Senin, 05 April 2021

Paskah Kelabu di Pulau Lembata

Seminggu sebelum Paskah ada firasat buruk. Saya bermimpi melihat begitu banyak orang sembahyang di makam di kampung asal saya di Pulau Lembata, NTT. Ratap tangis terus terdengar di tengah warga yang sedang berdoa rosario.

Ah, cuma mimpi. Bunga tidur saja. 

Tapi suasana dalam mimpi itu tak pernah hilang. Jangan-jangan ada apa-apa di kampung halaman atau Lewotanah. Maklum, sudah banyak firasatku yang terbukti meski kejadiannya tidak sama persis. Misalnya, ada keluarga inti meninggal dunia.

Sabtu 3 April 2021. Malam Paaskah. Tidak ada kabar dari kampung. 

Saya pun ikut misa Sabtu Paskah secara daring via channel Katedral Manila, Filipina. Misanya mulai pukul 14.00 sampai 16.00. Inilah kali pertama saya mengikuti misa Malam Paskah pada siang hari.

 Malam Paskah kok siang? Pandemi membuat berbagai tananan ambruk. Termasuk soal liturgi atau peribadatan. Kita tidak lagi terikat pada suatu paroki atau gereja layaknya di dunia nyata. Bisa ikut streaming mass dari negara mana saja.

Minggu Paskah, 4 April 2021.

Kembali ikut misa online. Bukan di YouTube atau Facebook tapi lewat Kompas TV pukul 11.00. Siaran langsung dari Gereja Katedral Jakarta. Dipimpin langsung Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta.

Sesuai protokol di masa pandemi, liturgi Minggu Paskah benar-benar dipadatkan. Lagu-lagu sangat dikurangi. Karena itu, misa hanya berlangsung selama 52 atau 53 menit. Biasanya di atas dua jam di masa normal.

Nah, saat ikut misa di televisi itu muncul beberapa panggilan dari NTT. ''Banjir lahar sangat parah di kampung,'' kata Vincentia Hurek, adik saya di Kupang.

''Esi muri beng go kontak lewo. Go dore misa Paskah pi. Nanti saya kontak kampung. Saya lagi misa Paskah ini,'' pesan pendek saya di WA.

Setelah misa di kamar yang sepi itu, saya kontak Kristofora Hurek, adik bungsu di kampung. Di Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape. Tidak nyambung. HP mati. 

Bisa jadi listrik padam sehingga baterai HP mati. Bisa juga sinyal seluler hilang karena bencana itu. Begitu kecurigaan saya.

Maka saya cek grup-grup orang NTT alias Flobamora di media sosial. Khususnya Facebook yang jadi kegemaran orang NTT. Oh.. banyak gambar dan narasi tentang bencana alam di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Tetangga terdekat Pulau Lembata.

Jangan-jangan... badai itu juga menerjang Lembata di sebelah timur Adonara. Apalagi Gunung Ile Ape baru saja erupsi. Laharnya belum dimuntahkan.

Buku Puji Syukur masih terbuka di depan saya. Buku liturgi untuk ikut misa bersama Bapa Uskup Agung Jakarta di Kompas TV itu. 

''Hai makhluk semua, pujilah Tuhan kita,'' begitu lagu penutup misa khas Flores yang baru saja dibawakan di Kompas TV.

Tiba-tiba... Erni Hurek, adik kandung yang satunya di Lewoleba, menelepon. Nadanya sangat panik. Rinol dan Rio, keponakan, putranya Kristofora, sudah di rumah. Mereka lari tengah malam, jalan kaki. Hanya pakai pakaian basah yang melekat di badan.

''Kristofora belum bisa dihubungi karena HP-nya mati. Saya lagi cari informasi,'' ujar Erni dengan nada sangat panik.

Informasi lain: banyak warga Desa Amakaka, Tanjungbatu, Waimatan yang jadi korban. Banyak yang terbawa banjir lahar sampai ke laut. Bangunan rumah, harta benda.. tersapu. Ludes.

Oh, Tuhan... betapa berat ujian yang dihadapi ina ama kaka ari rae Lewo. ''Banjir lahar sangat mendadak sehingga banyak sekali orang kampung yang terjebak,'' kata Erni.

Saya hanya bisa berdoa dan kirim SMS ke Kristofora. Semoa dia dan Yois, suaminya, serta keluarga besar di kampung selamat.

Minggu petang. Kompas TV dan Metro TV kembali memberitakan bencana banjir di Flores Timur. Puluhan orang tewas. Puluhan orang lagi belum ditemukan. Narasumbernya Wakil Bupati Flores Timur Agus Payong Boli.

Kok jurnalis televisi di NTT tidak menyebut Lembata? Bukankah sama-sama dahsyat bencananya? Korbannya juga sama-sama banyak.

Tiba-tiba... ada panggilan dari Kristofora. Misscall. Gantian saya yang harus menelepon karena pulsa di kampung memang terbatas. Apalagi dalam kondisi bencana dahsyat macam ini.

Ade Is, sapaan akrabnya, bilang mereka ditampung di pengungsian Puskesmas Waipukang. ''Puji Tuhan, kami dikasih selamat. Kampung di sebelah yang habis dihantam banjir. Terima kasih Tuhan.. terima masih Tuhan,'' ujarnya dalam bahasa daerah.

Lalu, Is menceritakan kondisi bencana alam yang benar-benar sangat parah itu. Desa Wamatan boleh dikata habis karena bangunan-bangunannya disapu banjir. ''Kami di pengungsian ini juga tidak bawa apa-apa. Cepat-cepat jalan kaki untuk menyelamatkan diri,'' katanya.

Puji Tuhan! Ade Is dan keluarganya selamat.

Namun, saya pun sangat bersedih melihat foto-foto kerusakan yang sangat masif itu. Saya tidak pernah membayangkan dampak erupsi, banjir lahar, ditambah badai siklon tropis menerjang NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata.

Kawan lama saya di Larantuka, Gaby, yang sekarang tinggal di Kenjeran, Surabaya, mengirim video lagu lawas tentang bencana alam dahsyat di Flores Timur tahun 1979. Lagu ini biasa diputar ulang saat ada bencana-bencana alam di Flores Timur dan Lembata.

Syairnya antara lain:

''Oh Tuhan, apa salah dan dosaku
Derita ini bertubi menimpa...''

Jumat, 02 April 2021

Puken aku teroris bom gereja?

''Kaka, hati-hati, ake mai gereja ki. Misa paskah hala di jadi. Mio tepe bom nong teroris menun pe.''

Begitu pesan singkat dari Kristofora, adik bungsu saya, di Lembata, NTT. Setelah melihat siaran teror bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, bolak balik Ade Is, sapaan akrabnya, misscall. Kelihatannya panik.

Ade Erni juga beberapa kali sengaja misscall setelah tragedi bom itu. Biasanya saya santai aja agar orang-orang di pelosok Pulau Lembata sana tidak panik.

''Aman. Tidak ada apa-apa di Surabaya,'' begitu pesan SMS saya. ''Semoga Tuhan melindungi kita semua.''

Pertanyaan dalam bahasa daerah di awal itu memang penuh kepanikan. Saya diminta tidak perlu ke gereja untuk misa pekan suci Paskah karena situasi yang tidak kondusif.

''Misa hala di dosa hala. Tidak misa pun tidak berdosa,'' kata dua adik perempuanku di kampung itu.

''Puken aku ti teroris nepe bom gereja? Tite salah aku?''

Mengapa teroris itu mengebom gereja? Apa salah kita (maksudnya umat Katolik)?

Tentu saya sulit menjawab pertanyaan khas orang-orang kampung di NTT seperti ini. Mereka tidak paham JI, JAT, ISIS dsb dsb. Orang-orang desa itu juga tidak mengerti istilah radikalisme, terorisme, deradikalisasi dsb.

Maka biasanya saya hanya bilang suasana di Pulau Jawa sebetulnya aman-aman saja. Sebab polisi sudah bergerak memburu sarang-sarang teroris. Sudah puluhan teroris yang ditangkap.

''Tapi mengapa masih ada bom?'' tanya Ade Is.

