Minggu, 10 Oktober 2021

Gregorius Soeharsojo Goenito berangkat menemui Tuhan sumber gembira



Gara-gara pandemi kita orang dianjurkan untuk mengurangi mobilitas. Mengurangi bepergian. Jaga jarak. Pakai masker (dua lapis). Rajin cuci tangan pakai sabun. Disiplin prokes 5M.

Protokol kesehatan itu memang baik untuk mengatasi wabah korona. Tapi di sisi lain kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan teman, kerabat, kenalan, atau orang dekat.

Eh, tiba-tiba muncul kabar dukacita. Mas X sudah nggak ada. Bapak Y sampun kepundut. Innalilahi...

Sudah satu tahun ini saya tidak mampir ke rumah 
 di kawasan Beringinbendo, Taman, Sidoarjo. Pria kelahiran 10 Februari 1936 itu seniman serbabisa yang dulu dibuang di Pulau Buru gara-gara aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Pak Greg dipenjara beberapa kali. Terakhir di Nusa Kambangan. Kemudian dibawa ke Pulau Buru. Banyak sekali cerita-cerita menarik yang disampaikan Pak Greg tentang pengalaman di Buru. "Puji Tuhan, kita orang masih dikasih napas oleh Tuhan. Sementara Pak Harto sudah lebih dulu dipanggil Tuhan," kata Pak Greg lantas tertawa kecil.

Musik, puisi, melukis, deklamasi... tak pernah lepas dari Greg Soeharsojo. Selama di Pulau Buru pun ia tetap berkarya. Bikin sketsa para tahanan politik yang kerja di sawah, babat alas, ngopi sambil diskusi, hingga terpaksa makan tikus untuk menambah protein.

"Tikus itu biasa dimakan mentah," kata Greg.

Seniman yang tempo dooeloe belajar di Balai Pemuda Surabaya itu tak lupa mengabadikan adegan para tahanan Pulau Buru makan tikus itu dalam salah satu karya sketsanya. Jadi guyonan pahit.

 "Yah.. namanya juga tahanan ya rekoso. Yang penting, kita orang masih hidup to. Tuhan Allah masih piara kita," kata kakek yang selalu riang itu.

Pak Greg selalu menirukan gaya bahasa Melayu pasaran ala Pulau Baru, Maluku, setiap kali bertemu saya. Mengenang masa-masa pembuangan yang pahit. Logat Maluku masih bagus meski sudah lama jadi orang bebas di Jawa dengan bonus kode ET di kartu tanda penduduknya.

Akhir September atau awal Oktober biasanya saya mampir ke rumah Greg Soeharsojo. Pancing dia bicara tentang G30S, Pancasila sakti, pembuangan sekitar 15 ribu tahanan politik ke Pulau Buru karena dianggap simpatisan kelompok kiri.

Diskusinya ringan-ringan saja. Lebih banyak guyon. Pak Greg yang juga seniman biola itu kadang saya minta menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang menggelegar itu. Karya Subronto Kusumo Armodjo, komponis hebat yang juga dibuang di Pulau Buru.

"Pak Subronto itu guru musik saya. Beliau komponis yang luar biasa. Juga pakar paduan suara. Beliau yang mengajar kami cara jadi dirigen paduan suara yang benar. Harus tegas, berwibawa, mantap. Jangan lembek tangannya kayak orang usir nyamuk," kata Greg tentang Subronto.

Coba Pak Greg kasih contoh. Maka, Greg pun bernyanyi sambil membirama layaknya dirigen paduan suara besar. "Nasakom bersatu.. singkirkan kepala batu...," begitu antara lain syair Mars Nasakom Bersatu.

Luar biasa, Pak Greg. Masih segar ingatannya tentang seluk beluk remeh temeh di Pulau Buru. Ia juga mencatat syair lagu-lagu lama, khususnya seriosa di buku catatannya. Salah satunya Malam Indah yang memang indah. Orang yang pernah belajar seriosa pasti hafal lagu itu.

Akhir September lalu saya ingin sekali mampir di rumah Pak Greg meski masih ada larangan berkunjung ke rumah lansia. Sebetulnya saya sering melintas di atas jalan layang Trosobo. Rumah Pak Greg kelihatan dari atas flyover itu. Tapi saya tidak berani mampir karena... Mbak Corona itu tadi.

Kali ini saya nekat aja mampir. Pakai masker ganda, jaga prokes. Toh pandemi covid sudah melandai.

Oh, Tuhan... Bapa Gregorius Soeharsojo sudah tak ada lagi di dunia. Pergi menghadap Bapa di surga.

"Bapa meninggal bukan karena covid tapi penyakit yang lain. Sudah lama sakit sih," kata putrinya.

Kelu lidah saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memanjatkan doa pendek. Semoga Pak Greg berbahagia bersama-Nya.

Kali terakhir bertemu kondisi Pak Greg memang kurang segar. Tidak sekuat ketika istrinya masih hidup. Setelah sang istri berpulang, sebelum pandemi covid, kesehatan beliau memang menurun. Lebih banyak diam dan merenung.

Namun, Pak Greg saat itu tiba-tiba antusias menyanyikan lagu gereja lama dari buku Madah Bakti: Tuhan Sumber Gembiraku.

"Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku
Segala rumput pun riang ria
Tuhan sumber gembiraku."

Saya dan Pak Greg pun bersama-sama menyanyikan lagu yang dulu memang sangat populer di Gereja Katolik itu. Rupanya inilah nyanyian terakhir Pak Greg sebelum berangkat menemui Tuhan, sumber sukacita dan kegembiraan itu.

Selamat jalan, Pak Greg!
Matur sembah nuwun!

 

Rabu, 06 Oktober 2021

Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya

Saya jadi ingat Andri Setiawan dan ayahnya, Prof Dr dr Trijono Karmawan Sukana Prija, SpRad (K). Keduanya meninggal hampir bersamaan karena Covid-19.

Pak Tri, sapaan akrab Prof Trijono, meninggal pada 18 Agustus 2021. Sedangkan Mas Andri menyusul papanya pada 26 Agustus 2021. Hanya berselang delapan hari.

Betapa dalamnya kehilangan pihak keluarga. Bu Ani kehilangan suami dan anak sulungnya. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada Bu Ani sekeluarga. Mas Bagus dan Mas Aswin sekeluarga semoga diberi ketabahan menghadapi ujian Tuhan ini.

Saya ikut tahlilan dua kali secara daring lewat Zoom. Pembacaan Surah Yaasiin dan Tahlil untuk mengenang Pak Tri dan Mas Andri Setiawan. Semua peserta larut dalam doa meski tidak bisa tatap muka layaknya tahlilan normal.

Saya ingat betul kebersamaan dengan Mas Andri, Pak Tri, sekeluarga. Sekitar tiga pekan sebelum berpulang, Mas Andri mengajak saya bersih-bersih dan semprot disinfektan di rumah kawasan Rungkut, Surabaya. Bantal, guling, kasur, dsb dikeluarkan. Dijemur.

Cairan disinfektan disiapkan. Kita semua harus jaga prokes. "Kita harus hati-hati karena pandemi ini makin berat," katanya.

Rupanya Tuhan punya rencana lain. Pak Tri masuk rumah sakit. Mas Tri belakangan dijemput dengan ambulans. Dirawat di rumah sakit. Perkembangannya naik turun. Kadang stabil, kadang turun.

Hingga akhirnya dipanggil Tuhan.

Begitu cepat Mas Andri pergi. Di usia 41 tahun. Ulang tahunnya 4 September lalu.

Tak banyak yang bisa kita lakukan selain berdoa dan berdoa. Semoga Andri dan ayahnya mendapat kebahagiaan di surga. Amin!

Senin, 04 Oktober 2021

Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?

Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah. 


Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai). 


Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.

 

Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.

 

Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.

 

Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.

 

Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?

 

Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!  

Senin, 27 September 2021

Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika

Ada berita kecil di media online dan cetak yang sangat menarik. Setidaknya untuk orang NTT baik di bumi Flobamora maupun tanah rantau.

