Selasa, 15 Maret 2022

Indonesia tanah yang mulia



Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.

Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.

Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.

Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.

Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.

Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.

Indonesia, tanah yang mulia

Tanah kita yang kaya

Senin, 14 Maret 2022

Matur Nuwun, Dr Urip Murtedjo! Selamat Jalan

Malaikat maut bisa ambil nyawa kapan saja. Siapa saja, di mana saja. Karena itu, kita sering terkejut dapat kabar kenalan atau keluarga kita meninggal dunia.

Mengapa meninggal? Sakit apa? Apa.. hemm kena covid? Pertanyaan macam ini cenderung basa-basi saja. Yang pasti, sudah takdir ilahi.

Dokter Urip Murtedjo pun berpulang. Selamat jalan, Dok! Semoga bahagia di surga.

Setelah membaca berita baru saya tahu kalau dr Urip, spesialis bedah kepala dan leher, punya komorbid. Cukup banyak ternyata, kata dr Wahjuni sang istri.

Ada diabetes, hipertensi, ginjal. Karena itu, ia belum bisa divaksin. ''Papa rentan sekali terpapar covid,'' kata dr Bramantyo putra almarhum dr Urip.

Nah, banyak orang awam seakan tidak percaya seorang dokter juga punya komorbid yang banyak. Apalagi level pimpinan rumah sakit terbesar. Yang punya anak buah sekian ratus dokter yang hebat.

Yang pasti, dr Urip Murtedjo ini sangat terkenal di Surabaya. Foto dan pernyataan selalu muncul di koran-koran, televisi, radio, serta media online. Ia sangat piawai menjelaskan masalah medis yang ruwet dalam bahasa awam sehingga mudah dimengerti.

Apa saja yang ada kaitan dengan RSUD dr Soetomo selalu menarik kalau disampaikan dr Urip. Almarhum juga selalu siap melayani pertanyaan-pertanyaan awak media. Termasuk pertanyaan yang terlalu polos atawa kurang mutu.

Para pekerja media di Surabaya berutang jasa pada dr Urip. 

Terima kasih, Dok!

Sabtu, 12 Maret 2022

Terima Kasih, Pater Alex Beding SVD, Perintis Pers di NTT

Minggu lalu saya iseng-iseng membaca buku lama tulisan Pater Alex Beding SVD. Semacam memoar, refleksi, sekaligus kegundahannya tentang Pulau Lembata. Pastor pertama dari Pulau Lembata, NTT, ini prihatin dengan sikap pejabat-pejabat daerah yang dianggap mengabaikan aspirasi rakyat.

Sabtu petang ini, 12 Maret 2022, di bawah pepohonan kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk muncul berita duka di media sosial. Pater Alex Beding SVD meninggal dunia. Resquescat in pace!

Pastor Aleksander Koker Beding SVD, nama lengkapnya, mengakhiri tugasnya di dunia pada usia 98 tahun. Tercatat sebagai pater tertua di NTT. 

Di usia jelang satu abad, Pater Alex tetap berkarya. Membaca, menulis, membaca, menulis... Usia boleh tua tapi tidak pikun. Dan tetap bisa jalan kaki ke mana-mana.

PA Beding, nama populer Pater Alex di media massa, tetap kasih wejangan untuk pater-pater muda yang sudah masuk generasi cucu dan cicitnya. Pastor asal Desa Lamalera, kampung ikan paus itu, tak henti-hentinya bikin refleksi lewat tulisan-tulisan di media massa.

Tahun 2021 lalu Pater Alex Beding merayakan ulang tahun ke-70 imamatnya. Yah.. 70 tahun lalu pertama kali ada orang Lembata yang ditahbiskan jadi pastor. Anak nelayan jadi seorang penjala manusia.

Betapa banyak karya Pater Alex di Flores, NTT, dan Indonesia. Ialah yang mendirikan Penerbit Nusa Indah di Ende, Flores. Penerbit yang paling banyak menerbitkan buku-buku rohani Katolik di Indonesia. Juga buku-buku humaniora, bahasa, pertanian, dsb. Yang best seller tentu buku-buku bahasa Indonesia karangan Prof Gorys Keraf, akademisi yang kebetulan satu kampung dengan Pater Alex Beding di Lamalera.

Ketika media komunikasi belum sehebat sekarang, media sosial belum ada, Pater Alex Beding sudah meyakini pentingnya media massa. Pers yang isinya sejalan dengan kebutuhan masyarakat NTT. Bukan media yang Jakarta sentris atau Jawa sentris.

Maka, Pater Alex Beding SVD menerbitkan surat kabar Dian pada 1973. Awalnya dua mingguan, kemudian jadi mingguan. Sebelum Dian, Pater Alex dan tim di Nusa Indah menerbitkan majalah atau buletin Bentara kalau tidak salah.

Surat kabar Dian sukses besar. Jadi bacaan utama hingga ke pelosok desa yang tidak punya listrik. Masih pakai pelita. "Membangun manusia pembangun," begitu konsep Pater Alex dengan Dian itu.

