Kamis, 29 September 2022

Muktamar dan Milad Partai Komunis Tiongkok

Catatan Yu Shigan selalu menarik. Sejak dulu. Pakai kalimat  pendek. Enak dibaca. Selalu ada humor. Ada kejutan. Masalah ruwet jadi sederhana. 

Kamis pagi ini, 29 September 2022, Tuan Yu menulis di blognya. Juga di koran yang bukan koran. Di Surabaya. Begini kutipannya:

"Kapan Tiongkok akan menghapus kewajiban karantina? Kelihatannya juga terkait dengan muktamar itu.

 Berarti November depan, setelah Muktamar Oktober, semua hal akan lebih longgar di Tiongkok. Termasuk karantina."

Yang menarik, bagiku, bukan kewajiban karantina di Tiongkok atau Taiwan. Kita orang sudah bosan bahas covid. Selama dua tahun lebih. Kata "muktamar" ini kejutan. Rada guyon tapi serius.

Partai komunis bikin muktamar? 

Selama ini media-media di Indonesia hanya pakai muktamar untuk ormas-ormas Islam. Seakan-akan kata "muktamar" hak eksklusif orang muslim. 

Tidak ada acara muktamar KWI atau PGI. Tidak ada muktamar ormas Buddha, Hindu, Khonghucu. Apalagi muktamar partai komunis.

Bukankah muktamar, kongres, musyawarah, pertemuan, sidang agung (gereja, biasanya).. artinya sama? Sinonim?

Memang. Tapi di Indonesia ini agak unik. Ada kata-kata tertentu yang tidak bisa dipertukarkan meskipun artinya sama atau mirip. Salah satunya ya muktamar ini.

Kata ulang tahun pun punya beberapa versi. HUT sangat umum. Ormas NU beserta onderbouw-nya selalu pakai Harlah: Hari Lahir. Jangan bilang Selamat HUT Ke-sekian NU, tapi Selamat Harlah...

Ormas Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam lain, termasuk PKS, pakai kata milad. Milad PKS, bukan HUT atau Hari Jadi PKS. 

Kelihatannya Yu Shigan mau menghapus sekat psikologis dan ideologis kata. Bahwa kata dari bahasa apa pun milik semua. Bukan milik satu agama, sekte, golongan, ormas, dsb.

Bisa jadi suatu saat Mr Yu berkunjung ke Tiananmen, Beijing, untuk menyaksikan perayaan Milad Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok. 

100 Tahun SVD di Pulau Lembata - Mengenang Tuan Bode Misionaris Penjala Nelayan Paus


Umat Katolik di Pulau Lembata, NTT, baru saja merayakan pesta syukur 100 tahun kehadiran Societas Verbi Divini (SVD) di pulau yang tempo doeloe disebut Lomblen. Kongregasi SVD inilah yang berhasil meng-Katolik-kan masyarakat Lembata satu abad lalu.

Pulau Lembata tidak jauh dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores. Cuma satu jam perjalanan laut dengan kapal cepat. Pulau Lembata tetangga dekat Pulau Adonara dan Pulau Solor. Adat istiadat, bahasa, ras dsb sama-sama Lamaholot meski ada sedikit nuansa yang beda.

Tapi rupanya pater-pater Portugis yang berkarya di Kota Reinha,  Larantuka, dulu tidak sempat mempermandikan orang Lembata. Pernah ada imam misionaris yang ke Lomblen tapi pulang karena beratnya tantangan alam, tantangan adat leluhur, hingga tantangan fisik. Nyawa pater asal Eropa jadi taruhannya.

Karena itu, Pulau Lembata sangat terlambat dapat kabar gembira pewartaan Injil. Padahal Kerajaan Larantuka di sebelah barat itu sudah diserahkan kepada Tuan Ma alias Bunda Maria pada tahun 1510.  Larantuka ini dikenal sebagai wilayah Katolik tertua di Indonesia. 

Pulau Lembata ketinggalan 400 tahun dari Larantuka kota di ujung timur Pulau Flores. 

Adalah Pater Bernard Bode SVD yang babat alas firman Allah di Pulau Lomblen (belum pakai nama  Lembata). Meski sebelumnya ada pater Jesuit alias SJ yang buka pelayanan selama 13 tahun di Lomblen. SJ mundur karena satu dan lain hal.

 Pater Bode mulai bermisi di kawasan Lamalera, kampung nelayan di pantai selatan. Orang-orang Lamalera dikenal sebagai nelayan paling berani. Biasa memburu ikan paus hingga ke perairan Australia. Tuan Bode yang asli Jerman menyapa dan berusaha menghayati kehidupan orang kampung.

Pater Lukas Jua SVD pimpinan tertinggi Provinsial SVD Ende memberikan kata sambutan dan perayaan 100 Tahun SVD di Lembata. Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong Kung yang pimpin misa agung itu.

Pater Lukas Jua SVD bercerita Pater Bernard Bode tiba di Lamalera dalam kondisi sulit. Namun masyarakat antusias menyambut sang misionaris dengan peledang, perahu khas Lamalera untuk memburu ikan paus. 

Tuan Bode juga belajar bahasa Lamaholot logat Lamalera agar bisa mengajar agama baru itu. Tuan Bode bahkan menyusun misa dalam bahasa Lamaholot. Padahal gereja-gereja di seluruh dunia masih wajib pakai bahasa Latin. Misa bahasa Latin mulai diganti bahasa-bahasa lokal setelah Konsili Vatikan II tahun 1965.

Luar biasa memang imam-imam SVD tempo doeloe. Mereka selalu jeli melihat peluang untuk bagi kabar gembira dari Tuhan Allah. Nelayan-nelayan Lamalera yang saban hari menjala ikan dijadikan penjala manusia.

"Penyebaran agama Katolik berkembang pesat di Lembata karena dibantu oleh para guru waktu itu. Luar biasa, para guru pagi mengajar di sekolah dan malam hari mengajar agama di rumah," tutur Pater Lukas Jua.

Begitulah. 

Benih-benih sabda Allah yang ditabur Tuan Bode (juga pater SJ sebelumnya) di Pulau Lembata tumbuh subur, berbunga, dan berbuah. Lalu lama-lama menggeser agama nenek moyang Lera Wulan (Matahari Bulan) yang sangat kuat di Lomblen tempo doeloe. Khususnya kampung-kampung kami di kawasan utara yang dulu lebih senang Tula Gudung, bikin ritual adat, sesaji di rumah adat, lebih percaya klenik dan dukun ketimbang pigi sembahyang di kapela atau gereja.

Sejak 1980an panggilan imam di Lomblen pun subur betul. Tuan-tuan pater dari Eropa perlahan-lahan diganti romo-romo asli Lembata atau Adonara, Solor, Flores. Pater-pater SVD asal Lembata pun tersebar ke mana-mana. Tidak saja di NTT tapi ke Bali, Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga banyak negara.

Saat mudik tahun 2019 di Lomblen alias Lembata, paroki-paroki yang pastornya SVD sudah hampir tidak ada lagi. Setahuku ya cuma di Waikomo yang jadi tempat perayaan 100 tahun SVD di Lembata itu. Sedangkan 95 persen paroki digembalakan imam-imam praja alias Reverendus Dominus (RD).

Minggu, 25 September 2022

Klinik Bersalin Santa Melania di Tambaksari Peninggalan Romo GJ Ter Veer CM Tinggal Kenangan

Saya sudah lima atau tujuh kali mampir di Bitten Coffe, Tambaksari, Surabaya. Biasanya malam hari. Namun saya baru sadar ternyata kafe tersebut berdiri di atas lahan bekas Rumah Sakit Bersalin Santa Melania.

Ada kawan lama yang bertanya apa kabar RS Melania di Tambaksari? Apakah masih ada? Saya jawab ada. Padahal sudah lama hilang tanpa jejak. Bahkan jejak digital pun tak ada. 

Rupanya bisnis rumah sakit kalah jauh dengan kafe atawa kuliner. RS Melania Tambaksari pun gulung tikar sebelum mencapai usia 100 tahun. "Rumah sakitnya rugi terus. Gak payu," kata Ayi yang punya toko di seberang eks RS Melania.

