Konco-konco lawas alias cowas akhirnya hadir di Kembang Jepun, Surabaya. Ikut merayakan hari jadi surat kabar. Kasih semangat dan vitamin agar media cetak mampu bertahan di era digital.
Ada Bang Koco dan Cak Hendar dari Malang. Cak Amu jurnalis top Jawa Pos yang pernah jadi manajer Mitra Galatama. Cak Pin pakarnya masalah Kota Surabaya. Cak Iku jagoan lobi pejabat kepolisian. Bung Sahara jago nyanyi hard rock dan petualang off road.
Suasana jadi meriah. Nostalgia mengenang masa lalu ketika masih sering dimarahi juragan. Sekaligus mengulas kualitas media massa di era digital saat ini. "Banyak tantangan tapi selalu ada peluang," kata para senior itu.
Sayang, protokol kesehatan ketat tidak memungkinkan nanggap penyanyi dan organ tunggal atau orkes. Padahal Cak Takim, pimpinan orkes dangdut terkenal, hadir juga. "Saya cuma sediakan sound saja. Masih pandemi jadi tidak ada live music," kata bos OM Rollista, Krian, itu.
Apa boleh buat, Cak Sahara tidak bisa unjuk kebolehan melantunkan lagu-lagu Deep Purple, Rolling Stones, dan sejenisnya. Cak Pin juga tak bisa membawakan lagu-lagu dangdut lawas. "Sing penting waras. Tidak kena covid," katanya.
Sambil menikmati sego pecel, minumnya Jamu Iboe, saya terkenang Bang Koco dan Cak Hendar. Juga beberapa karyawan dan mantan karyawan yang tinggal di Malang. Betapa cintanya mereka dengan kota sejuk itu.
Bayangkan, selama bertahun-tahun Bang Koco dan Cak Hendar pergi pulang Malang-Surabaya. Enam hari seminggu. Menempuh jarak sekitar 100 kilometer.
Bang Koco dulu pakai motor laki yang gagah. Malang-Surabaya tak sampai dua jam. Cak Hendar lebih banyak naik bus. Mendiang Cak Hari langganan sepur. Setiap hari asyik melintasi jalanan Malang ke Surabaya. Begitu seterusnya sampai pensiun atau resign.
Mengapa kuat ngelaju Malang-Surabaya selama bertahun-tahun? Mengapa tidak kos saja? Akhir pekan baru ke Malang?
Ternyata tidak semudah itu. Malang itu zona nyaman. Sang istri yang asli Malang tak akan mau tinggal di Surabaya. Biasanya pernah dicoba tapi tidak kerasan karena dirasa panas dsb. Suami yang harus ngalah. Harus mengukur jalan setiap hari.
"Itu semua perjalanan hidup. Kalau sekarang pasti tidak kuat naik motor Malang-Surabaya," kata Bang Koco agak lirih Suaranya tak selantang dulu. Motor yang gagah pun sudah dijual.
Pengalaman Bang Koco, Cak Hendar, dan cowas-cowas asal Malang ini menunjukkan bahwa sejak dulu sejak dulu sudah banyak warga komuter. Tinggal di Malang kerja di Surabaya. Tinggal di Sidoarjo kerja di Surabaya mah biasa.
Jarak 100 kilometer tidak dianggap jauh di Jawa Timur. Sementara di NTT jarak 40 kilometer atau 50 meter dianggap sangat jauh. Maklum, kualitas jalan sangat buruk sehingga motor hanya bisa melaju dengan kecepatan rata-rata di bawah 20 km/jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar