Rabu, 29 Juni 2022

Komodo di Surabaya vs Komodo di NTT

Banyak sekali kawan-kawan asal NTT yang khawatir komodo tidak lagi jadi satwa andalan utama NTT. Padahal sejak jadi provinsi sendiri, tahun 1958, komodo jadi ikon dan logo NTT.

Komodo itu kita punya. Kalau komodo ada juga di daerah lain, lalu kita orang andalkan apa untuk pariwisata, begitu keluhan di grup-grup media sosial NTT.

Komentar itu muncul setelah Kebun Binatang Surabaya (KBS) sukses menangkar komodo. Saat ini ada 134 ekor komodo di Surabaya. Jumlahnya tentu akan bertambah karena penangkaran di KBS jalan terus.

Belum lama ini  ada 29 ekor bayi komodo yang baru menetas di KBS dari 40 telur. Keberhasilan mencapai 70 sampai 80 persen di Surabaya. Itu karena cuaca Surabaya yang panas agak mirip Pulau Komodo, habitat asli komodo di NTT.

Kita akan bikin wisata komodo di KBS. Jadi, wisatawan bisa menikmati satwa komodo di Surabaya. Tidak perlu jauh-jauh ke Pulau Komodo, kata seorang dokter hewan di KBS.

Keberhasilan KBS dalam bidang perkomodoan ini patut diapresiasi. Kita orang perlu angkat topi untuk para penangkar di Surabaya. Komodo yang dari dulu disebut-sebut terancam punah kita bisa selamat.

Bukan apa-apa. Di habitat asalnya di NTT perkembangbiakan komodo tidak sehebat di KBS. Belum lagi masalah makanan di hutan belukar yang makin lama makin langka. Belum lagi stres lantaran banyaknya wisatawan yang datang untuk melihat langsung kehidupan komodo di Pulau Komodo.

Kalau tren ini masih berlanjut lama-lama populasi komodo di Surabaya bakal mengalahkan Pulau Komodo. Apakah mungkin komodo KBS dilepas liar di Pulau Komodo? Para dokter hewan penangkar komodo tentu lebih paham.

Yang pasti, wisata komodo di KBS dan wisata komodo di Pulau Komodo tentu berbeda meski sama-sama melihat komodo. Sama dengan melihat panda, kuda nil, jerapah, onta di KBS tentu nikmatnya berbeda dengan di habitat aslinya.

Selasa, 28 Juni 2022

Orang Tionghoa Dojan Sekali dengen Pesta-Pesta

Oleh Nio Joe Lan, Batavia

Januari 1936

ORANG Tionghoa memang soeda
terkenal sebagi satoe bangsa jang dojan sekali dengen pesta-pesta. Dan pesta-pesta Tionghoa tida koerang terkenalnja boeat iapoenja gilang-goemilang dan djoega... telan banjak ongkos, sebagi kasoedahannja itoe!

Boeat merajahken pesta kawin, karamean sering diadaken doea hari lamanja, jaitoe ada hari-kawin dan satoe hari di moeka, jang di Batavia dikenal dengen nama "hari potong ajam".

Tida oesah dibilang lagi, karepoton soeda moelai sadjek banjak hari di moeka itoe pesta, boleh dibilang satoe minggoe sabelon itoe
pesta, dan barangkali ada djoega koelawarga-koelawarga, jang lebih dari satoe minggoe di moeka itoe perajahan soeda repot boeat atoer ini dan itoe.

Meliat begitoe banjak tenaga dan kringet boeat oewang djangan dibitjaraken lagi! — jang dikaloearken aken itoe, boekan tida ada di tempatnja boeat orang menanja: Apakah goenanja itoe semoea?
Ia apakah goenanja itoe semoea?

Zonder adanja itoe semoea katjapean, jang menikah toch bisa menikah, dan perkawinannja toch tetap sah!

Dan apa hasilnja? Tida lebih dari lelah dan mengantoek seabisnja merajahken pesta, batja: sasoedanja menjamboet dan merawat tetamoe-tetamoe satoe atawa doea kali dari pagi hari sampe djaoe tengah malem!

Apakah kaloe orang tida kadekak-kadekoek dan mandi kringet satoe atawa doea hari, orang tida bisa adaken satoe pesta pernikahan dengen tjoekoep baek?