RS Bersalin Santa Melania atau Klinik St Melania cukup terkenal di kalangan warga Surabaya, khususnya Ketabang, Tambaksari, dan sekitarnya. Orang Katolik, khususnya Paroki Kristus Raja, pasti paham Klinik St Melania itu. Sebab, rumah sakit itu jadi satu bagian pelayanan dengan Paroki Ketabang alias Kristus Raja yang didirikan pada tahun 1928.

RS St Melania dibangun 1930 atau dua tahun setelah Gereja Kristus Raja berdiri. Sejak itulah RS St Melania melayani persalinan bayi-bayi di Kota Pahlawan. Sudah berapa juta bayi yang lahir di Poliklinik Melania Tambaksari mulai 1930-an sampai ditutup sebelum 2020?

Setelah poliklinik tutup buku, Yayasan Melania Sejati tampaknya lebih fokus mengurus sekolah. Yakni SDK St Melania dan TK S Anna di Jalan Pumpungan III/11.

 Energi dan SDM yayasan itu tampaknya sudah tak mampu lagi mengurus rumah sakit bersalin. Lahan yang dibeli di Tambaksari Nomor 7 oleh Romo GJ ter Veer CM selaku pastor perintis sudah beralih tangan. Bangunan klinik era kolonial Belanda dihancurkan rata tanah. Lalu dibangun kafe modern sesuai tren kekinian. 

Yang lalu biarlah berlalu... 

Jumat, 23 September 2022

Orang NTT di Rantau Wajib Punya Sarung Adat

Beberapa kawan sesama perantau asal NTT di Jawa Timur belakangan ini rajin mengunggah foto seni budaya dan adat istiadat NTT. Yang paling menonjol adalah sarung dengan motif tenun ikat.

Ada 22 kabupaten di bumi Flobamora, nama populer NTT. Setiap kabupaten punya motif berbeda. Bahkan satu kabupaten pun ada variasinya.

Motif ikat di Flores Timur contohnya. Motif Adonara agak lain dengan Solor atau Flotim daratan. Lembata, Alor, Pantar, Sumba, Sabu, Rote, dsb juga berbeda. 

"Kalau ada pertemuan keluarga besar Flobamora supaya wajib pakai pakaian daerah, sarung masing-masing kabupaten," kata teman Gabriel dari Tanjung Bunga.

"Kwatek goen take, Ama!" kata saya. (Saya tidak punya sarung.)

"Orang NTT wajib punya sarung. Apalagi orang Lamaholot seperti Anda. Pesan rae lewo (di kampung) atau beli aja kan bisa," kata kawan lama di Kenjeran itu.

Omongan Gabriel ini sudah lama. Jauh sebelum ada pandemi. Ketika masih ada Natal bersama, halalbihalal, atau acara keluarga Flobamora. Tapi kata-kata itu selalu membekas: Orang NTT wajib punya sarung adat di mana pun berada.

Kita orang yang jarang mudik ke NTT kadang kaget melihat pemandangan yang berbeda dengan di Jawa. Sebagian besar wanita ke gereja pakai sarung. Itu yang di Kupang, ibu kota NTT. Kalau di daerah macam Pulau Lembata hampir 100 persen wanita pakai sarung kalau ke gereja.

"Tidak bagus kalau pakaian ke gereja seperti jalan-jalan di mal atau tempat wisata," kata Ina Tuto dari Lembata.

𝗘𝗸𝘀 𝗦𝗲𝗸𝗼𝗹𝗮𝗵 𝗞𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗡𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗺𝘂𝗱𝗿𝗮 𝟰𝟴 𝗦𝘂𝗿𝗮𝗯𝗮𝘆𝗮 -- 𝗚𝘂𝗴𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗛𝘄𝗶𝗲 𝗧𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗞𝗮 𝗞𝗮𝗻𝗱𝗮𝘀

Bekas gedung Sekolah Kiauw Nam di Jalan Samudra 48 Surabaya masih terlihat kokoh tapi kusam. Ada plang dari Dinas Pendidikan Jawa Timur sebagai penguasa tanah dan bangunan itu. Dijadikan gudang.

