Sabtu, 05 Desember 2020

Donasi untuk Korban Erupsi Ile Lewotolok

Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, meletus pada Minggu 29 November 2020. Semburan material vulkanik setinggi 5.000-an meter itu membuat belasan ribu warga dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba.

Banyak pihak langsung merespons dengan mengadakan aksi penggalanan dana. Mahasiswa Lembata dan Adonara di Surabaya juga membuka posko donasi. Begitu juga keluarga besar NTT di Jawa Timur.

Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga sudah membuka posko. "Kami menerima bantuan baik berupa makanan, sembako, juga uang tunai," ujar Romo Kristo Soge, koordinator Posko Dekenat Lembata.

 Dompet bencana alam untuk korban erupsi Gunung Lewotolok dibuka hingga 14 Desember 2020. 

Jumat, 04 Desember 2020

Romo Laurens Yatim Muda bersama ribuan pengungsi

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, menjadi konsen keluarga besar Flobamora di Jawa Timur. Khusus para perantau asal Kabupaten Lembata. Lebih khusus lagi yang berasal dari Ile Ape.

Saya jadi makin sering mengecek laporan pemantauan Ile Ape di laman Kementerian ESDM. Erupsi masih ada tapi tidak sedahsyat hari pertama, Minggu 29 November 2020, yang mencapai ketinggian 5.000-an meter itu.

Pagi tadi, Jumat, 4 Deswmber 2020, ketinggian sekitar 500 meter. Satu dua hari lalu 800-an meter. Artinya, erupsi gunung di kampung halamanku itu berangsur menurun. Atau akan ada letusan susulan yang besar? Pakar vulkanologi sekaliber Prof Surono pun tak bisa memastikan.

Yang pasti, ribuan penduduk dari 26 desa dan 2 kecamatan dan 2 paroki masih berada di tenda-tenda pengungsian di Lewoleba. Banyak pula yang menumpang di rumah-rumah famili. Termasuk Kristofora Tuto, adik kandungku, dari Desa Lewotolok.

"Kame ia sot-sot," kata Kristofora. "Kami di sini sangat takut ada erupsi susulan. Informasinya simpang siur," katanya.

Tenang saja. Banyak berdoa dan sabar. Tunggulah sampai situasi aman baru pulang. Ikuti petunjuk pemerintah. Begitu antara lain nasihatku kepada si bungsu yang mudah nelangsa itu.

Saya pun memantau situasi pengungsi letusan Ile Ape lewat Romo Laurentius Yatim Muda. Pastor Paroki Tokojaeng itu cukup aktif membagikan imformasi tentang situasi Gunung Lewotolok. Lengkap dengan foto-foto terkini.

Sebagai seorang pastor, gembala umat, Romo Laurens pun ikut mengungsi. Bersama ribuan domba-dombanya di tenda-tenda. Romo Laurens selalu menguatkan umat agar berserah diri kepada Tuhan.

Romo Laurens menulis (huruf besar semua, ciri khasnya):

"SEBAGAI SALAH SATU PENGUNGSI DARI BELASAN RIBU PENGUNGSI, SAYA MENGUCAPKAN SYUKUR KEPADA TUHAN KARENA TELAH MENJAGA DAN MELINDUNGI KAMI HINGGA SAAT INI. 

SAYA JUGA BERTERIMA KASIH KEPADA SAUDARA/I SEKALIAN KARENA SUDAH... SEDANG DAN AKAN MEMBERI PERHATIAN KEPADA KAMI BAIK SECARA MORIL MAUPUN MATERIL SEHINGGA KAMI TETAP KUAT DAN SEMANGAT SAMPAI SAAT INI.

SEMOGA TUHAN MEMBERKATI ANDA KALIAN DENGAN SEGALA BERKAT SURGAWI DAN DUNIAWI OLEH ALLAH YANG MAHA KUASA."

Saya juga melihat foto-foto patung Bunda Maria di lokasi pengungsian. Ada seorang mama tua memeluk Bunda Maria erat-erat sambil menangis. Minta perlindungan sang Mater Dei agar para pengungsi yang jumlahnya ribuan itu sehat dan selamat.

