Saya suka lagu-lagu tempo doeloe, nostalgia, tapi kurang suka nostalgia sekolah. Karena itu, saya tidak pernah ikut reuni. Mulai SD di pelosok Lembata, SMPK San Pankratio di Larantuka, SMAN 1 Larantuka lalu pindah ke SMAN 1 Malang, hingga kuliah.
Saya pun hampir tidak pernah kontak-kontakan dengan teman sekolah. Hanya satu orang teman sekolah yang sering kontak. Gabriel Hokon, teman satu kelas di SMAN 1 Larantuka (dulu namanya SMAN 468). Kebetulan Gabriel tinggal di Surabaya dan kayaknya ia perlu teman yang bisa berbahasa Lamaholot dan Nagi alias Melayu Larantuka.
Saya cuma satu tahun di SMAN 1 Larantuka. Lalu kabur bareng ke Jawa bersama teman-teman seperjuangan dari berbagai kabupaten di NTT. Ada yang pindah ke Jogja, Semarang, Malang, dan beberapa kota lain. Saya bersama lima kawan ditempatkan di Malang.
Dua orang di SMAN 1 Malang (Lambertus dan Ivon), dua di SMAN 3 (Yohanes dan Yoke), dan dua di SMAN 4 (Paulina dan Ruth Laiskodat). Praktis tidak ada kontak dengan lima kawan ini meski kami pernah senasib dan sependeritaan. Makan bareng di Belakang RSSA, sempat kesulitan adaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan di NTT.
Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba ada 'orang penting' yang mencari saya. "Katanya teman satu kelas sampean di SMA dulu. Pak Edwin namanya," kata kolega di kantor. Edwin tinggalkan nomor WA-nya. Minta segera dihubungi.
Edwin.. Edwin.. Daya ingat saya sudah tidak sebagus dulu. Edwin kawan sekelas di SMA? Ouw.. Edwin Kurniawan. Orangnya asyik, suka guyon, bikin kerasan anak pindahan seperti saya.
Begitu saya kontak nomornya, Edwin langsung nyambung. Suaranya sudah beda tapi ketawanya masih khas orang sukses.
Singkat cerita, saya diminta segera masuk WA Group bernama Graffiti Smansa Ngalam. "Sampean dicari teman-teman," katanya.
Saya agak bimbang masuk WAG. Sudah banyak grup yang saya tinggalkan (left) karena materi obrolan dan konten-konten tidak menarik. Hanya bikin penuh memori ponsel.
Tapi ini grup satu kelas sesama Mitreka Satata, julukan populer SMAN 1 Malang. Sama-sama Graffiti: julukan Jurusan Fisika, A1-3. Semuanya saling kenal. Umurnya sebaya. Kalaupun ada selisih usia paling banyak cuma setahun. Tidak akan ada pemalsuan umur atau identitas lainnya.
Satu kelas ibarat keluarga besar. Sama-sama saling tahu kelebihan, kekurangan, kenakalan, kekonyolan, dsb.
Pikir punya pikir.. akhirnya saya gabung grup Graffiti. Dan, nama-nama lawas pun bermunculan. Semula samar jadi terang. Teman-teman yang dulu kurus-kurus kini jarang yang kurus. Itu terlihat dari fotonya. Yang dulu gondrong sudah banyak yang tipis.
Masuknya saya membuat grup mendadak jadi ramai. Kangen-kangenan. Nostalgia. Cerita-cerita ringan, kadang konyol, saat saya digembleng sebagai anak pindahan. Juga siswa asal NTT yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Yang logatnya aneh sehingga mengundang tawa.
Di kelas Graffiti, saya memang cukup terkenal. Bukan karena pintar atau punya prestasi, tapi aksen Flores Timur yang kental. Saat itu saya pun belum begitu lancar berbahasa Indonesia baik dan benar.
Saya masih sering keceplosan ungkapan lokal seperti "kita orang", "pigi", "su" (sudah). Kata yang mestinya diucapkan pakai e (pepet) saya lafalkan dengan é.
Karena itu juga, saya sering digembleng oleh beberapa guru. Sering sekali disuruh maju di depan kelas. Jadi pusat perhatian teman-teman sekelas yang 40-an orang itu.
Salah satunya Pak Supaat, guru bahasa Indonesia. "Lambertus maju. Coba ceritakan ulang isi bacaan tadi!" perintahnya.
Mati aku! Saya pun maju dan mulai orasi. Menceritakan kembali bacaan dari buku teks bahasa Indonesia itu. Logat NTT sengaja saya tonjolkan, narasinya saya tambahi sendiri agar lebih menarik. Kawan-kawan sekelas pun tertawa ngakak.
Hari lain, Pak Paat menulis kalimat majemuk, panjang, dengan sejumlah kesalahan. "Lambertus maju! Coba Anda jelaskan mengapa kalimat itu salah," katanya.
Tidak mudah memang berdiri di depan kelas di hadapan 40 orang. Apalagi orang desa asal NTT disuruh berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar di depan para pelajar Kota Malang dengan status sosial ekonomi tinggi.
Asal tahu saja, SMAN 1 dan SMAN 3 tergolong sekolah negeri favorit di Malang. Hanya anak-anak yang NEM-nya tinggi yang bisa diterima. NEM saya pun jauh di bawah standar. Saya bisa masuk SMAN 1 Malang karena ada rekomendasi Dikbud NTT.
Kembali ke WAG. Luluk rupanya masih ceria dan telaten mencatat nama-nama teman satu kelas di Graffiti Smansa. Nama saya paling buntut karena anak pindahan. Sama dengan masa sekolah dulu.
Ira yang murah senyum, ramah, tidak banyak bicara, tekun ternyata sudah jadi dokter. Ira sempat share lomba nyanyi dan joget dalam rangka hari jadi rumah sakit tempat kerjanya. Dapat hadiah Rp 500 ribu katanya.
Gak nyangka Ira yang pendiam sudah begitu centil dan heboh begini. Mungkin sejak kuliah di kedokteran. Dokter-dokter memang perlu gembira khususnya di masa pandemi ini. Biar pasien senang dan tahan menghadapi serangan virus.
Bagaimana dengan Sri Astuti? "Sudah nggak ada," tulis seorang kawan di grup.
Oh, Tuhan!
Sri sudah berpulang.
Saya jadi ingat kawan yang satu ini. Periang, ramah, dan sering gojlok saya saat belajar mengenal kata-kata bahasa Jawa. Doaku untukmu Sri.. semoga tenang bersama-Nya.