Ini ada harganja boeat orang timbang!

Djoega di dalem satoe pesta, sebagimana jang oepamanja orang Tionghoa di Batavia biasa rajahken, jang rame, brisik, penoe orang
wara-wiri kaloear-masoek, enz., apakah orang bisa rasaken satoe soemanget jang ada oendjoek soetjinja itoe perajahan, satoe gewijdesfeer berhoeboeng dengen — oepamanja di dalem pesta pernikahan — bertemoenja doea pengidoepan moeda satoe sama laen jang moelai itoe hari telah berdjandji aken bersama-sama pikoel dan membagi kasenangan dan kasengsarahan?

Satoe soemanget demikian tida ada terasa, bisa djadi sebab kaget dan kaboer lantaran keadahan jang begitoe "rame" dalem itoe
pesta!

Tida heran, kerna itoe gewijdesfeer, itoe sifat jang oendjoek agoeng dan soetjinja itoe perajahan tida ada, perna kadjadian jang orang pelantjongan dari loear negri jang liwat di satoe straat dimana ada dirajahken pesta demikian, kira marika sedeng berhadepan dengen satoe restaurant brikoet dancing, dan lantas masoek sambil treaken djongos boeat...... bawa bier!

Kaloe kita kamoekaken itoe sifat kasoetjian perajahan terseboet dan taro di sabelah blakang itoe kainginan boeat rame-rame, satoe
kakliroean demikian, jang moesti dibilang soeda terbit dari persamahan jang mirip sekali dari pesta-pesta, kita dengen restaurant annex dancing, nistjaja tida nanti bisa kadjadian.

Maka baek sekali orang berichtiar boeat robah pesta-pesta kita, soepaja djadi terlebih saderhana, jalah tida begitoe rame alias brisik dan riboet, dan soepaja sifatnja jang aseli lebih teroetama kasabelah loear.

Djoega sama sekali tida ada kaperloeannja boeat orang rajahken pesta dari pagi moeiai matahari kaloear sampe djaoe malem dan sang ajam ampir berkroejoekan. Itoe semoea ada ballast sadja, jang bisa dilemparken zonder meroegiken cachet dari itoe perajahan.

Kaloe orang hendak adaken pesta makan, apakah itoe tida bisa diatoer zonder satoe perajahan jang berdjalan begitoe lama dan
jang begitoe menjapeken badan? Jalah oepama adaken sadja di waktoe malem antara djam 7 dan 9, dan lantas finis.

Lebih netjes lagi, kaloe orang tjoema adaken penerimahan tetamoe sadja, satoe receptie, di antara djam-djam terseboet atawa terlebih siang, dengen disadjiken sedikit minoeman dan dedaharan. Dengen begini orang tida djadi terlaloe tjape, tida kaloearken terlaloe banjak ongkos dan ada bersifat terlebih tjotjok dengen djenis dari itoe perajahan.

Djoega dengen theehwee orang bisa rajahken pesta dengen pantes, netjes dan agoeng, zonder banjak pernak-pernik dan zonder orang moesti terlaloe seksa badan jang kasoedahannja masi terasa berhari-hari sasoedanja pesta liwat!

Taon-taon saling ganti. Tapi systeem perajahan pesta kita masi selaloe belon berobah, dan masi sama kolotnja seperti bebrapa poeloe, taoen jang laloe!

Aliran djeman kaliatannja koerang koeat boeat bawa mengalir pergi kakoenohannja pesta-pesta Tionghoa. Kerna sekarang kombali ampir toekar taon, ada baek orang timbang ini dan pilih jang paling tjotjok dan netjes boeat dipake boeat di hari-hari jang medatengin!

Sabtu, 25 Juni 2022

Flores itu ada di Batak

Sekitar satu jam lalu ada mas-mas bertanya kepada saya di warung kopi kawasan Trawas, Mojokerto. "Sampean dari mana?"

"Dari Sidoarjo. Tidak jauh dari Bandara Juanda."

Saya tahu bukan jawaban itu yang ia minta. Sebab ia sudah yakin saya bukan wong Jowo. Bukan asli Surabaya atau Sidoarjo.

"Aslinya dari mana?"

"Jauh dari sini. Daerah Flores."

