Selasa, 13 Juli 2021

Merasa kena covid meski tidak pernah tes swab

Kapan seseorang dinyatakan positif Covid-19? 

Kalau sudah tes swab antigen dan hasilnya positif. Itu pun belum mantap. Harus tes PCR bayar 800 hingga 1.300. Hasilnya baru keluar 10 hari kemudian.

Swab PCR memang mahal. Tes tiga kali saja bisa bikin bangkrut. Karyawan yang gajinya UMK 4.000 pasti tidak bisa makan. Pilihannya: beli beras atau PCR.

Karena itu, banyak sekali orang yang merasa dirinya positif covid meskipun tidak tes antigen atau PCR. Sebab gejala-gejala covid sangat jelas. Badan superloyo, hilang penciuman, demam, keringat dingin, hingga gangguan pernapasan.

''Saya lagi isoman di rumah. Tidak bisa ke mana-mana,'' kata Mas Adi.

Kapan Anda tes swab? ''Nggak ada tes. Aku sudah jelas kena. Kalaupun tes pasti hasilnya positif,'' kata karyawan yang sudah dua kali vaksin Sinovac itu.

Mas Adi tidak sendiri. Ada satu kantor yang banyak karyawannya gejala covid. Sekitar 10 orang. Hanya satu orang yang swab. Positif. Sembilan orang tidak swab dan tes segala macam. Namun mereka semua sudah sangat yakin terpapar covid.

''Uang untuk biaya tes saya pakai untuk bayar sekolah anak saya,'' kata seorang karyawan yang isoman.

Singkat cerita, 10 karyawan itu isoman sendiri-sendiri. Bukan di asrama haji atau rumah sakit lapangan yang ada dokter dan nakesnya. Beli obat dan vitamin sendiri-sendiri. Berdasar rekomendasi teman yang pernah isolasi resmi pemkot di asrama haji.

Alhamdulillah, para karyawan yang isoman itu semuanya sembuh. Tanpa intervensi dokter, tenaga medis dsb.

 ''Saya pakai intervensi Lianhua saja. Tiga hari minum Lianhua badan perlahan-lahan membaik,'' kata seorang karyawan.

Senin, 12 Juli 2021

Tidak pernah nonton adu penalti

Inggris ternyata kalah. Keok sama Italia. Tiga penendang Inggris yang semuanya gelap gagal. Hanya dua penendang Italia yang gagal.

Saya cuma nonton laga final Piala Eropa 2020 selama 120 menit. Waktu normal 2x45 menit ditambah perpanjangan waktu 2x15 menit. Hasilnya 1-1.

Saya memang antiadu tendangan penalti. Mirip lotre. Untung-untungan. Tidak asyik. Makanya, saya sudah bertahun-tahun tidak nonton pertandingan yang harus diselesaikan dengan adu penalti.

Makanya, begitu wasit dari Belanda memutuskan adu penalti, saya langsung matikan televisi. Mata sudah telanjur berat. Jelang pukul 05.00. Bioritme tubuh rusak sejak turnamen Piala Eropa selama sebulan.

Saya baru membaca berita kekalahan Inggris di kantor berita Antara sekitar pukul 10.00 WIB. Italia pesta karena bisa mempermalukan tuan rumah yang sempat unggul pada menit kedua itu.

Sepak bola memang beda dengan badminton atau bola basket yang ada unsur lotre bernama adu penalti jika kedua tim seri selama 120 menit. Saya lebih suka tim yang menang meyakinkan 2-0, 3-1, atau bisa juga 3-2 selama 90 menit.

Lebih senang lagi dengan Spanyol yang menang 4-0 di final Piala Eropa beberapa tahun lalu. 

Mayat-mayat bergelimpangan! Gusti nyuwun kawelasan

Pagi ini ada rombongan pengantar jenazah ke makam di daerah Gunung Anyar, Surabaya. Dua hari lalu ada tiga jenazah di rumah berdekatan. Miris juga melihat jamaah yang berdukacita di saat pandemi.

''Maaf, apakah karena covid?''

''Gak lah. Kalau covid makamnya di Keputih,'' kata seorang bapak 40-an tahun.

Yang hampir bisa dipastikan covid atau bukan itu jenazah di kawasan perumahan. Pengumuman dari toa masjid biasanya ada indikasi kena korona atau tidak.