Namun, masih ada 6 keluarga yang  setia menempati dan menjaga eks kantor sekolahan Tionghoa itu.  Soejati alias Soepartik dan kerabatnya tak lain keturunan pengurus Perkumpulan Hwie Tiauw Ka di Jalan Slompretan 58 Surabaya. 

Perkumpulan itu sempat menggugat negara (BPN, menteri keuangan, gubernur) agar lahan dan bangunan itu dikembalikan. Sebab tanah seluas 2.003 meter persegi itu aslinya milik Hwie Tiauw Ka alias Rukun Sekawan, perkumpulan masyarakat Hakka di Surabaya.

Ceritanya, tempo doeloe tanah di Bakmi 48 (nama lama Jalan Samudra) itu dipinjam Yayasan Kiau Nam untuk dibangun sekolah. Ketua yayasannya Chung Kho Pin, pimpinan koran Tsing Huang Daily di Jalan Bongkaran 22. Tuan Chung ini pernah jadi direktur Toko Nam yang sangat terkenal di Surabaya.

Umur sekolahan ini sangat pendek. Sekolah Kiauw Nam di Bakmi 48 ditutup pada 4 Desember 1958. Mengapa ditutup? Sudah sering dibahas di grup-grup Tionghoa.

 Biasanya sekolah-sekolah yang berkiblat ke nasionalis Tiongkok alias Kuomintang yang kena gelombang pertama pembredelan. Nanti setelah G30S giliran sekolah-sekolah Tionghoa lain yang disapu habis oleh rezim militer Orde Baru.

Pekan lalu, saya mampir ngopi di Warung Bu Partik di kompleks eks Kiauw Nam itu. Ngobrol sedikit soal sekolah itu. Bu Partik alias Soejati yang lahir tahun 1963 tentu saja tidak pernah melihat sendiri ada sekolah Kiauw Nam di situ. Tapi dia tahu dulu pernah ada Sekolah Trisila. Sekian tahun kemudian semua murid Trisila dipindahkan ke kawasan Undaan.

"Dulu ramai banget di sini. Jualan saya laku keras. Anak-anak sekolah juga sering latihan tarian, nyanyian, pokoknya kreatif banget," tutur Bu Partik yang ramah dan seneng guyon itu.

Sudah lama saya dengar ada sengketa hukum di situ. Kalau tidak salah awal 1980-an Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berjuang agar asetnya dikembalikan. Tapi mana bisa sukses di zaman Orba yang sangat anti Tionghoa?

Tahun 2019 Ali Handoyo, ketua Perkumpulan Hwie Tiauw Ka melayangkan gugatan resmi ke pengadilan. Agar lahan dan bangunan eks Sekolah Kiauw Nam (kemudian Trisila) dikembalikan ke perkumpulan. Tapi kayaknya belum hoki. 

PN Surabaya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Artinya, penguasaan aset eks Kiauw Nam School oleh Dispendik Jatim sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Saya belum baca putusan di tingkat banding. Naga-naganya agak berat untuk menang. Apalagi eks sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia sejak dulu memang diambil alih dan dikuasai negara.

Bu Partik sendiri tidak paham sengketa hukum eks Kiauw Nam. Dia lahir di situ, ibunya juga di situ, tinggal di situ, dan dari dulu sudah jadi bagian dari keluarga besar Rukun Sekawan alias Hwie Tiauw Ka meski dirinya asli Jowo, bukan Tiong Hwa.

"Dulu pernah ada beberapa orang yang minta kami untuk keluar karena bangunan ini bukan milik kami. Lah, kalau disuruh pergi lalu saya bersama anak cucu mau tinggal di mana?" kata Bu Partik.

Yo, wis!   🙏🏼🙏🏼

Jumat, 16 September 2022

Ruwatan Kampung Pecinan Kapasan dengan Dalang Tionghoa Ki Tee Boen Liong

Kampung Pecinan di Kapasan Dalam, Surabaya, bakal mengadakan sedekah bumi atawa ruwatan kampung. Mirip dengan kampung-kampung tradisional Jawa. Bedanya ruwatan di kawasan Pecinan Boen Bio itu tidak dilaksanakan pada bulan Suro.

