Rabu, 23 Juni 2021

Rumah Sakit di Sidoarjo Penuh, Terkenang Mantan Wabup Sidoarjo yang Meninggal karena Covid-19

Rumah sakit rujukan Covid-19 mendekati penuh. BOR keseluruhan 92 persen. Malah beberapa rumah sakit di atas 100 persen alias melebihi kapasitas tempat tidur yang disediakan untuk pasien covid.

RSUD Sidoarjo sebagai rumah sakit terbesar sudah 104 persen.  Mitra Keluarga Waru 102 persen. RS Bhayangkara, RS Citra Medika, dan Aisyiyah Siti Fatimah 100 persen.

Data okupansi rumah sakit ini menunjukkan bahwa pandemi korona di Sidoarjo sudah gawat. Surabaya juga sama. Belum lagi Bangkalan. Kabupaten/kota lain di Jawa Timur juga tidak jauh berbeda.

Sayangnya, saya perhatikan sebagian besar warga masih meremehkan covid. Prokes 5M dianggap angin lalu. Pakai masker hanya karena takut ditilang petugas.

Bagaimana mungkin pandemi ini bisa dihentikan dalam waktu dekat? 

Gus Bupati perlu lebih tegas lagi. Sosialisasi atau apa pun namanya perlu digencarkan lagi. Sebab, tidak gampang menyadarkan masyarakat bahwa penyakit aneh nan sangat menular bernama covid itu benar-benar ada di sekitar kita.

Jangan lupa, salah satu pejabat di Jawa Timur yang meninggal dunia akibat korona adalah Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin. Saat menjabat sebagai pimpinan daerah, Cak Nur sangat getol sosialisasi prokes, turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi bahaya virus korona.

Bahkan, Cak Nur yang langsung turun untuk mengubur jenazah pasien covid di kawasan Lingkar Timur. Saat itu para penggali kubur tidak berani menguburkan jenazah-jenazah korban covid karena masih minim informasi.

Saat ini saya lagi ngopi di warkop dekat kediaman almarhum Cak Nur, mantan bupati Sidoarjo, di kawasan Waru. Sambil baca koran yang memuat data BOR rumah sakit di Sidoarjo. Sambil melihat delapan pengunjung dan pemilik warkop yang tidak pakai masker.

Gawat! 
Darurat!

Selasa, 22 Juni 2021

Korona Tidak Ada, Yang Ada Markona

Ratusan orang Madura kemarin unjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka meminta Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka penyekatan di Jembatan Suramadu. Pengunjuk rasa dari pulau sebelah itu merasa sangat terganggu karena harus dites antigen, dirazia, dicek dokumen tiap hari di posko.

Sejak 5 Juni 2021 memang dilakukan penyekatan di Suramadu dan Dermaga Ujung-Kamal. Sebab terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan. Ada empat kecamatan yang zona merah. Pasien sangat banyak. Angka kematian tinggi.

Dan, yang gawat, koronanya itu ada varian baru dari India. Virus mutasi ini lebih ganas. Lebih menular dan fatal akibatnya kalau tidak segera ditangani. Yang sudah vaksin pun tetap kena.

Sosialisasi sudah dilakukan berkali-kali sejak awal pandemi. Di media massa, media sosial, pintu ke pintu, tokoh agama, dan sebagainya sudah mengingatkan masyarakat akan bahaya virus korona baru.

Dan.. sudah banyak korban meninggal dunia. Termasuk kenalan kita, tetangga, kerabat jauh, kerabat dekat, hingga keluarga inti kita. Tapi rupanya masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya Covid-19 alias corona.

''Di Madura tidak ada korona. Yang ada cuma markona,'' begitu salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa dari Madura kemarin.

Korona atau corona jadi bahan guyonan. Bukan lagi penyakit yang mematikan. ''Kami tiap hari tidak pakai masker selama satu tahun lebih sampai sekarang. Gak jaga jarak. Biasa aja. Wong korona itu nggak ada,'' kata seorang warga Madura kepada BBC.

Angel, angel.. angeeel.

Pusing. Wali Kota Cak Eri, Gubernur Khofifah, Bupati Bangkalan dan pejabat-pejabat lain pasti pusing dengan sikap ratusan pengunjuk rasa itu. Sebab, cara berpikir, paradigma, filosofinya sangat berbeda dengan kalangan ilmuwan atau pakar-pakar penyakit menular, dokter, epidemiolog dsb.

Kebijakan penyekatan Jembatan Suramadu justru sangat bagus. Orang dites antigen, PCR dsb juga bagus. Agar virus korona bisa diketahui sejak dini meskipun orangnya tanpa gejala.

Tes antigen juga mahal. Apalagi PCR itu. Para pengendara yang disekat ini malah tes gratis. Saya yang naik kereta api pun harus tes covid dan bayar sendiri. Mahal juga kalau dites berkali-kali di stasiun yang berbeda.

Lah, di Suramadu dan Ujung-Kamal tesnya gratis. Dibayar pemerintah tentu saja. Kok malah ngamuk? Posko kesehatan, meja kursi petugas kesehatan dijungkir balik?

''Bisa ambyar kalau masih banyak warga yang bersikap begitu,'' ujar Dr Amien Widodo dari ITS Surabaya.

Kang Amien lalu menyodorkan data korban pandemi flu spanyol di Hindia Belanda tahun 1918. Saat itu korban meninggal paling banyak di Djawa Timoer.

Dan... yang paling banyak di Pulau Madoera.

Sabtu, 12 Juni 2021

Sudah divaksin kok masih kena covid?

Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono terpapar Covid-19. Saat ini sedang isolasi di rumah sakit. Kondisi mantan wartawan Surya dan Tempo ini kian membaik.

''Sekarang saya banyak baca buku dan koran,'' kata politikus PDI Perjuangan itu.

Adi alias Awi tidak sendiri. Sekitar 10 anggota dewan yang lain juga kena covid. Termasuk Dyah Katarina, istri Bambang DH, mantan wali kota Surabaya. ''Saya tidak sakit. Saya cuma terpapar covid,'' kata Dyah.

Mengapa ketua dan anggota dewan terpapar Covid-19? Ada yang mengaitkan dengan ziarah massal di makam Bung Karno awal Juni. Namun, Adi membantah. ''Karena kegiatan kami padat sekali,'' katanya.

Meski sudah menerapkan prokes ketat, virus korona tetap saja punya celah untuk masuk. Apalagi warga senang berkerumun. Tidak jaga jarak. Ada saja yang tidak pakai masker.

Yang bikin saya kaget, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono ini paling pertama yang dapat vaksin. Bersama pejabat-pejabat pemkot, forkopimda, dsb. Divaksin Sonovac yang terkenal itu.

Seminggu kemudian giliran semua anggota dewan disuntik vaksin. Tidak ada yang menolak vaksinasi. Bahkan, para wakil rakyat itu mendesak segera divaksin karena setiap hari bertemu begitu banyak orang.

Mengapa Adi dan para wakil rakyat itu masih terpapar korona? Bukankah sudah divaksin lima bulan lalu? Imunitas tubuhnya ke mana?

Lalu, apa gunanya vaksinasi kalau tetap terserang korona? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan masyarakat di media sosial atau warung kopi.

Yang jelas, klaster Covid-19 di DPRD Surabaya ini menunjukkan bahwa vaksinasi bukan jaminan. Vaksin Sinovac dsb tidak serta-merta membuat orang jadi kebal serangan virus korona.

Masa berlaku vaksin di dalam tubuh pun mungkin sangat terbatas. Tidak bisa lama. Apalagi sampai bertahun-tahun.

Karena itu, gelombang vaksinasi massal yang tengah berlangsung di tanah air belum tentu efektif untuk menekan wabah korona ini. Buktinya, lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Kudus, dan kota-kota lain setelah Lebaran sangat tinggi justru setelah ada vaksinasi.

Kelihatannya perang melawan pandemi korona masih sangat panjang.

Selasa, 08 Juni 2021

Ternyata Ada Korona di Madura

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 melanda tanah air. Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan persebaran virus aneh dari Wuhan ini. PSBB, PPKM, PPKM mikro, lockdown lokal, dan sebagainya.

Vaksinasi pun sedang dimasalkan. Saya ikut gelombang vaksinasi gelombang pertama di kantor gubernur Jawa Timur. Dianggap kalangan berisiko tinggi. Saat ini vaksinasi lansia, ODGJ, dan masyarakat luas.

Hasilnya? Rupanya virus korona sulit dihentikan. Malah muncul lonjakan baru dari Bangkalan, Madura. Pemkot Surabaya geger. Gubernur Khofifah dan Pemprov Jawa Timur kelabakan menangani arus orang dari Pulau Madura itu.

Sejak Sabtu lalu (6/6) ada penyekatan masal di Jembatan Suramadu. Tes antigen masal. Mulai dibangun pula rumah sakit darurat di kaki Suramadu sisi Madura. Kalau ada pengendara yang positif langsung ditangani di situ.

Semua rumah sakit di Surabaya juga siaga. Siap-siap menampung pasien dari pulau seberang itu. Dr Dewa Gede Nalendra, penanggung jawab RS Lapangan Indrapura, khawatir virus korona di Bangkalan ini varian baru. ''Semoga tidak,'' katanya.

Sejak awal pandemi, Maret 2020, saya beberapa kali dolan ke Bangkalan. Memanfaatkan Jembatan Suramadu yang mulus itu. Suasananya biasa saja. Seperti tidak ada korona.

Protokol kesehatan yang disebut 3M (masker, menjaga jarak, mencuci tangan) kurang jalan di Madura. Begitu juga prokes baru yang disebut 5M. Sangat jarang saya lihat orang-orang di sana pakai masker dan jaga jarak.

''Nggak ada korona di sini. Aman, Pak,'' kata penjual es kelapa muda di dekat Jembatan Suramadu.

''Di Madura ini biasa-biasa saja. Kita tidak boleh takut sama korona. Yang penting minta perlindungan ke Allah,'' kata seorang bapak di Bangkalan.

''Korona itu obatnya sholawat (salawat). Sholawat yang banyak. Insya Allah, kita dijauhkan dari segala penyakit,'' kata seorang ibu di tengah Kota Bangkalan.

Bukan hanya di Madura. Banyak orang asal Madura yang tinggal di kawasan Surabaya Utara pun cenderung mengabaikan prokes. Sangat jarang yang pakai masker. Kalau ada razia baru cepat-cepat pasang masker kain.

Itu yang saya lihat di kawasan Rajawali, Jembatan Merah, Kembang Jepun, Kalimas, Pabean, Ampel, Nyamplungan, Semampir, dan sebagainya. Kawasan ini biasa disebut Blok M. Saking banyaknya orang Madura.

''Korona itu komunitas rondo merana,'' begitu guyonan umum di warkop-warkop kawasan Surabaya Utara.

Nah, sikap cuek, mengabaikan prokes, menganggap korona tidak ada di Madura itu akhirnya jadi bumerang. Selepas libur Lebaran muncul ledakan kasus covid di mana-mana. Khususnya di Bangkalan, Madura. Pulau yang selama ini dianggap zona hijau. Dianggap tidak ada pandemi Covid-19.

''Jangan sekali-kali meremehkan Covid-19. Protokol kesehatan 5M harus diterapkan di mana saja. Termasuk di Madura,'' kata seorang pejabat pemprov.

Pejabat itu dari dulu gregetan mendengar ucapan ''tidak ada korona di Madura''.

Minggu, 06 Juni 2021

Errol Jonathans, News Radio dan Komsos

Sudah setahun lebih wabah Covid-19 melanda negeri kita. Berbagai tatanan, adat kebiasaan, hingga liturgi mengalami disrupsi. Semua serbadaring. Online meeting, webinar, wisuda online, dsb.

Selama setahun lebih ini saya baru dua kali ke gereja. Dua-duanya untuk melayat. Pertama, melayat mendiang Pater Yosef Bukubala SVD di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo.

Saat itu saya sendiri di dalam gereja yang besar itu. Berdoa di depan peti jenazah. Sekitar 10 menit kemudian datang lima orang lain yang juga ingin memberi bekal rohani kepada pater asal Flores Timur itu.

Tidak ada misa saat itu. Misa requiem baru diadakan sore hari. Itu pun dibatasi umatnya. Yang lain hanya boleh ikut misa streaming dari YouTube. Aturan baku sejak ada wabah korona.

Kali kedua masuk ke gereja ya pekan lalu. Ikut misa requem melepas jenazah Bapak Errol Jonathans, CEO Radio Suara Surabaya dan media-media lain di bawah Grup Suara Surabaya.

Inilah pertama kali saya ikut misa secara langsung di gereja saat pandemi. Biasanya cuma daring, daring, daring. Pangling juga karena ada banyak aturan protokol kesehatan yang ribet.

Harus mengisi daftar hadir, nomor telepon, asal paroki, dsb. Lalu dikasih nomor tempat duduk. Kayak mau naik kereta api atau pesawat saja. Syukurlah tidak perlu tes antigen, PCR, atau genose.

Mendiang Agustinus Maria Errol Jonathans tokoh media yang sangat kondang di Surabaya. Bahkan di Indonesia. Ia bersama Pak Sutoyo yang mendirikan Radio Suara Surabaya pada 9 Juni 1983. Mengudara pada saat gerhana matahari total di Indonesia.

 Saat itu pemerintah dan rakyat Indonesia sangat panik. Khawatir rakyat Indonesia jadi buta gara-gara nekat mengintip gerhana matahari yang langka itu. Errol Jonathans, waktu itu koresponden Pos Kota, memanfaatkan momen itu untuk launching Suara Surabaya.

Berbeda dengan radio-radio swasta saat itu yang fokus hiburan, lagu-lagu pop, dangdut, rock, pilihan pendengar, sandiwara radio Mak Lampir, dan sejenisnya, Suara Surabaya memilih fokus ke informasi. Main di jurnalistik radio.

Errol sengaja pakai istilah informasi, bukan berita. Sebab saat itu hanya RRI yang boleh menyiarkan warta berita. Dan semua radio swasta di Indonesia wajib merelai warta berita ala RRI.

 Kalau radio swasta nekat membuat dan menyiarkan warta berita, ya tamat. Izin siarannya pasti dicabut. ''Makanya kami pakai istilah informasi. Kami tidak menyiarkan warta berita tapi menyampaikan informasi,'' kata Errol dalam berbagai kesempatan.

Rupanya kiat alias akal-akalan Errol Jonathans di masa Orde Baru yang mengontrol ketat media itu sukses. Radio SS menjadi radio swasta memelopori jurnalistik radio di Jawa Timur. Informasinya disampaikan kapan saja. Beda dengan warta berita RRI yang disiarkan hanya pada jam-jam tertentu saja.

Bukan itu saja. Suara Surabaya pun memanfaatkan pendengar sebagai reporter. Mulai soal jalan rusak, kemacetan lalu lintas, kecelakaan, kebakaran, dsb. Warga yang biasa melapor ke SS biasanya ketagihan untuk membuat laporan lagi, lagi, dan lagi.

Maka, warga Surabaya seakan berlomba untuk memberikan informasi lewat corong Radio Suara Surabaya. Jauh sebelum istilah citizen journalism atau jurnalisme warga populer, SSFM sudah melakukannya. 

Suara Surabaya pun sejak menggunakan FM ketika hampir semua radio di Surabaya masih bermain di AM. Singkatnya, SS ini banyak memberikan warna baru pada dunia broadcasting di Jawa Timur. Dan... Errol Jonathans adalah tokoh di balik berbagai terobosan SS itu.

Yang menarik, selama 38 tahun bergelut dengan SS, Errol Jonathans ternyata dekat dengan gereja. Ia sering diminta menjadi narasumber atau pembicara dalam seminar-seminar tentang media di lingkungan Gereja Katolik. Sejak Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Surabaya dipegang Romo Prof John Tondowidjojo CM (almarhum).

Romo Tondo yang dikenal sebagai pakar komunikasi itu melihat Errol Jonathans punya bakat luar biasa di bidang komunikasi sosial atau media massa. Khususnya broadcasting atau radio. ''Pak Errol perlu membagikan ilmu kepada generasi muda,'' kata Romo Tondo yang juga penulis puluhan atau ratusan judul buku itu.

Dulu saya pikir Errol Jonathans cuma sekadar diminta jadi narasumber Komsos Keuskupan Surabaya atau paroki tempat tinggalnya. Saat misa requiem di Gereja Katedral HKY Surabaya baru saya tahu Errol jadi pengurus Komsos di tingkat paroki, keuskupan, dan KWI.

''Pak Errol ini tokoh yang luar biasa. Beliau jadi pengurus Komsos mulai tingkat paroki, keuskupan, dan KWI dalam waktu bersamaan,'' ujar Romo Stevan Lalu, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI, yang memimpin misa requiem itu.

KWI memang sengaja mengutus Romo Stevan ke Surabaya untuk melepas mendiang Errol Jonathans ke Makam Keputih. Mengingat jasa-jasa dan kontribusi Errol selama puluhan tahun dalam mengembangkan Komsos di tanah air. Errol pun kerap jadi narasumber dan penasihat pastor-pastor di bidang komunikasi sosial dan public speaking.

''Kalau bicara di depan umum, public speaking, khotbah atau homili sampaikan poin-poin yang singkat dan padat. Jangan berbelit-belit.'' 
Demikian salah satu nasihat Errol Jonathans kepada para pastor yang disampaikan kembali Romo Stevan asli Manado itu. ''Saya coba melaksanakan nasihat Pak Errol. Homili saya singkat saja. Cuma empat poin,'' kata pastor yang humoris itu.

Suasana misa requiem tidak membuat jemaat larut dalam duka dan air mata. Ini karena pihak keluarga, diwakili Patrick Jonathans, menyampaikan cerita menarik yang inspiratif saat Errol masih kecil. Bagaimana Errol sudah punya visi yang besar sejak kecil.

Bagaimana Errol menggambar sawah di halaman rumah lalu menjadi pengendali sawah itu. Bagaimana Errol sudah berbeda dengan anak-anak seusianya. Bagaimana tiga adik kandungnya pun sudah menjadikan Errol sebagai guru meskipun usia mereka tidak jauh berbeda.

Meskipun sudah lama kenal dan ikut seminarnya, saya baru tahu kalau Errol Jonathans pernah jadi penyanyi saat muda. Sangat musikal, senang musik klasik, senang menikmati paduan suara yang indah. Itu disampaikan putranya di akhir misa requiem.

Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Errol Jonathans nekat membuat program musik yang tidak pasaran di Radio Surabaya. Ada Jazz Traffic yang diasuh sang maestro Bubi Chen. Ada pula musik kontemporer asuhan Slamet Abdul Sjukur.

Lagu-lagu pop yang diputar di Suara Surabaya pun tidak asal-asalan. Ada kriteria sendiri. Meskipun lagunya sangat booming seperti Tak Ingin Sendiri, Hati Yang Luka, Pamer Bojo Anyar, atau Banyu Langit... tidak akan mengudara di Suara Surabaya.

''Papa dulu sangat senang menyanyi, sempat ikut lomba, dan menang juga,'' kata putranya.

Selamat jalan, Pak Errol!
Selamat bahagia di sisi Bapa!

Kamis, 13 Mei 2021

Lari Pagi di Alun-Alun Bunder

Ketika masih SMP dan SMA saya senang olahraga lari. Jarak menengah dan agak jauh. Maraton 42 km terlalu jauh. Lari 10 km lumayan kuat meski tidak bisa cepat kayak atlet lari tingkat nasional.

Kamis pagi, 13 Mei 2021, saya coba nostalgia lari-lari di Alun-Alun Bunder, Malang. Sepi banget karena Idulfitri. Orang sibuk salat Id dan berhari raya di rumah masing-masing. 

Saya pun napak tilas alun-alun peninggalan Belanda itu. Dua kali jalan agak cepat, kemudian lari. Wuih.. ternyata ngos-ngosan meski hanya satu putaran saja. Denyut jantung sangat kencang. Keringat bercucuran.

Faktor U memang tak bisa dinafikan. Semangat boleh tinggi tapi onderdil tubuh tidak sekuat masa remaja belasan tahun. Maka saya pun kembali jalan kaki mengelilingi alun-alun bersejarah dan penuh kenangan masa lalu itu.

Ada balai kota, kantor dewan, SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, stasiun kereta api, Splendid Inn, aula Skodam... suasana lawas yang tak banyak berubah. Bangunan-bangunan tua rupanya dipelihara dengan baik di Kota Malang ini.

Kembali ke lari pagi atau lari sore. Dulu boleh dikata saya rutin berlari keliling alun-alun bunder dengan mudah. Bisa 10 kali, 15 kali, bahkan 20 kali putaran. Napas tidak sampai ngos-ngosan.

Bahkan, sesekali saya ikut berlari bersama para petinju Sasana Kawanua di alun-alun ini. Markas Kawanua BC di Jalan Pajajaran, dekat banget dengan Jalan Suropati kompleks militer itu.

Tidak mudah mengimbangi gaya berlari para petinju profesional karena kecepatannya tinggi. Seperti dikejar anjing gila aja. Beda dengan kita orang yang berlari dengan tempo sedang-sedang saja. Karena itu, ketika kita memaksakan diri mengikuti pace para petinju Kawanua otomatis pola pernapasan jadi kacau. Bahaya.

Sasana Kawanua sudah lama mati. Begitu juga sasana-sasana yang pernah top di Malang seperti Javanua BC dan Gajayana BC. Sasana Gajayana BC di dekat Gereja Kayutangan sudah lama jadi kantor dinas Pemkot Malang. Sasana inilah yang pernah melahirkan Thomas Americo, petinju kondang asal Timor Timur itu.

Olahraga lari rupanya hanya cocok untuk orang-orang muda. Tapi sejatinya semua orang perlu selalu gerak badan. Kalau sudah tidak bisa lari ya jalan kaki pun boleh. Atau nggowes sepeda angin.

Sensasi Nostalgia di Toko Oen Malang

Kamis ini Lebaran. Bersamaan dengan Hari Kenaikan Yesus Kristus. 

Mau misa di Gereja Kayutangan, Malang, tapi tidak bisa karena bukan jemaat setempat. Protokol kesehatan di gereja-gereja memang sangat ketat (dan kaku).

Tak apa-apa. Toh bisa misa daring. Libur Lebaran di Malang tapi ikut misa dari Gereja Katedral Larantuka, Flores Timur. Dipimpin Romo Edy Saban orang Lembata. 

Misa di gereja tua peninggalan Portugia ini ibarat nostalgia mengenang masa kecil di Larantuka. Saat jadi misdinar atau putra altar Pater Paulus Due SVD dan Romo Gorys Kedang Pr -- keduanya sudah rest in peace.

Suasana Kota Malang di hari raya ini lengang. Tak banyak kendaraan lewat. Hampir tidak ada warung atau depot yang buka. Aku pun jalan kaki ke kawasan Kayutangan. Mampir dulu ke gereja yang sepi gara-gara Covid-19.

Oh, Toko Oen persis di depan Gereja Kayutangan ternyata buka. Pesan kopi dan roti tawar. Nongkrong, baca koran Jakarta Post yang disiapkan pengelola Toko Oen, sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia. Beatles, Roberta Flack, dan artis-artis lawas lainnya.

Suasana Toko Oen tidak banyak berubah. Meja dan kursi model tempo doeloe. Bangunannya juga khas tahun 1930-an. Hanya roti, kue, camilan yang disesuaikan dengan lidah wong Jowo. Maka tidak akan ada roti gandum di sini. Keju khas Hindia Belanda pun zonder ada.

Saya sudah tahu sejak dulu bahwa harga kopi dan aneka minuman di sini memang mahal. Karena itu, saya cuma pesan secangkir kopi hitam + sedikit gula. Harganya Rp 20 ribu. Roti tawar Rp 15 ribu.

Bagaimana rasanya kopi hitam ala Toko Oen? 

Sama saja dengan kopi di warkop-warkop pinggir jalan di Surabaya dan Sidoarjo yang Rp 3.000-an itu. Malah lebih gurih yang di warkop kaki lima.

Bedanya, di sini kita bisa melihat beberapa turis londo yang sedang nostalgia di toko tempo doeloe. Kita juga bisa membayangkan sensasi noni-noni dan mevrow tempo doeloe yang cakep-cakep beraroma keju.

Als de orchideen bloeien...