Satu per satu pelukis dipanggil pulang ke pangkuannya di masa pandemi ini. Mas Rijaman, seniman Suroboyo yang terkenal dengan pointilisme, meninggalkan kita.
Kaget juga karena Rijaman sering bagi cerita tentang berbagai kegiatannya. Juga suka komentar sosial politik trending topic. Selalu kritis tapi pakai guyonan khas punakawan.
Terakhir Rijaman gelar pameran tunggal di Lippo Plaza, Gresik. Pameran tunggal ke-19. Sekaligus pameran terakhirnya. Alirannya tetap sama: pointilisme. Tak banyak perupa di Jawa Timur yang menekuni pointilisme karena ribet.
Pointilisme butuh ketelatenan dan kesabaran. Sebab melukis objek di kanvas besar pakai titik, titik, titik, titik. Bintik-bintik itu disatukan jadi gambar pemandangan. Objek yang ditekuni Rijaman sejak 80-an.
"Mau gimana lagi? Aku memang paling cocok dengan pointilisme," kata Rijaman di sejumlah pameran tunggalnya. Paling sering di Tunjungan Plaza.
Saya yang awam seni rupa dulu sering dapat kuliah gratis dari Mas Rijaman. Senang karena alirannya tidak umum. Hanya dia sendiri yang menekuni sampai akhir hayatnya. Banyak pelukis lain yang coba-coba bikin pointilisme. Tapi cuma iseng sekali dua.
Makin lama saya makin sering bertemu Rijaman. Di Ngagel Jaya Selatan. Sebab ia sering mengunjungi Ibu Siti Rijati (alm) pelukis senior yang ternyata dulu sama-sama belajar di Taman Budaya, Gentengkali. Ngomong panjang lebar soal lukisan.
Saya cuma nguping saja karena sering gak nyambung. Tapi Rijaman selalu memaksa saya ikut diskusi karena saya dianggap paham seni rupa. "Banyak aliran di seni rupa. Bu Rijati punya aliran sendiri," katanya.
Konsumen atau pembelinya juga lain-lain?
"Jelas," kata Rijaman.
Pembeli atau bahasa halusnya, kolektor, lukisan-lukisan pointilisme ala Rijaman juga terbatas. Sangat segmented. Tapi selalu ada. Dan umumnya orang-orang beruang yang senang pemandangan yang indah, padi menguning, bukit berbunga, dan sejenisnya.
Karena itu, Rijaman selalu bikin pameran di pusat perbelanjaan alias mall. Sesekali di hotel. Dan selalu pameran tunggal. Bukan pameran ramai-ramai lima pelukis, 10, 15, atau 25 pelukis. Durasi pamerannya pun lama. Bisa satu bulan dan sering diperpanjang.
Pameran lukisan yang sifatnya apresiasi, eksperimen, pun jarang diikuti Rijaman. Sebab pameran macam itu dianggap tidak ramah pasar. Bukan market friendly. "Sopo sing tuku? Yang nonton pun biasanya sesama pelukis juga," katanya.
Sudah lama saya tak jumpa langsung Rijaman sejak pandemi covid merebak awal 2020. Cuma bisa say hallo atau komen pendek di media sosial. Pameran tunggal terakhirnya di Gresik pun tak bisa lagi aku nikmati.
Lalu muncul kabar duka dari Rojib, pelukis Sidoarjo, bahwa Mas Rijaman sudah tidak ada. Kita kehilangan pelukis yang mau bergelut dengan pointilisme selama puluhan tahun di Surabaya.
Selamat jalan, Mas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar