Jumat, 23 September 2022

𝗘𝗸𝘀 𝗦𝗲𝗸𝗼𝗹𝗮𝗵 𝗞𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗡𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗺𝘂𝗱𝗿𝗮 𝟰𝟴 𝗦𝘂𝗿𝗮𝗯𝗮𝘆𝗮 -- 𝗚𝘂𝗴𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗛𝘄𝗶𝗲 𝗧𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗞𝗮 𝗞𝗮𝗻𝗱𝗮𝘀

Bekas gedung Sekolah Kiauw Nam di Jalan Samudra 48 Surabaya masih terlihat kokoh tapi kusam. Ada plang dari Dinas Pendidikan Jawa Timur sebagai penguasa tanah dan bangunan itu. Dijadikan gudang.

Namun, masih ada 6 keluarga yang  setia menempati dan menjaga eks kantor sekolahan Tionghoa itu.  Soejati alias Soepartik dan kerabatnya tak lain keturunan pengurus Perkumpulan Hwie Tiauw Ka di Jalan Slompretan 58 Surabaya. 

Perkumpulan itu sempat menggugat negara (BPN, menteri keuangan, gubernur) agar lahan dan bangunan itu dikembalikan. Sebab tanah seluas 2.003 meter persegi itu aslinya milik Hwie Tiauw Ka alias Rukun Sekawan, perkumpulan masyarakat Hakka di Surabaya.

Ceritanya, tempo doeloe tanah di Bakmi 48 (nama lama Jalan Samudra) itu dipinjam Yayasan Kiau Nam untuk dibangun sekolah. Ketua yayasannya Chung Kho Pin, pimpinan koran Tsing Huang Daily di Jalan Bongkaran 22. Tuan Chung ini pernah jadi direktur Toko Nam yang sangat terkenal di Surabaya.

Umur sekolahan ini sangat pendek. Sekolah Kiauw Nam di Bakmi 48 ditutup pada 4 Desember 1958. Mengapa ditutup? Sudah sering dibahas di grup-grup Tionghoa.

 Biasanya sekolah-sekolah yang berkiblat ke nasionalis Tiongkok alias Kuomintang yang kena gelombang pertama pembredelan. Nanti setelah G30S giliran sekolah-sekolah Tionghoa lain yang disapu habis oleh rezim militer Orde Baru.

Pekan lalu, saya mampir ngopi di Warung Bu Partik di kompleks eks Kiauw Nam itu. Ngobrol sedikit soal sekolah itu. Bu Partik alias Soejati yang lahir tahun 1963 tentu saja tidak pernah melihat sendiri ada sekolah Kiauw Nam di situ. Tapi dia tahu dulu pernah ada Sekolah Trisila. Sekian tahun kemudian semua murid Trisila dipindahkan ke kawasan Undaan.

"Dulu ramai banget di sini. Jualan saya laku keras. Anak-anak sekolah juga sering latihan tarian, nyanyian, pokoknya kreatif banget," tutur Bu Partik yang ramah dan seneng guyon itu.

Sudah lama saya dengar ada sengketa hukum di situ. Kalau tidak salah awal 1980-an Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berjuang agar asetnya dikembalikan. Tapi mana bisa sukses di zaman Orba yang sangat anti Tionghoa?

Tahun 2019 Ali Handoyo, ketua Perkumpulan Hwie Tiauw Ka melayangkan gugatan resmi ke pengadilan. Agar lahan dan bangunan eks Sekolah Kiauw Nam (kemudian Trisila) dikembalikan ke perkumpulan. Tapi kayaknya belum hoki. 

PN Surabaya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Artinya, penguasaan aset eks Kiauw Nam School oleh Dispendik Jatim sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Saya belum baca putusan di tingkat banding. Naga-naganya agak berat untuk menang. Apalagi eks sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia sejak dulu memang diambil alih dan dikuasai negara.

Bu Partik sendiri tidak paham sengketa hukum eks Kiauw Nam. Dia lahir di situ, ibunya juga di situ, tinggal di situ, dan dari dulu sudah jadi bagian dari keluarga besar Rukun Sekawan alias Hwie Tiauw Ka meski dirinya asli Jowo, bukan Tiong Hwa.