Yah.. bisa saja pasutri yang meledakkan diri di Makassar itu sudah bosan hidup. Mereka berdua ingin segera masuk surga bersama-sama.

''Teroris otaken helo tite hala,'' kata saya dalam bahasa daerah. Pola pikir, ideologi, dogmatika yang dianut para teroris berbeda total dengan orang normal. Jumlah mereka pun sangat sangat sedikit. Tapi sangat sangat berbahaya.

Bicara soal teroris dengan orang-orang NTT di pedalaman memang susah. Sebab nenek moyang etnis Lamaholot selalu mengajarkan bahwa ''Tite atadiken hama hena. Kiwanan watanen hama hena.''

Semua manusia itu sama saja di hadapan Sang Pencipta. Orang nasrani dan muslimin sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Harus saling mengasihi, menyayangi, tak boleh saling menyakiti... apalagi ngebom sesama manusia.

Obrolan soal ini bisa panjang lebar kalau dikaitkan dengan kearifan dan adat Lamaholot. Dan pasti makan pulsa seluler yang banyak. Sementara saya sudah lama tidak menyimpang banyak pulsa untuk telepon dan SMS karena 99 persen komunikasi pakai WA.

Maka, apa boleh buat, obrolan tiba-tiba putus. Sebelum saya menyampaikan selamat pekan suci dan Jumat Agung.

Kamis, 01 April 2021

Belajar lagi tulisan tangan

Tak terasa hampir dua bulan blog ini off. Tidak ada naskah sepanjang bulan Maret. Bulan Februari pun cuma ada segelintir catatan. Terakhir Kamis, 11 Februari 2021, tentang Hari Orang Sakit Sedunia.

Ada beberapa rekan yang bertanya apa gerangan? Sakit? Terlalu sibuk? Tidak ada topik menarik?

Sebetulnya saya masih sering corat-coret. Tapi pakai tulisan tangan di buku tulis. Menulis catatan pendek khas diari tempo doeloe. Sekaligus melatih kembali tangan yang sudah lama tidak dipakai untuk menulis agak panjang.

Awalnya kagok karena tulisan tangan kurang lancar. Dan tidak elok. Agak cakar ayam. Kadang agak miring ke kanan, kurang tegak, kurang rata. Tapi lama-lama terbiasa juga.

Bulan Februari dan Maret 2021 adalah momentum yang miris. Terlalu banyak orang yang saya kenal berpulang gara-gara covid. Mulai kolega seprofesi, pastor... dan kian dekat ke keluarga sendiri.

Aku jadi banyak merenung dan refleksi. Betapa rapuhnya manusia. Sehebat apa pun tak kuat diserang virus tak kasat mata itu. Berita duka, RIP, innalilahi... berhamburan di media sosial.

Laman internet dan media sosial penuh dengan RIP dan obituari. Aku pun menulis catatan dan doa di atas kertas lusuh. Khususnya untuk Mama Vita yang berpulang bulan lalu di Kupang.

Hati ini rasanya teriris karena pemakaman pasien-pasien covid dilakukan dengan protokol yang sangat ketat. Tidak boleh datang ke rumah duka, tak ada upacara adat perkabungan layaknya adat kebiasaan di NTT.

Ya, Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami!
Semoga pandemi ini segera berlalu! 

Pekan Suci di Tengah Panen Bom

Sudah setahun pandemi Covid-19 melanda dunia. Virus asal Wuhan itu telah menghancurkan hampir semua tatanan hidup. Sudah jutaan orang yang kena covid. Yang meninggal pun terus bertambah.

Sudah setahun pula tatanan liturgi berubah drastis. Misa atau kebaktian langsung di gereja tidak ada. Misa hanya lewat daring atau live streaming. Rasanya memang beda dengan ikut misa langsung di gereja.

Pekan Suci telah tiba. Ditandai Minggu Palma yang ada geger bom bunuh diri di Katedral Makassar. Apakah pasutri teroris memang tahu ada misa pekan suci? Entahlah.

Hari ini Kamis Putih. Baru saja Ama Paul di Sidoarjo mengirim lagu Ajarilah Kami Bahasa Cintamu. Lagu lawas yang selalu jadi tema utama Kamis Putih.

