Jumat, 02 April 2021

Puken aku teroris bom gereja?

''Kaka, hati-hati, ake mai gereja ki. Misa paskah hala di jadi. Mio tepe bom nong teroris menun pe.''

Begitu pesan singkat dari Kristofora, adik bungsu saya, di Lembata, NTT. Setelah melihat siaran teror bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, bolak balik Ade Is, sapaan akrabnya, misscall. Kelihatannya panik.

Ade Erni juga beberapa kali sengaja misscall setelah tragedi bom itu. Biasanya saya santai aja agar orang-orang di pelosok Pulau Lembata sana tidak panik.

''Aman. Tidak ada apa-apa di Surabaya,'' begitu pesan SMS saya. ''Semoga Tuhan melindungi kita semua.''

Pertanyaan dalam bahasa daerah di awal itu memang penuh kepanikan. Saya diminta tidak perlu ke gereja untuk misa pekan suci Paskah karena situasi yang tidak kondusif.

''Misa hala di dosa hala. Tidak misa pun tidak berdosa,'' kata dua adik perempuanku di kampung itu.

''Puken aku ti teroris nepe bom gereja? Tite salah aku?''

Mengapa teroris itu mengebom gereja? Apa salah kita (maksudnya umat Katolik)?

Tentu saya sulit menjawab pertanyaan khas orang-orang kampung di NTT seperti ini. Mereka tidak paham JI, JAT, ISIS dsb dsb. Orang-orang desa itu juga tidak mengerti istilah radikalisme, terorisme, deradikalisasi dsb.

Maka biasanya saya hanya bilang suasana di Pulau Jawa sebetulnya aman-aman saja. Sebab polisi sudah bergerak memburu sarang-sarang teroris. Sudah puluhan teroris yang ditangkap.

''Tapi mengapa masih ada bom?'' tanya Ade Is.

Yah.. bisa saja pasutri yang meledakkan diri di Makassar itu sudah bosan hidup. Mereka berdua ingin segera masuk surga bersama-sama.

''Teroris otaken helo tite hala,'' kata saya dalam bahasa daerah. Pola pikir, ideologi, dogmatika yang dianut para teroris berbeda total dengan orang normal. Jumlah mereka pun sangat sangat sedikit. Tapi sangat sangat berbahaya.

Bicara soal teroris dengan orang-orang NTT di pedalaman memang susah. Sebab nenek moyang etnis Lamaholot selalu mengajarkan bahwa ''Tite atadiken hama hena. Kiwanan watanen hama hena.''

Semua manusia itu sama saja di hadapan Sang Pencipta. Orang nasrani dan muslimin sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Harus saling mengasihi, menyayangi, tak boleh saling menyakiti... apalagi ngebom sesama manusia.

Obrolan soal ini bisa panjang lebar kalau dikaitkan dengan kearifan dan adat Lamaholot. Dan pasti makan pulsa seluler yang banyak. Sementara saya sudah lama tidak menyimpang banyak pulsa untuk telepon dan SMS karena 99 persen komunikasi pakai WA.

Maka, apa boleh buat, obrolan tiba-tiba putus. Sebelum saya menyampaikan selamat pekan suci dan Jumat Agung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar