Senin, 12 Juli 2021

Mayat-mayat bergelimpangan! Gusti nyuwun kawelasan

Pagi ini ada rombongan pengantar jenazah ke makam di daerah Gunung Anyar, Surabaya. Dua hari lalu ada tiga jenazah di rumah berdekatan. Miris juga melihat jamaah yang berdukacita di saat pandemi.

''Maaf, apakah karena covid?''

''Gak lah. Kalau covid makamnya di Keputih,'' kata seorang bapak 40-an tahun.

Yang hampir bisa dipastikan covid atau bukan itu jenazah di kawasan perumahan. Pengumuman dari toa masjid biasanya ada indikasi kena korona atau tidak.

Jenazah korban covid pasti lekas dimakamkan. Dari rumah sakit tembak langsung ke TPU Keputih. Nama Keputih sejak pandemi identik dengan covid. Atau prokes pemakamannya disamakan dengan covid meski hasil PCR belum ada.

''Innalilahi...  jenazah Bapak X dimakamkan di Keputih,'' demikian pengumuman di salah satu masjid pagi tadi.

Angka real penderita covid-19 di Indonesia memang tidak mesti sama dengan yang diumumkan satgas setiap hari. Sebab, pengujian dan pelacakan tidak sebagus di Eropa atau Tiongkok. Terlalu banyak yang tidak testing karena berbagai alasan.

''Covid-19 itu seperti gunung es. Angka-angka itu cuma di permukaan. Di bawah permukaan banyak,'' ujar seorang dokter dalam webinar belum lama ini.

Gunung es artinya hanya sepertiga atau 30 persen yang kelihatan. Sisanya tidak dianggap covid karena memang tidak tes swab antigen, genose, PCR, dan sebagainya. Tahu-tahu meninggal dan diperlakukan layaknya jenazah biasa.

Pemerintah tampaknya serbasalah. Buka posko untuk tes antigen gratis malah diamuk warga. Tes antigen gratis malah dianggap sebagai siksaan atau hukuman. Posko untuk tes antigen di Jembatan Suramadu pun dirusak.

Padahal, biaya tes antigen mandiri di klinik-klinik cukup mahal. Bisa di atas 200. Tes PCR malah di atas 800 hingga 1.300.

 Kalau mau lebih murah lagi ya tes genose di stasiun kereta api. Tapi, syarat dan ketentuan, harus tunjuk tiket kereta jarak jauh dulu. Kalau tidak punya tiket ya tes di klinik-klinik itu. Bayar seribu alias Rp 1 juta dan berlaku hanya 1x24 jam. Gaji buruh yang di bawah 4.000 sebulan itu ludes dalam sekejap demi tes korona.

Betapa beratnya penderitaan ini!
Gusti nyuwun kawelasan!

Minggu, 11 Juli 2021

Isolasi mandiri malah mati sendiri

Makin banyak orang yang memutuskan isolasi mandiri (isoman). Ada juga isoman di hotel, motel, penginapan, hingga kos harian. Orang terpaksa isoman karena ditolak pihak rumah sakit.

Sudah lama memang rumah-rumah sakit di Jawa Timur penuh. BOR di atas 100 persen. Tenaga kesehatan pun banyak yang kena Covid-19. Karena itu, apa boleh buat, isoman jadi pilihan.

Sayangnya, isoman ini benar-benar mandiri. Tanpa konsultasi dan pengawasan dokter atau setidaknya nakes. Sang isoman beli obat sendiri sesuai petunjuk di media sosialnya.

Hasilnya? Banyak yang baik-baik saja setelah isoman di rumah. Tidak ada gejala yang menakutkan. Tidak panik beli oksigen, ventilator dsb. Tahu-tahu sudah sehat lagi.

Namun, di sisi lain, isoman yang gagal juga banyak. Minggu lalu ada sedikitnya tiga kasus isoman yang jadi mayat. Jenazahnya baru diketahui setelah petugas hotel curiga karena tamunya tidak keluar-keluar. Lalu menyeruak bau bangkai manusia.

Tragis memang derita nestapa yang dialami bangsa ini. Mayat-mayat bergelimpangan dan makin lama makin kehilangan kontrol. Terutama para isoman yang tidak punya rujukan dan konsultasi itu.

Dulu saya membayangkan isoman itu pasti ada pengawasan intensif dari nakes. Ada kontrol harian. Minimal panggilan video atau kontak via WA. Bukan orang isoman sendiri layaknya sakit malaria, flu biasa, atau sakit kepala.

Mudah-mudahan pandemi korona ini cepat berlalu. Negara sepertinya sudah babak belur. Rumah sakit sudah angkat tangan. Dokter, tenaga kesehatan, IGD dsb sudah kehabisan energi setelah berjuang selama 1,5 tahun.