Tiada kasih yang lebih besar, selain kasih seorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabatnya!

Lagu itu saya renungkan sejenak. Nanti malam akan dinyanyikan di gereja. Biasanya jadi lagu pembukaan misa. Notasinya macam-macam tapi teksnya sama dari Injil Yohanes.

Berbeda dengan Pekan Suci tahun 2020 yang online penuh, tahun ini Bapa Uskup Surabaya menginginkan misa offline. Ekaristi langsung di gereja. Dengan protokol kesehatan ketat. Itu pun umat sangat dibatasi. Tidak sampai 50 persen kapasitas gereja.

Yang ikut misa offline harus daftar dulu lewat ketua lingkungan. Harus umat paroki setempat. Orang Katolik di Sidoarjo kayak teman saya Ricky tidak boleh ikut misa di Katedral Surabaya. Padahal sudah 20-an tahun dia selalu misa di HKY Surabaya. 

''Aku malas aja di Sidoarjo. Suasana di HKY itu beda,'' kata Ricky.

''Kami akan misa Kamis Putih nanti petang,'' kata Ama Paul di Sidoarjo. Bapak guru asal Adonara NTT ini sangat setia ikut misa di Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo.

Saya pantau beberapa gereja yang paternya saya kenal. HKY Surabaya, Roh Kudus Rungkut, Salib Suci Waru, Santo Paulus Juanda. Semuanya ada offline, tapi lebih banyak online.

Apa boleh buat, misa offline alias misa daring masih jadi pilihan di masa pandemi. Apalagi Pekan Suci tahun 2021 ini ditandai dengan aksi terorisme di Makassar. Situasinya tidak kondusif untuk misa langsung di gereja.

Selamat memasuki Pekan Suci!

Kamis, 11 Februari 2021

Hari Orang Sakit Sedunia

 Kamis 11 Februari 2021. Umat Katolik memperingati Hari Orang Sakit Sedunia. Misa di semua gereja baik daring maupun luring semuanya bertema tentang orang sakit.

Hari Orang Sakit Sedunia sebetulnya sudah ada sejak lama. Tapi biasanya tidak diperingati dengan aksi sosial konkret seperti ramai-ramai berkunjung ke tetangga atau keluarga yang sakit. Atau kawan, kerabat, rohaniwan yang sedang dirawat di rumah sakit.

Di Surabaya, saya perhatikan, RKZ yang paling serius dan khusus mengadakan misa Hari Orang Sakit Sedunia. Ada banyak kegiatan untuk meneguhkan komitmen pelayanan kepada orang sakit di rumah sakit itu.

Saya sendiri biasanya tidak begitu serius dengan hari orang sakit. Jarang misa karena tidak diadakan pada hari Sabtu atau Minggu.

Tapi kali ini beda. Saat ikut misa streaming pagi ini di Gereja Katedral HKY Surabaya, saya jadi paham betapa pentingnya Hari Orang Sakit Sedunia. Ketika pandemi melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020 lalu.

Ya... pandemi Covid-19 ini membuat seluruh dunia sakit. Di Indonesia saja sudah di atas satu juta pasien. Dan angkanya terus bertambah dan bertambah karena berbagai upaya pembatasan kegiatan masyarakat atau PSBB belum juga membuahkan hasil.

Sudah setahun ini kita semua memohon kepada Tuhan agar pandemi korona ini segera diangkat. Banyak orang yang mulai kelelahan, stres, bahkan putus asa. Pasrah kepada-Nya. Toh, hidup mati kita ada di tangan Tuhan.

Tapi sebagai orang ber-Tuhan, kita diingatkan pagi ini lewat Injil Markus yang jadi bahan renungan Hari Orang Sakit Sedunia. Seorang perempuan datang kepada Yesus meminta putrinya yang kerasukan setan disembuhkan.

"Maka kata Yesus kepada perempuan itu: 'Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.'

Perempuan itu pulang ke rumahnya, lalu didapatinya anak itu berbaring di tempat tidur, sedang setan itu sudah keluar."

