Sabtu, 06 November 2021

Teman lama jadi romo, sungkan ngaku dosa

Ada pater di Banyuwangi yang viral di media sosial dan media online karena toleransinya yang tinggi. Romo Tiburtius Catur Wibawa, O.Carm bikin musala di Griya Ekologi Kelir, Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Griya itu tempat pelatihan milik SMA Katolik Hikmah Mandala Banyuwangi. Romo Catur rupanya ditugasi Yayasan Karmel Keuskupan Malang untuk berkarya di sekolahan itu. Sang pater mendirikan musala itu pada 2019. Bisa menampung 12 sampai 15 jamaah.

"Ketimbang pengunjung-pengunjung yang muslim kesulitan tempat salat," kata pater asli Banyuwangi itu.

Banyak sekali komentar-komentar yang mengapresiasi gebrakan Catur Wibawa. Di tengah arus intoleransi yang makin deras, seorang pastor Katolik justru bikin musala. Malah ia mempersilakan kalau ada orang Hindu yang bikin pura kecil. Orang Buddha bikin wihara mungil.

"Asal konsepnya pakai rumah Osing. Griya Maria pun pakai Osing," kata sang pater karmelit itu.

Saya ikut kagum dengan Romo Catur. Sekaligus kaget karena dia sudah jadi pastor yang punya warna sendiri. Agak beda dengan klerus-klerus kebanyakan di tanah air.

Dulu saya dekat banget dengan Catur sewaktu di Jember. Sama-sama kos di Jalan Kalimantan, kawasan Tegalboto. Saya di Gang 14, Catur di Gang 20-an. Jalan kaki tidak terlalu jauh.

Catur punya tape compo yang besar. Punya kaset-kaset cukup banyak. Saya hanya punya tape sederhana. Kaset-kasetku tak sampai 10 biji. Itu pun kurang bagus. Cuma Whitney dan "Bad" Jackson yang oke. Saat itu harga kaset terlalu mahal.

Maka, saya sering mampir ke kamarnya Mas Catur untuk nyetel kaset. Kebanyakan lagu-lagu Barat lawas nostalgia. Kayak Imagine, Welcome to My Word, Dream Dream Dream, Send Me the Pillow.. kayak gitu lah.

Catur juga punya banyak buku filsafat, teologi Katolik, pendalaman kitab suci, tulisan romo-romo. Kuliah di Universitas Jember tapi kok banyak buku kayak anak seminari? Saya penasaran memang.

Tapi Catur memang sudah kelihatan punya bakat jadi romo saat di Jember. Rajin misa bukan hanya hari Minggu. Sering mengajak saya dan teman-teman doa rosario dan baca kitab suci, ikut kor, dan sebagainya.

Suatu saat saya diajak ke kampung halaman Catur di Tegaldelimo, Banyuwangi. Kampung yang indah dengan sawah yang luas menghijau. Orang Katolik tidak banyak di situ. Orang tua Catur jadi pimpinan stasi.

Hari Minggu ada ibadat sabda tanpa imam. Sebab pastor-pastor kurang dan biasanya tugas di kota. Maka, seperti di NTT, umat awam yang pimpin sembahyang tanpa imam. Di situlah saya lihat peranan keluarga Catur Wibawa.

Lama tak ada kabar, sekian tahun berlalu, saya tak lagi ingat Catur. Kita orang sibuk sendiri-sendiri dengan segala persoalan dan rutinitas. Hingga saya dengar kabar ada romo di Banyuwangi yang bangun musala yang viral di media sosial itu.

Romo Tiburtius Catur Wibowo, O.Carm.

Saya belum sempat mampir ke griya musala itu sekaligus kangen-kangenan. Tapi saya menduga Catur masih senang menikmati lagu-lagu nostalgia Barat yang tidak meledak-ledak. Kayak Welcome to My World dan bukan Welcome to The Jungle yang sangat populer di kos-kosanku.

"Knock and the door will open
Seek and you will find
Ask and you'll be given
The key to this world of mine"

Dan, yang pasti, saya sungkan mengaku dosa pada teman lama yang sudah jadi pater terkenal.

Berkah Dalem, Romo Catur!
Nyuwun berkat suci!