Yesti Rambu Jola Pati diwisuda di Unitomo Surabaya. Lulus S1 FKIP jurusan matematika. IPK 3,49.

Yesti Rambu lulusan terbaik? Tidak juga. Malah hampir DO karena terlalu sibuk kerja di rumah. Yesti bukan siapa-siapa.

Perempuan asal Waibakul, Pulau Sumba, NTT, itu hanyalah seorang pembantu rumah tangga (PRT). Istilah sekarang ART: asisten rumah tangga.

Yesti merantau ke Surabaya tahun 2013. Punya ijazah SMA. Lalu cari kerja ke mana-mana. Akhirnya diterima sebagai pembantu alias ART itu.

Uang hasil kerjanya disimpan sedikit demi sedikit. Lalu Yesti pun punya tekad kuliah. Agar jadi sarjana. Agar tidak terus-terusan jadi pembantu. Agar lebih berguna bagi nusa dan bangsa.

Berbekal uang simpanan Rp 2,7 juta, Yesti Rambu pigi daftar ke Unitomo. Tidak jauh dari rumah majikannya di Nginden. Ouw.. kurang duit. Sebab uang pendaftaran saat itu Rp 4 juta.

Namun, bukan orang Sumba kalau gampang menyerah. Nekatlah dia. Akhirnya bisa kuliah. Banting tulang di rumah sebagai ART dan menyisihkan waktu untuk kuliah, garap tugas, dan sebagainya.

"Saya tidur jam 02.00 dan sudah bangun sebelum pukul 06.00," katanya.

Durasi tidur si Yesti jauh di bawah anjuran dokter yang delapan jam itu. Syukurlah, badannya kuat. Otaknya juga main. Padahal, jurusan matematika atau eksakta tentu tidak sederhana.

Sempat terancam DO karena ada masalah. Lalu tekadnya bulat lagi. Hingga sampai ke garis finis. 

Yesti Rambu menulis:

"Trima Kasih Tuhan Yesus Atas PenyertaanMu, AnugerahMu, Mujizatmu, PertolanganMu Kepdaku Slma Inu Tuhan😭😭.

Trimkasih Engkauh Sudah Membayar Air Mataku, Air KeringatKu Dengan Hasil Yng Memuaskan😭🙏🏻🙏🏻.
Trimksih Kepda BapakKu Umbu Delu D Raba, Mamaku Rambu Dulu Mosa...."

Mukjizat itu nyata!

Begitulah salah satu lagu rohani yang sangat populer di NTT. Yesti sudah merasakan mukjizat itu dalam perjalanan hidupnya sebagai ARTis hingga jatuh bangun pigi kuliah matematika.

Selamat untuk Yesti Rambu!

Sabtu, 25 September 2021

Pelajaran Disiplin Waktu dari Prof Sahetapy

Di masa pandemi ini kita kehilangan banyak tokoh besar. Terakhir Prof JE Sahetapy. Guru besar emeritus FH Univeritas Airlangga itu berpulang dalam usia 88 tahun.

Prof Sahetapy lahir di Saparua, Maluku Tengah pada 6 Juni 1933. Kiprahnya sebagai akademisi hukum berlangsung selama puluhan tahun. Sahetapy juga salah satu dari sedikit pakar hukum kita yang fasih berbahasa Belanda.

Karena itu, Sahetapy yang paling getol menjelaskan latar belakang dan makna pasal dan ayat-ayat di KUHP, KUH Perdata, serta literatur-literatur hukum lain yang memang banyak merujuk ke Negeri Belanda.

Sahetapy bukan saja galak di luar tapi juga dalam gereja. Kritikannya sangat tajam dengan pelesetan yang khas. "Kalian ini selalu teriak Haleluya, Haleluya, Haleluya... tapi keluar dari gereja Hale Lupa," begitu ucapan khas Sahetapy di depan mahasiswa Kristen di mana-mana.

Kisruh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pun tak lepas dari sorotan Sahetapy. Ia menyebut Gereja HKBP sebagai Hancur Karena Bapak Pendeta.

Mahasiswa, aktivis GMKI, jemaat biasanya tertawa dan keplak-keplok. Tapi pendeta-pendeta (juga rama-rama) sering kebakaran jenggot karena disikat Sahetapy. Mendiang ini ibarat pendeta yang pintar menemukan ayat-ayat Alkitab untuk membantah argumentasi pendeta-pendeta tertentu yang dianggap keliru menafsirkan ayat suci.

"Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku menjadi musuhmu?"

Galatia 4:16 ini selalu dikutip Prof Sahetapy dalam ceramah-ceramahnya di komunitas kristiani. Kebenaran meski pahit harus disampaikan. Apa pun risikonya.

Saya sendiri senang mendengar kritik-kritik Sahatepy kepada pemerintah dan para pemimpin gereja. Plong karena unek-unek kita diwakili beliau. Tidak banyak orang yang berani menghajar penguasa dengan kata-kata yang keras dan kasar.

Sebagai akademisi Hollands Spreiken, Sahetapy dikenal sangat disiplin. Khususnya disiplin waktu. Janjian jam sekian harus ditaati. Terlambat sedikit saja habislah kau.

Itu yang pernah saya alami di awal reformasi. Saya janjian wawancara one-on-one di rumahnya tanggal sekian jam sekian. Prof Sahetapy sudah menunggu. Sayang, saya terlambat karena ada gangguan kendaraan. Terlambat tidak sampai 10 menit.

Saya pencet bel. Prof Sahetapy keluar. Wajahnya tegang. "Selamat sore, Prof. Maaf, saya terlambat," kataku sambil tersenyum.

Pak Sahetapy langsung nyemprot. "Anda ini paham disiplin atau tidak? Sekarang jam berapa? Anda janjian jam berapa? Silakan Anda pulang saja karena Anda ini sulit dipercaya!"

Apa boleh buat. Saya pun pamit pulang. Tak ada wawancara. Jantungku berdegup kencang. Baru kali ini saya dapat pelajaran mahal tentang disiplin waktu dari seorang profesor sekaliber JE Sahetapy.

Sekitar dua minggu kemudian ada seminar penting di Surabaya. Salah satu pembicaranya Prof Sahetapy. Saat sesi wawancara, para wartawan mengerubuti beliau. Rupanya Sahetapy masih ingat betul keterlambatan saya tempo hari.

"Kalian jangan tiru anak dari Flores itu. Anaknya tidak disiplin. Sudah janjian wawancara jam sekian tapi tidak ditepati," ujar Sahetapy.

Mati aku!
Malu aku!
Kapok aku!

Tapi saya tidak marah, malah senyum. Teman-teman wartawan yang ketawa melihat aku dikerjain Prof Sahetapy.

Sejak korsleiteng dengan Prof Sahetapy itu saya benar-benar belajar disiplin. Kalau janjian dengan siapa saja, saya biasanya datang 30 menit lebih awal. Paling sial 10 menit lah.

Sayang, tidak semua orang Indonesia punya prinsip dan disiplin keras macam Prof Sahetapy. Kita orang sudah disiplin, eh, narasumbernya malah bisa molor satu jam, bahkan dua jam. Mati aku!

Selamat jalan, Prof Sahetapy!

Sabtu, 11 September 2021

Menyambangi Tante Yuyun di Kelenteng Bangkalan

Baru kali ini kita orang pigi jalan-jalan sebentar di Madura. Hampir dua tahun tidak sempat ngeluyur ke pulau garam itu gara-gara pandemi Covid-19. Orang Madura sendiri sebenarnya tidak begitu ketat soal pembatasan sosial, social distancing, pakai masker dsb.


Setelah menikmati es degan di kaki Suramadu, sisi Madura, saya meluncur ke Bangkalan. Mampir ke Kelenteng Eng An Bio di Jalan PB Sudirman yang terkenal itu. Terkenal karena pernah dirusak dan dibakar oleh perusuh jelang lengsernya Pak Harto.