Perginya Dalang Kondang Raja Sabetan

''Kancaku mati, kancane kancaku mati, ana sing mati merga penyakit, ana sing merga kopit. Malaikat ketoke seneng kerja borongan. Mesisan kesele, ngono ta?''

Itu tulisan khas Bambang Tri, seniman di Sidoarjo. Pelukis yang paling jago nulis pentigraf: cerpen tiga paragraf dalam bahasa Jawa. Asyik dan bikin senyum.

Semalam saya nonton pertunjukan wayang kulit di televisi lokal Surabaya. Dalange Ki Manteb Soedarsono, lakone Amartha Binangun. Ada hiburan sinden bule dan sinden Jepang.

Tentu saja itu rekaman lawas. Ki Manteb banyak bahas sikap politik seniman jelang coblosan sekian tahun lalu. ''Saya netral. Mau ditanggapi si A monggo, ditanggap B, C, D silakan. Saya malah terima kasih kalau sering ditanggap,'' kata dalang yang terkenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala itu.

Dalang kondang Ki Manteb Soedarsono juga berpulang ke pangkuan-Nya gara-gara Covid-19. Sempat uji coba pertunjukan di Jakarta, live streaming, tapi ternyata ada virus korona yang menempel di tubuhnya.

 Sang dalang pun ambruk. Meninggal dunia karena covid. Bahkan kabarnya tidak sempat dapat rumah sakit karena BOR sudah di atas 100 persen. Itulah akhir perjalanan sang dalang setan itu.

Mengapa Pak Matheb disebut dalang setan?

''Sabetannya luar biasa. Kayak setan. Adegan perangnya sangat hidup kayak beneran. Nonton Ki Mantheb itu nggak ada bosannya,'' ujar Pak Ignatius Sarman, ketua lingkungan yang juga guru wayang kulit saya di Jember dulu.

Di mana pun Ki Mantheb main, selama masih di Jawa Timur, Pak Sarman dkk selalu berusaha nonton langsung. Saya sering diajak ke Lumajang, Kepanjen, Blitar, Malang Selatan untuk nonton Ki Manthep. Ada fans setia yang sama-sama fanatik kayak Pak Ignatius Sarman ini.

''Kalau suluknya lebih enak Ki Anom Suroto kayaknya. Suaranya bulat banget. Ki Mantheb agak cempreng,'' kata saya memancing pendapat Pak Sarman yang asli Sendangsono, cikal bakal Katolik di Jawa.

''Makanya, Ki Mantheb lebih fokus mengembangkan sabetan sebagai dalang setan. Orang rela jauh-jauh datang untuk nonton Ki Mantheb karena sabetan itu. Adegan perang itu yang penting,'' katanya.

Cukup lama saya tidak nonton Ki Mantheb di YouTube atau pertunjukan langsung. Di Sidoarjo yang paling sering ditanggap adalah Ki Anom Suroto. Tiap tahun minimal satu kali di pendapa untuk Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo. Di Juanda pun selalu Ki Anom, dalang raja suluk.

Karena itu, makin lama saya makin kehilangan referensi tentang Ki Mantheb Soedarsono. Apalagi Pak Ignatius Sarman juga sudah lama berpulang sebelum covid. Tinggal Dalang Puspa Sutadji di Sidoarjo yang jadi referensi saya tentang ilmu pedalaman. Namun, Ki Puspa lebih suka bahas Alkitab sesuai dengan latar belakangnya sebagai dalang wayang wahyu tempo doeloe.

''Filsafat, pesan-pesan, eksposisi itu yang paling penting. Anda jangan cuma asyik nonton sinden-sinden ayu thok,'' kata Ki Puspa yang kawin dengan sinden yang sudah tidak ayu lagi karena usia.

Baru semalam saya nonton rekaman Ki Mantheb di BBS TV Surabaya. Benar juga. Sabetannya masih edan khas dalang setan. Penontonnya pun banyaaak sekali... sebelum covid. Adegan-adegan perang sangat seru dan ngangeni.

Kita kehilangan seniman besar, dalang setan. Selamat jalan, Ki Mantheb.

Senin, 28 Juni 2021

Tuhan tidak gembira kalau yang hidup musnah lenyap

Misa daring terus-menerus selama satu tahun lebih terasa membosankan. Meskipun durasinya singkat, hampir tidak ada nyanyian kor yang panjang, suasana ekaristi normal memang hilang.

Corpus Cristi, hostia pun virtual. Cukup komuni batin saja. Yang sekarang diolah syairnya menjadi lagu yang indah. Orang NTT, khususnya Flores, dulu bilang misa tanpa komuni tidak sah. Datang misa setelah bacaan pertama juga tidak sah.

Padahal pater-pater tidak pernah melarang umat yang terlambat misa. Kecuali satu dua pater Eropa tempo doeloe. Better telaat dan nooit!

Minggu 27 Juni 2021 pagi. Awak ikut misa streaming secara acak. YouTube menawarkan misa di salah satu paroki di Jakarta. Gereja Santa Teresa kalau tidak salah.

Romo yang njawani, meski lama di Jakarta, kasih khotbah menarik. Bacaan dari Kebijaksaan Salomo (Wis 1,13-15;2,23-24).

''Be­cause God did not make death, nor does he re­joice in the loss of the liv­ing. 

For he cre­ated all things that they might exist, and he made the na­tions of the world cur­able, and there is no med­i­cine of ex­ter­mi­na­tion in them, nor a king­dom of hell upon the earth.''

''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

Cocok banget dengan suasana pandemi Covid-19 ini. Romo yang saya lupa namanya itu memang mengaitkan bacaan dari Kebijaksaan itu dengan lonjakan pasien covid di tanah air. Khususnya Jakarta.

Begitu banyak orang mati karena covid membuat semua pihak kewalahan. Tukang gali kubur, sopir ambulans, dsb. ''Sekarang jenazah tidak lagi diangkut satu per satu. Tapi beberapa peti jenazah diangkut bersama ke makam,'' katanya.

Pater ini punya keluarga dan teman yang meninggal akibat virus setan korona ini. Jadi, ia tahu persis tata cara, protokol pemakaman dsb. Tidak ada misa requiem. Tidak ada doa-doa untuk orang meninggal dunia secara layak.

''Jenazah langsung ditanam begitu saja. Itu yang membuat kita tambah sedih,'' katanya.

Romo lalu mengajak umat untuk taat prokes. Membantu pemerintah sekuat tenaga, bahu-membahu dengan siapa saja untuk mengatasi pandemi berkepanjangan ini. 

''Lama-lama uang pemerintah habis kalau pandemi ini tidak selesai,'' katanya.

Di tengah dukacita itu, Kitab Kebijaksaan menghibur kita orang. Bahwa ''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

De Ligt Kena Kartu Merah, Awak Kalah Taruhan

Gara-gara Piala Eropa 2020, yang digelar tahun 2021, saya melekan lagi. Nonton bola sesi pertama pukul 23.00 dan sesi kedua pukul 02.00.

Biasanya saya pilih salah satu laga yang saya anggap seru. Big match. Tidak kuat kalau nonton kedua laga di benua mata biru itu. Bisa lemas.

Masa pandemi ini harus jaga kekebalan tubuh, bukan?

Nonton Euro 2020 bukan semata hobi tapi karena tugas. Saya diminta mengawal turnamen Piala Eropa 2020. Mengunggah informasi yang menarik seputar turnamen itu. 

Makanya aneh kalau seorang editor tidak nonton siaran langsung di TV. Bisa saja nonton cuplikan gol di YouTube. Tapi suasana pertandingan tidak akan dapat. Misalnya, Eriksen yang henti jantung di lapangan. Suasananya benar-benar langka dan dahsyat.

Semalam saya nonton Belanda vs Ceko. Saya baca komentar beberapa pandit bola siangnya. Tim mana yang diunggulkan.

 Sudah pasti saya dukung Belanda. De Oranje menang tiga kali di fase grup. Ceko tidak diunggulkan sama sekali.

Mbah Wono Kairun yang pernah top di Radio Suzanna dulu juga mengunggulkan Belanda. Ini penting karena ada sayembara tebak skor. Taruhan kecil-keacilan agar lebih seru.

Ungkapan 'bola itu bundar' ternyata masih berlaku di era masker. Siapa nyana Meneer de Ligt dapat kartu merah. Diusir wasit karena pelanggaran fatal. Belanda oleng.

 Ceko memanfaatkan keunggulan pemainnya untuk menghajar de Oranje. Belanda dipermalukan dua gol. Tim asuhan Tuan de Boer itu pun  tersisih dari Euro 2020. Ceko yang lolos ke 8 besar alias perempat final.

Apes nian awak ini. 

Duit taruhan tebak skor akhirnya hilang begitu saja. Gak banyak sih tapi bisa untuk check-in di kamar hotel kelas kambing.

Rabu, 23 Juni 2021

Rumah Sakit di Sidoarjo Penuh, Terkenang Mantan Wabup Sidoarjo yang Meninggal karena Covid-19

Rumah sakit rujukan Covid-19 mendekati penuh. BOR keseluruhan 92 persen. Malah beberapa rumah sakit di atas 100 persen alias melebihi kapasitas tempat tidur yang disediakan untuk pasien covid.

RSUD Sidoarjo sebagai rumah sakit terbesar sudah 104 persen.  Mitra Keluarga Waru 102 persen. RS Bhayangkara, RS Citra Medika, dan Aisyiyah Siti Fatimah 100 persen.

