Kamis, 01 April 2021

Pekan Suci di Tengah Panen Bom

Sudah setahun pandemi Covid-19 melanda dunia. Virus asal Wuhan itu telah menghancurkan hampir semua tatanan hidup. Sudah jutaan orang yang kena covid. Yang meninggal pun terus bertambah.

Sudah setahun pula tatanan liturgi berubah drastis. Misa atau kebaktian langsung di gereja tidak ada. Misa hanya lewat daring atau live streaming. Rasanya memang beda dengan ikut misa langsung di gereja.

Pekan Suci telah tiba. Ditandai Minggu Palma yang ada geger bom bunuh diri di Katedral Makassar. Apakah pasutri teroris memang tahu ada misa pekan suci? Entahlah.

Hari ini Kamis Putih. Baru saja Ama Paul di Sidoarjo mengirim lagu Ajarilah Kami Bahasa Cintamu. Lagu lawas yang selalu jadi tema utama Kamis Putih.

Tiada kasih yang lebih besar, selain kasih seorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabatnya!

Lagu itu saya renungkan sejenak. Nanti malam akan dinyanyikan di gereja. Biasanya jadi lagu pembukaan misa. Notasinya macam-macam tapi teksnya sama dari Injil Yohanes.

Berbeda dengan Pekan Suci tahun 2020 yang online penuh, tahun ini Bapa Uskup Surabaya menginginkan misa offline. Ekaristi langsung di gereja. Dengan protokol kesehatan ketat. Itu pun umat sangat dibatasi. Tidak sampai 50 persen kapasitas gereja.

Yang ikut misa offline harus daftar dulu lewat ketua lingkungan. Harus umat paroki setempat. Orang Katolik di Sidoarjo kayak teman saya Ricky tidak boleh ikut misa di Katedral Surabaya. Padahal sudah 20-an tahun dia selalu misa di HKY Surabaya. 

''Aku malas aja di Sidoarjo. Suasana di HKY itu beda,'' kata Ricky.

''Kami akan misa Kamis Putih nanti petang,'' kata Ama Paul di Sidoarjo. Bapak guru asal Adonara NTT ini sangat setia ikut misa di Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo.

Saya pantau beberapa gereja yang paternya saya kenal. HKY Surabaya, Roh Kudus Rungkut, Salib Suci Waru, Santo Paulus Juanda. Semuanya ada offline, tapi lebih banyak online.

Apa boleh buat, misa offline alias misa daring masih jadi pilihan di masa pandemi. Apalagi Pekan Suci tahun 2021 ini ditandai dengan aksi terorisme di Makassar. Situasinya tidak kondusif untuk misa langsung di gereja.

Selamat memasuki Pekan Suci!

5 komentar:

  1. Andaikan, Jikalau dulu, tanggal 1 April tahun 33 Masehi , hari Rabu malam ( Malam Kamis ), sudah ada pandemi Virus Covid-19 asal Wuhan, dan Herodes menerapkan Lockdown di Jerusalem, bahwasanya tidak akan ada Jamuan Makan Malam Terachir di Bukit Zion.
    Bahwasanya tidak akan ada istilah "Ciuman-Judas" alias Cipika-Cipiki, tidak ada istilah Triduum Sacrum, dimulai dari Hari Kamis Putih.

    Saya jadi teringat cerita luconan dari seorang teman, anak Flores, si Joseph : Dulu ada kongres internasional Interpol di Kairo. Polisi Amerika membanggakan diri dengan FBI nya, Si Inggris menyombongkan diri dengan Scotland Yard nya. Polisi dari Indonesia hanya diam sambil senyum-senyum. Melihat itu Si Bule amerika dan inggris jadi penasaran, dan bertanya kepada anggota Polri itu, kenapa lu senyum2 ?
    Si Polri : Ah, apa sih hebatnya FBI atau Scotland Yard kalian ? Kalian tahu, Mumie-Mumie Firaun yang kemarin kita lihat di museum Kairo itu, akan gemeteran kalau ketemu polisi Indonesia, mumie2 itu akan mengaku semua kesalahan mereka jika ditanya, walaupun mereka sudah mati 3000 tahun lalu.
    Kok bisa ? Sebab mereka takut bonyok, kalau tidak ngaku !

    Sejumlah anggota Polri sowan sambil cipika-cipiki kerumahnya tersangka, si rambut jagung. Mulanya gua sebal melihat tingkah polisi itu. Oh, ternyata cipika-cipiki itu adalah Judaskuss atau Ciuman-Judas yang sangat masyur. Kisah di Injil memang nyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha dui dui.. itulah humor sosial politik yang sangat populer di masa lalu. Mengkritik pakai guyon biar sama2 senang.. dan tidak bonyok.

      Oh ya.. rambut jagung sudah lama ngetren di NKRI. Gak peduli wong tenglang, jowo, meduro dsb ngecat rambutnya macam jagung punya rambut itu. Biar lebih keren katanya.

      Hapus
    2. Lain masa lain istilah. Dulu kalau wong tenglang atau flores berambut pirang kayak jagung, kita sebut, yang bersangkutan mengidap Kwashiorkor.
      Sekarang kalau cino atau flores berambut jagung, kita sebut, yang bersangkutan mengidap gangguan-jiwa " buceri ".
      Kata kwashiorkor, dulu waktu saya masih duduk di bangku sekolah rakyat sangat populer di Indonesia. Sebab itu tahun 50'an kita diajarkan di sekolah prinsip makanan 4-sehat, 5-sempurna.
      Kecuali itu kita dianjurkan oleh pemerintah, Jangan sok-sokan menjadi Buceri (Bule Cat Sendiri), alias pingin dadi Londo-Gosong. Kami rakyat Indonesia dianjurkan belajar berbahasa Indonesia, jangan pakai kata-kata londo Ye dan Ike. Waktu itu tersebar plakat besar, Pembrantasan Buta Huruf.
      Yah, begitulah dasar watak indonesia, kita rakyat jelata yang notabene tidak pernah bisa bahasa belanda disuruh pakai bahasa melayu, namun para pejabat tinggi berkomunikasi pakai holland-spreken satu sama lainnya. Biar kelihatan lebih keren.
      Watak feodal-kolonial belum punah di Indonesia.
      Kalau menurut teman Flores, si Joseph, anak2 flores yang hidup di pesisir lautan, banyak yang berambut pirang, karena sejak bayi selalu mandi di laut. Entahlah, aku belum pernah ke Flores, namun sudah ke Lombok, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kep. Riau, Madura, Jawa dan Bali.

      Hapus
  2. Hahaha.. itu betul orang² pantai di Flores atau NTT memang banyak yg rambut pirang karena sering nyebur ke laut. Kadang tidak bilas sehingga kulitnya jadi gosong campur garam. Tapi asyik² aja dan malah senang.

    Belakangan setelah kita orang merantau di Jawa dan konsumsi media massa dan media sosial baru kita tahu kalau orang² yang kulitnya gelap itu dianggap kalah kelas. Wanita² muda di Jawa pun ramai² beli kosmetik agar kulitnya jadi putih dan glowing. Istilah glowing belakangan ini sangat populer.

    BalasHapus
  3. Jadi menurut Rika, wanita2 muda di Jawa ramai2 glowing, kayak ular melungsung, ganti kulit, begitukah ?
    Bojoku juga glowing, tetapi yang melungsung bukan kulitnya, melainkan wataknya. Dulu doi senyum kalau ku rangkul, sekarang wajahnya glower, cemberut.

    BalasHapus