Jenazah korban covid pasti lekas dimakamkan. Dari rumah sakit tembak langsung ke TPU Keputih. Nama Keputih sejak pandemi identik dengan covid. Atau prokes pemakamannya disamakan dengan covid meski hasil PCR belum ada.

''Innalilahi...  jenazah Bapak X dimakamkan di Keputih,'' demikian pengumuman di salah satu masjid pagi tadi.

Angka real penderita covid-19 di Indonesia memang tidak mesti sama dengan yang diumumkan satgas setiap hari. Sebab, pengujian dan pelacakan tidak sebagus di Eropa atau Tiongkok. Terlalu banyak yang tidak testing karena berbagai alasan.

''Covid-19 itu seperti gunung es. Angka-angka itu cuma di permukaan. Di bawah permukaan banyak,'' ujar seorang dokter dalam webinar belum lama ini.

Gunung es artinya hanya sepertiga atau 30 persen yang kelihatan. Sisanya tidak dianggap covid karena memang tidak tes swab antigen, genose, PCR, dan sebagainya. Tahu-tahu meninggal dan diperlakukan layaknya jenazah biasa.

Pemerintah tampaknya serbasalah. Buka posko untuk tes antigen gratis malah diamuk warga. Tes antigen gratis malah dianggap sebagai siksaan atau hukuman. Posko untuk tes antigen di Jembatan Suramadu pun dirusak.

Padahal, biaya tes antigen mandiri di klinik-klinik cukup mahal. Bisa di atas 200. Tes PCR malah di atas 800 hingga 1.300.

 Kalau mau lebih murah lagi ya tes genose di stasiun kereta api. Tapi, syarat dan ketentuan, harus tunjuk tiket kereta jarak jauh dulu. Kalau tidak punya tiket ya tes di klinik-klinik itu. Bayar seribu alias Rp 1 juta dan berlaku hanya 1x24 jam. Gaji buruh yang di bawah 4.000 sebulan itu ludes dalam sekejap demi tes korona.

Betapa beratnya penderitaan ini!
Gusti nyuwun kawelasan!

Minggu, 11 Juli 2021

Isolasi mandiri malah mati sendiri

Makin banyak orang yang memutuskan isolasi mandiri (isoman). Ada juga isoman di hotel, motel, penginapan, hingga kos harian. Orang terpaksa isoman karena ditolak pihak rumah sakit.

Sudah lama memang rumah-rumah sakit di Jawa Timur penuh. BOR di atas 100 persen. Tenaga kesehatan pun banyak yang kena Covid-19. Karena itu, apa boleh buat, isoman jadi pilihan.

Sayangnya, isoman ini benar-benar mandiri. Tanpa konsultasi dan pengawasan dokter atau setidaknya nakes. Sang isoman beli obat sendiri sesuai petunjuk di media sosialnya.

Hasilnya? Banyak yang baik-baik saja setelah isoman di rumah. Tidak ada gejala yang menakutkan. Tidak panik beli oksigen, ventilator dsb. Tahu-tahu sudah sehat lagi.

Namun, di sisi lain, isoman yang gagal juga banyak. Minggu lalu ada sedikitnya tiga kasus isoman yang jadi mayat. Jenazahnya baru diketahui setelah petugas hotel curiga karena tamunya tidak keluar-keluar. Lalu menyeruak bau bangkai manusia.

Tragis memang derita nestapa yang dialami bangsa ini. Mayat-mayat bergelimpangan dan makin lama makin kehilangan kontrol. Terutama para isoman yang tidak punya rujukan dan konsultasi itu.

Dulu saya membayangkan isoman itu pasti ada pengawasan intensif dari nakes. Ada kontrol harian. Minimal panggilan video atau kontak via WA. Bukan orang isoman sendiri layaknya sakit malaria, flu biasa, atau sakit kepala.

Mudah-mudahan pandemi korona ini cepat berlalu. Negara sepertinya sudah babak belur. Rumah sakit sudah angkat tangan. Dokter, tenaga kesehatan, IGD dsb sudah kehabisan energi setelah berjuang selama 1,5 tahun.

Perginya Dalang Kondang Raja Sabetan

''Kancaku mati, kancane kancaku mati, ana sing mati merga penyakit, ana sing merga kopit. Malaikat ketoke seneng kerja borongan. Mesisan kesele, ngono ta?''

Itu tulisan khas Bambang Tri, seniman di Sidoarjo. Pelukis yang paling jago nulis pentigraf: cerpen tiga paragraf dalam bahasa Jawa. Asyik dan bikin senyum.

Semalam saya nonton pertunjukan wayang kulit di televisi lokal Surabaya. Dalange Ki Manteb Soedarsono, lakone Amartha Binangun. Ada hiburan sinden bule dan sinden Jepang.

Tentu saja itu rekaman lawas. Ki Manteb banyak bahas sikap politik seniman jelang coblosan sekian tahun lalu. ''Saya netral. Mau ditanggapi si A monggo, ditanggap B, C, D silakan. Saya malah terima kasih kalau sering ditanggap,'' kata dalang yang terkenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala itu.

Dalang kondang Ki Manteb Soedarsono juga berpulang ke pangkuan-Nya gara-gara Covid-19. Sempat uji coba pertunjukan di Jakarta, live streaming, tapi ternyata ada virus korona yang menempel di tubuhnya.

 Sang dalang pun ambruk. Meninggal dunia karena covid. Bahkan kabarnya tidak sempat dapat rumah sakit karena BOR sudah di atas 100 persen. Itulah akhir perjalanan sang dalang setan itu.

Mengapa Pak Matheb disebut dalang setan?

''Sabetannya luar biasa. Kayak setan. Adegan perangnya sangat hidup kayak beneran. Nonton Ki Mantheb itu nggak ada bosannya,'' ujar Pak Ignatius Sarman, ketua lingkungan yang juga guru wayang kulit saya di Jember dulu.

Di mana pun Ki Mantheb main, selama masih di Jawa Timur, Pak Sarman dkk selalu berusaha nonton langsung. Saya sering diajak ke Lumajang, Kepanjen, Blitar, Malang Selatan untuk nonton Ki Manthep. Ada fans setia yang sama-sama fanatik kayak Pak Ignatius Sarman ini.

''Kalau suluknya lebih enak Ki Anom Suroto kayaknya. Suaranya bulat banget. Ki Mantheb agak cempreng,'' kata saya memancing pendapat Pak Sarman yang asli Sendangsono, cikal bakal Katolik di Jawa.

''Makanya, Ki Mantheb lebih fokus mengembangkan sabetan sebagai dalang setan. Orang rela jauh-jauh datang untuk nonton Ki Mantheb karena sabetan itu. Adegan perang itu yang penting,'' katanya.

Cukup lama saya tidak nonton Ki Mantheb di YouTube atau pertunjukan langsung. Di Sidoarjo yang paling sering ditanggap adalah Ki Anom Suroto. Tiap tahun minimal satu kali di pendapa untuk Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo. Di Juanda pun selalu Ki Anom, dalang raja suluk.

Karena itu, makin lama saya makin kehilangan referensi tentang Ki Mantheb Soedarsono. Apalagi Pak Ignatius Sarman juga sudah lama berpulang sebelum covid. Tinggal Dalang Puspa Sutadji di Sidoarjo yang jadi referensi saya tentang ilmu pedalaman. Namun, Ki Puspa lebih suka bahas Alkitab sesuai dengan latar belakangnya sebagai dalang wayang wahyu tempo doeloe.

''Filsafat, pesan-pesan, eksposisi itu yang paling penting. Anda jangan cuma asyik nonton sinden-sinden ayu thok,'' kata Ki Puspa yang kawin dengan sinden yang sudah tidak ayu lagi karena usia.

Baru semalam saya nonton rekaman Ki Mantheb di BBS TV Surabaya. Benar juga. Sabetannya masih edan khas dalang setan. Penontonnya pun banyaaak sekali... sebelum covid. Adegan-adegan perang sangat seru dan ngangeni.

Kita kehilangan seniman besar, dalang setan. Selamat jalan, Ki Mantheb.

Senin, 28 Juni 2021

Tuhan tidak gembira kalau yang hidup musnah lenyap

Misa daring terus-menerus selama satu tahun lebih terasa membosankan. Meskipun durasinya singkat, hampir tidak ada nyanyian kor yang panjang, suasana ekaristi normal memang hilang.

Corpus Cristi, hostia pun virtual. Cukup komuni batin saja. Yang sekarang diolah syairnya menjadi lagu yang indah. Orang NTT, khususnya Flores, dulu bilang misa tanpa komuni tidak sah. Datang misa setelah bacaan pertama juga tidak sah.

