Selasa, 22 Maret 2022

Pisang goreng diganti pisang rebus

Minyak goreng langka dan mahal. Sejak akhir tahun 2021. Katanya bahan baku sawit. Katanya ulah mafia. Katanya katanya katanya...

Yang pasti, Cak Mat belakangan ini lebih sering menyediakan pisang rebus di warkopnya. Pisang goreng, telo goreng, singkong rebus dikurangi. Pisang goreng malah tak ada lagi. Sebab harga pisang kepok yang bagus memang mahal. Jauh sebelum harga migor naik.

Aku malah senang dengan kehadiran pisang rebus. Ini yang saya cari sejak lama. Lebih sehat kata dokter. Tidak bagus makan gorengan. Sebaiknya makan makanan yang tidak digoreng. Macam mendiang bapaku sejak divonis sakit gula atawa diabetes.

Nasihat dokter memang penting. Tapi aku sendiri suka pisang rebus, telo rebus, singkong rebus.. polo pendhem karena kebiasaan di kampung dulu. Di pelosok yang tidak ada listriknya.

Minyak kelapa -- istilah minyak goreng di desa -- memang mahal. Lebih tepatnya: ribet memanaskan santan hingga jadi minyak kelapa. Bisa sehari penuh duduk di tungku hingga panen minyak yang volumenya tidak seberapa. 

Masa itu orang kampung belum biasa beli minyak goreng buatan pabrik di toko. Kalau bisa buat sendiri, mengapa harus beli? Apalagi uang di tangan pun pas-pasan.

Karena itu, memasak makanan pakai rebus memang jadi kebiasaan. Bahkan semacam budaya. Tidak ada yang namanya nasi goreng di pelosok itu. Nasi sudah matang kok digoreng lagi? Begitu pertanyaanku saat sekolah dasar.

Karena itu, meski sudah lebih lama di Jawa ketimbang NTT, saya masih heran dengan kebiasaan orang di sini. Singkong sudah direbus atau dikukus, matang, lalu digoreng lagi. Pakai minyak curah atau kemasan pabrik migor di Rungkut Industri, Tambak Sawah, dsb.

"Kalau digodhok thok gak payu," kata Anang, temanku yang punya warung gorengan di Prambon, Sidoarjo.

Yo wis... selera dan kebiasaan orang memang beda-beda. Tapi ada  baiknya di era mafia minyak goreng ini kita kembali ke kebiasaan nenek moyang. Memasak makanan tanpa minyak goreng.

Sabtu, 19 Maret 2022

Menikmati Kapal Rindu di Suramadu Bangkalan

Sudah setahun lebih saya tidak menyeberang ke Madura. Pulau yang hanya terpisah 5,4 kilometer dari Surabaya. Protokol kesehatan 5M, salah satunya mengurangi bepergian, membuat kita orang tidak bisa piknik di masa pandemi.

Syukurlah, kasus aktif makin melandai. Prokes masih ada tapi makin longgar. Tidak perlu lagi tes covid yang ribet, dan mahal, kalau mau naik pesawat atau kereta api. Juga tak ada larangan ke Pulau Madura.

Maka saya blusukan ke kawasan Jembatan Suramadu sisi Labang, Bangkalan. Ngopi dan ngobrol sama pemilik warung asli desa itu. Ibu itu curhat soal warung-warung yang sepi sejak pandemi. Pengunjung atawa wisatawan hampir tidak ada.

"Apalagi sekarang dibuka tempat isolasi OTG di sebelah itu. Tambah takut orang datang ke sini," kata ibu yang ramah itu.

Pemprov Jawa Timur memang membuka tempat isolasi di gedung BPWS sejak awal tahun. Antisipasi Omicron yang disebut-sebut ganas dan lebih mudah menular. Lokasinya di dekat warung-warung dan lapak pedagang di pinggir jalan itu.

Setelah ngopi saya geser ke pantai wisata dekat Jembatan Suramadu. Pantai Rindu kata warga setempat. Ada resto di atas laut yang bangunannya mirip kapal. Kapal Rindu. Kata "rindu" memang sedang inflasi di pantai dekat basis TNI AL di Batuporon itu.

Kapal Rindu rupanya lagi sepi. Tak ada penjaga satu pun. Turisnya ya cuma saya sendiri. "Sudah lama tidak buka. Gak ada pengunjungnya," kata ibu pemilik warkop persis di samping Kapal Rindu.

Warkop itu justru ramai. Ada lima atau tujuh bapak-bapak ngobrol ngalor ngidul. Topiknya soal minyak goreng. Kemudian perubahan karakter anak muda asli Bangkalan yang merantau di Surabaya.

"Mereka jadi berubah banyak. Sudah tidak seperti orang sini," kata seorang bapak yang mengaku pernah merantau empat tahun di Sumba Barat, NTT.

Suasana Pantai Rindu dengan resto kapal dan restoran lain di sebelahnya sebenarnya sangat menarik. Lebih bagus ketimbang di Suramadu sisi Surabaya yang masih polos.

Sayang, kawasan wisata itu belum banyak dikenal masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Belum lagi kondisi jalan dari Suramadu ke pantai itu yang sangat jelek. Belum lagi faktor X dan sebagainya. 

Memeng-memeng telanjang dada di Lembata

Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.

Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.

Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.

Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.

Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.

Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.

Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.

Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum. 

Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.

Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!

Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.

Mea culpa, mea maxima culpa!

Jumat, 18 Maret 2022

Pater Kurt Bart SVD setia sampai akhir

Satu lagi pater tua berbahagia di Rumah Bapa. Pater Kurt Bart SVD, pengurus Rumah Retret Kemah Tabor di Mataloko Flores. Pastor asal Jerman ini meninggal pada usia 87 tahun.

Akhir pekan lalu Pater Alex Beding SVD asal Lembata, NTT, berpulang dalam usia 98 tahun. Kedua pater ini sangat terkenal di NTT, khususnya Flores. Keduanya jadi bapa rohani pater-pater yang jauh lebih muda.

Kitab Mazmur bilang usia manusia itu 70 tahun. Kalau ada bonus ya 80 tahun. Kalau manusia bisa hidup di atas 80 tahun berarti bonusnya banyak. Terpujilah Kristus!

Berdasar catatan teman-teman di Flores, setidaknya ada 5 pater SVD lansia yang masih kerasan di Flores. Meskipun resminya sudah pensiun karena faktor usia. Tapi tidak mau pulang ke negara asalnya di Belanda, Jerman, dsb.

Pater Kurt Bart SVD ini salah satu dari 5 misionaris Eropa itu. Setelah kematian Pater Kurt maka tinggal 4 pater londo di Flores. 

Pater Kurt Bart SVD menjadi pater misionaris ke-520 yang bermisi sampai meninggal di tanah misi. Terlalu sulit meninggalkan Flores yang sering disebut pulau bunga - meski tak banyak bunga segar di sana.

Kita orang dari NTT, khususnya Flores dan pulau-pulau sekitarnya, tentu sangat kehilangan Pater Kurt. Tapi kita percaya beliau sudah bahagia di surga.

Pater Kurt telah mengakhiri pertandingan dan setia sampai akhir.

Setetes Air dari Lembata untuk Nusantara

Beberapa hari ini beredar video yang viral di kalangan warga NTT. Khususnya di perantauan. Ritual penyerahan air dan tanah dari bumi Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata) untuk dibawa Gubernur NTT Viktor Laiskodat ke ibu kota Nusantara di Kalimantan.

Tentu tidak semua 22 kabupaten di NTT ikut serta. Diambil 7 atau 9 daerah sebagai perwakilan. Ada yang dari Flores, Sumba, Timor, Sabu Raijua, Lembata. Ada yang dapat jatah air, ada daerah yang sumbang tanah. Demi  Nusantara jaya.

Yang paling menarik bagi saya tentu prosesi penyerahan air dari Pulau Lembata. Sepertinya mewakili kawasan etnis Lamaholot yang meliputi Adonara, Solor, Lembata, Flores Timur daratan.

"Kame mete wai!" kata tokoh Lembata dalam bahasa dan logat yang sangat saya kenal.

Artinya, kami membawa air. Lalu ia merinci nama-nama tempat pengambilan air tanah itu. Meliputi seluruh Lomblen, nama lama Pulau Lembata, dari utara, selatan, timur, barat, tengah, dsb.

Saya dan beberapa orang Lamaholot di Surabaya dan Sidoarjo pun sempat diskusi ringan soal ritual ambil air untuk IKN itu. Tidak menyangka Presiden Jokowi punya ide unik seperti itu. Benar-benar kejutan yang menggembirakan.

