Sabtu, 16 April 2022

Misa Malam Paskah 3 Jam di Katedral Malang

Ekaristi Sabtu Paskah di Gereja Katedral Malang baru usai. Uskup Malang Monsinyur Henricus Pidyarto Gunawan OCarm pimpin langsung misa Vigili Paskah ini.

Durasi misa kembali normal seperti sebelum pandemi covid. Hampir 3 jam. Lama sekali. Apalagi kita yang sudah terbiasa ikut misa padat selama dua tahun pandemi ini.

Saya sendiri biasa ikut misa yang durasinya di bawah satu jam. Malah lebih sering tidak sampai 30 menit. Karena itu, misa 3 jam ini rasanya sangat lama. Fokus, konsentrasi sering buyar saat mendengarkan bacaan-bacaan yang banyak.

Bacaan pertama tentang Kisah Penciptaan, Kejadian 1, tidak dibacakan tapi dinyanyikan seorang gadis. Enak memang suaranya. Tapi tentu jadi lama. Ditambah paduan suara SATB: sopran alto tenor bas yang lengkap.

Saking lamanya misa, saya jadi lupa isi khotbah Bapa Uskup Pidyarto. Cuma ingat sedikit poinnya: kebangkitan Kristus juga mengingatkan akan kebangkitan kita juga. Selebihnya lupa.

 Memori otak mulai lemot mungkin kena virus corona. Padahal dulu saya bisa mengingat poin-poin khotbah atau ceramah dengan mudah tanpa mencatat di notes atau merekam.

Lagu-lagu misa malam Paskah ini hampir sama dengan ketika saya masih aktif di paduan suara akhir 90-an dan awal 2000-an. Ordinarium Misa Kita IV karya Rama Sutanta SJ, komponis cum paster Jesuit yang belum lama meninggal dunia saat puncak pandemi covid.

Tak hanya di Malang, kor-kor di Surabaya pun senang membawakan Misa Kita IV karena tingkat kesulitannya lebih tinggi ketimbang misa-misa lain. Makin sulit makin disukai. Makanya Misa Syukur atau Misa Dolo-Dolo sangat jarang dinyanyikan dalam 15 tahun terakhir di Jawa.

Secara umum misa agung Vigili Paskah di Katedral Malang, Jalan Ijen, ini berlangsung syahdu dan nyaman.

Selamat Paskah! 
Semoga kita semua bangkit lagi setelah dua tahun digempur badai corona!

Nostalgia Broken English di Bumi Advent Sumberwekas


 Selalu ada nostalgia di  Sumberwekas, Kecamatan Prigen, Pasuruan. Ada gereja tua: Masehi Advent Hari Ketujuh. Gereja di atas bukit ini tercatat sebagai salah satu gereja advent tertua di Jawa dan Indonesia.

Di atasnya lagi ada bumi perkemahan Mahanaim. Luasnya dua hektare lebih. Pernah jadi tempat kampore muda-muda advent se-Asia Pasifik. Pesertanya sekitar 5.000 orang. Ramai sekali.

Saya saat itu ditugaskan untuk meliput perkemahan yang dibuka Menpora RI. Sejak itulah saya mulai kenal agak dalam seluk beluk adventis. Aliran asal Amerika Serikat yang sangat memuliakan hari ketujuh alias Sabat atau Sabtu.

 Tidak ada kebaktian hari Minggu untuk kaum adventis. Kita orang yang pigi misa atawa kebaktian pada hari Minggu dianggap keliru oleh para adventis ini. Sudah sering saya dengar khotbah soal ini dari pendeta-pendeta GMAHK. Saya juga dikasih buku-buku khas Advent untuk dibaca. Isinya ya kurang lebih seperti itu.

Saat meliput kampore itu (Advent tidak pakai istilah jambore), saya sadar betapa lemahnya english speaking saya. Apalagi menghadapi orang India, Korea, Vietnam, Thailand, Singapura, dsb. Logat bahasa Inggris mereka sangat berbeda satu dengan lainnya. 