Padahal pater-pater tidak pernah melarang umat yang terlambat misa. Kecuali satu dua pater Eropa tempo doeloe. Better telaat dan nooit!

Minggu 27 Juni 2021 pagi. Awak ikut misa streaming secara acak. YouTube menawarkan misa di salah satu paroki di Jakarta. Gereja Santa Teresa kalau tidak salah.

Romo yang njawani, meski lama di Jakarta, kasih khotbah menarik. Bacaan dari Kebijaksaan Salomo (Wis 1,13-15;2,23-24).

''Be­cause God did not make death, nor does he re­joice in the loss of the liv­ing. 

For he cre­ated all things that they might exist, and he made the na­tions of the world cur­able, and there is no med­i­cine of ex­ter­mi­na­tion in them, nor a king­dom of hell upon the earth.''

''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

Cocok banget dengan suasana pandemi Covid-19 ini. Romo yang saya lupa namanya itu memang mengaitkan bacaan dari Kebijaksaan itu dengan lonjakan pasien covid di tanah air. Khususnya Jakarta.

Begitu banyak orang mati karena covid membuat semua pihak kewalahan. Tukang gali kubur, sopir ambulans, dsb. ''Sekarang jenazah tidak lagi diangkut satu per satu. Tapi beberapa peti jenazah diangkut bersama ke makam,'' katanya.

Pater ini punya keluarga dan teman yang meninggal akibat virus setan korona ini. Jadi, ia tahu persis tata cara, protokol pemakaman dsb. Tidak ada misa requiem. Tidak ada doa-doa untuk orang meninggal dunia secara layak.

''Jenazah langsung ditanam begitu saja. Itu yang membuat kita tambah sedih,'' katanya.

Romo lalu mengajak umat untuk taat prokes. Membantu pemerintah sekuat tenaga, bahu-membahu dengan siapa saja untuk mengatasi pandemi berkepanjangan ini. 

''Lama-lama uang pemerintah habis kalau pandemi ini tidak selesai,'' katanya.

Di tengah dukacita itu, Kitab Kebijaksaan menghibur kita orang. Bahwa ''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

De Ligt Kena Kartu Merah, Awak Kalah Taruhan

Gara-gara Piala Eropa 2020, yang digelar tahun 2021, saya melekan lagi. Nonton bola sesi pertama pukul 23.00 dan sesi kedua pukul 02.00.

Biasanya saya pilih salah satu laga yang saya anggap seru. Big match. Tidak kuat kalau nonton kedua laga di benua mata biru itu. Bisa lemas.

Masa pandemi ini harus jaga kekebalan tubuh, bukan?

Nonton Euro 2020 bukan semata hobi tapi karena tugas. Saya diminta mengawal turnamen Piala Eropa 2020. Mengunggah informasi yang menarik seputar turnamen itu. 

Makanya aneh kalau seorang editor tidak nonton siaran langsung di TV. Bisa saja nonton cuplikan gol di YouTube. Tapi suasana pertandingan tidak akan dapat. Misalnya, Eriksen yang henti jantung di lapangan. Suasananya benar-benar langka dan dahsyat.

Semalam saya nonton Belanda vs Ceko. Saya baca komentar beberapa pandit bola siangnya. Tim mana yang diunggulkan.

 Sudah pasti saya dukung Belanda. De Oranje menang tiga kali di fase grup. Ceko tidak diunggulkan sama sekali.

Mbah Wono Kairun yang pernah top di Radio Suzanna dulu juga mengunggulkan Belanda. Ini penting karena ada sayembara tebak skor. Taruhan kecil-keacilan agar lebih seru.

Ungkapan 'bola itu bundar' ternyata masih berlaku di era masker. Siapa nyana Meneer de Ligt dapat kartu merah. Diusir wasit karena pelanggaran fatal. Belanda oleng.

 Ceko memanfaatkan keunggulan pemainnya untuk menghajar de Oranje. Belanda dipermalukan dua gol. Tim asuhan Tuan de Boer itu pun  tersisih dari Euro 2020. Ceko yang lolos ke 8 besar alias perempat final.

Apes nian awak ini. 

Duit taruhan tebak skor akhirnya hilang begitu saja. Gak banyak sih tapi bisa untuk check-in di kamar hotel kelas kambing.