"Oh, Flores itu di Batak ya?"

"Batak di Pulau Sumatera. Pulau Flores di NTT."

"Ya iya.. Flores itu ya Batak. Logatnya hampir sama."

Flores kok di Batak? Jauh sekali. Tapi mas berumur di bawah 50 tahun itu tetap yakin bahwa Flores itu masih dekat-dekat dengan Batak. Padahal aslinya Flores itu di sebelah timur Pulau Sumbawa NTB.

Sudah sangat biasa saya mendengar pendapat macam ini di Jawa. Pulau-pulau kecil macam Flores, Sumba, Timor tidak dikenal sama sekali meski mungkin dulu diajarkan di ilmu bumi atawa geografi.

Flores, pulau besar di NTT, saja tidak dikenal. Apalagi pulau kecil-kecil macam Lembata, Adonara, Solor, Alor, Pantar, Sabu, Rote, Raijua dsb. Karena itu, saya selalu mengaku berasal dari Flores ketika ditanya orang Jawa di Pulau Jawa meski lebih tepat Lembata.

Orang Adonara atau Solor di Jawa Timur pun selalu ngaku dari Flores. Ada benarnya juga karena Pulau Adonara dan Pulau Solor ikut Kabupaten Flores Timur. Dulu, sebelum reformasi, Pulau Lembata pun masuk Kabupaten Flores Timur.

Obrolan selintas di warkop Trawas itu mirip benar dengan diskusi di grup NTT kemarin. Pater Fritz Meko SVD, asal Pulau Timor, bertugas di Surabaya, menulis pengalaman saat ngobrol dengan petani cendana di Timor. Lalu menyinggung soal peta buta dan buta peta. 

Pater Fritz menulis:

<< Saya kagum. Ternyata ia cukup tahu sejarah. Ketika saya tanya tentang latar belakang pendidikannya, ia menjawab: "Saya hanya tamat SMP pada tahun 1968. Saat di SMP kami belajar dan hafal ilmu bumi (geografi) dan sejarah. Kami hafal kota-kota di seluruh Indonesia, kami hafal nama kerajaan-kerajaan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa, hafal nama raja-rajanya juga tahun pemerintahan mereka dan kami belajar peta buta. 

Tapi supaya pak tahu, saat saya ke JAWA, saya kecewa sekali karena saya ditanya: "Bapak dari mana dan saya menjawab dari KUPANG, malah ditanya balik oh, Kupang yang di ENDE itu ya? 

Ah…. saya cukup marah dan heran. Lah, sepertinya ia tidak belajar Ilmu bumi (geografi). Kok, kami di Timor dan Flores, begitu tahu banyak tentang letak kota, sungai, kerajaan dan nama raja-raja di Jawa, kok kalian di sini tidak belajar tentang Kawasan di luar Jawa ya?"

Ya ampun, ternyata pengalaman bapak ini juga, dialami banyak orang dengan pertanyaan yang kadang berbeda-beda. >>

Theresia Ola, orang Adonara yang merantau di Kalimantan, menulis begini:

"Saya juga waktu masih sekolah sempat ditanya dgn teman saya Flores itu ada di Kalimantan bagian mana ya Kawan? dan Dul masih polos jadi saya jawab ko kamu ini bodoh sekali ya klo bodoh itu dibagi " jangan simpan sendiri akhirnya jadi bebal begini kamu."

Khania Magdalena menulis:

"Pagi  Pater pengalaman sama. Dulu di Jakarta   sering sekali ditanya Kupang itu di Papua ya..? Papua lebih terkenal dari NTT 😅"

Masih banyak lagi komentar-komentar orang NTT di grup yang nadanya sama. Bahwa Flores, Sumba, Timor, Kupang, Atambua, Belu, Alor, Lembata dsb sangat tidak dikenal di Jawa. Gak masalah. 

Kamis, 23 Juni 2022

Nyambangi Kawan-Kawan Pelukis Sidoarjo di Balai Pemuda

Kamis 23 Juni 2022, saya mampir di Balai Pemuda Surabaya. Nyambangi konco-konco lawas yang pameran lukisan. Kali pertama saya menikmati pameran lukisan setelah off total selama dua tahun gegara pandemi corona.