"Nae punya pembisik2 itu org hebat yg lewo tana anaka kereen.. jadi selalu berasaskan temutu dan adat ama. Hullen  aja nae punya gaya bicara. Org desa yg mengkota... ☺️☺️☺️," komentar Ama Paul, tokoh Adonara di Sidoarjo.

Lihat saja Jokowi punya gaya bicara. Orang desa yang mengkota. Orang hebat dari kampung yang selalu berasaskan adat nenek moyang. Begitu kira-kira arti bahasa Lamaholot itu.

Masih dari Ama Paul: "Nae sendiri (Jokowi)  belajar paham tentang adat dan koda puken ama. Selalu pehen koda kirin. Beberapa kali hut RI nae pake pakaian adat..pe salah satu buktinya ama."

"Mantap e ama," kata Gabriel Hokon, orang Tanjung Bunga, Pulau Flores, yang sudah karatan di Surabaya. 

Bung ini lebih sering berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka ketimbang Lamaholot. "Torang iko senang le," katanya. (Kita orang juga ikut senang).

Seremoni tanah dan air dari 34 provinsi di IKN sudah selesai. Sebuah langkah besar, revolusi mental, sudah dilakukan Jokowi. Relokasi ibu kota NKRI ternyata tetap dilakukan meski pandemi covid masih merebak.

Kamis, 17 Maret 2022

Sopir Truk di Kalimas

Kawasan kota lama di Surabaya Utara memang menarik. Khususnya Kalimas dan sekitarnya. Begitu banyak gedung tua yang pernah jaya pada masa Hindia Belanda. Bekas-bekasnya masih bisa kita nikmati meski sebagian besar mangkrak dan hancur.

"The glory is over!" begitu judul salah satu cerpen Misbach Yusa Biran yang paling aku sukai.

Petang kemarin, seperti biasa, aku cangkrukan di warkop dekat Kalimas. Tepatnya di kawasan Nyamplungan. Hiruk pikuk dan sibuk. Rupanya pandemi is over.

"Sampean sopir truk di Kalimas, ya?" tanya seorang pria 40-an tahun. Orang itu mengaku asli Surabaya. Dari kampung Sidodadi.

"Iya.. di kawasan sekitar sini lah," jawab saya sekenanya.

 Membenarkan bahwa saya memang sopir truk di Kalimas. Bongkar muat di dermaga lawas dekat situ.

Ia bertanya macam-macam soal truk, derita jadi sopir, hingga perkembangan di NTT. Termasuk balapan di Mandalika, NTB. "Maaf, saya kurang paham perkembangan di Flores atau NTT. Sebagian besar umur saya habis di Jawa Timur," kataku.

Lalu saya mengalihkan pembicaraan soal minyak goreng. Mafia migor, mafia sawit, dsb. Tapi rupanya ia malas membahas minyak goreng. Lebih fokus ke truk. 

Makanya saya segera menghabiskan kopi tubruk. Menyingkir dari situ. Lah, wong aku gak iso nyetir truk! Malah sering maki-maki sopir truk yang ugal-ugalan di jalan raya.

Sopir truk. 

Hehehe.. menarik sekali profesi yang butuh skill dan keberanian tingkat tinggi. Berani nyalib, wani ugal-ugalan, wani sembarang. Nek koen gak wani nyetir yo mancing ae nak tambak darjo!

Sebelum sopir truk, saya dikira satpam. Kemudian Pak Satpam beneran di daerah Rungkut Menanggal selama ini mengira saya sebagai tukang ojek online. Maklum, saya selalu pakai jaket Persebaya warna hijau ke mana-mana. Mirip jaket hijau Gojek atau Grab.

Di kawasan Jembatan Merah, dekat Taman Sejarah atau Taman Jayengrono, saya disangka tukang kebun. Petugas kebersihan yang merawat taman dari Pemkot Surabaya. Bukan potongan juragan atau pedagang. Juga bukan potongan wartawan.

Saya tidak pernah membantah atau klarifikasi. Satpam, sopir, tukang ojek, petugas kebersihan, tukang sampah... punya manfaat. Bayangkan kalau para tukang sampah di Surabaya mogok massal.

Selasa, 15 Maret 2022

Indonesia tanah yang mulia



Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.

Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.

Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.

Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.

Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.

Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.

Indonesia, tanah yang mulia

Tanah kita yang kaya