Kita orang jadi bingung sendiri karena tidak paham. Itulah kali pertama saya terpaksa (dipaksa keadaan) untuk mewawancarai orang pakai bahasa Inggris. Berat nian. Lidah serasa kelu di depan tuan besar kompeni.

Bahasa Inggrisnya pendeta-pendeta asal USA yang memberikan ceramah saat kebaktian dan seminar malah lebih jelas dan mudah dimengerti. Tokoh-tokoh Advent Indonesia macam Pendeta Andreas Suranto dari Surabaya sangat fasih cas-cis-cus berbahasa Inggris. 

Karena itu, Pak Suranto jadi salah satu penerjemah di konferensi internasional itu. Beliau juga saya mintai tolong untuk jadi penerjemah atau interpreter saat wawancara dengan beberapa narasumber bule. Saya kemudian sering nyambangi beliau di pusat Gereja Advent, Jalan Tanjung Anom, Surabaya.

Gereja Advent Hari Ketujuh, mulai hadir di Sumberwekas, Prigen, Jawa Timur, sekitar tahun 1912. Bangunan gerejanya sendiri yang permanen mulai 1926 - kalau tidak salah ingat.

Sayang, pada 1980-an bangunan gereja itu keropos. Tidak bisa digunakan lagi. Karena itu, bangunan lama peninggalan zaman Belanda itu dibongkar. Dibangun gedung baru tahun 1985. Itulah yang terlihat di pinggir jalan raya Sumberwekas ke arah Trawas.

Saya sempat cari informasi lain seputar Gereja Advent Sumberwekas di internet. Mbah Google mengantar ke sebuah laman yang ada foto bagus Gereja Advent di Sumberwekas. Cukup menarik.

Eh, setelah saya baca dua alinea kok mirip banget naskah yang sangat saya kenal. Tulisan saya sendiri di blog lama yang almarhum. Cuma ditambah informasi baru di dua alinea terakhir. Kredit untuk sumber kutipan tidak ditulis.

Yah, membaca tulisan sendiri belasan tahun lalu seperti nostalgia. Membayangkan keramaian di bumi perkemahan Mahanaim itu. Membayangkan wawancara dengan anak-anak muda dari berbagai negara dalam bahasa Inggris yang berantakan, broken English.

Kamis, 14 April 2022

Jadwal Pekan Suci 2022 di Surabaya, Prokes Ketat

Suasana pekan suci di gereja-gereja di Surabaya belum normal. Masih pandemi covid meski prokes sudah dilonggarkan pemerintah.

Misa langsung atau offline sudah bisa. Tapi umatnya dibatasi. Misa online lancar jaya.

 'Sampean harus daftar ke lingkungan,' kata seorang aktivis di Purimas, Gunung Anyar.

Kamis pagi, saya mampir ke Gereja Katolik Roh Kudus, Purimas, Surabaya. Pastor parokinya Pater Dominicus Beda Udjan SVD asal Pulau Lembata, NTT. Ada Pater Yoseph Jaga Dawan SVD dari Flores Timur, NTT juga. Ada Rama Setiawan yang praja asal Jawa Timur.

Saya lihat jadwal pekan suci di papan pengumuman. Sebelumnya diukur dulu suhu tubuh. 34 Celcius. Ada juga kode aplikasi PeduliLindungi.

 'Prokes tidak boleh diabaikan meski pandemi mulai melandai,' kata Mas Sukma polisi yang bertugas menjaga keamanan selama pekan suci di Gereja Roh Kudus.

Sebelumnya saya cari jadwal pekan suci di Surabaya di media sosial dan internet. Tidak ketemu. Jarang sekali umat Katolik bagi-bagi jadwal ekaristi yang sangat penting itu di media sosial. Admin-admin komsos paroki juga kurang update informasi.

