dan kini sudah sangat umum.

Ayas baca berita kemenangan AC Milan atas Napoli itu sampai selesai. Di alinea terakhir ada terjemahan langsung Marca yang terkesan 'maksa'. Hanya sekadar ganti ejaan saja.

Kompas menulis ucapan pelatih Ancelotti:

"Kami memproduksi performa yang sangat komplet." 

Ayas yakin orang kampung di pelosok NTT tidak paham gaya bahasa wong pinter (keminter) di Jakarta itu. Orang desa lebih mengerti: 

"Penampilan kami sangat hebat."

"Anak-anak bermain dengan luar biasa."

"Penampilan kami ciamik soro." 

Selasa, 18 April 2023

Giliran Koran Sindo Pamit

Teman lama bagi kabar duka. Satu lagi media cetak tutup. Giliran Koran Sindo berhenti menyapa pembaca media cetak.

Sururi, CEO, yang umumkan kabar penutupan medianya. Versi koran dan e-paper sama-sama berhenti. "Hingga batas waktu yang ditentukan kemudian," tulisnya.

Ayas agak kenal Sururi. Dulu redaktur Jawa Pos. Orangnya serius, teliti, detail, banyak banyak, ilmiah. Sururi dan beberapa eks JP boyongan untuk bikin Sindo. Satu grup dengan RCTI yang oke itu.

Koran Sindo sempat heboh di awal. Terbit dengan desain dan model pemberitaan yang menarik. Ayas sering baca.. gratisan. Tebal sekali saat itu.

Sayang, usia Sindo tak panjang. Sururi dan kawan-kawan sudah kerja keras tapi era digital datang terlalu cepat. Konsumsi berita, informasi, hiburan, tiket, pesan makanan, pesan ojek.. apa saja ada di HP.

Sindo dan kawan-kawan terguncang. Ada yang bertahan tapi ada juga yang gulung tikar. Yang masih hidup kudu kreatif, banyak akal agar bisa tetap bertahan. 

"Makanya saya sangat salut pada media cetak yang tetap eksis sampai sekarang. Orang-orang di baliknya sungguh ruar biasa," tulis Marlin, mantan redaktur koran cetak.

Ayas jadi ingat kata-kata di kuburan di pelosok NTT: 

"Hari ini saya, besok kamu."

Minggu, 16 April 2023

Napak Tilas Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim di Malang

Ayas dulu sering mampir ke rumah tua gaya kolonial di Jalan Diponegoro 3 Malang. Ketemu dan ngobrol dengan Ratna Indraswari Ibrahim. Orangnya asyik, selalu tersenyum, kelihatan bahagia meski sejak kecil duduk di kursi roda.

Biasanya Bu Ratna mengajak duduk di samping rumah. Lalu dia menjawab pertanyaan apa saja secara runut dan detail. Satu pertanyaan singkat biasanya dijawab penjelasan yang panjang.

Karena itu, ngobrol dengan Ratna Indraswari ibarat kuliah tiga SKS di kampus. Tapi dosennya enak. Ngangeni. 

Ayas kagum karena Ratna yang fisiknya rapuh ternyata sangat produktif menulis cerpen, novel, artikel dsb. Ratna juga sangat aktif di berbagai organisasi, LSM, di Malang.

Ratna Indraswari tutup usia pada 28 Maret 2011. Ayas masih simpan dua buku pemberiannya. Beberapa buku lain dipinjam teman dan tidak pernah kembali.

Ayas sempat blusukan nostalgia ke rumah Bu Ratna di Diponegoro 3 pekan lalu. Salah satu kawasan elite di Malang. Pagar bangunan tua itu tertutup rapat. Suasananya beda dengan saat Bu Ratna masih hidup. Kelihatannya sekarang jadi kos-kosan.

"Permisi, rumahnya almarhum Bu Ratna Indraswari di mana?" Ayas bertanya pura-pura tidak tahu. Sekadar mengetes pengetahuan seorang wanita 50-an tahun tentang sastrawan terkenal Ratna Indraswari Ibrahim.

"Maaf, saya gak tau," katanya. "Di sekitar sini gak ada yang namanya Bu Ratna."

Begitulah, sastrawan sekaliber Ratna Indraswari Ibrahim pun ternyata tidak dikenal di Malang. Bahkan tetangganya pun gak nyambung. Sastra memang asing di negeri ini. Pramoedya Ananta Tour pun belum tentu dikenal orang Indonesia hari ini. Wis.

17 Tahun Dahlan Iskan Ganti Hati di Tianjin


Oleh Dahlan Iskan


SETELAH istirahat dua malam di Beijing, saya bisa dapat slot di rumah sakit Tianjin: 第一中心医院. Di situlah, 17 tahun yang lalu, saya memperpanjang umur.

Saya pun naik kereta cepat dari Beijing ke Tianjin. Itulah jalur kereta cepat pertama yang dibangun di Tiongkok. Yang kemudian mewabah ke seluruh negara. Kini menjadi jaringan kereta cepat terluas di dunia.

Pun bila seluruh kereta cepat di dunia dikumpulkan, belum menyamai separonya jaringan kereta cepat di Tiongkok.

Kali pertama naik kereta cepat Beijing-Tianjin saya perhatikan layar display: 320 km/jam. Jarak Beijing-Tianjin 120 km. Ditempuh hanya dalam waktu 29 menit.

Mengapa saya menjalani transplantasi hati di rumah sakit Tianjin setelah Anda sudah tahu: dokter di Singapura menyatakan umur saya tinggal 6 bulan. Itu bila dilihat secara teknis kedokteran. Tidak ada cara lain lagi. Kanker saya sudah memenuhi hati. Darah sudah sulit masuk liver: lalu tertahan di banyak tempat. Terutama di saluran pencernaan. Muncul banyak gelembung-gelembung darah di mana-mana. Lalu ada yang pecah. Itu yang membuat saya muntah darah.

Sekarang kecepatan kereta itu 350 km/jam. Tidak perlu takut tiket. Tiap 10 menit ada kereta ke Tianjin. Dan sebaliknya. Bahkan di jam-jam tertentu tiap 5 menit sekali. Penuh semua.

Presiden Jokowi pernah naik kereta ini. Di awal jabatan beliau dulu. Beliau terinspirasi. Lalu bikin keputusan membangun kereta serupa untuk Jakarta-Bandung.

Orang Tiongkok menyebut kereta cepat Jakarta-Bandung itu Yawan. Singkatan dari Yajiada - Wanlong. (呀家达-万隆). Yajiada Anda sudah bisa menduga: Jakarta. Wanlong adalah Bandung. Wan di situ artinya selamanya. Long di situ artinya panjang. Panjang umurnya. Baik selamanya. Bukan panjang masa pembangunannya.

Begitulah. Mereka menyebut Bandung dengan Wanlong. Tokyo dengan Dongjing. Palembang menjadi Jigang. Surabaya mereka sebut Sishui.

Saya belum tahu apakah Yawan nanti juga bisa tiap 10 menit. Agar investasinya bisa kembali. Kalau setiap 10 menit apakah juga bisa penuh: agar pengeluaran untuk listriknya tertutup.

Seperti Ya dan Wan, Beijing dan Tianjin sama-sama kota besar. Tapi keduanya sama-sama berstatus provinsi. Di Tiongkok ada empat kota yang berstatus provinsi. Dua lainnya Anda sudah tahu.

Meski ada kereta tiap 10 menit jalan tol-nya masih padat. Padahal ada tiga jalan tol antara Beijing-Tianjin: utara, tengah, selatan. Kalau naik jalan tol perlu waktu 2 jam.

Kereta Beijing-Tianjin ini pun mereka sebut Bei-Jin. Semua jurusan diberi nama singkatan dua kota seperti itu. Nama jalan tol pun sama. Maka tidak ada kereta dengan nama, misalnya, Argo Wilis. Ups... Ada. Namanya Tatar Maja. Singkatan dari Tawang (Malang)-Blitar-Madiun-Jakarta.

Dari tempat bermalam di Beijing saya naik kereta bawah tanah ke stasiun kereta cepat itu. Di Beijing ada empat stasiun kereta cepat. Stasiun Barat, Stasiun Utara, Stasiun Timur, dan Stasiun Selatan. Semua besar-besar. Modern. Seperti bandara masa kini.

Saya menuju yang Stasiun Selatan. Dari sinilah kereta cepat jurusan Tianjin, Shandong, Yangzhou, Nanjing, dan Shanghai berangkat.

Dalam perjalanan kereta bawah tanah itu semua penumpang harus pakai masker. Saya lihat tidak satu pun yang tidak pakai. Peraturan kereta bawah tanah di Beijing masih begitu. Sedang di jalan-jalan, di mal, di kantor-kantor sudah tidak pakai masker.

Tentu ini bukan kali pertama saya ke Stasiun Selatan. Sudah puluhan kali. Sudah hafal. Termasuk harus lewat gate yang mana untuk pemegang paspor asing: yang ada petugas pemeriksanya. Selebihnya serba diurus oleh mesin.

Pun sampai di Tianjin, saya naik kereta bawah tanah. Cari yang ke jurusan rumah sakit. Jauh lebih sederhana. Tidak usah gengsi. Jarak antar stasiun bawah tanah hanya 1,5 menit. Di setiap stasiun hanya berhenti 0,5 menit. Maka hanya diperlukan 20 menit untuk sampai rumah sakit. Bandingkan kalau naik mobil: 1 jam.

Saya pun merasa jadi Ontorejo. Muncul dari dalam bumi: hallooo Tianjin! Sudah empat tahun tidak melihatmu!

Ups... Kok ini bukan seperti Tianjin yang saya kenal. Yang pernah empat bulan saya tinggali sambil menunggu ada hati orang mati yang bisa dipasang di badan saya. Kok semua gedung di sekeliling ini baru. Kok ada hutan kota segala.

Minggu 16 April 2023

Sabtu, 08 April 2023

Gereja Katedral Ijen Penuh Sesak - Malam Paskah

Sabtu 8 April 2023. 

Vigili Paskah alias Malam Paskah. Misa wajib untuk umat Katolik, kata pater-pater tempo doeloe di Flores, NTT.

Misa di Katedral Ijen dimulai pukul 18.00. Dipimpin langsung Uskup Malang Msgr Henricus Pidyarto OCarm.

Ayas tiba di Gereja Ijen pukul 16.00. Dua jam sebelum misa. Gereja ternyata sudah penuh sesak. Apa boleh buat, duduk di tenda sisi Jalan Buring.

Kurang afdal memang misa duduk di luar gedung. Tapi yo opo maneh.. orang Katolik di Malang ini rupanya senang balapan cepet-cepetan ke gereja. Ayas kalah.

Selamat Paskah.

Ahmad Dhani pengarang lagu

Ahmad Dhani: "Kesempatan ini akhirnya menjadi sebuah hal yang menguntungkan bagi pengarang lagu."

Sudah lama Ayas tak mendengar dan membaca istilah ini: pengarang lagu.

Dhani menghidupkan lagi kata lama itu. Biasanya media dan masyarakat menggunakan frasa pencipta lagu. Ada juga yang pakai komposer (serapan bahasa Inggris) atau komponis (istilah lama serapan bahasa  Belanda). 

Istilah penulis lagu sebagai terjemahan song writer mulai populer di era digital. Sejak dulu di sampul kaset dan acara TVRI, Aneka Ria Safari dan Selecta Pop, selalu ditulis judul lagu, ciptaan NN. 

Slamet Abdul Sjukur, guru musik, bapak musik kontemporer, selalu menggunakan kata mengarang, karangan, pengarang. Seniman asli Surabaya itu juga selalu pakai kata komponis. 

Kata-kata mendiang SAS memang sangat Indonesia meskipun ia tinggal di Prancis selama 14 tahun. SAS fasih bahasa Prancis, Inggris, dan beberapa bahasa asing lain. 

"Saya harus menyepi seorang diri kalau mau mengarang (komposisi musik klasik/kontemporer). Saya tidak boleh diganggu kalau lagi ngarang," kata SAS kepada Ayas.

Soe Tjen Marching, novelis, aktivis kebinekaan, komponis, murid SAS juga mewarisi semangat gurunya. Soe Tjen selalu pakai kata mengarang. Bisa mengarang musik, mengarang cerpen, mengarang novel, mengarang artikel dsb. "Sudah lama aku gak ngarang (musik untuk piano atau komposisi musik kontemporer)," katanya suatu ketika.

Tempo doeloe ada pelajaran mengarang di sekolah. Murid-murid SD disuruh bapak/ibu guru untuk membuat karangan tentang pengalaman berlibur atau apa saja.

 Ada juga rubrik Karangan Kecil di majalah anak Kunang-Kunang terbitan Ende, Flores. Dulu karangan Ayas sering dimuat Kunang-Kunang. Anak-anak di kampung berlomba-lomba membuat karangan kecil, satu sampai tiga alinea, lalu dikirim ke Kunang-Kunang. Anak yang karangannya dimuat sangat bangga seolah sudah jadi pengarang terkenal di NTT.

Ayas dulu sering ikut lomba mengarang tingkat kecamatan. Menulis di buku tulis, tulisan tangan. Temanya ditentukan pihak penilik sekolah di kecamatan. Ayas beberapa kali dapat penghargaan sebagai juara pertama. Padahal saat di SD itu Ayas cuma nulis bebas, mengalir saja.

Saat ini istilah "mengarang" atau "ngarang" kesannya kurang positif. Seakan-akan merekayasa atau membuat cerita rekaan untuk menipu orang. Ah, ngarang aja lu! 

Mengarang pun berubah makna. Seakan sinonim dengan berbohong.

Ahmad Dhani, terlepas dari segala kontroversinya, menghidupkan kembali kata pengarang (composer) sesuai dengan aslinya. Dhani memang pengarang lagu pop paling terkenal dan bermutu di Indonesia.

Senin, 03 April 2023

Vaksinasi booster kedua kurang diminati

Minggu lalu aku servis sepeda lawas di Cak Man, Rungkut. Beberapa orang asyik ngobrol soal burung. Maklum, Cak Man juga jualan burung berkicau. Dagang burung ini tetap stabil. Tidak terpengaruh pandemi covid.

Gak ada covid. Gak usah pakai masker, kata Cak Man. 

Dari dulu lelaki 60-an tahun ini memang meremehkan covid. Tidak mau divaksin. Tidak menghiraukan prokes, protokol kesehatan dsb.

Sampean sudah berapa kali divaksin, Cak?

Gak pernah divaksin, kata Cak Man. Aku gak gelem disuntik. Mati hidup itu urusan Allah. Kapan saja kita meninggal kalau sudah memang takdirnya.

Cak Man menyebut beberapa temannya yang sudah divaksin dua kali toh terpapar covid.. dan meninggal dunia. Yang vaksin tiga kali juga begitu. Artinya, vaksin tidak vaksin sama saja, kata Cak Man. 

Orang-orang macam Cak Man ini cukup banyak di Surabaya. Cak pedagang kopi di kawasan Rangkah pun berpendapat sama. Ia tak pernah divaksin. Vaksinku zikir, kata bapak yang cenderung anti-Jokowi itu.

Karena itu, tidak heran pagi ini ada berita di koran: Vaksinasi Booster Kedua Masih 10,06 Persen.

Rendahnya angka vaksinasi dosis keempat itu antara lain karena orang-orang macam Cak Man itu. Sebagian besar warga juga menganggap pandemi sudah berakhir. Bahkan, tidak pernah ada pandemi.

Aku cukup vaksin satu kali aja, kata rekan yang ngantor di gedung mewah di Surabaya.

Aku sendiri sudah empat kali disuntik vaksin. Dua kali Sinovac di kantor gubernur, dua kali di Puskesmas Gunung Anyar. Suntikan pakai vaksin buatan Tiongkok tidak terasa apa-apa. Beda dengan vaksin buatan barat yang terasa kemeng dan rada demam.

Kalau tidak salah, Indonesia belum lama ini meluncurkan vaksin merah-putih yang disebut Inavac. Justru setelah pandemi mulai mereda. Lah, kalau rakyatnya sendiri tidak mau divaksin sama sekali seperti Cak Man, mau dikemanakan vaksin buatan anak bangsa itu?