Sudah 10 bulan saya tak lagi potong rambut di Cak Ali, wong Meduro. Gara-gara corona. Sejak awal pandemi, Maret 2020, orang Surabaya diminta menghindari tukang pangkas rambut, barbershop, dan sejenisnya.
Tukang cukur harus pakai APD. Jaga jarak. Pakai sanitizer dst dst. Bagaimana mungkin tukang cukur jaga jarak? Ada-ada saja dampak Covid-19.
Syukurlah, pageblug corona ini terjadi di era digital. Ketika media komunikasi maju luar biasa. Orang tidak lagi kesepian atau putus komunikasi karena ada ponsel pintar, media sosial, WA, dsb.
YouTube ternyata menawarkan begitu banyak konten tutorial cara mencukur rambut sendiri. Mulai gundul plontos, nyaris plontos, atau potongan biasa. Orang Barat yang paling jago bikin konten sederhana tapi asyik.
Andaikan tidak ada pandemi corona, saya tidak akan pernah mencoba potong rambut sendiri. Awalnya nyaris plontos, kemudian gundul bersih. Awalnya kaku, takut, khawatir gores kepala, tapi lama-lama jadi biasa. Semudah mencukur kumis atau jenggot.
Mengapa tidak dari dulu potong rambut sendiri?
Lumayan, bisa hemat Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Ada juga yang 10 ribuan kalau pangkas rambut jadul di bawah pohon pakai gunting manual - kayak di Pulau Lembata, NTT.
Namun, di sisi lain orang-orang yang mata pencariannya pangkas rambut kayak Cak Ali, Imron, Latif dkk (semuanya asli Madura, khususnya Bangkalan) gigit jari. Kehilangan sumber nafkah. Padahal Ali di daerah Rungkut Surabaya itu sebelum pandemi punya banyak banget langganan.
"Alhamdulillah, ada saja rezeki," kata Ali saat ditanya penghasilannya dalam sehari.
Ia tidak pernah menyebut angka. Namun, yang pasti di atas UMK buruh di Surabaya dan Sidoarjo yang Rp 3,8 juta sebulan.
Gara-gara corona, saya perhatikan tempat pangkas Cak Ali lebih sering tutup. Pelanggan-pelanggan tidak lagi antre seperti dulu sambil mendengar lagu-lagu Rhoma Irama. Ali Meduro ini memang sangat gila Rhoma Irama.
Saya tidak pernah dengar lagu artis-artis lain saat potong rambut di Cak Ali sebelum pandemi. Hampir tiap bulan. "Belum ada penyanyi Indonesia yang kehebatannya mendekati Rhoma Irama," kata Ali.
Biasanya saya mengamini saja klaim Cak Ali tentang si raja dangdut itu. Biasanya saya ikut ngompori, nambah-nambahi, seakan-akan saya juga penggemar berat Rhoma Irama. "Saya beberapa kali ngobrol dan makan bareng Bang Rhoma. Masya Allah, orangnya sangat ramah dan baik hati," kata saya membuat senang hati Cak Ali.
Beberapa jam lalu saya lewat di depan lapak Cak Ali saat nggowes. Tutup rapat. Eh, saya malah ketemu dia di dekat Stasiun Wonokromo. Pakai jaket hijau seragam ojek online. Rupanya Ali mengembangkan karir barunya sebagai tukang ojek.
"Corona ini bikin susah Bang. Saya ngojek karena Sampean tidak pernah potong rambut di tempat saya," katanya sambil tertawa kecil.
"Sekarang prei dulu, Cak. Nanti kalau pandemi selesai, saya datang lagi ke tempat Sampean."
Saya sebetulnya cuma basa-basi saja. "Cum bik sen," kata pelukis Herman Benk di Waru.
Artinya, "cuma bikin senang" Cak Ali saja. Sebab, nanti setelah pandemi ini berlalu saya pun tetap potong rambut sendiri. Lebih efisien, hemat, bisa dilakukan kapan saja.