Maka saya share di sini. Cukup 3 paroki saja meski Surabaya ada sekitar 20 paroki (ditambah Sidoarjo dan Gresik).

Selamat pekan suci!
Selamat Paskah!

Rabu, 13 April 2022

Senam pagi nenek-nenek Rivers of Babylon Boney M

Sekitar 20 orang nenek-nenek senam pagi di kawasan Rungkut. Tetap semangat meski bulan puasa. Senam pagi di kota besar beda dengan taiso atau SKJ atau SPI zaman dulu. Lebih mirip joget atau dancing.

Musik dan lagunya sangat saya kenal: Rivers of Babylon. Lagu yang dulu sangat heboh di NTT hingga pedalaman yang tidak ada listriknya. Rivers of Babylon dari Boney M.

Kalau sudah dengar lagu disko ini, wuih... kaki-kaki orang kampung gatal rasanya. Cepat maju dan joget bareng. Ada yang berpasangan. Ada yang sendiri. Ada yang joget sempoyongan karena terlalu banyak minum tuak atau arak.

By the rivers of Babylon, there we sat down. Yeah, we wept, when we remembered Zion. 

There the wicked carried us away in captivity.  Required from us a song. Now how shall we sing the Lord's song in a strange land?

Lagu lawas ini diputar beberapa kali. Nenek-nenek, kakeknya cuma tiga atau empat, menikmati betul musik Boney M. Meski tidak segila jogetnya orang-orang kampung di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor dsb.

Hidup terasa indah melihat nenek-nenek itu bergembira. Sudah lama tak ada acara joget bareng, eh senam pagi seperti itu gara-gara covid. Saya pun sudah lamaaa tidak melihat orang joget diiringi Boney M. Kalau joget dangdut atau koplo ada setiap hari di Jawa Timur.

Acara gowes sepeda lawas dilanjutkan. Sambil merenungi Rivers of Babylon. Mazmur ratapan itu sebenarnya sangat menguras air mata. Jutaan orang terpaksa mengungsi di negeri asing karena negaranya dihancurkan musuh.

 Gedung-gedung hancur berantakan. Mayat-mayat bergelimpangan. Ibu-ibu jadi janda. Para laki-laki maju ke medan perang dan hilang nyawa dikoyak musuh. Mirip suasana di Ukraina sekarang yang digempur habis pasukan Putin.

Now how shall we sing the Lord's song in a strange land?

Di tangan Boney M, mazmur ratapan ini berubah jadi joget senang-senang. Menikmati tuak pahit, arak, aneka daging dsb kalau di kampung. Apalagi orang kampung tidak paham bahasa Inggris. Bahasa Indonesia pun tidak lancar. 

Yang diketahui ya lagu Boney M itu paling cocok untuk pesta pora. Joget sampai pagi. Minum tuak sampai tangki air di lambung penuh.

Menjelang pekan suci ini saya buka Mazmur 137. Yang syairnya dipakai oleh Boney M untuk musik disko. Suasananya sangat berbeda dengan pesta-pesta di kampung atau senam pagi nenek-nenek itu.

'Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.

Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita.

Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita:

"Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!"

Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?'

Minggu, 10 April 2022

Minggu Daun-Daun tanpa Perarakan Daun Palem

Menikmati kacang kapri cap Hosana di Gresik, saya jadi ingat Minggu Palem. Lagu perarakan wajib di awal pekan suci itu memang Hosanna Filio David. Kata 'hosanna' selalu diulang-ulang.

Versi Indonesia: Hosana Putera Daud.. terpujilah yang datang dalam nama Tuhan.

Versi Latin: Hosanna filio David: benedictus qui venit in nomine Domini.

Lagu antifon gregorian ini dinyanyikan berkali-kali saat perarakan di kampung di pelosok NTT. Jalan kaki sekitar 3 kilometer. Menyanyi sambil mengangkat dan menggerak-gerakkan daun palem atawa palma.

Prosesi khusus untuk mengenang Yesus masuk Kota Yerusalem. Naik keledai. Diele-elukan rakyat dengan daun-daun dan ranting-ranting zaitun.

Di Jawa tidak ada perarakan palem yang jauh. Biasanya cuma di halaman gereja. Biasanya malah tidak ada. Langsung masuk ke gereja. Daun palem cuma diangkat dan diberkati imam. Sambil nyanyi Yerusalem Lihatlah Rajamu, Hosana Putra Daud, dan Terpuji Raja Kristus.

Saat ngobrol dengan Pater Wayan Eka Suyasa SVD di samping pastoran Paroki Gresik, pater asal Bali ini menyebut persiapan Minggu Daun-Daun. Wow, istilah lama yang sangat terkenal di NTT, khususnya Flores dan Lembata.

Waktu masih di kampung semua pastor, guru agama, umat Katolik selalu bilang Minggu Daun-Daun. Tidak pernah saya dengar Minggu Palem atau Minggu Palma. Sebaliknya, di Jawa tidak dikenal Minggu Daun-Daun tapi Minggu Palem.

Namanya juga daun-daun, maka umat tak hanya membawa daun palem. Ada yang bawa daun kelapa, daun pinang, daun enau, daun macam-macam lah. Suasananya sangat meriah ketika imam-imam dari Eropa, khususnya Belanda dan Jerman, masih tugas di NTT.

'Nyanyi yang keras.. semangat,' ujar Pater Geurtz SVD di pelosok Lomblen alias Lembata. Lalu menyanyi: Hosanna... Putera (versi baru: Putra) Daud.. terpujilah yang datang dst.

Semangat betul pater yang selalu bicara pakai bahasa Indonesia versi tempo doeloe alias Melayu Rendah itu. 'Santo Paulus kasih tau kita orang supaya tidak berhenti tolong kita orang punya sesama,' begitu kira-kira gaya bahasa misionaris Belanda itu.

Minggu pagi ini Minggu Palem.

Saya tengok di YouTube gereja-gereja di berbagai kota sudah misa mendekati normal. Ada perarakan daun-daun palma tapi sebatas di lingkungan gereja. Passio lengkap dan panjang. Durasi misa dua jam lebih. Persis sebelum pandemi.

Tadi pagi saya misa online versi singkat dan padat ala Amerika. Durasinya tidak sampai 30 menit. Lebih hemat data dan tidak bertele-tele. 'Maaf, passio tidak dibacakan lengkap karena kita dibatasi durasi 30 menit,' kata pater yang biasa melayani Sunday Mass dari Amerika Serikat itu.

Selamat Minggu Palem!
Selamat Pekan Suci!

Gadis Peru menikmati asmara lampu ublik

Semalam Kevin tiba-tiba muncul di warung dekat pohon beringin berselimut kain. Di kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk. Tumben, Kevin bawa cewek cakep sekali. Rupanya baba Tionghoa dari Surabaya ini sudah dapat pacar.

'Anaknya gak iso bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Jawa,' kata Kevin kepada Mbok Nur yang punya warung. 

Ibu gemuk ini penghayat kejawen yang pinter ritual. Kevin pun biasa ritual bakar hio atau dupa di tempat petilasan yang dikeramatkan itu. Mbok Nur bingung karena gadis langsing itu sama sekali tidak bereaksi ketika ditanya dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

'Dia asli dari Peru. Bisanya cuma bahasa Spanyol dan bahasa Inggris,' kata Kevin kepada saya.

Ketemu di mana kok dapat gadis Peru? Di media sosial, jawab Kevin sambil tersenyum bahagia. Khas orang yang lagi mabuk asmara.

Baba ini sudah berusaha cari gadis lokal. Sesama wong tenglang. Tapi sulit. Yang bukan tenglang juga angel atawa sulit. Karena itu, ia minta bantuan media sosial plus sembahyang bakar dupa dsb. 