Sedekah bumi di Kapasan Dalam selalu digelar setiap hari ke-26 bulan ke-8 penanggalan Imlek (Tionghoa). Tepatnya satu hari sebelum hari jadi Nabi Khonghucu. Jadi, ruwatan ini satu rangkaian dengan sembahyangan di Boen Bio sebagai puncak perayaan.

Seperti ruwatan di desa-desa lain, sedekah bumi di belakang Boen Bio ini selalu ada wayang kulit. Biasanya dua kali pertunjukan. Dalang yang paling sering seniman Tionghoa juga. Tee Boen Liong alias Ki Sabdo Sutedjo. 

Saya sering nonton wayang kulitnya Boen Liong awalnya karena ditugasi atasan Ibu Nany Wijaya. "Anda perlu mengangkat sisi lain sosial, budaya, religi, hingga interaksi warga Tionghoa yang harmonis dengan etnis Jawa dan Madura. Sangat unik dan menarik," kata NW.

Awalnya kagok dan bingung karena kita orang ini bukan Tionghoa. Juga bukan Jawa. Kemampuan bahasa Jawa masih terbatas. Bahasa krama inggil atau bahasa pewayangan terlalu berat bagi orang NTT yang merantau di Jawa.

Namun, kama-lama saya jadi akrab dengan Ki Boen Liong dan beberapa tokoh Kapasan. Ki Dalang Boen Liong juga kerap ditanggap untuk memeriahkan lustrum paroki-paroki di Keuskupan Surabaya. Juga dekat dengan beberapa tokoh Kapasan Dalam yang ternyata aktivis Paroki Kelsapa, Jalan Kepanjen.

"Boen Liong itu dalang yang unik. Orang Tionghoa tapi bisa mendalang, nguri-uri budaya Jawa," kata Romo Eko Budi Susilo yang juga kawan dekat Boen Liong dan para dalang wayang purwa di Surabaya. 

Saat ini Romo Eko yang asli Solo itu jadi Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya. Semacam wakil uskup. Di paroki mana pun ia bertugas, wayang kulit dan kesenian Jawa selalu ditanggap. Romo Eko juga mendorong Boen Liong untuk mengembangkan wayang wahyu.

Setelah absen dua tahun karena pandemi covid, tahun 2022 ini ruwatan kampung pecinan di Kapasan Dalam kembali diadakan. Tepatnya Rabu 21 September 2022. Ruwatan kampung Kapasan Dalam ke-126.

Saya dapat informasi ini langsung dari Ki Sabdo Sutedjo alias Tee Boen Liong. Lakonnya Semar Gedhong Kencana. Cak Dalang ditemani waranggana yang hitam manis Nyi Galuh, Nyi Angelica, dan kawan-kawan.

Ceritanya tentang apa?

"Sampean datang aja lihat langsung biar lebih jelas. Lakon ini sangat menarik," kata Boen Liong.

Rahayu! Rahayu!
Berkah Dalem!

Selasa, 13 September 2022

Hotel Slamet di Jalan Bongkaran 18 Pernah Jaya, Sekarang Tinggal Nostalgia


Masih di Jalan Bongkaran, Kelurahan Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Tidak jauh dari Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) ada Hotel Slamet. Sama-sama hotel toewa yang dibangun pada masa kolonial Belanda.

Hotel Slamet ini (mungkin) satu-satuanya hotel di Surabaya pada masa kolonial Belanda yang pakai nama bahasa Jawa. Tahun berapa didiriken ini hotel? Kita orang belum dapet informasi yang akurat.

Yang pasti, Hotel Slamet sudah eksis sejak tahun 1920-an. Sering jadi jujukan pedagang-pedagang dari berbagai kota yang berkunjung ke Surabaya. Sebab, lokasinya di Jalan Bongkaran Nomor 18 sangat strategis. Dekat Stasiun Kota atawa Semoet, Kembang Jepun, Kalimas, pusat pemerintahan di Jembatan Merah, dsb.

Iseng-iseng saya baca koran Soeara Publik edisi Djoemahat 12 Maart 1926. Tuan Oei Tjwan Seng dari Cepu menginap di Hotel Slamet, Jalan Bongkaran. Berita di koran lawas Surabaya itu berjudul "Tikus Dalem Hotel".

