Selasa, 22 Maret 2022
Pisang goreng diganti pisang rebus
Sabtu, 19 Maret 2022
Menikmati Kapal Rindu di Suramadu Bangkalan
Memeng-memeng telanjang dada di Lembata
Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.
Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.
Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.
Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.
Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.
Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.
Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.
Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum.
Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.
Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!
Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.
Mea culpa, mea maxima culpa!
Jumat, 18 Maret 2022
Pater Kurt Bart SVD setia sampai akhir
Setetes Air dari Lembata untuk Nusantara
Kamis, 17 Maret 2022
Sopir Truk di Kalimas
Selasa, 15 Maret 2022
Indonesia tanah yang mulia
Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.
Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.
Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.
Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.
Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.
Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya