<< Ramos Petege, a Catholic man, was aggrieved at the Marriage Law's ambiguous stance on interfaith marriage after he and his Muslim partner of three years' marriage wish was annulled.
Ramos questioned Article 2 paragraphs 1 and 2 of the Marriage Law, which he believed contained legal uncertainty. Paragraph 1 states that marriage is legal if it is carried out according to the laws of one's religion and belief, while paragraph 2 states that every marriage is recorded according to the prevailing laws and regulations. >>
Itu berita lama di The Jakarta Post. Tak banyak media utama yang muat berita gugatan Ramos tentang pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi. Nikah beda agama memang dilarang di Indonesia. Alias ilegal.
Ramos dari Papua mengalaminya. Juga ratusan, mungkin ribuan pasangan lainnya. Tapi selalu ada pintu darurat untuk menyiasati kasus kawin campur yang pelik itu. Yang ilegal bisa dibuat legal.
Semua bisa diatur.. kalau mau.
Ramos Petege bukan tipe pelaku nikah beda agama yang main siasat atau akal-akalan. Maunya lurus. UU Perkawinan tahun 1974 dianggap bermasalah. Tak ada ruang untuk Ramos yang Katolik dan pasangannya yang Islam untuk diakui pernikahannya oleh negara Indonesia.
Ramos bukan orang pertama. Sudah ada beberapa orang yang gugat pasal-pasal di UU Perkawinan itu. Hasilnya ditolak semua oleh MK.
Maka, sudah bisa diduga, gugatan Ramos ditolak MK kemarin. Namun, 2 hakim konstitusi punya pendapat berbeda. Tujuh hakim konstitusi copas aja pertimbangan hukum lama untuk menolak gugatan Ramos. Intinya, nikah beda agama ilegal di Indonesia. Haram hukumnya.
Ramos malah disalahkan. Sudah tahu pacar beragama Islam kok nekat menikah beda agama? Mengapa tidak jadi mualaf? Atau mengapa pasangannya ikut agama suami saja?
Mengapa tidak nikah di Singapura saja? Atau di negara-negara lain yang hukum sipil pernikahannya sama sekali tidak dikaitkan dengan agama apa pun.
Bagaimana kalau orang Indonesia yang tidak beragama hendak menikah? Penganut agnostisme misalnya? Pelakon agama-agama asli Nusantara?
Masih banyak pertanyaan lain soal nikah beda agama yang tak akan ada habisnya. Dan, nikah beda agama ini selalu akan terjadi di negara majemuk macam Indonesia. Dan, bisa jadi akan ada gugatan lagi di masa depan.
Nikah beda agama ini juga termasuk pasangan Katolik dengan Kristen Protestan, Pentakosta, Baptis, Karismatik, Advent Hari Ketujuh, Reformed dan ratusan denominasi lainnya.
Gereja Katolik sendiri menganggap pernikahan umat Katolik dengan Protestan, Pentakosta dsb bukan beda agama, tapi beda gereja. Disparitas cultus, istilah resminya. Kalau dengan Hindu, Buddha, Islam dsb disebut mixta religio.
Di era media sosial ini kita jadi semakin tahu sikap dan pandangan gereja-gereja (bukan Katolik) soal kawin campur. Betapa kerasnya penolakan gereja-gereja protestan terhadap nikah umat Protestan dan Katolik. Keras, tajam, kasar.. seakan Katolik itu begitu buruk dan sesat.
Pendeta Stephen Tong termasuk paling keras menghantam Katolik di YouTube. Begitu juga pendeta-pendeta Protestan asal NTT di YouTube.
"Kalau ada anak muda Protestan yang pacaran dengan orang Katolik saya minta segera putussss!" kata pendeta Atock dari Kupang disambut tepuk tangan jemaat.
"Kalau Saudara kawin dengan orang Katolik nanti Saudara basuh muka saban hari dengan air mata," kata Pendeta Stephen Tong disiarkan luas di YouTube dan media sosial.
Bagaimana kalau pemuda Protestan aliran Tong GRII mau nikah dengan gadis Bethany aliran karismatik, bahasa roh, haleluyaaaa? Apakah cuci muka dengan air mata juga? Tong pasti punya penjelasan dan eksposisi panjang lebar.
Ayas jadi ingat sistem perkawinan nenek moyang Lamaholot tempo doeloe. Belum ada agama Katolik, Protestan, Islam, Buddha, Hindu, dan sebagainya. Hukum adatnya tidak rumit. Siapa saja boleh menikah asalkan sama-sama manusia, pria dan wanita.
Yang berat pasti belis atau maskawin gading gajah itu. Saking beratnya seorang laki-laki almost impossible punya lebih dari satu istri. Dan tak ada perceraian.
Ayas jadi ingat lagu lama John Lennon: Imagine that no countries... and no religion too!