Tiga pekan lalu Mbok Siti masih terlihat sehat dan ceria. Masak nasi lodeh, rebung, telur cepok untuk rombongan dari Sidoarjo. Lalu ngobrol ngalor ngidul di samping petilasan atau semacam cagar budaya Majapahit di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto.
Beberapa kawan bertanya apa kabar Mbah Diyat, pengurus Situs Narotama. "Mbah Yat sudah nggak ada. Sudah lama," kata Mbok Siti.
Sabtu, akhir pekan lalu saya mampir ke situ. Di mana Mbok Siti? "Sudah gak ada," kata Koh Jang.
Orang Tionghoa Surabaya yang sudah lama minggat ke kawasan sejuk itu. Ia punya tempat tidur khusus yang disediakan Mbok Siti. "Sakit berat sekitar tiga hari lalu meninggal."
Emmm... apa karena covid? "Itu kuasa Tuhan. Sang Pencipta punya kehendak," kata Koh Jang yang sudah lama menekuni kejawen itu.
Tionghoa yang satu ini sering pidato tentang Majapahit dan pentingnya menghormati para leluhur Nusantara. "Mbok Siti sudah tenang di alam sana. Kita orang yang masih harus berjuang di alam ini."
Koh Jang seperti biasa bicara panjang lebar tentang sangkan paraning dumadi. Saya jadi ingat banyak kenangan bersama Mbok Siti. Tempat makan utama di kawasan hutan perhutani itu.
Saya juga ingat orang-orang kampung di kawasan petirtaan suci Prabu Airlangga itu kurang percaya yang namanya wabah covid. Sejak awal corona, puncak pandemi, tidak ada yang pakai masker. Cenderung meremehkan covid.
"Alhamdulillah, di sini nggak ada yang mati karena covid," kata warga setempat.
Menghadapi orang-orang kampung seperti itu kita tak bisa mendebat. Percuma. Toh, manusia bisa mati kapan saja kalau sudah waktunya. Mbok Siti wis wayahe!