Intinya, Oei Tjwan Seng kehilangan uang f 300 di dalem ia punya kamer di itu hotel. "Poelangnja dari mandi, abis minoem koffie, maoe pakean, lebih doeloe raba sakoenja. Disitoe ia dapet taoe dompet berisi f 300 soedah amblas," tulis Soeara Publiek yang berkantor di Jalan Greesee 44 Soerabaia.

Dari sini bisa disimpulkan Hotel Slamet sudah ada sejak awal 1920-an. Dan, yang menarik, pemiliknya baba Tionghoa bernama Ho Tik Tjwan. Nama Baba Ho ini juga ditulis di buku telepon Soerabaia tahun 1937 sebagai eigenaar (baca: eikhnar) alias pemilik alias owner Hotel Slamet.

Seperti Hotel Liberty di sebelahnya, Hotel Slamet ini tidak begitu terkenal di Surabaya. Tidak banyak orang tahu kecuali warga yang tinggal di kawasan Surabaya Utara. Yang lebih tahu justru pedagang-pedagang atau masyarakat dari luar Jawa yang dulu biasa berpegian dengan kapal laut lalu sandar di Dermaga Kalimas atau Tanjung Perak.

Setelah kemerdekaan Hotel Slamet terus berkibar. Tidak perlu ganti nama macam Hotel Liberty jadi Merdeka atau Hotel Oranje jadi Majapahit. Bangunan hotel pun diperluas hingga ke belakang. Tentu saja karena pelanggan alias tamunya terus meningkat.

Puncak kejayaan Hotel Slamet ini tahun 1980-an. "Tahun 1990-an sudah sulit. Dan itu bukan hanya Slamet tapi juga Merdeka dan hotel-hotel lain di kawasan Bongkaran, Slompretan, Bakmi (Samudra), Pasar Atoom," kata Cak Slamet, mantan redaktur Jawa Pos di Kembang Jepun - tidak jauh dari Jalan Bongkaran.

Cak Slamet bilang doeloe di Jalan Bongkaran ada banyak hotel kelas melati semacam Hotel Slamet dan Hotel Merdeka. Jalan Bongkaran ada 4 atau 5 hotel. Slompretan juga lebih dari 3. Jalan Bakmi alias Samudra lebih dari 3 juga. Di Kembang Jepun pun ada 3 atau 4 hotel.

"Kalau ditotal bisa lebih dari 20 hotel di kawasan pecinan aja. Itu belum termasuk hotel-hotel di Kapasan, Cantian, Nyamplungan, Ampel, dsb," kata Cak Slamet yang dikenal sebagai gurunya sebagian besar redaktur media cetak di Surabaya.

The glory is over!

Tahun 1990-an bisnis perhotelan di kota lama (Surabaya Utara) terus melesu. Eigenaar alias para juragan makin tua. Anak-anak mereka memilih bisnis lain atau jadi akademisi atau pigi kuliah dan kerja di luar negeri. Manajemen hotel tidak sebagus ketika para siansen itu masih muda dan kuat.

"Hotel Slamet ini sudah lama tutup. Sudah puluhan tahun," kata Cak Mat. Orang Madura ini sudah lama (10 tahun lebih) jadi penjaga bekas Hotel Slamet.

Sejak tahun berapa ditutup? 

"Wah, gak tau saya. Pokoknya sudah lamaaa. Jauh sebelum saya di sini," katanya.

Setelah berhenti beroperasi, Hotel Slamet pernah disewa baba Tionghoa dan keluarganya. Dijadikan rumah tinggal sekaligus bisnis katering. Jualan favoritnya daging babi. "Orangnya dekat sama pemilik sehingga sewanya murah. Dari awal cuma Rp 25 ribu dan  tidak pernah dinaikkan sampai orang itu keluar," kata Cak Mat sambil tersenyum.

Baba yang sewa ini pun makin tua dan rapuh. Cabut dari eks hotel tua itu. Lalu datanglah Cak Mat bersama istri dan anaknya yang jadi penunggu. Sampai sekarang. (*)