Rupanya media sosial sangat efektif di era globalisasi. Jarak jauh di Amerika Latin, beda negara, lain bangsa.. bukan lagi penghalang. Gadis Latin nan jelita itu pun terbang ke Surabaya. Nekat demi kekasihnya meski pandemi corona belum usai.

Sudah pernah dengar Indonesia sebelum ketemu pacarmu?

'Tidak pernah. Tahunya dari dia aja,' katanya.

Gak kesulitan dengan masakan Indonesia?

'Gak masalah. Enak kok,' katanya dalam bahasa Inggris khas non native speaker.

Malam itu listrik di warung Mbok Nur padam. Ada masalah dengan makelar listri di desa rupanya. Sehingga jaringannya diputus. Apa boleh buat, mbok pakai pelita atawa lampu minyak tanah. Ublik kata orang Jawa.

Cahaya pelita remang-remang kekuningan. Persis suasana di pelosok Lomblen NTT saat aku kecil dulu. Waduh, tamu jauh dari Peru kok disambut cahaya lampu ublik!

Maaf, ada masalah dengan jaringan listrik. Terpaksa pakai lampu minyak yang sangat sederhana.

'Oh, gak masalah. Aku suka kok suasana seperti ini,' kata si Nona Latin.

Mbok Nur lalu mengajak si Nona dan Kevin ke dalam. Makan-makan atawa dengar wejangan spiritual. Nona Latin terlihat senang meski berada di kampung yang listriknya mati.

Apa yang disampaikan kepada sejoli itu?

'Kalau memang sudah garis jodohnya ya dinikahi aja. Kita doakan yang terbaik,' kata Mbok Nur menjawab pertanyaan saya.

Malam kian larut. Mata kian berat meski sudah melahap kopi hitam dua gelas. Saya pamit pulang. Kevin dan Nona Latin pun rupanya kembali ke Surabaya.

Kalau cinta sudah melekat, lampu ublik di gubuk pun serasa di hotel berbintang.

Sabtu, 09 April 2022

Pater Wayan Eka Suyasa SVD Nostalgia Lembata dan Lomblen

Selepas menikmati nasi krawu, teh panas, dan kacang kapri cap Hosana, meluncurlah saya ke Gereja Katolik Gresik. Ingin katemu Pater Wayan Eka Suyasa SVD. Pater asal Bali ini ternyata sudah lama bertugas di Gresik. Sebelum pandemi corona.

Dulu saya biasa ngobrol dengan Pater Wayan di Paroki Yohanes Pemandi, Wonokromo, Surabaya. Cerita-cerita nostalgia tentang Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pulau Flores, NTT. Pakai bahasa Indonesia campur Lamaholot, bahasa daerah di Adonara dan Lembata sana.

Meski berasal dari Bali, Pater Wayan cukup lancar bahasa Lamaholot versi Adonara Timur. Ia memang pernah bertugas di Adonara di awal jadi imam kongregasi SVD. Bahasa Lamaholotnya tidak hilang di Surabaya karena pastor paroki di Wonokromo asli dari Adonara: Pater Kris Kia Anen SVD. 

Sekarang Pater Kris pindah ke Sumatera Utara. Pater Wayan geser ke Gresik. Ini bersejarah karena sejak zaman Belanda belum pernah ada rama-rama SVD yang tugas di Gresik. Dari dulu imam kongregasi misi atawa CM. Dari dulu Paroki Santa Perawan Maria, Gresik, identik dengan Rama Suwadji CM.

Apa kabar Rama Suwadji? Beliau ternyata masih melayani domba-domba di Gresik. Namun, karena sudah terlalu tua, Rama Wadji ditemani Rama Wayan Eka SVD dan rama rekan. Sebab jemaat di Gresik tergolong banyak dan wilayahnya sangat luas.

Rupanya Pater Wayan Eka baru selesai memimpin jalan salib bersama ibu-ibu Legio Mariae. Maka saya temui dengan prokes khas pandemi covid. Pakai masker dsb. 'Saya sudah booster. Pater sudah booster juga?' kata saya membuka percakapan.

'Sudah lah. Lansia dapat prioritas,' jawab pater yang ramah ini.

Lalu mulai nostalgia pakai bahasa campuran Indonesia dan Lamaholot. Cerita tentang kebiasaan minum tuak di kampung. Ada tuak dari siwalan, kelapa, enau. 'Orang Adonara paling suka yang dari kelapa,' katanya.

'Orang Lembata suka tuak koli (siwalan). Sebab tidak ada yang dari kelapa.'

'Ama dari Lembata atau Lomblen?' (Ama itu sapaan untuk laki-laki di bumi Lamaholot. Ina untuk perempuan.)

Lembata dan Lomblen itu sama saja. Dulu disebut Pulau Lomblen. Sekarang Pulau Lembata. Bahkan sekarang jadi Kabupaten Lembata. Tidak lagi ikut Kabupaten Flores Timur.

Pater Wayan tentu sangat paham. Rupanya di kalangan pater-pater SVD ada perbedaan Lembata dan Lomblen. Lembata, menurut versi Pater Wayan, adalah kawasan yang bisa dijangkau dengan sepeda motor atau mobil. 

'Kalau motor dan mobil tidak bisa masuk namanya Lembata,' kata pastor lulusan seminari tinggi di Ledalero, Flores, itu.

Hehehe.. Saya baru dengar ada guyonan soal ini. 'Saya dari Lembata, bukan Lomblen. Memang dari kampung tapi tidak jauh dari Lewoleba, ibu kota kabupaten.'

'Pater parokinya dulu siapa?'

'Asli Belanda. Pater Petrus M. Geurtz SVD.'

'Oh ya.. Pater Geurtz. Saya ingat dulu kami pernah main bola voli di sana. Habis olahraga bukannya dikasih minum air putih tapi tuak,' cerita Pater Wayan bikin aku ketawa.

Rombongan Pater Wayan kemudian disuguhi makan enak khas orang kampung di Lomblen alias Lembata. Ikan laut segar, kerang, sayur kelor, dsb. Tentu saja wata kenaen alias jagung titi tidak ketinggalan.

Gak nyangka Pater Wayan Eka ternyata pernah blusukan hingga ke pelosok Lembata. Bahkan ke Lomblen yang belum punya infrastruktur jalan raya untuk motor dan mobil. Terpaksa naik kuda atau jalan kaki.

'Kudanya pater-pater di Lembata dulu biasanya jalan sendiri bawa barang dan berhenti di depan pastoran,' kata saya.

'Betul. Itu juga yang saya alami saat tugas di pelosok Kabupaten Ende. Kuda yang bawa barang saat kita tourne,' ujar sang pater.

Itu semua tinggal kenangan masa lalu. Pater Wayan sudah lama bertugas di paroki-paroki di Jawa yang fasilitasnya modern dan terjamin. Gereja bagus, pastoran bagus, makanan bergizi, apa saja ada. Umatnya juga makmur dan berpendidikan tinggi.

Kelihatannya lebih enak tugas di Gresik dan Surabaya ketimbang di Flores atau Adonara atau Lomblen?

'Tugas di mana pun sama saja. Sebagai imam, saya harus melayani umat Allah di mana pun saya ditempatkan,' ucap Pater Wayan.

Kelihatannya makin banyak umat Katolik yang datang meski bukan hari Minggu. Semangat menggereja orang Katolik di Gresik memang luar biasa. Mereka ingin bertemu Pater Wayan.

Maka, saya pun minta diri.
Terima kasih, Ama Tuan!
Terima kasih, Pater Wayan!