Minggu, 09 Januari 2022

Ingat Antre BlackBerry (BB) di Gang Dolly

Saya masih simpan bangkai BB. Lusuh dan berdebu. Mustahil bisa dipakai di masa sekarang. BB itu ibarat barang antik. Dibuang sayang, dipakai tidak bisa.

BlackBerry (BB) mengumumkan secara resmi menghentikan operasional perangkat kerasnya per 4 Januari 2022. Resminya saja. Secara de facto sudah tidak ada BB selama bertahun-tahun. 

Grup BBM kami ditutup di Sidoarjo sekitar 2015 atau 2014 atau 2013. Diganti WAG atawa grup WhatsApp (WA) sampai sekarang. Untuk urusan pekerjaan rutin. Ada juga WAG nostalgia mengenang masa lalu kayak grup alumni Smansa Malang itu.

Selama 8 tahunan itu saya tidak lagi melihat HP pintar bernama BB. Ada satu dua tapi akhirnya jadi bangkai. Macam bangkai BB-ku yang hitam itu.

Saya masih ingat betapa susahnya mendapatkan ponsel BB di awal 2000. Stok terbatas di pasar. Harus antre lamaaaa. Saya pun terpaksa antre di konter seluler di Gang Lebar. Kawasan yang sangat terkenal di perempatan Gang Dolly dan Jarak.

Gang Dolly dan Jarak alias Kupang Gunung pernah sangat terkenal di Surabaya. Banyak omah-omah abang dengan sajian yang tidak lazim. Setiap hari selalu macet, padat, kayak pasar malam.

Di sisi lain, konter-konter HP di kawasan Dolly itu (dulu) biasa jualan Blackberry bagus dengan harga miring. Lebih murah ketimbang di WTC, ITC, atau konter-konter di tengah kota.

Berkat kesabaran antre panjang akhirnya dapat juga BB itu. Telepon genggam (istilah lawas HP) untuk urusan pekerjaan dan komunikasi umumnya. Grup BBM selalu ramai.

 Awalnya kaku, kagok, tapi lama-lama ketagihan enaknya mengetik pakai jempol di BB. Lama-lama laptop jarang dipakai. Tidak perlu lagi ke mana-mana bawa tas punggung berisi laptop. Cukup bawa HP kecil bernama Blackberry yang praktis.

Papan ketik atau keyboard BB yang manual memang sangat enak untuk mengetik. Khususnya naskah-naskah panjang. Menulis berita minimal 400 kata lebih enak pakai BB yang ada trackball itu. 

Karena itu, sering bablas sampai 600 kata atau lebih. Ketika diminta menulis minimal 1.000 kata pun enak saja pakai BB. Naskah-naskah di blog lama yang panjang pun pakai BB.

Ketika BBM pensiun pada 2013/2014 mulailah AKB: adaptasi kebiasaan baru. Harus mengetik di android yang pakai papan ketik virtual. Tak ada lagi tombol-tombol aksara yang terasa.

Sebetulnya sama saja dengan BB. Tapi rasa dan sensasinya lain. Kecepatan mengetik jadi berbeda dengan BB yang masih berasa laptop atau desktop. Meski HP android ada teks prediktif sehingga tidak perlu ketik huruf satu per satu.

Saya masih saja belum bisa mencapai kecepatan mengetik seperti era BB dulu. Akurasi kata-kata pun turun. Ada saja typo. Maksudnya mengetik p tapi yang muncul tetangganya o. Maksudnya k jadi j atau l tetangganya.

Bagaimanapun juga BB dengan BBM-nya pernah sangat berjasa di masa lalu. Tapi pada akhirnya menyerah kalah dan tutup. Gang Dolly lebih dulu ditutup Wali Kota Bu Risma pada tahun angka sial 2013.

Selasa, 04 Januari 2022

Tega larane, ora tega patine

Masih di awal tahun 2022. Ada berita di media online tentang penangkapan oknum pimpinan media di kawasan Surabaya Raya. Awalnya polisi menangkap pengedar sabu di kawasan Tugu Pahlawan, Surabaya.

Setelah interogasi, polisi dapat nama si Fulan di Gresik. Fulan yang bahasa Indonesianya logat Madura medhok itu ditangkap di Gresik. Lengkap dengan barang bukti.

Setelah diperiksa ternyata Fulan ini wartawan. Bukan reporter biasa tapi pimpinan salah satu media online. Fotonya muncul di media online. Sepertinya saya kenal Fulan. Tapi tak percaya karena namanya disamarkan dan mukanya dihitamkan.

Hem.. benar saja. Fulan itu cowas: konco lawas. Pernah satu kantor dengan saya. Sama-sama ikut tes, magang, jadi pekerja anyaran di Karah Agung di awal reformasi. Long time ago. Fulan cukup lama tugas di Jakarta kemudian balik lagi ke Surabaya Raya: Surabaya, Gresik, Sidoarjo.

Di berita online itu disebutkan bahwa Fulan sudah lama ketagihan narkoba jenis sabu. Sekali beli Rp 350 ribuan. Tidak dijelaskan alasan pakai narkoba.

Saya tak pernah menyangka kawan lama itu seorang pengguna narkoba. Selama ini saya hanya tahu ia doyan ngopi. Sama lah dengan hampir semua awak media di Surabaya. Sekali-sekali dugem untuk investigasi dsb.

Karena itu, liputan-liputannya tentang dunia malam sangat menarik. Ada deskripsi yang sangat hidup. Beda dengan wartawan-wartawan yang tidak pernah dugem lalu menulis cerita tentang night life dengan meminjam mata dan mulut narasumber.

''Fulan ini sebelumnya juga hampir kena tapi lolos,'' kata AW, teman lama yang juga atasan si Fulan. 

''Sekarang dia kena batunya. Mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya agar ke depan bisa lebih baik,'' teman itu menambahkan.

Pandemi berkepanjangan, ekonomi tidak menentu, ketidakpastian, kegalauan.. membuat orang nekat. Ada yang lari ke narkoba macam si Fulan ini.

 ''Semoga hukumannya tidak terlalu lama,'' kata teman lain lagi.

Tega larane, ora tega patine! Kadang sambil guyonan kita berharap agar si Fulan atau si Waru atau si Kepoh segera ditangkap dan dipenjara biar kapok. Tapi ketika ditangkap beneran kita malah ora tega dicekel. Kalau bisa ada advokasi, lobi, komunikasi, koordinasi dsb agar sang kawan dibebaskan.

''Advokasi opo? Gak iso lek kasus narkoba atau pidana umum kayak begini. Advokasi itu kalau wartawan dianiaya saat menjalankan tugas,'' kata kawan yang biasa advokasi jurnalis.

Iseng-iseng saya buka lama portal online yang biasa dikendalikan si Fulan. Ternyata namanya sudah hilang. 

Minggu, 02 Januari 2022

Semoga Annus Horribilis jadi Annus Mirabilis

Tahun 2021 baru berlalu. Saya tak sempat merayakannya. Badan terlalu capek karena Jumat sore sampai malam, 31 Januari 2021, tetap kerja meskipun deadline dimajukan.

Kalau biasanya pracetak selesai di atas pukul 21.00, jelang pergantian tahun harus di bawah 19.00. Itu pesannya orang percetakan di Gresik. Semua sepakat dan senang. Paling tidak ada sedikit ruang untuk tasyakuran malam tahun baru di kampung. Atau menikmati malam Old & New di tempat lain.

Tapi... pandemi Covid-19 masih panjang. PPKM diperketat pada malam tahun baru. Pemerintah justru melarang semua acara yang melibatkan orang banyak. Termasuk tasyakuran itu.

Maka malam tahun baru ini hanya disyukuri sederhana. Di dalam gedung tua anno 1880 di Kembang Jepun, Surabaya. Diikuti anggota grup WA yang 20 orang. Tapi ada beberapa peserta berhalangan dan tidak ngantor.

 Tumpengan sederhana khas makanan tasyakuran. Tapi kelihatannya enak banget karena lapar. Perut memang sengaja dikosongkan. Ada doa bersama dipimpin Mas Tri lalu basa-basi penyerahan tumpeng.

Mbak Pemred menyerahkan tumpeng ke saya karena dianggap paling senior. Juga dianggap gurunya wartawan-wartawan yang lebih muda dan reporter magang. Tepuk tangan, foto bareng, lalu makan-makan.

Tahun 2021 boleh dikata Annus Horribilis. Horrible year. Tahun mengerikan. Covid merajalela dengan varian Delta yang dahsyat bulan Juni sampai Agustus.

Begitu banyak orang yang terpapar akibat serangan virus corona. Sempat lockdown dua tiga bulan. Sebagian karyawan terpapar corona. Banyak yang kena tapi tidak tes PCR, isolasi mandiri di rumah, sehingga dianggap sehat walafiat.

Sementara itu, ada sejumlah kawan lama, pensiunan, relasi, keluarga dekat yang meninggal dunia karena corona. Itu yang jadi refleksiku di malam tahun baru.

Akankah Annus horribilis segera berlalu? Diganti Annus Mirabilis, wonderful year? Mudah-mudahan begitu. Sebab nestapa pandemi yang kita alami sudah terlalu lama.

Sabtu, 25 Desember 2021

Ayas Mampir ke Koopen Ngalam, Salut Sam Ngopi

 Dua tahun ini saya tidak mudik Natal. Pandemi berkepanjangan, PPKM, PSBB, dan entah apa lagi membuat kita orang tidak bisa bebas ke mana-mana. Belum lagi tes antigen, PCT, prokes 3M atau 5M atau 7M.

Maka saya pun menyepi saja di Malang. Kota dingin penuh kenangan. Apalagi belakangan ini kawan-kawan lama eks satu kelas di Smansa aktif sekali di grup WA. Salah satunya cerita tentang kopi, kopi, kopi.

Begitu hebatnya kultur ngopi di Malang beberapa tahun belakangan. Ipong, teman satu kelas Graffiti dulu, pun jadi salah satu juragan kopi di Malang. Terkenal sekali Sam Ngopi (Mas Ipong, dibaca terbalik) alias Arif Murahman ini. Kalau ada diskusi atau seminar tentang kopi, biasanya kawan yang juga sesama alumni Jember ini jadi pembicara.

Kopi dengan kafeinnya yang pahit dianggap obat. Bisa menetralkan lemak, kolsterol, dsb. Ipong senang makan duren. Ketika diingatkan teman segrup yang dokter, "Gampang. Kopi jadi penetral," katanya.

Sabtu 25 Desember 2021. 

Setelah menengok sejenak suasana Natalan, misa pagi di Gereja Katedral Malang, Jalan Ijen, saya mampir ke Koopen di Jalan Ijen juga. Kafe dengan suasana tempo doeloe. Mencoba mencicipi kopi yang sering dipamerkan di media sosial.

Cukup profesional layanannya. Ala hotel bintang tiga. Silakan pilih kopi varietas apa. Ada karlos, bumiaji, ijen, dan entah apa lagi. Ayas (saya, dibaca terbalik ala Malang) pilih karlos. Lalu duduk di luar dekat taman. Mirip meneer Belanda tempo doeloe.

Ehem... rasanya memang beda. Lain dengan kopi sasetan atau racikan di warkop-warkop Sidoarjo atau Surabaya. Ayas tambahkan gula satu saset agar tidak terlalu pahit. Siiip.

Ayas coba cari informasi Koopen Malang di Google. Ternyata banyak banget tulisan atau liputan tentang si Koopen itu.

Salah satu portal berita menulis:

"Toko kopi yang juga warkop milik Arif Ipong ini sudah dikenal sampai ke mancanegara. Lokasi pertamanya ada di Jalan Trunojoyo A1, Kota Malang, Jawa Timur, tepatnya ada di pojok Prapatan Klojen. Toko kopi ini hanya sekitar lima menit dari Stasiun Malang Kota Baru.

"Tidak disangka, Toko Kopi Koopen membuka cabang kedua setelah suskes menggemparkan warga Malang di cabang pertamanya. Lokasi cabang kedua ada Jalan Ijen Nomor 90 , Kota Malang, Jawa Timur. Wah, seiring berjalannya waktu Toko Kopi Koopen ini mulai menjadi primadona kopi di Kota Malang."

Wow.. luar biasa Ipong. Teman kelas yang ramah, murah senyum, bahasanya halus itu sudah berhasil bikin sesuatu di Malang. Membuat arek-arek Malang makin ketagihan kopi. 

Rahayu wong sing doyan ngopi!

Misa Natal di Surabaya dan Larantuka - Tak Ada Pesta Lagi

Perayaan ekaristi atau misa Natal masih online atau dalam jaringan (daring). Sudah dua tahun. Gara-gara pandemi covid yang tak kunjung sudah. Suasananya berbeda jauh.

Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.

Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.

Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.

Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.

Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.

Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.

Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.

Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.

Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.

Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.

Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!

Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.

Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.

Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.

Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.

Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.

Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.

"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.

Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.

Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.

Kamis, 23 Desember 2021

Natal super sederhana di tahun kedua pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 sudah berjalan dua tahun. Tak jelas kapan berakhir. Angka korban serangan virus corona memang sudah anjlok di tanah air. Namun, belakangan muncul Omicron, varian baru yang katanya jauh lebih menular.