Di masa pandemi ini, kita makin membutuhkan pertolongan Tuhan untuk mengusir setan dalam wujud virus korona baru itu. Selain vaksinasi, protokol kesehatan 5M, dan berbagai aturan pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Rabu, 10 Februari 2021

Abot enteng bareng dilakoni


Tahun baru Imlek sudah di depan mata. Tahun Kerbau. Mestinya suasana meriah, bahagia, makan-makan enak, diiringi musik oriental, barongsai, parade dewa rezeki dsb. Tapi suasana pandemi mengubah segalanya.

Kemarin saya mampir ke TITD Hong San Ko Tee alias Kelenteng Cokro di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Kelenteng langganan saya sejak berkenalan dengan Ibu Juliani, ketua pengurus, 20-an tahun lalu. Mendiang Bu Juli selalu undang saya untuk menghadiri perayaan Sincia, Ciswak, hingga ulang tahun dewa yang jadi tuan rumah kelenteng.

Suasana jelang Sincia ini biasa-biasa saja. Malah lebih sederhana ketimbang hari biasa sebelum pandemi korona. Kelenteng tertutup untuk orang yang tak punya kepentingan.

 "Sampean silakan masuk," kata seorang karyawan. Rupanya saya dapat keistimewaan untuk masuk dan melihat persiapan Sincia yang tidak biasa itu.

Ternyata di dalam cukup ramai. Ada 10 pekerja sibuk memasang lilin-lilin berukuran besar. Tata letaknya tidak bisa sembarangan. Sudah ada ketentuan dari pengurus yayasan.

Saya membaca pengumuman bahwa tahun ini tidak ada perayaan tahun baru Tionghoa seperti biasanya. Tapi saya pura-pura bertanya kepada Sudirman via pesan WA. Dia yang sehari-hari mengurus Kelenteng Cokro setelah Bu Juliani, mertuanya, meninggal dunia.

"Selamat pagi. Acara tahun baru Imlek di Kelenteng Cokro mulai jam berapa? Apa ada acara makan-makan?
Salam sehat dan selamat tahun kerbau!"

Tak lama kemudian Sudirman membalas.

"Salam pak 🙏🏻 terima kasih ya pak hurek. Krn pandemi kita tiadakan acara sembahyang bersama dan makan2. Klenteng tutup pk 19.00 pak."

Begitulah.

Kelenteng Cokro tutup sore. Tidak ada sembahyangan khusus atau perayaan seperti biasanya. Sebab saat ini ada pembatasan kegiatan masyarakat. Protokol kesehatan 5M, tak boleh berkerumun, jaga jarak dsb.

Saya kemudian ngopi sejenak di warkop di lingkungan kelenteng. Saya jadi ingat Bingky Irawan, pimpinan Boen Bio Surabaya dan rohaniwan Khonghucu. Saya kirim pesan mengucapkan selamat tahun baru. Sekaligus minta refleksinya tentang tahun baru Imlek di tengah pandemi.

Tak lama kemudian Pak Bingky membalas dalam bahasa Jawa. Petuah bijak seorang pendeta yang sudah banyak makan garam dan pahit getirnya kehidupan.

Begini wejangan Pak Bingky Irawan:

AYO DULUR PODO ELINGO
OKE KADANG KANG ISE SENGSORO.
AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI.
ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.
ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.
KABEH WES DADI PINESTEN GUSTI.
BEDO RUPO' SIJI GEGAYUHAN'E.
BHINEKA TUNGGAL IKA IKU ARAN'E.
1: PANCASILA KANG DADI JIWO KITO.
2: TASAH GUYUP RUKUN SAK LAWASE.


Selamat tahun baru Imlek!
Gongxi facai!
Abot enteng bareng dilakoni!

Kamis, 28 Januari 2021

Debat lama soal seragam sekolah

Tahun 2021 ini ternyata kita masih berpolemik panjang lebar soal seragam sekolah. Ketika jutaan rakyat Indonesia sedang megap-megap dihantam badai pandemi Covid-19. Dan debat di Indonesia biasanya tidak pernah jauh dari formalisasi dan purifikasi agama.

Orang Indonesia makin saleh dan saleha. Makin religius. Karena itu, kesalehan harus diperlihatkan di sekolah-sekolah. Anak TK, SD hingga mahasiswa harus pakai busana muslimah. Pakai jilbab, hijab, kerudung dan sejenisnya.