Kamis, 04 November 2021

Vaksin alon-alon waton kelakon

Apa kabar Merah Putih?

Lama tak ada kabar calon vaksin buatan anak bangsa ini. Saking lamanya, aku pikir proyek vaksin Universitas Airlangga itu mandek. Atau dihentikan.

Toh, Indonesia sejak awal tahun digerojok Sinovac dari Tiongkok. Kemudian AstraZeneca, Pfizer, dan beberapa lagi. Capaian vaksinasi pun sudah di atas target 70 persen - di kota besar macam Jakarta dan Surabaya.

Maka, aku pun lupa dengan Merah Putih yang sempat ramai di awal pandemi korona. Buat apa bikin sendiri kalau bisa membeli dari luar negeri yang punya pengalaman di bidang itu?

Kayak mobil atawa motor. Kita orang lebih suka beli dari Jepang ketimbang produksi sendiri. Kalau ada orang Indonesia yang bikin purwarupa (istilah kerennya: prototipe, prototype) mobil atau motor biasanya diejek habis-habisan. Kita memang sudah ketagihan produk-produk luar negeri meski tiap hari Baba Alim kampanye di televisi: Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia!

Kamis Wage, aku baca di koran saat rehat gowes. Vaksin Merah Putih siap uji klinik di RSUD Soetomo. Awal Desember 2021. Panitia sedang mencari relawan untuk jadi kelinci percobaan. Uji klinis tahap kedua tahun depan.

Lalu, kapan si Merah Putih ini siap disuntikkan?

Belum jelas. Masih panjang perjalanan ke sana. Sementara virus ganas yang namanya korona ini tidak ambil pusing dengan vaksin-vaksin buatan Tiongkok, Inggris, USA, Indonesia, dsb. Covid terus bermutasi dan merajalela seperti yang kita alami hampir dua tahun.

Indonesia sudah jelas kalah telak dalam balapan vaksin covid. Kita masih seperti yang dulu. Vaksin baru siap setelah pandemi lewat puluhan tahun. Padahal teknologi modern sudah bisa melipat waktu. Vaksin ternyata sudah bisa disuntikkan ketika pandemi lagi ganas-ganasnya.

Ibarat olimpiade vaksin, Tiongkok terbukti paling cepat dan masif dalam produksi vaksin korona. Meskipun vaksin-vaksin dari Zhongguo itu sering diejek di sini karena dianggap tidak efektif. Banyak banget temanku yang menolak Sinovac.

"Aku mau vaksin apa saja asal bukan dari Cino," kata beberapa anggota kumpulan di media sosial.

Padahal, saat itu, vaksin yang tersedia ya cuma Sinovac. Mereka yang menolak vaksin Tiongkok itu mengira kualitas farmasi atau vaksin Sinovac dan kawan-kawan mirip mocin (motor cina) yang memang brengsek gak karuan. Mereka lupa bahwa pakar-pakar dan pemerintahan di Beijing sana terus melakukan perbaikan.

Tahun depan bisa diprediksi kasus Covid-19 sudah lebih terkendali. Gerojokan vaksin dari Tiongkok, Amerika, dan sebagainya mungkin tidak sebanyak tahun 2021. Saat itu si Merah Putih mungkin sudah siap disuntikkan sebagai vaksin penguat untuk dosis ketiga.

Akankah vaksin Merah Putih ini berterima di Indonesia? Kembali ke prototipe mobil buatan insinyur atawa anak-anak SMK di sini. Bukannya diapresiasi malah diejek habis-habisan. Sebab rakyat kita memang sudah lama menganggap produk-produk dalam negeri kurang berkualitas.

Vaksin Merah Putih ini, ibarat pepatah Jawa, alon-alon watok kelakon. Ibarat orang tempo doeloe naik sepeda kebo. Nggowes alon-alon sambil bersenandung Sepasang Mata Bola, Kopral Djono, Arjati, Rindoe Loekisan... yang penting sampai ke tujuan. Tidak perlu balapan.

Toh, divaksin atawa tidak divaksin, semua orang akan mati juga.

Selasa, 02 November 2021

Kita perlu menerima dos penggalak


Hannah Yeoh, anggota parlemen Malaysia dari DAP, partai pembangkang (oposisi), menulis:

"Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Lalu ada versi bahasa Inggris di bawahnya: "Pfizer booster dose received, second dose was taken back in early April."

Saya memang selalu membaca tulisan-tulisan politisi Malaysia di media sosial. Selain Hannah Yeoh, Anthony Locke, Lim Guan Eng, juga Anwar Ibrahim. Kebetulan semuanya dari partai pembangkang. UMNO cuma sekali dua lah.

Yang paling sering, juga favorit, adalah Dato Sri Anwar Ibrahim ketua pembangkang. Juga paling sering dengar perdebatan Anwar yang sangat seru di parlemen Malaysia. Debat politisi di sana sangat ramai mirip ibu-ibu tukaran di pasar.

"Tarik balik... tarik balik.. tarik baliiik!" begitu kata-kata khas ahli parlemen Malaysia menuntut lawannya menarik balik ucapannya yang dianggap menyinggung perasaan.

Kembali ke Hanna Yeoh. "Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Tanpa terjemahan bahasa Inggris pun saya mengerti kalimatnya. Sebab bahasa Melayu di Malaysia dengan bahasa Indonesia sebenarnya sama saja. Berbeza sikit lah. 

Orang Malaysia macam Anwar Ibrahim pun paham 95 persen ucapan orang Indonesia. Kecuali kata-kata bahasa Jawa atau bahasa daerah yang dimasukkan dalam kalimat.

Yang menarik bagi saya adalah frase "dos penggalak". 

Mudah dimengerti meski istilah ini tidak ada di Indonesia. Dos itu dosis dari dose (Inggris). Penggalak kata dasarnya galak. Penggalak tentu penguat atau menambah kekebalan setelah vaksinasi dosis pertama dan kedua.

Kita di Indonesia yang baru saja merayakan bulan bahasa sepanjang Oktober, ironisnya, belum punya padanan vaksin booster. Booster ya tetap booster di media cetak, televisi, apalagi media sosial. Ada juga yang pakai vaksin penguat tapi kelihatannya belum berterima.

Orang Indonesia yang makin keminggris, meskipun tidak fasih berbahasa Inggris seperti orang Malaysia, kelihatannya terlena dengan booster, rapid test, bed occupancy rate, tracing, testing, treatmen.. dan banjir istilah baru di masa pandemi.

Saya sendiri ingin segera menerima dosis penggalak. Tidak harus Pfizer, Sinovac, AstraZeneca, atau apa saja boleh. Tubuh manusia yang rentan memang perlu penggalak untuk menahan gempuran virus korona.

Apakah vaksinasi menjamin kita tidak kena Covid-19?

Tidak juga. Gubernur Khofifah kena dua kali meski dapat giliran vaksinasi paling awal di Jawa Timur. Wakil Gubernur Emil Dardak juga sempat isolasi gara-gara covid.

 Wakil Wali Kota Surabaya Armudji juga penyintas covid. Masih banyak lagi pejabat di Jawa Timur yang terpapar virus korona. Wakil Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin meninggal dunia gara-gara covid. Saat itu vaksin belum diproduksi.

Saya sendiri ikut rombongan vaksinasi paling awal bersama ratusan orang yang dianggap berisiko tinggi. Disuntik di kantor gubernur Jatim. Disaksikan Gubernur Khofifah.

Hasilnya? Sebagian besar kena covid juga. Saya pun ikut merasakan betapa tidak enaknya sakit covid yang aneh itu. Alhamdulillah, semua kawan dan aku yang sudah vaksinasi lengkap tidak masuk rumah sakit. Cukup minum vitamin, berjemur, senam pagi, makan Lian Hua... minggat sendiri Mbak Corona itu.

Saya dan kawan-kawan risiko tinggi terima vaksin kedua Sinovac di kantor gubernur pada 13 Maret 2021. Sudah tujuh bulan berlalu. Kemampuan vaksin untuk melawan covid pasti sudah sangat rendah. Dan.. terbukti banyak yang tumbang pada akhir Juni hingga Agustus lalu.

Karena itu, ada baiknya pemerintah segera menyiapkan dos-dos penggalak untuk kalangan risiko tinggi. Sambil menuntaskan vaksinasi penuh untuk semua warga negara Indonesia... yang mau disuntik.

Sabtu, 30 Oktober 2021

Makan Singkong Rebus, Nostalgia Bioskop Tempo Doeloe di Kawasan Pabean

Saya sering banget mampir di warkop pojok dekat Pasar Pabean, Surabaya.  Ngopi di warungnya ibu asal Madura. Kopi racikan, singkong rebus, tape, pisang rebus... joss.

Tidak banyak warkop atawa warung yang jualan singkong rebus di Surabaya. Yang banyak itu gorengan singkong, singkong goreng keju, dan sejenisnya. Singkong yang sudah direbus digoreng lagi. Badan bisa tambah gembrot.

Menikmati singkong rebus, kopi racikan, ibarat nostalgia. Pikiran melayang ke kampung-kampung di pelosok NTT. Hampir tiap hari orang desa makan singkong rebus, ubi jalar rebus, pisang rebus, aneka ubi rebus. Semuanya serba direbus karena minyak goreng mahal.

Itu dulu... saat saya masih kecil di desa. Sekarang mungkin sudah jarang kebiasaan makan pagi ubi kayu rebus atau pisang rebus.

Sambil membayangkan masa lalu di pelosok NTT yang belum ada listriknya, saya perhatikan gedung-gedung lama di Pabean, Kalimati, dan sekitarnya. Bukan main indahnya. Bangunan-bangunan eks Hindia Belanda itu masih sangat kokoh.

 Sayang, sebagian besar kusam karena kurang perawatan. Ada juga yang hancur. Ada lagi yang berubah fungsi. Salah satunya bangunan yang sekarang jadi kantor BCA Pabean. Lokasinya strategis di pojokan.

Dengar-dengar tempo doeloe gedung bioskop ternama di kawasan Pecinan. Ibu Madura juragan warkop juga bilang begitu. Mbah Google pun sama.  "Saya sering dengar kalau dulunya bioskop. Tapi saya gak ngalami," kata si Madura yang usianya 60-an tahun.

Yousri Rajaagam, wartawan senior, punya catatan paling lengkap seputar bioskop-bioskop di Surabaya. Mulai era penjajahan Belanda, awal NKRI, Orde Lama, Orde Baru, hingga bioskop-bioskop lama gulung tikar diganti sineplex 21.

Namun, Yousri tidak banyak menguraikan bioskop di Kalimati, Pabean, Surabaya. Dia cuma bilang Bioskop Tionghoa. Film-film Mandarin jadi menu sehari-hari di bioskop yang cukup luas tersebut.

"Itu dulu Bioskop Nanking kalau gak salah," kata seorang pedagang buah dan rujak manis di dekat kantor BCA itu.

Film-filmnya Mandarin semua? Atau campuran dengan film Barat dan Indonesia?

"Waduh.. gak menangi aku. Banyak fotografer yang ambil gambar di sini," katanya.

Yah... bioskop-bioskop memang pernah sangat jaya di tanah air. Surabaya sebagai kota terbesar kedua punya puluhan bioskop. Bahkan bisa di atas angka 100. Mulai bioskop paling elite Broadway, yang karcisnya sangat mahaaal, hingga bioskop-bioskop kelas bawah di pinggiran kayak Rungkut Theatre atau bioskop di Wonokromo.

Bioskop  Nanking, Sampoerna Theatre, Capitol, Alhambra, hingga bioskop kelas kaki lima di Kalisosok yang kini tinggal nama. 

Dulu saya sering nonton film di Surabaya Theatre dekat Tugu Pahlawan dan Mitra di Balai Pemuda. Sekarang tinggal kenangan. 

Gedung megah eks Surabaya Theatre bahkan dipasangi spanduk besar: DIJUAL. Padahal, dulu saya sering nonton artis Ervinna membawakan lagu-lagu pop Mandarin saat Sincia.

Kamis, 28 Oktober 2021

Nostalgia Alumni Graffiti SMAN 1 Malang

Saya suka lagu-lagu tempo doeloe, nostalgia, tapi kurang suka nostalgia sekolah. Karena itu, saya tidak pernah ikut reuni. Mulai SD di pelosok Lembata, SMPK San Pankratio di Larantuka, SMAN 1 Larantuka lalu pindah ke SMAN 1 Malang, hingga kuliah.

Saya pun hampir tidak pernah kontak-kontakan dengan teman sekolah. Hanya satu orang teman sekolah yang sering kontak. Gabriel Hokon, teman satu kelas di SMAN 1 Larantuka (dulu namanya SMAN 468). Kebetulan Gabriel tinggal di Surabaya dan kayaknya ia perlu teman yang bisa berbahasa Lamaholot dan Nagi alias Melayu Larantuka.

Saya cuma satu tahun di SMAN 1 Larantuka. Lalu kabur bareng ke Jawa bersama teman-teman seperjuangan dari berbagai kabupaten di NTT. Ada yang pindah ke Jogja, Semarang, Malang, dan beberapa kota lain. Saya bersama lima kawan ditempatkan di Malang.

Dua orang di SMAN 1 Malang (Lambertus dan Ivon), dua di SMAN 3 (Yohanes dan Yoke), dan dua di SMAN 4 (Paulina dan Ruth Laiskodat). Praktis tidak ada kontak dengan lima kawan ini meski kami pernah senasib dan sependeritaan. Makan bareng di Belakang RSSA, sempat kesulitan adaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan di NTT.

Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba ada 'orang penting' yang mencari saya. "Katanya teman satu kelas sampean di SMA dulu. Pak Edwin namanya," kata kolega di kantor. Edwin tinggalkan nomor WA-nya. Minta segera dihubungi.

Edwin.. Edwin.. Daya ingat saya sudah tidak sebagus dulu. Edwin kawan sekelas di SMA? Ouw.. Edwin Kurniawan. Orangnya asyik, suka guyon, bikin kerasan anak pindahan seperti saya.

Begitu saya kontak nomornya, Edwin langsung nyambung. Suaranya sudah beda tapi ketawanya masih khas orang sukses.

Singkat cerita, saya diminta segera masuk WA Group bernama Graffiti Smansa Ngalam. "Sampean dicari teman-teman," katanya.

Saya agak bimbang masuk WAG. Sudah banyak grup yang saya tinggalkan (left) karena materi obrolan dan konten-konten tidak menarik. Hanya bikin penuh memori ponsel.

Tapi ini grup satu kelas sesama Mitreka Satata, julukan populer SMAN 1 Malang. Sama-sama Graffiti: julukan Jurusan Fisika, A1-3. Semuanya saling kenal. Umurnya sebaya. Kalaupun ada selisih usia paling banyak cuma setahun. Tidak akan ada pemalsuan umur atau identitas lainnya.

Satu kelas ibarat keluarga besar. Sama-sama saling tahu kelebihan, kekurangan, kenakalan, kekonyolan, dsb.

Pikir punya pikir.. akhirnya saya gabung grup Graffiti. Dan, nama-nama lawas pun bermunculan. Semula samar jadi terang. Teman-teman yang dulu kurus-kurus kini jarang yang kurus. Itu terlihat dari fotonya. Yang dulu gondrong sudah banyak yang tipis.

Masuknya saya membuat grup mendadak jadi ramai. Kangen-kangenan. Nostalgia. Cerita-cerita ringan, kadang konyol, saat saya digembleng sebagai anak pindahan. Juga siswa asal NTT yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Yang logatnya aneh sehingga mengundang tawa.

Di kelas Graffiti, saya memang cukup terkenal. Bukan karena pintar atau punya prestasi, tapi aksen Flores Timur yang kental. Saat itu saya pun belum begitu lancar berbahasa Indonesia baik dan benar.

Saya masih sering keceplosan ungkapan lokal seperti "kita orang", "pigi", "su" (sudah). Kata yang mestinya diucapkan pakai e (pepet) saya lafalkan dengan é.

Karena itu juga, saya sering digembleng oleh beberapa guru. Sering sekali disuruh maju di depan kelas. Jadi pusat perhatian teman-teman sekelas yang 40-an orang itu.

Salah satunya Pak Supaat, guru bahasa Indonesia. "Lambertus maju. Coba ceritakan ulang isi bacaan tadi!" perintahnya.