"Dulu pernah ada beberapa orang yang minta kami untuk keluar karena bangunan ini bukan milik kami. Lah, kalau disuruh pergi lalu saya bersama anak cucu mau tinggal di mana?" kata Bu Partik.

Yo, wis!   🙏🏼🙏🏼

Jumat, 16 September 2022

Ruwatan Kampung Pecinan Kapasan dengan Dalang Tionghoa Ki Tee Boen Liong

Kampung Pecinan di Kapasan Dalam, Surabaya, bakal mengadakan sedekah bumi atawa ruwatan kampung. Mirip dengan kampung-kampung tradisional Jawa. Bedanya ruwatan di kawasan Pecinan Boen Bio itu tidak dilaksanakan pada bulan Suro.

Sedekah bumi di Kapasan Dalam selalu digelar setiap hari ke-26 bulan ke-8 penanggalan Imlek (Tionghoa). Tepatnya satu hari sebelum hari jadi Nabi Khonghucu. Jadi, ruwatan ini satu rangkaian dengan sembahyangan di Boen Bio sebagai puncak perayaan.

Seperti ruwatan di desa-desa lain, sedekah bumi di belakang Boen Bio ini selalu ada wayang kulit. Biasanya dua kali pertunjukan. Dalang yang paling sering seniman Tionghoa juga. Tee Boen Liong alias Ki Sabdo Sutedjo. 

Saya sering nonton wayang kulitnya Boen Liong awalnya karena ditugasi atasan Ibu Nany Wijaya. "Anda perlu mengangkat sisi lain sosial, budaya, religi, hingga interaksi warga Tionghoa yang harmonis dengan etnis Jawa dan Madura. Sangat unik dan menarik," kata NW.

Awalnya kagok dan bingung karena kita orang ini bukan Tionghoa. Juga bukan Jawa. Kemampuan bahasa Jawa masih terbatas. Bahasa krama inggil atau bahasa pewayangan terlalu berat bagi orang NTT yang merantau di Jawa.

Namun, kama-lama saya jadi akrab dengan Ki Boen Liong dan beberapa tokoh Kapasan. Ki Dalang Boen Liong juga kerap ditanggap untuk memeriahkan lustrum paroki-paroki di Keuskupan Surabaya. Juga dekat dengan beberapa tokoh Kapasan Dalam yang ternyata aktivis Paroki Kelsapa, Jalan Kepanjen.

"Boen Liong itu dalang yang unik. Orang Tionghoa tapi bisa mendalang, nguri-uri budaya Jawa," kata Romo Eko Budi Susilo yang juga kawan dekat Boen Liong dan para dalang wayang purwa di Surabaya. 

Saat ini Romo Eko yang asli Solo itu jadi Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya. Semacam wakil uskup. Di paroki mana pun ia bertugas, wayang kulit dan kesenian Jawa selalu ditanggap. Romo Eko juga mendorong Boen Liong untuk mengembangkan wayang wahyu.

Setelah absen dua tahun karena pandemi covid, tahun 2022 ini ruwatan kampung pecinan di Kapasan Dalam kembali diadakan. Tepatnya Rabu 21 September 2022. Ruwatan kampung Kapasan Dalam ke-126.

Saya dapat informasi ini langsung dari Ki Sabdo Sutedjo alias Tee Boen Liong. Lakonnya Semar Gedhong Kencana. Cak Dalang ditemani waranggana yang hitam manis Nyi Galuh, Nyi Angelica, dan kawan-kawan.

Ceritanya tentang apa?

"Sampean datang aja lihat langsung biar lebih jelas. Lakon ini sangat menarik," kata Boen Liong.

Rahayu! Rahayu!
Berkah Dalem!

Selasa, 13 September 2022

Hotel Slamet di Jalan Bongkaran 18 Pernah Jaya, Sekarang Tinggal Nostalgia


Masih di Jalan Bongkaran, Kelurahan Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Tidak jauh dari Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) ada Hotel Slamet. Sama-sama hotel toewa yang dibangun pada masa kolonial Belanda.

Hotel Slamet ini (mungkin) satu-satuanya hotel di Surabaya pada masa kolonial Belanda yang pakai nama bahasa Jawa. Tahun berapa didiriken ini hotel? Kita orang belum dapet informasi yang akurat.

Yang pasti, Hotel Slamet sudah eksis sejak tahun 1920-an. Sering jadi jujukan pedagang-pedagang dari berbagai kota yang berkunjung ke Surabaya. Sebab, lokasinya di Jalan Bongkaran Nomor 18 sangat strategis. Dekat Stasiun Kota atawa Semoet, Kembang Jepun, Kalimas, pusat pemerintahan di Jembatan Merah, dsb.

Iseng-iseng saya baca koran Soeara Publik edisi Djoemahat 12 Maart 1926. Tuan Oei Tjwan Seng dari Cepu menginap di Hotel Slamet, Jalan Bongkaran. Berita di koran lawas Surabaya itu berjudul "Tikus Dalem Hotel".

Intinya, Oei Tjwan Seng kehilangan uang f 300 di dalem ia punya kamer di itu hotel. "Poelangnja dari mandi, abis minoem koffie, maoe pakean, lebih doeloe raba sakoenja. Disitoe ia dapet taoe dompet berisi f 300 soedah amblas," tulis Soeara Publiek yang berkantor di Jalan Greesee 44 Soerabaia.

Dari sini bisa disimpulkan Hotel Slamet sudah ada sejak awal 1920-an. Dan, yang menarik, pemiliknya baba Tionghoa bernama Ho Tik Tjwan. Nama Baba Ho ini juga ditulis di buku telepon Soerabaia tahun 1937 sebagai eigenaar (baca: eikhnar) alias pemilik alias owner Hotel Slamet.

Seperti Hotel Liberty di sebelahnya, Hotel Slamet ini tidak begitu terkenal di Surabaya. Tidak banyak orang tahu kecuali warga yang tinggal di kawasan Surabaya Utara. Yang lebih tahu justru pedagang-pedagang atau masyarakat dari luar Jawa yang dulu biasa berpegian dengan kapal laut lalu sandar di Dermaga Kalimas atau Tanjung Perak.

Setelah kemerdekaan Hotel Slamet terus berkibar. Tidak perlu ganti nama macam Hotel Liberty jadi Merdeka atau Hotel Oranje jadi Majapahit. Bangunan hotel pun diperluas hingga ke belakang. Tentu saja karena pelanggan alias tamunya terus meningkat.

Puncak kejayaan Hotel Slamet ini tahun 1980-an. "Tahun 1990-an sudah sulit. Dan itu bukan hanya Slamet tapi juga Merdeka dan hotel-hotel lain di kawasan Bongkaran, Slompretan, Bakmi (Samudra), Pasar Atoom," kata Cak Slamet, mantan redaktur Jawa Pos di Kembang Jepun - tidak jauh dari Jalan Bongkaran.

Cak Slamet bilang doeloe di Jalan Bongkaran ada banyak hotel kelas melati semacam Hotel Slamet dan Hotel Merdeka. Jalan Bongkaran ada 4 atau 5 hotel. Slompretan juga lebih dari 3. Jalan Bakmi alias Samudra lebih dari 3 juga. Di Kembang Jepun pun ada 3 atau 4 hotel.

"Kalau ditotal bisa lebih dari 20 hotel di kawasan pecinan aja. Itu belum termasuk hotel-hotel di Kapasan, Cantian, Nyamplungan, Ampel, dsb," kata Cak Slamet yang dikenal sebagai gurunya sebagian besar redaktur media cetak di Surabaya.

The glory is over!

Tahun 1990-an bisnis perhotelan di kota lama (Surabaya Utara) terus melesu. Eigenaar alias para juragan makin tua. Anak-anak mereka memilih bisnis lain atau jadi akademisi atau pigi kuliah dan kerja di luar negeri. Manajemen hotel tidak sebagus ketika para siansen itu masih muda dan kuat.

"Hotel Slamet ini sudah lama tutup. Sudah puluhan tahun," kata Cak Mat. Orang Madura ini sudah lama (10 tahun lebih) jadi penjaga bekas Hotel Slamet.

Sejak tahun berapa ditutup? 

"Wah, gak tau saya. Pokoknya sudah lamaaa. Jauh sebelum saya di sini," katanya.

Setelah berhenti beroperasi, Hotel Slamet pernah disewa baba Tionghoa dan keluarganya. Dijadikan rumah tinggal sekaligus bisnis katering. Jualan favoritnya daging babi. "Orangnya dekat sama pemilik sehingga sewanya murah. Dari awal cuma Rp 25 ribu dan  tidak pernah dinaikkan sampai orang itu keluar," kata Cak Mat sambil tersenyum.

Baba yang sewa ini pun makin tua dan rapuh. Cabut dari eks hotel tua itu. Lalu datanglah Cak Mat bersama istri dan anaknya yang jadi penunggu. Sampai sekarang. (*)

Minggu, 11 September 2022

Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) di Dikepung Hotel Modern di Bongkaran


Di kawasan kota lama Surabaya tempo doeloe ada banyak hotel. Tapi yang bertahan sampai 2022 ini bisa dihitung dengan jari sebelah. Mungkin tidak sampai 5 biji.

Salah satu hotel tua itu Hotel Merdeka di Jalan Bongkaran 6. Kawasan pecinan lama yang tempo doeloe penuh dengan kantor kongsi dagang baba-baba Tionghoa. Bangunan hotel itu lebih mirip rumah besar khas juragan kaya.

 Orang-orang lama juga lebih sering menyebut losmen ketimbang hotel. Sampai sekarang pun masih ada tulisan kecil "losmen" di papan nama Hotel Merdeka.

"Sudah ada sejak zaman dulu. Mungkin sejak zaman Belanda," kata seorang pegawai Hotel Merdeka belum lama ini. Ia tidak punya catatan kapan bangunan itu didirikan.

Merujuk ke buku Penundjuk Telepon Surabaja tahun 1950-an, hotel di Jalan Bongkaran 6 ini punya nama Hotel Liberty. Pemiliknya Baba Tan Siauw Tjong. 

Hotel Liberty kemudian ganti nama jadi Hotel Merdeka. Ini sejalan dengan gelombang nasionalisasi yang riuh di awal kemerdekaan. Semua istilah asing yang berbau kolonial, Oldefo, diganti dengan kata Indonesia. Liberty ya Merdeka!

Istilah "kakus" yang sudah lama hilang dari lema pembicaraan orang Indonesia modern pun masih dipakai. Hotel Merdeka tidak pakai kata "toilet" yang terasa lebih modern dan keren. Kakus mengingatkan saya pada MCK (mandi, cuci, kakus) di pelosok NTT sana.

Baba Tan konon membuat Hotel Liberty dengan suasana rumahan.  Maka di daftar tempo doeloe ada keterangan: Liberty, Hotel & Pension.

Namanya juga losmen atawa hotel melati, tarif Hotel Merdeka ini relatif murah. Jauh lebih murah ketimbang hotel baru bintang tiga di depan dan belakang si Merdeka itu. Tak heran, cukup banyak tamu dari luar pulau memanfaatkan hotel ini ketika bertugas di Surabaya. 

Kamis, 08 September 2022

Gedung Kong Siauw Hwee Kwan (KSHK) di Jalan Bongkaran 63 Surabaya

Di Jalan Bongkaran 63 Surabaya ada gedung tua yang masih terawat. Gedung Karya Surya Harapan Kesejahteraan (KSHK). Nama aslinya dalam bahasa Tionghoa: Kong Siauw Hwee Kwan (KSHK).

Rezim Orde Baru (1966-1998) memang melarang orang Tionghoa pakai bahasa Tionghoa di ruang publik. Nama-nama orang Tionghoa pun perlu dinusantarakan. Maka orang Tionghoa ganti nama atau istilah bahasa Tionghoa tapi sedapat mungkin singkatannya tetap sama.

Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) diganti jadi Taman Harapan Hari Kemudian. Sekolah THHK atawa Taman Harapan ini cukup terkenal di Malang. Dekat balai kota.

Kembali ke KSHK di  Bongkaran 63. Dulu saya sering diajak Liem Ou Yen (almarhum) untuk melihat latihan wushu dan barongsai. Lalu ciak bareng bersama para pengurus barongsai di ITC.

Ciak enak banget.. ada menu halal dan ada yang tidak. Lebih banyak yang doyan B2. Cerita panjang lebar tentang apa saja. "Makan pelan-pelan.. dan kenyang," kata Liem Ou Yen, juru bicara pengusaha Tionghoa di Surabaya.

KSHK ini punya sasana barongsai, wushu, liang liong, dan bela diri berbau Tiongkok lainnya. Dikenal dengan nama Lima Naga. Atlet-atlet barongsai dan wushu terbaik di Surabaya (dan Jatim) kebanyakan dari Lima Naga.

Bosnya Candra Wurianto Woo, pengusaha bermarkas di Jalan Karet. Sekaligus jadi markas organisasi barongsai Indonesia alias Persobarin.

Sudah lama saya tidak ciak dengan para pentolan KSHK. Bapak Liem Ou Yen alias Djono Antowijono pun meninggal dunia gara-gara covid varian delta. Saya kehilangan seorang tokoh yang paling informatif dan bersemangat soal seluk beluk Tionghoa di Surabaya.

Rabu 8 September 2022, saya melintas di depan gedung KSHK di Jalan Bongkaran. Gedungnya sudah dicat bagus lagi setelah sempat suram gara-gara pandemi. Jalanan pun macet lagi. Pertanda roda ekonomi di Bongkaran, Slompretan, Sambongan, dan sekitarnya berputar normal lagi.. meski harga BBM naik.

Rabu, 07 September 2022

𝗧𝗵𝗲 𝗧𝗵𝘄𝗮𝗻 𝗧𝗷𝗶𝗼𝗲 𝗧𝗼𝗸𝗼𝗵 𝗧𝗶𝗼𝗻𝗴𝗵𝗼𝗮 𝗱𝗶 𝗦𝗶𝗱𝗼𝗮𝗿𝗷𝗼 𝗗𝗶𝗿𝗶𝗸𝗲𝗻 𝗧𝗼𝗸𝗼 𝗪𝗮𝗻𝗰𝘂 (𝗥𝗲𝗱𝗷𝗼) 𝗧𝗮𝗼𝗲𝗻 𝟭𝟵𝟯𝟯

Pekan lalu saya mampir lagi ke Toko Wancu alias Toko Redjo di Jalan Gajah Mada, Sidoarjo. Persis di depan eks Sekolah Tionghoa yang kini jadi sentra kuliner. Toko Wancu masih seperti yang dulu. 

Saya beli minyak gosok. Iseng aja. Aslinya cuma nostalgia. Mengenang almarhum Haryadjie BS, pelukis senior Sidoarjo yang biasa disapa Bambang Thelo atau Mbah Tekek. Haryadjie memang paling suka melukis tokek dan kucing.

Mbah Bambang Thelo inilah yang pertama kali mengajak saya ke Toko Wancu. Dia fanatik betul dengan toko khas Tionghoa tempo doeloe.

 "Saya kalau belanja pasti ke Wancu. Barang-barang yang kami butuhkan ada semua. Rasanya lain belanja di Wancu dengan di minimarket," kata pentolan Dewan Kesenian Sidoarjo itu.

Maklum, Bambang Thelo ini orang lawas. Ia poenja selera matjam oma opa tempo doeloe. Ia juga sering omong-omong pake bahasa Melajoe tempo doeloe matjam ini. Lama-lama kita orang djadi terbiasa. 😀

Bambang Thelo yang memang senang sejarah lalu cerita sedikit riwayat itu Toko Wancu. Intinya, tempo doeloe ada juragan Tionghoa bernama Wancu bangun toko untuk cari nafkah layaknya pedagang-pedagang Tionghoa lainnya.