Namun, kejadian itu ibarat berkat tersembunyi. Kelenteng yang tadinya sempit kini jadi makin luas. Mungkin salah satu TITD yang paling luas dan indah interiornya di Jawa Timur. Asap-asap dupa, lilin, dan sebagainya tidak menimbulkan bau khas seperti di kelenteng-kelenteng lain.

Ni hao ma? Ibu Yuyun Kho tersenyum. "Yo, opo kabare? Kita orang bae-bae saja," kata pengurus kelenteng alias biokong asal Salatiga ini.

Meskipun Tionghoa, Yuyun Kho ini mengaku buta bahasa Mandarin. Bahasa Hokkian pun sedikit-sedikit. Dia lebih sering berbahasa Indonesia ala Melayu Tionghoa lawas. Bahasa cakapan yang mirip banget dengan bahasa Nagi alias Melayu Larantuka di Flores Timur.

Yuyun Kho baru saja kasih sajian untuk para dewa penghuni kelenteng. Tuan rumahnya Dewa Bumi atawa Hok Tik Ceng Sing. Ada Kwan Kong, Kwan Im, dan beberapa lagi.

"Hok Tik Ceng Sing itu dewa yang bawa rejeki. Orang Tionghoa biasanya rame-rame dateng ke sini biar rejekine  lancar. Malah bulan lalu ada orang Jawa yang dateng ke sini juga karena sudah dapet rejeki," kata Tante Yuyun.

Tante yang lahir bersamaan dengan tahun kemerdekaan Indonesia itu bilang ada tujuh altar di Eng An Bio. Dia siapkan teh tawar setiap hari untuk para dewa asal Tiongkok itu. Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.

Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati. 

Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.

Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.

"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.

Covid-19 atawa virus corona. Topik ini jadi bahan obrolan sembari menikmati kopi sasetan di aula kelenteng. Ada dua bapak Tionghoa dan satu orang Madura di situ. Ngomong ngalor ngidul soal corona yang berkepanjangan itu.

Gara-gara corona itulah acara-acara di kelenteng stop total selama hampir dua tahun ini. Sembahyang awal dan tengah bulan tidak ada. Kelenteng dinyatakan tertutup... meskipun sebenarnya kita orang bisa masuk pada jam kerja. Tentu saja kulo nuwun dulu sama Tante Yuyun Kho.

Bagaimana dengan acara kue bulan? Covid kan agak turun sekarang?

"Tetep ndak ada. Sembahyang sendiri-sendiri di rumah," kata Tante Yuyun.

Semoga pandemi ini segera berlalu dan kehidupan kembali normal. Termasuk persembahyangan di kelenteng-kelenteng. Kalau tidak ada sembahyangan, rezeki yang diterima Tante Yuyun pun anjlok. Bahkan nihil.

 Jemaat kelenteng itulah yang bagi-bagi rezeki untuk biokong macam Tante Yuyun. Tentu saja tidak mengabaikan perang sang dewa pembawa rezeki yang empunya kelenteng.

Kamis, 02 September 2021

Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas

Tempo doeloe wartawan biasa disebut njamoek pers. Makhluk kecil, terbang ke sana kemari, tidak punya otot tapi bisa bikin orang tidak bisa tidur nyenyak. Si nyamuk bisa ngang-nging-ngung di kuping atau mencokot kaki manusia.

Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.

Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.

Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.

Masalahnya, 99 persen orang Jawa Timur ini tidak punya watch dog. Tidak ada anjing penjaga yang menyalak dan menggigit pencuri atau maling. Andaikan ada watch dog, pelaku-pelaku kejahatan akan lari terbirit-birit. Dan majikannya akan bangun.

Kembali ke pers atau media massa.

Setelah era njamoek pers datanglah era koeli tinta. Lama benar istilah koeli tinta beredar meski para wartawan sudah pakai komputer.

Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.

Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.

Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.

Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.

"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.

"Di daerah Kalimas sana."

"Tanjung Perak?"

"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.

Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.

"Sampean bagian apa di Kalimas?"

"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.

Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.

Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.

"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.

Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.

Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.

Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.

"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."

"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.

Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.

Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o