Mati aku! Saya pun maju dan mulai orasi. Menceritakan kembali bacaan dari buku teks bahasa Indonesia itu. Logat NTT sengaja saya tonjolkan, narasinya saya tambahi sendiri agar lebih menarik. Kawan-kawan sekelas pun tertawa ngakak.

Hari lain, Pak Paat menulis kalimat majemuk, panjang, dengan sejumlah kesalahan. "Lambertus maju! Coba Anda jelaskan mengapa kalimat itu salah," katanya.

Tidak mudah memang berdiri di depan kelas di hadapan 40 orang. Apalagi orang desa asal NTT disuruh berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar di depan para pelajar Kota Malang dengan status sosial ekonomi tinggi.

Asal tahu saja, SMAN 1 dan SMAN 3 tergolong sekolah negeri favorit di Malang. Hanya anak-anak yang NEM-nya tinggi yang bisa diterima. NEM saya pun jauh di bawah standar. Saya bisa masuk SMAN 1 Malang karena ada rekomendasi Dikbud NTT.

Kembali ke WAG. Luluk rupanya masih ceria dan telaten mencatat nama-nama teman satu kelas di Graffiti Smansa. Nama saya paling buntut karena anak pindahan. Sama dengan masa sekolah dulu.

Ira yang murah senyum, ramah, tidak banyak bicara, tekun ternyata sudah jadi dokter. Ira sempat share lomba nyanyi dan joget dalam rangka hari jadi rumah sakit tempat kerjanya. Dapat hadiah Rp 500 ribu katanya.

Gak nyangka Ira yang pendiam sudah begitu centil dan heboh begini. Mungkin sejak kuliah di kedokteran. Dokter-dokter memang perlu gembira khususnya di masa pandemi ini. Biar pasien senang dan tahan menghadapi serangan virus.

Bagaimana dengan Sri Astuti? "Sudah nggak ada," tulis seorang kawan di grup.

Oh, Tuhan!
Sri sudah berpulang.

Saya jadi ingat kawan yang satu ini. Periang, ramah, dan sering gojlok saya saat belajar mengenal kata-kata bahasa Jawa. Doaku untukmu Sri.. semoga tenang bersama-Nya.

Selasa, 26 Oktober 2021

Naik kapal terbang harus tas-tes-tos PCR mahal

Pandemi covid ini bikin ngelu. Khususnya tas-tes-tos yang mahal (bagi kebanyakan orang Indonesia). Naik kapal terbang harus tes PCR. Padahal biasanya cuma tes antigen yang relatif murah.

Mau naik kereta api tes covid dulu. Tapi cukup tes sebul ala Genose yang cuma Rp 30 ribu. Sebelumnya Genose Rp 20 ribu. Saya beberapa kali tes Genose saat hendak numpak sepur.

Tes PCR sejak awal panllimkmi memang jadi masalah karena mahaaaal. Pernah Rp 1,3 juta sekali tes. Dan masa berlakunya pun dua hari saja. Bisa mati kelaparan orang Indonesia yang penghasilannya masih di bawah UMK Rp 4 juta sebulan.

Syukurlah, setelah muncul banyak kecaman, pemerintah kemudian menurunkan tarif tes-tes deteksi covid yang selangit itu. Begitu banyak orang Indonesia yang gejala-gejalanya positif covid tidak mau tes PCR karena tidak mampu bayar 1 juta lebih.

Selasa Kliwon ini koran-koran memuat berita tarif PCR diturunkan jadi Rp 300 ribu. Masa berlaku 3x24 jam. Alasan pemerintah: sebagai penyeimbang pelonggaran PPKM.

Tapi mengapa harus PCR? Mengapa tes antigen tidak boleh? Apalagi genose yang dikecam banyak pakar kesehatan atawa dokter itu?

Celakanya lagi, Menteri Luhut Pandjaitan bilang syarat tes PCR ini akan diperluas jelang libur panjang akhir tahun. Bukan cuma kapal terbang, tapi juga kapal laut, dan kapal darat (kereta api). Tes antigen dan genose yang relatif terjangkau tidak akan lagi dipakai.

Lengkap sudah penderitaan ini. Pandemi korona menghancurkan begitu banyak tatanan. Namun, di sisi lain, tas-tes-tos jadi ladang dagang bisnis yang tak ada matinya.

Senin, 25 Oktober 2021

Syukurlah, koran masih laris!

Semalam ada dua pertandingan sepak bola kelas kakap. Big game. Barcelona vs Real Madrid dan MU vs Liverpool. Kedua laga tidak terlalu larut. El Clasico kali ini tidak lagi di atas pukul 01.00 WIB.

Saya nikmati kedua laga itu. Anggap saja hiburan penambah imunitas badan di masa pandemi covid. Sayang, Manchester United meski sudah diperkuat Ronaldo tetap saja melempem. Dipermalukan 0-5 di depan pendukungnya.

Mo Salah jadi protagonista dengan borong tiga gol. Ronaldo dan Pogba jadi antagonista. Pogma kena kartu merah. Mestinya Ronaldo juga begitu. Masih untung cuma dapat kartu kuning.

El Clasico kali ini hambar. Ibarat sayur tanpa garam. Tanpa superstar sekelas Messi dan Ronaldo, maka Barcelona vs Real Madrid tidak jauh berbeda dengan pertandingan-pertandingan lainnya di Eropa.

Saya tidak terlalu sedih meski Barca kalah 1-2. Tim asuhan Koeman itu memang masih jauh dari era keemasan Tika Taka. Atau era Ronaldinho dulu yang bagaikan tukang sihir di lapangan hijau.

Nonton dua pertandingan sekaligus ujung-ujungnya membuat badan lelah. Mata ngantuk berat. Aku pun ketiduran di dalam gedung tua di kawasan Oud Soerabaia. Dekat medan pertempuran Arek-Arek Suroboyo di kawasan Jembatan Merah yang terkenal itu.

Syukurlah, tidak sempat mimpi ketemu nonik- onik atawa mevrouw Belanda yang galak-galak. Ada tasbih kecil 33 biji dari kawasan Ampel yang saya beli saat mampir wisata ke sana. Tasbih itu dipakai untuk mendaraskan Ave Maria Gratia Plena....

Senin pagi, 25 Oktober 2021. Aku balik lewat Kembang Jepun, berhenti sejenak di pinggir Jalan Kapasan. Ada dua lapak surat kabar. Satunya ibu-ibu, satunya bapak-bapak. Jualan koran jauh sebelum ada internet.

Aku pun membeli koran Jawa Pos dan Kompas. Lalu ngobrol sejenak, pura-pura wawancara khas pegawai pemasaran yang menyamar. "Korannya laku, Bu? Beritanya menarik gak?"

"Alhamdulillah, ada saja rezekinya. Masih banyak yang beli koran kok," kata mama yang logatnya agak berbau telo lema.

Wawancara atawa survei pasar enteng-entengan seperti ini memang tidak boleh gratisan. Harus membeli korannya dulu. Bila perlu uang kembalian dijadikan tips.

Ibu itu bilang penjualan koran merosot sejak ada internet, media sosial, dan sebagainya. Ditambah PSBB yang kemudian ganti nama berkali-kali, PPKM darurat, level 3, level 3 dst, hasil jualan korannya turun banyak.

"Tapi pembeli-pembeli tetap masih banyak. Ini paling dua jam lagi habis," kata mama itu.

Alhamdulillah. 

Kata-kata pedagang koran di Kapasan ini bikin senang orang-orang yang masih bekerja di pabrik media cetak, khususnya surat kabar alias koran. Sudah lama koran-koran diramalkan lekas mati gara-gara dirupsi digital, revolusi internet, dsb. Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya benar.

Memang benar sudah banyak koran yang gulung tikar dalam 10 tahun terakhir. Majalah-majalah juga begitu. Tapi yang namanya bisnis ya seperti itu. Airlines juga banyak yang bangkrut. Perusahaan taksi lama pun kolaps karena ojek dan taksi online.

 Warung, restoran, depot, bahkan gereja sekalipun banyak yang kehilangan pelanggan. Kita orang harus optimistis. Sebab, kitab suci bilang bahwa burung-burung di udara pun Dia kasih makan.