Sincia kalo ini sepi. Masih sama dengan tahun lalu. Gara-gara virus corona masih ada dan bermutasi jadi Omicron. Prokes ketat membuat orang Tionghoa ahli-ahli kelenteng enggan datang sembahyang Sincia.
Senin malam, 31 Januari 2022. Aku mampir ke TITD Hong San Ko Tee atawa Kelenteng Cokro, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Ingin lihat suasana malam tahun baru Tionghoa. Siapa tahu ada atraksi barongsai.
Ternyata sepi. Kelenteng sudah tutup pukul 21.00. Cuma ada lima atau tujuh orang di dalam. Lampion-lampion tidak dinyalakan. Seperti tak ada apa-apa. Padahal, biasanya kelenteng ini sangat ramai pada malam pergantian tahun. Melekan sampai pagi.
Di luar pintu pagar ada dua orang ahli Kaypang. Barisan peminta-minta sedekah. Keduanya menggerutu dalam bahasa daerah sebelah yang aku agak paham. Juga berdoa agar Tuhan kucurkan angpao di masa sulit ini.
"Angpaonya mana? Belum dapat sama sekali," kata anggota Kaypang yang agak muda. Temannya yang tua terus menggerutu.
Sin Cia tahun 2022 ini memang masih prihatin. Namun dewa-dewa ora sare, tidak tidur. Mereka melihat sepak terjang manusia-manusia di dunia yang tengah diamuk badai Covid-19.
Sebelum pulang saya baca pesan pengurus kelenteng: Harus banyak sembahyang biar bisa lolos dari malapetaka!
Salam Sin Cia!
Banyak sembahyang!
Kurangi dosa!
Hahahaha. Kaypang ngocak basa sebelah, tak iye.
BalasHapusHarus banyak sembahyang karena malapetaka corona masih ada di sekitar kita.
HapusSembahyang pakai bahasa apa ? Salah pilih bahasa, bisa-bisa dilaporkan ke CPM oleh bani kadroen.
HapusDalam persoalan sembahyang, aku dewe juga termasuk kadroen, ke gereja harus dimulai dari Dominus vobiscum, dan diakhiri dengan Ite, missa est, Deo gratias, diselingi dengan lagu Asperges me.
Kalau Missa pakai bahasa mandarin, koq rasanya kurang sreg dan enggak mabrur.
Kalau Mbok-ku sembahyang, dia pakai bahasa Min-nan, kayak orang sedang kongkow dengan teman akrabnya. Mungkin Tuhan nya beda dengan Joseph.