Kode pakaian seragam ini bukan masalah kalau diterapkan di sekolah-sekolah yayasan muslim. Tapi bagaimana jika diterapkan di sekolah negeri? Yang murid-muridnya tidak semuanya beragama Islam?

Itulah yang terjadi di salah satu SMK Negeri di Padang, Sumatera Barat. Ada orang tua tidak terima karena anaknya yang Kristen dipaksa pakai hijab alias jilbab "sesuai aturan sekolah itu". Jadi viral di media sosial.

Ternyata praktik itu sudah lama berlaku di sekolah itu. Juga di banyak kota lain di Indonesia. Tapi siswi-siswi nonmuslim manut saja. Tidak protes meski diwajibkan sekolahnya pakai jilbab. Orang tuanya pun diam saja. Toh, pakai jilbab bukan berarti pindah agama, pikir para orang tua.

Kalau tidak ikut ketentuan sekolah negeri itu berarti harus keluar. Cari sekolah swasta. Pasti mahal dan kualitasnya tidak sebagus negeri. Toh, pakai jilbab hanya di lingkungan sekolah. Di luar lingkungan sekolah kan bisa dilepas lagi.

Baru jadi masalah jika kewajiban jilbab untuk semua perempuan juga diterapkan di RT, RW, desa atau kelurahan. Misalnya, wanita yang tidak pakai busana muslimah tidak boleh tinggal di Aceh atau Padang. Kalau melanggar akan ditangkap polisi syariah atau polisi pamong praja.

Polemik pro kontra kewajiban berseragam sekolah negeri ala madrasah di Padang itu mengingatkan saya pada polemik seragam sekolah tahun 1980-an di Indonesia. Bahkan tahun 1970-an sudah ramai. 

Pater Drost SJ yang paling lantang menolak seragam sekolah. Bukan cuma wacana atau omong doang, Pater Drost SJ menerapkan di SMA Katolik yang dipimpinnya. Peserta didik di sekolahnya tidak diwajibkan pakai pakaian seragam. Boleh pakai pakaian apa saja asal sopan, bersih, tidak norak.

"Untuk apa murid pakai seragam sekolah? Di Indonesia semua di seragamkan, maka hasilnya seperti ini. Saya antiseragam", ungkap Pater Drost dengan nada tinggi.

"Manusia telah dijadikan anggota kawanan" begitu pendapat mantan Kepala Sekolah SMAK Kanisius periode 1977-1987 ini tentang seragam. 

Keunikan atau otentiknya setiap manusia yang sudah terberikan telah teringkari melalui praktek seragam. Penyeragaman kostum murid di Indonesia merupakan bentuk represi negara serta meluluhlantakkan karakter pribadi warganya. Seragam hanya melahirkan mental penurut, pengikut, bukan kemerdekaan untuk menjadi pribadi yang kuat. 

"Saya dulu pernah didatangi pegawai Depdikbud. Mereka suruh semua guru memakai seragam. Saya bilang, tidak! Murid akan stres bila melihat semuanya harus berseragam", ungkapnya.

Bagaimana dengan pendapat bahwa pakaian seragam untuk menghilangkan sekat-sekat anak yang kaya dan miskin di sekolah?

 "Omong kosong, ini penipuan!" tegas Pater Drost. "Bagaimana bisa menghilangkan perbedaan si kaya dan si miskin? Toh, mereka di luar juga akan tahu kalau pulang sekolah ada yang naik sedan dan ada yang naik bajaj," ujar pastor kelahiran Jakarta tahun 1925 itu.

Pater Drost SJ sudah lama berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Saya tidak bisa membayangkan seandainya beliau masih hidup di Indonesia. Kata-katanya pasti akan meledak-ledak ketika mengetahui ada aturan kewajiban seragam sekolah berbusana muslimah untuk semua siswi (apa pun agamanya) justru di sekolah negeri.

Membaca artikel-artikel lama Pater Drost SJ rasanya kita mundur jauuuh ke belakang. Mundur 50 tahun lebih.