Sebelum pandemi virus setan itu, saya sering banget menyaksikan pameran-pameran lukisan di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Malang, kadang di Pandaan dan Malang. Semua lukisan saya kagumi. Mulai gambar pemandangan, padi di sawah, gunung, lautan, nelayan, pasar, hingga lukisan abstrak, surealis, kaligrafi (meski buta bahasa Arab).

Saya sering berlama-lama di galeri di kawasan kota lama Soerabaia ketika teman-teman sudah pulang. Ya, nonton lukisan-lukisan perupa senior yang dianggap bagus. Meski sudah lihat ratusan kali.

Dulu di Ngagel Jaya Selatan pun saya tidur di galeri lukisan. Ada beberapa lukisan almarhum Eyang Rijati yang punya aura aneh. Membuat anganku melayang jauh ke angkasa.

Nah, di Balai Pemuda ini Mesgeiyanto yang jaga Galeri 66. Orangnya masih semangat meski agak kurus. Saya kenal dekat Mas Yanto karena pernah sama-sama jaga galeri di Ngagel itu. 

 "Ini pertama kali galeri dibuka setelah pandemi. Sidoarjo yang merawani," kata Mas Yanto, anggota Komunitas Perupa Delta (Komperta) Sidoarjo yang lukisannya ikut dipamerkan di Balai Pemuda. 

Selain Mas Yanto dari Taman, ada Arief Wong (Gedangan), Andiek Eko (Krian), Yoyok Wibowo (BCF Sidoarjo), Djagad Ngadianto (Waru), Heru Jetis, Ganda Dagar (Krian), Widodo Basuki (Sukodono), Vidi Buduran, Zaenal Abidin (Waru), Nuri Diaz (Krian), Mac Gayoon kepala suku Komperta, Ali Taufan (Gedangan), Hesti Setyowati (Tulangan).

Cak Kris Mariyono, pentolan wartawan RRI Surabaya, rupanya serius jadi seniman lukis. Lukisannya berjudul Flower-ku. Luar biasa! Kris ternyata punya keahlian melukis di sela tugasnya sebagai reporter RRI Surabaya. 

Tidak keliru kalau pameran bersama ini dikasih tema Urip Urup. Hidup harus menyala. Optimistis dan pantang menyerah. Kita semua, tak hanya seniman, harus urup (menyala) lagi setelah redup atawa mati suri selama dua tahun lebih. 

Dulu saya sering banget nonton kawan-kawan Komperta melukis on the spot (OTS) di bangunan cagar budaya, tambak, kampung nelayan Balongdowo, Alun-Alun Sidoarjo. 

 Saya juga menemani almarhum Eddy Kuas  melukis tembok-tembok penjara. Juga menemani almarhum A Juniarto Dn ketua pertama Komperta melukis, pasang relief, bikin Gua Maria dsb. Juga ingat almarhum S. Wahyudi dari Bluru Kidul. 

Sejak pandemi boleh dikata tak ada lagi aksi blusukan ke pelosok Kota Delta, Sidoarjo. Cuma ada informasi sekelebat di media sosial.

Selamat pameran kawan-kawan perupa Sidoarjo. Mugi-mugi URIP terus URUP. Semangat berkesenian kembali bernyala. 

Sabtu, 04 Juni 2022

Covid Mereda, Wisata Jolotundo Mulai Menggeliat

 


Suasana di kawasan wisata Jolotundo, Trawas, mulai agak normal lagi. Namun belum seramai sebelum pandemi. Pengunjung asal Surabaya dan Sidoarjo masih mendominasi. Terlihat dari plat L dan W.

Ayas baru mampir lagi setelah cukup lama jaga prokes covid. Jaga jarak, kurang mobilitas, hindari kerumunan. Di Jolotundo ini agak sulit jaga jarak. Sebab warga setempat (sebagian besar) kurang percaya covid. Juga kurang percaya manfaat vaksinasi hingga dosis. 

"Orang sehat kok disuntik?" kata Mbok Ponami kepada Ayas. 

Sejak awal pandemi, puncak varian Delta, hingga sekarang wanita asli Balekambang, Jolotundo, itu juga tidak pakai masker. Juga tidak pernah menyediakan air untuk cuci tangan di warungnya. "Silakan cuci tangan di belakang. Ada kamar mandi," katanya santai.