Data okupansi rumah sakit ini menunjukkan bahwa pandemi korona di Sidoarjo sudah gawat. Surabaya juga sama. Belum lagi Bangkalan. Kabupaten/kota lain di Jawa Timur juga tidak jauh berbeda.

Sayangnya, saya perhatikan sebagian besar warga masih meremehkan covid. Prokes 5M dianggap angin lalu. Pakai masker hanya karena takut ditilang petugas.

Bagaimana mungkin pandemi ini bisa dihentikan dalam waktu dekat? 

Gus Bupati perlu lebih tegas lagi. Sosialisasi atau apa pun namanya perlu digencarkan lagi. Sebab, tidak gampang menyadarkan masyarakat bahwa penyakit aneh nan sangat menular bernama covid itu benar-benar ada di sekitar kita.

Jangan lupa, salah satu pejabat di Jawa Timur yang meninggal dunia akibat korona adalah Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin. Saat menjabat sebagai pimpinan daerah, Cak Nur sangat getol sosialisasi prokes, turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi bahaya virus korona.

Bahkan, Cak Nur yang langsung turun untuk mengubur jenazah pasien covid di kawasan Lingkar Timur. Saat itu para penggali kubur tidak berani menguburkan jenazah-jenazah korban covid karena masih minim informasi.

Saat ini saya lagi ngopi di warkop dekat kediaman almarhum Cak Nur, mantan bupati Sidoarjo, di kawasan Waru. Sambil baca koran yang memuat data BOR rumah sakit di Sidoarjo. Sambil melihat delapan pengunjung dan pemilik warkop yang tidak pakai masker.

Gawat! 
Darurat!

Selasa, 22 Juni 2021

Korona Tidak Ada, Yang Ada Markona

Ratusan orang Madura kemarin unjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka meminta Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka penyekatan di Jembatan Suramadu. Pengunjuk rasa dari pulau sebelah itu merasa sangat terganggu karena harus dites antigen, dirazia, dicek dokumen tiap hari di posko.

Sejak 5 Juni 2021 memang dilakukan penyekatan di Suramadu dan Dermaga Ujung-Kamal. Sebab terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan. Ada empat kecamatan yang zona merah. Pasien sangat banyak. Angka kematian tinggi.

Dan, yang gawat, koronanya itu ada varian baru dari India. Virus mutasi ini lebih ganas. Lebih menular dan fatal akibatnya kalau tidak segera ditangani. Yang sudah vaksin pun tetap kena.

Sosialisasi sudah dilakukan berkali-kali sejak awal pandemi. Di media massa, media sosial, pintu ke pintu, tokoh agama, dan sebagainya sudah mengingatkan masyarakat akan bahaya virus korona baru.

Dan.. sudah banyak korban meninggal dunia. Termasuk kenalan kita, tetangga, kerabat jauh, kerabat dekat, hingga keluarga inti kita. Tapi rupanya masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya Covid-19 alias corona.

''Di Madura tidak ada korona. Yang ada cuma markona,'' begitu salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa dari Madura kemarin.

Korona atau corona jadi bahan guyonan. Bukan lagi penyakit yang mematikan. ''Kami tiap hari tidak pakai masker selama satu tahun lebih sampai sekarang. Gak jaga jarak. Biasa aja. Wong korona itu nggak ada,'' kata seorang warga Madura kepada BBC.

Angel, angel.. angeeel.

Pusing. Wali Kota Cak Eri, Gubernur Khofifah, Bupati Bangkalan dan pejabat-pejabat lain pasti pusing dengan sikap ratusan pengunjuk rasa itu. Sebab, cara berpikir, paradigma, filosofinya sangat berbeda dengan kalangan ilmuwan atau pakar-pakar penyakit menular, dokter, epidemiolog dsb.

Kebijakan penyekatan Jembatan Suramadu justru sangat bagus. Orang dites antigen, PCR dsb juga bagus. Agar virus korona bisa diketahui sejak dini meskipun orangnya tanpa gejala.

Tes antigen juga mahal. Apalagi PCR itu. Para pengendara yang disekat ini malah tes gratis. Saya yang naik kereta api pun harus tes covid dan bayar sendiri. Mahal juga kalau dites berkali-kali di stasiun yang berbeda.

Lah, di Suramadu dan Ujung-Kamal tesnya gratis. Dibayar pemerintah tentu saja. Kok malah ngamuk? Posko kesehatan, meja kursi petugas kesehatan dijungkir balik?

''Bisa ambyar kalau masih banyak warga yang bersikap begitu,'' ujar Dr Amien Widodo dari ITS Surabaya.

Kang Amien lalu menyodorkan data korban pandemi flu spanyol di Hindia Belanda tahun 1918. Saat itu korban meninggal paling banyak di Djawa Timoer.

Dan... yang paling banyak di Pulau Madoera.