Setelah Dian, Pater Alex bikin majalah anak-anak. Namanya Kunang-Kunang. Ini juga sangat sukses di masanya. Sayang, Dian kemudian tergusur harian Flores Pos yang tidak sesukses Dian. Ini juga karena Pater Alex tak lagi aktif lantaran usia yang sepuh.

Saya beberapa kali bertemu Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi, Jalan Polisi Istimewa Surabaya. Sempat ngobrol panjang lebar seputar media massa, perkembangan pers di NTT, hingga memudarnya Dian dan Kunang-Kunang.

Obrolan ringan ini saya unggah ke blog. Ternyata jadi salah satu rujukan profesor di Belanda untuk menulis buku besar tentang Sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Prof Karel Steenbrink yang terkenal itu pun minta izin saya agar foto Pater Alex Beding dimuat di bukunya. Prof Steenbrink meninggal dunia tahun 2021 lalu.

Tak ayal lagi, Pater Alex Beding SVD tercatat sebagai tokoh perintis pers di NTT. Beliau mendapat penghargaan khusus pada peringatan Hari Pers Nasional beberapa tahun lalu.

Kini, Pater Alex, sang pelopor, sang pembangun, nelayan penjala manusia itu sudah tenang bersama Sang Pencipta. Terima kasih banyak, Pater!

Mbok Siti wis wayahe

Tiga pekan lalu Mbok Siti masih terlihat sehat dan ceria. Masak nasi lodeh, rebung, telur cepok untuk rombongan dari Sidoarjo. Lalu ngobrol ngalor ngidul di samping petilasan atau semacam cagar budaya Majapahit di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto.

Beberapa kawan bertanya apa kabar Mbah Diyat, pengurus Situs Narotama. "Mbah Yat sudah nggak ada. Sudah lama," kata Mbok Siti.

Sabtu, akhir pekan lalu saya mampir ke situ. Di mana Mbok Siti? "Sudah gak ada," kata Koh Jang. 

Orang Tionghoa Surabaya yang sudah  lama minggat ke kawasan sejuk itu. Ia punya tempat tidur khusus yang disediakan Mbok Siti. "Sakit berat sekitar tiga hari lalu meninggal."

Emmm... apa karena covid? "Itu kuasa Tuhan. Sang Pencipta punya kehendak," kata Koh Jang yang sudah lama menekuni kejawen itu. 

Tionghoa yang satu ini sering pidato tentang Majapahit dan pentingnya menghormati para leluhur Nusantara. "Mbok Siti sudah tenang di alam sana. Kita orang yang masih harus berjuang di alam ini."

Koh Jang seperti biasa bicara panjang lebar tentang sangkan paraning dumadi. Saya jadi ingat banyak kenangan bersama Mbok Siti. Tempat makan utama di kawasan hutan perhutani itu.

Saya juga ingat orang-orang kampung di kawasan petirtaan suci Prabu Airlangga itu kurang percaya yang namanya wabah covid. Sejak awal corona, puncak pandemi, tidak ada yang pakai masker. Cenderung meremehkan covid.

"Alhamdulillah, di sini nggak ada yang mati karena covid," kata warga setempat.

Menghadapi orang-orang kampung seperti itu kita tak bisa mendebat. Percuma. Toh, manusia bisa mati kapan saja kalau sudah waktunya. Mbok Siti wis wayahe!

Jumat, 11 Maret 2022

Berdoa agar Tuan Putin Bertobat

Berdoa untuk Ukraina. 
Berdoa untuk korban perang di Ukraina.

Begitu ajakan di media sosial sejak invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Ajakan untuk berdoa itu sering sekali disuarakan di laman-laman Katolik.

Mengapa tidak ada ajakan berdoa untuk Tuan Putin? Bukankah perang ini inisiatif Putin? Mengapa kita tidak minta kepada Tuhan agar Putin segera menghentikan perang?

Kira-kira begitulah doa singkat saya beberapa hari terakhir. Mendoakan Putin. Mudah-mudahan perang ini segera distop. Terlalu banyak uang yang dibuang untuk senjata, logistik, dan berbagai kebutuhan perang.

Padahal, masih banyak warga dunia ini yang kelaparan. Banyak negara yang belum bisa vaksinasi rakyatnya karena tidak punya uang untuk beli vaksin Sinovac, AstraZeneca dsb.

Syukurlah, kemarin saya baca berita di laman Katolik. Seorang uskup mengajak umat berdoa untuk Putin. Agar segera bertobat. Mumpung lagi masa puasa, persiapan Paskah.

Mengapa tidak menahan diri untuk berperang habis-habisan di Ukraina? Berapa ribu nyawa lagi yang harus melayang?


"We pray for the defenders of Ukraine," Archbishop Borys Gudziak of the Ukrainian Archeparchy of Philadelphia said.

"We pray for the people, for the refugees. 

"We pray for the conversion of Vladimir Putin. We pray that as we begin Lent and go through it to your resurrection, we realize that every crucifixion is lived in you."

Bapa Uskup asal Ukraina itu ketar-ketir karena tahu rekam jejak Putin. Sejak di KGB hingga jadi penguasa tunggal Rusia.

Putin memang komunis tulen tapi tidak anti-Tuhan. Tapi dia dikabarkan tidak senang Gereja Katolik di Rusia dan negara-negara Eropa Timur, khususnya eks Sovyet. 

Vladimir Putin ingin gereja ortodoks di Rusia yang pegang supremasi. Katolik Roma dianggap membawa agenda-agenda Barat. Karena itu, dia bisa melakukan apa saja untuk menghancurkan gereja-gereja Barat, khususnya Katolik.

Ini juga yang membuat Putin tidak pernah menggubris seruan Paus Fransiskus agar menghentikan perang dan mengedepankan perdamaian. Apalagi seruan para kepala negara/pemerintahan yang didominasi blok Barat.

Sebagai umat beriman, kita percaya kuasa Tuhan mahabesar. Tiada yang mustahil bagi Tuhan. Meskipun hati Putin sekeras baja, kalau disentuh Tuhan bakal jadi lembut dan penuh kasih sayang. Insya Allah!

Sabtu, 05 Maret 2022

Menyepi di RSJ Sumber Porong Lawang

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat di Sumber Porong, Lawang, cukup terkenal di Indonesia. Kalau ada orang sakit jiwa biasanya dirujuk ke sini. Termasuk pasien-pasien dari luar Jawa.

Dulu saya beberapa kali berkunjung ke Sumber Porong ini. Bukan sakit ingatan tapi mampir ke rumah mertua seorang Lembata, NTT. Tentu saja lewat kawasan RSJ Sumber Porong itu.

Entah sudah berapa tahun saya tidak mampir ke rumah sakit ingatan (istilah lama) yang dibuka tahun 1902 itu. Pembangunannya sendiri tahun 1884. RS tentu bukan tempat wisata atau mejeng. Apalagi mejeng di RSJ. Bisa ramai.

Namun, setelah membaca narasi dan foto di grup media sosial tentang tempo doeloe, saya jadi tertarik mampir ke RSJ Radjiman. Apalagi sedang santai di Lawang.

Suasana kawasan itu masih relatif sama dengan tahun 1990-an. Hijau, sejuk, nyaman, indah. Tak banyak orang melintas selain warga setempat. Paviliun-paviliun sedang tutup rapat. Tak ada pasien yang jalan-jalan cari angin di halaman.

Saya coba minta izin satpam untuk melihat sejenak salah satu paviliun tapi tidak diizinkan. Sebab dianggap tidak berkepentingan. "Kecuali keluarga pasien," katanya.

Apa boleh buat, saya hanya bisa mampir ke salah satu depot di ujung kompleks RSJ. Menikmati kopi pahit sambil mendengarkan lagu lawas di depot itu. Seger waras!

Kamis, 03 Maret 2022

Menikmati James Ingram di tengah covid

Salah satu kesibukanku di masa pandemi ini adalah nonton YouTube. Kadang dengar khotbah-khotbah lawas Billy Graham, pidato-pidato presiden Amerika Serikat, dan nonton rekaman konser musik. Terutama musik-musik lawas.

Dulu saya terlalu asyik dengar musik instrumental. Orkes simfoni, resital piano, aksi para instrumentalis jazz Amerika hingga Bubi Chen dari Surabaya. Kemudian musik-musik kontemporer yang aneh dari Slamet Abdul Sjukur dan sejenisnya. Ajaran almarhum Mas Slamet memang sangat mempengaruhi selera dan pilihan dengar saya.

Belakangan saya sadar bahwa terlalu banyak mendengar musik tanpa kata ternyata punya sisi negatif. Telinga saya jadi kurang terbiasa mendengarkan lirik-lirik dalam bahasa Inggris. Itu juga membuat lemah di listening. Sulit menangkap kata-kata bahasa Inggris dari penyanyi asli USA.

Maka, sejak pandemi saya biasakan dengar lagu-lagu Barat yang syairnya jelas. Bukan rap atau speed metal yang kata-katanya tidak jelas itu. Tempo moderato atau sedang-sedang saja.

Lagu-lagu pop lawas jadi pilihan terbaik untuk menikmati musik sambil belajar listening. Makin tua lagunya makin gampang ditangkap kata-katanya. Macam My Way, Love Me Tender, Baby Blue, I Don't Like to Sleep Alone etc etc.

Namun, dari sekian banyak itu saya menganggap James Ingram yang paling enak. Baik lirik maupun musikalitasnya. Lagu-lagu James Ingram bukan pop biasa tiga jurus ala country atau Rinto Harahap dan Pance di Indonesia. Musiknya awalnya sederhana tapi makin lama makin complicated alias ruwet.

Tidak mudah membawakan komposisi seperti itu kalau tidak didukung vokal hebat sekelas James Ingram atau Whitney Houston. Lagu-lagu dahsyat ala festival internasional. James Ingram, seperti juga Whitney, sudah tak ada tapi lagu-lagunya akan abadi.

I did my best
But I guess my best wasn't good enough
Cause here we are
Back where we were before

Seems nothin' ever changes
We're back to being strangers
Wondering if we ought to stay
Or head on out the door

Just once
Can we figure out what we keep doin' wrong
Why we never last for very long
What are we doin' wrong?