Beberapa jam lalu saya jalan kaki ke kolam petirtaan Jolotundo. Ngos-ngosan karena tanjakan sangat tajam. Orang kota yang jarang jalan kaki pasti kesulitan. Kecuali anak-anak muda yang biasa mendaki gunung. 

Ayas mampir sebentar ke reruntuhan warungnya Ningsih. Masih berantakan. Warung ini ditimpa pohon tumbang pada 14 November 2021. Tiga orang meninggal dunia. Salah satunya Ryan, anaknya Ningsih. Ayas kenal dekat Ningsih, Ryan, ibunya Ningsih hingga neneknya Ningsih. 

Ayas berhenti dan kirim doa untuk para arwah korban pohon tumbang itu. Masih tak percaya kalau Ryan meninggal secara tragis di usia yang masih belia. Meninggalkan seorang anak balita. 

Ayas lanjutkan mendaki hingga ke markas Pak Dalang. Ngobrol soal kesenian tradisional, pewayangan, dsb. Situasinya sulit, kata dalang Jawa Timuran itu.

Sebelum ada covid pun dalang-dalang sepi tanggapan. Setahun bisa main dua kali saja sudah bagus. Dua tahun pandemi membuat seni pertunjukan sekarat. Bukan hanya wayang kulit tapi juga kesenian yang lain. 

Karena itu, Pak Dalang dari dulu buka warung di dekat pintu masuk Jolotundo. Asap dapurnya bisa ngepul terus berkat warung di kompleks wisata utama di Kabupaten Mojokerto. Seniman tradisional belum bisa hidup dari kesenian. 

Jumat, 03 Juni 2022

Eyang Hartini Mochtar 92 Tahun Belum Pensiun

 


Hartini Mochtar Kasran merayakan ulang tahun ke-92 di Hotel Elmi Surabaya pada 1 Juni 2022. Sekaligus peluncuran bukunya berjudul "92 Tahun Belum Pensiun". Berisi tulisan apresiasi berbagai kalangan. Termasuk Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Eyang Hartini, sapaan akrabnya, memang belum pensiun di usia 92 tahun. Masih jadi ketua umum Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Surabaya. Sudah 28 tahun tanpa jeda. 

Eyang sebetulnya ingin diganti pengurus yang lebih muda. Tapi tak ada yang bersedia. Lebih tepatnya: sungkan. 

"Jangan bahas itu, Bu," kata pengurus BANI ketika Hartini Mochtar meminta pergantian ketua umum. 

Eyang Hartini memang tipe Neli: nenek lincah. Selalu ada aktivitasnya selain mengurus arbitrase alias sengketa bisnis perusahaan. Wanita kelahiran Pare Kediri ini aktif ikut line dance, senam pagi bersama para senior.

 Lagu favoritnya Fly Me To The Moon dari Frank Sinatra. Begitu musik lawas ini terdengar saat perayaan hari jadi di Hotel Elmi, Eyang Hartini langsung bergerak. Berdansa. Line dance bersama kawan-kawannya yang jauh lebih muda. Pakai sepatu hak tinggi. 

Sedikit banyak saya kenal beliau dan keluarga besarnya. Lima tahun saya tinggal di Ngagel Jaya Selatan, rumah almarhum Eyang Tubagus Mochtar, yang tak lain suami Eyang Hartini ini.

Eyang Hartini tinggal di rumah yang satunya di Ketintang bersama Eyang Mochtar. Model rumah bangsawan tempo doeloe yang modelnya sama persis.

Eyang Mochtar seorang anggota TNI AD yang cukup terkenal di Surabaya di masa lalu. Ia dipercaya menjadi direktur 6 atau 7 perusahaan eks Belanda di kawasan Ngagel. Ada pabrik karet, pabrik sabu, pabrik kimia, dan beberapa lagi. Saya pernah bahas di blog lama.

Meskipun tentara tulen, Eyang Mochtar punya kemampuan manajerial untuk mengelola pabrik-pabrik eks Belanda yang dinasionalisasi itu. Sebelumnya tentara-tentara yang dikaryakan ikut kursus atau diklat intensif di Bandung. Tentara-tentara itu yang kemudian jadi bos-bos pabrik. 