Maka, pembatasan sosial yang dikenal dengan PPKM, PSBB, atau apa pun namanya tetap berlaku. Masyarakat dilarang bepergian ke mana-mana. Tidak boleh libur ke luar kota. Tidak boleh kumpul-kumpul. Jaga jarak. Pakai masker dsb dsb.

Bagaimana dengan misa Natal? Sama saja. Boleh tapi dibatasi. Jemaat yang boleh ikut misa langsung di gereja cuma 25 persen atau 30 persen. Pakai macam-macam protokol kesehatan yang ketat. Prokes-prokes ini bikin bosan saking seringnya disebut selama dua tahun terakhir.

Kamis Pon, 23 Desember 2021. Saya mampir ke Gereja Roh Kudus di Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Mau lihat suasana jelang misa Natal. Dekorasi gereja, kesibukan umat, dan sebagainya.

Sayang sekali, suasananya masih muram. Seakan-akan tidak ada perayaan ekaristi besar atau misa raya Natal. Suasananya mirip hari biasa. Bahkan lebih muram. Tidak ada orang di halaman gereja. Kecuali dua orang satpam.

Syukurlah, saya masih diizinkan masuk ke Taman Doa yang ada Gua Maria. Sekalian doa rosario satu peristiwa saja. Rosario yang normal harus lima peristiwa. Sembahyang lama-lama pun khawatir melanggar protokol kesehatan.

Dari Gua Maria saya cuma melihat dekorasi sederhana di depan pintu gereja yang tertutup rapat. Hanya itu yang menunjukkan bakal ada ekaristi Natal di Gereja Roh Kudus.

Suasana Natal yang meriah, mirip pesta rakyat, khususnya di NTT, tak ada lagi gara-gara serangan Covid-19. Tak terdengar lagu-lagu Natal dari paduan suara atau pengeras suara. Semuanya hening dalam kegelapan pandemi corona.

Suasana yang muram ini malah mirip suasana Natal di kitab suci. Bayi Yesus hanya ditemani Yosef dan Maria di kandang sederhana di Bethlehem. Tak ada dekorasi. Tak ada kemeriahan, apalagi kemewahan, seperti yang biasa kita lihat di pusat belanja, hotel, dan gereja-gereja sebelum pandemi.

Covid-19 ini punya blessing in disguise. Kita jadi kembali sederhana. Simplicity in everything. Misa Natal yang biasanya berlangsung selama dua jam kini dipangkas paling lama satu jam. Bahkan, misa-misa di USA malah tidak sampai 30 menit.

Selamat Natal!
Semua makhluk berbahagia!

Pastoran Baru di Paroki Roh Kudus Surabaya

Sudah lama saya tidak ikut misa langsung di gereja. Selama dua tahun ini tidak sampai lima kali. Itu pun bukan misa biasa, tapi misa requiem. Ekaristi khusus untuk mendoakan orang yang meninggal.

Karena itu, saya agak pangling ketika mampir di Gereja Roh Kudus, kawasan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, Kamis (23/12) pagi. Sambil istirahat setelah nggowes sepeda pancak agak jauh. Melihat-lihat kondisi gereja menjelang Natal.

"Romo-romo mau boyongan," kata petugas keamanan asal Timor.

Ke mana? "Ke pastoran yang baru."

Pastoran baru itu terpisah agak jauh dari bangunan gereja. Tepatnya di pojok parkiran. Cukup megah. Rupanya sudah diberkati bulan lalu. Tapi baru ditempati hari ini, Kamis Pon 23 Desember 2012.

Kapan bancakan? Seorang bapak, aktivis gereja, tertawa kecil. Pemberkatan itu dianggap bancakan. Tinggal ditempati saja.

Saya lihat Pater Yoseph Jaga Dawan SVD sedang membawa tasnya ke pastoran baru. Kelihatannya sibuk. Tak bagus kalau diganggu. Pastor ini berasal dari Flores Timur. Tepatnya Desa Lamawalang, dekat Larantuka.

Pastor parokinya Pater Dominicus Udjan SVD asal Pulau Lembata, NTT. Cocok sudah! Ditambah rama praja dan pater Soverdi dari Jawa.

Paroki Roh Kudus termasuk paroki baru di kawasan Surabaya Timur, dekat perbatasan Kabupaten Sidoarjo. Pastoran lama memang kurang luas. Jadi satu dengan sekretariat paroki, balai paroki, kelihatan sempit. Karena itu, pastoran yang baru ini memang sangat layak untuk paroki yang pater-paternya kebanyakan SVD sejak awal diresmikan itu.

Semoga pater-pater lebih kerasan dan semangat melayani para domba setelah menempati rumah baru.