"Tapi beliau bisa mempertahankan model tokonya sampai hari ini. Toko-toko lain di Gajah Mada dan sekitarnya sudah berubah. Itulah hebatnya Wancu," ujar Bambang Thelo.

Siapa gerangan engkong bernama Wancu itu?

Tidak lain The Thwan Tjioe (baca: Wancu). Wartawan Jawa Pos era Kembang Jepun Basuki Soedjatmiko menyebut The Thwan Tjioe sebagai salah satu tokoh terkemuka Tionghoa di Sidoarjo. Aktif di organisasi masyarakat Tionghoa.

Pak Wancu juga beberapa kali jadi ketua Kelenteng Tjong Hok Kiong Sidoarjo di Jalan Hang Tuah. 

Effendy Tedjokusumo menulis:

"Beliau dipenjara dan 'digebuki' penjajah Jepang. Sehingga sesudah itu, beliau menderita radang paru-paru (batuk darah) dan sakit-sakitan. Sehingga akhirnya harus mengasoh, dan selanjutnya beliau aktif dalam kepengurusan di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Sidoarjo, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai ketua."

Toko Wancu sendiri berdiri sejak tahun 1933. Tidak mudah tentu saja untuk mempertahankan toko lawas ini di tengah gempuran supermarket, minimarket, dan ritel-ritel modern.

"Uniknya, kalau orang-orang lama Sidoarjo ke toko, mereka selalu pesan jangan diubah-ubah. Nuansa toko kuno yang jual segala, yang berkesan morat-marit ini, supaya dipertahankan," kata Effendy. 

Langgar Tua di Balongbendo, Jejak Haji Laut di Zaman Belanda

Cukup banyak bangunan tua era kolonial di kawasan Balongbendo, Sidoarjo. Maklum, tempo doeloe ada Pabrik Gula (PG) Balongbendo, kemudian pabrik tekstil Ratatex yang terkenal. 

Kampung di pinggir Sungai Brantas juga pernah jadi pusat perdagangan yang sibuk. Jejaknya masih terlihat di Passer  Soeroengan (Pasar Surungan), Desa Penambangan, Balongbendo.

Akhir pekan lalu saya mampir ke dekat Pasar Surungan itu. Ngobrol di Omah Belanda, salah satu bangunan tempo doeloe yang menonjol di Penambangan. Ditemani Bung Taufik dan Mbak Rita pemilik rumah tua itu.

Mbah buyut Taufik dulu memang saudagar hasil bumi, palawija, yang kondang di Balongbendo. Ia membeli Omah Londo itu dari pedagang Tionghoa. Rumah itu sempat rusak berat tahun 1970-an. Kemudian direstorasi. Jadi bagus lagi.

Di samping rumah lawas itu ada langgar (mushala) keluarga. Mbah buyut Taufik ini orang Tionghoa yang beragama Islam. "Beliau yang bangun itu langgar," kata pensiunan karyawan IPTN di Bandung itu.

Kapan langgar itu dibangun? 

Taufik tidak punya catatan tahunnya. Hanya saja, mereka sudah empat generasi di pinggir Kali Brantas itu. Artinya, tahun 1800-an. "Rumah aslinya tidak ada langgar karena pemilik rumah bukan muslim," katanya.

Mbah buyut Bung Taufik pigi naik haji ke Makkah beberapa kali pada masa kolonial Belanda. Pakai kapal laut tentu saja. Lamaaa sekali.. bisa enam bulan pergi pulang. 

Nah, sebagai ungkapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sepulang haji beliau membangun itu langgar di samping rumah. Selain dipakai sendiri, sekaligus untuk tempat sembahyang pekerja-pekerja yang cukup banyak.

"Sampai sekarang masih dipakai salat warga di sini," kata Taufik.

Bisa jadi langgar di Penambangan, Balongbendo, ini merupakan salah satu "monumen" Haji Laut di Kabupaten Sidoarjo. Lebih unik lagi karena Abah Haji yang bangun itu langgar ternyata orang Muslim Tionghoa. Artinya, sudah lama ada orang Tionghoa yang beragama Islam di Sidoarjo. (*)