Bagaimana kondisi pabrik-pabrik itu? Cukup bagus di awal. Begitu yang saya baca di catatan lawas. Namun, makin lama makin kedodoran hingga mati suri. Eyang Mochtar kemudian mundur setelah berbeda pandangan soal manajemen perusahaan-perusahaan eks kolonial di Jawa Timur 

Nah, Eyang Hartini ini dulunya sekretaris Eyang Mochtar, direksi perusahaan daerah Jatim. Tresna jalaran saka kulina. "Saya nyambi kerja dapat bonus suami," kata Eyang Hartini.

Eyang Mochtar ketua Kadin pertama di Jawa Timur telah meninggal dunia pada 15 Maret 2002. Dimakamkan di Pemakaman Delta Praloyo Sidoarjo. 

Eyang Hartini pun sudah lama memesan makam nomor 594 di samping makam suaminya nomor 595.

''Sehingga pihak pengelola pemakaman sudah mengetahui bahwa tanah di samping makam suami saya sudah di-booking," tulis Eyang Hartini di bukunya. 

Biasanya orang Indonesia tabu membicarakan kematian. Apalagi booking makam segala. Tapi eyang yang jago Hollands spreiken ini punya pandangan lain. "Kapan saja kita harus siap dipanggil-Nya," kata Eyang Hartini.

Selamat ulang tahun, Eyang Hartini! 

Rabu, 01 Juni 2022

Ucok AKA Harahap dilarang konser di Lumpur Lapindo



Kenangan 16 Tahun Lumpur Lapindo di Sidoarjo


Jadi ingat almarhum Ucok AKA Harahap. Kebetulan baru saja ada postingan di Perpustakaan Nasional tentang AKA Band. Saat tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1973.

Ucok Harahap adalah pendiri, pimpinan, pentolan, master mind band legendaris yang dikenal dengan AKA Group itu. AKA: Apotek Kali Asin di Jalan Kaliasin, sekarang pojokan Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Apotek itu milik Ismail Harahap, Ucok punya papa. 

Ucok punya mama orang Prancis. Perawat yang jadi relawan penolong korban perang revolusi fisik di Jawa Timur. Ismail Harahap kawin dengan itu wanita Prancis sehingga Ucok pun dilahirkan ke dunia fana ini. 

Di masa tuanya Ucok ngelaku spiritual semacam paranormal atawa wong pinter. Sering bertapa dan menyepi di kawasan Gunung Klotok dan beberapa petilasan lain. 

Di awal semburan lumpur Lapindo, sekitar Juni - Juli 2006, saya sempat ikut diskusi bersama Ucok and His Gang. Ucok ingin konser di dekat pusat semburan. Sekaligus melakukan aksi spiritual untuk menutup semburan yang bermula pada 29 Mei 2006.

Saya: "Apa mungkin, Bang Ucok? Ahli-ahli dari ITB saja tidak mampu. Sudah ribuan bola beton dimasukkan tapi gak ada efeknya."

Ucok: "Tidak ada yang mustahil bagi Yang Mahakuasa. Kebetulan saya ini kan ada sedikit kemampuan (spiritual). Makanya Anda perlu ikut saya minta izin ke Bupati Sidoarjo."

Saya: "Wah, wah... Angel angel iku. Minggu lalu ada beberapa paranormal sudah lempar kepala kambing di dalam semburan lumpur. Sekarang sudah dilarang sama PPLS."

Singkat cerita, Bupati Win Hendrarso tidak memberikan izin kepada Ucok and His Gang untuk main musik di dekat pusat semburan. Sebab risikonya terlalu tinggi. Selain itu, ada unsur klenik yang irasional. 

Ojo lali, Sidoarjo ini kota santri! 

Kita orang selalu diceramahi untuk menjauhi klenik, takhayul, perdukunan, paranormal dsb. Berimanlah semata-mata kepada Allah Yang Mahakuasa.

Ucok AKA Harahap tetap tersenyum. Lalu pulang dengan motor trail kesayangannya ke rumah istrinya di Pagesangan, Surabaya. Itu istri nomor ke-9.

Sebulan kemudian Ucok mengirimi saya CD. Lagu khusus bertema lumpur Lapindo. Sayang, CD itu hilang entah ke mana.

Bung Ucok, salam bahagia di alam baka! 

Selamat nyanyi dan konser di sana!