Kalau ada bencana alam gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi dsb, pertanyaan pertama saya kepada wartawan di lapangan adalah: "Berapa korban yang meninggal? Berapa korban luka? Berapa orang yang hilang?"

Maka, saya pun mengecek di laman internet dan kontak langsung beberapa kenalan. Ada lima anak yang hilang. Foto-fotonya sempat viral di media sosial.

Roma Laurens Yatim Muda akhirnya membagi informasi yang menyenangkan. Kelima anak itu sudah kembali.

"TUHAN, DENGARKANLAH DOA SEMUA ORANG YANG MEMOHON BELAS KASIH DAN PENGAMPUNANMU," tulis Romo Laurens.

Rabu, 02 Desember 2020

Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, Minggu pagi 29 November 2020 memang sangat dahsyat. Tinggi semburan bisa mencapai 5.000 meter.

Ribuan penduduk dari 26 desa panik. Buru-buru mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tak bawa bekal apa pun. Asal selamat nyawa. ''Tidak sempat bawa baju. Baju di badan saja,'' kata seorang wanita asal Desa Lewotolok.

Erupsi Ile Ape ini juga menjadi inspirasi bagi sejumlah seniman Lamaholot untuk menulis syair, puisi, lagu-lagu, hingga oreng (lagu ratapan tradisional).

Ama Paulus Latera di Sidoarjo, yang asli Adonara Barat, membagi puisinya yang berjudul Duka Lembata, Dukanya Lewotanah. ''Ini bentuk simpati saya untuk saudara-saudari di Lembata,'' katanya.

Yang sangat menyentuh hatiku adalah puisi berbahasa Lamaholot karya Kristiani Claris. Wanita asal Honihama, Adonara, itu memotret kepulan awan yang membubung tinggi di atas puncak Ile Ape. Menyemburkan abu vulkanik ke Adonara, Solor, hingga Larantuka. Kawasan yang jauh dari Lembata pun kebagian abu hangat. Biar sama-sama dapat pupuk alam gratis dari langit.

Bagi kami yang berbahasa Lamaholot, puisi itu sangat mengharukan. Apalagi para korban bencana alam itu keluarga sendiri. Hujan abu, material panas, dsb menimpa kampung halaman kita.

''Go louk loranga,'' komentar seorang teman dari Ile Ape. Artinya, air mataku jatuh (membaca puisi itu).


DUKA LEMBATA - DUKANYA LEWOTANAH

Ketika dentuman gelegar di puncak ile ape
Asap membumbung tinggi
Panas lahar membara
Bikin heboh tanah Lembata
Orang berlari tak tentu arah
Yang penting selamat dulu
Kali ini Ile Lewotolok
Bikin cerita
Untuk ribu ratu
Lembata berduka
Torang po iko menangis

Tuan Deo
Dengarkan jerit tangis anak2mu di sana
Ke mana lagi air matanya ditampung
Tuhan
Jeritan ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Kami berdoa
Kami berharap
PadaMu Ema Lera Wulan
Biar Lembata kembali damai
Sama damainya hati kami 
di masa Natal ini
Oh nuba pulo dan nara lema
Jaga lapak lewo tana kami
Kami cinta lewo tana
Air mata ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Duka Lembata, dukanya lewotana 
Dukanya anak Lamaholot

----------- 
Puisi Kristiani Claris

Doan pia lewo honihama
Doan go belelen lile....
Belelen kaan onek te kerudun
Lile kaan yonhek te menange.
Lela pia suku lein laka matan
Lela go peroin marin....
Turun aku tou nuanen.
puken aku tou musinen...
Na tula luga, soron sera, nuru nonin,naan nuluyen te beleku naan manonen te geridin...
sape naan tube dop,
ribhun rathun ina wae ama lake kesin belen pelae gerame , todok walet ,goka lengat.
Naku..
Koda ake taan odun
kirin ake taan pute..
Pai tite hama-hama..
tobo golen pae gole..
pupu uku, tutu tapan, marin holo koda usu, kirin asa...
hobe boke puin holo koda di belaga laga, kirin dimeneso peso..
Ti koda ake nai data doan..
kirin ake nai hoan lela....
Doan hulen te perohon...
Lela lile te menange...

Selasa, 01 Desember 2020

Ile Ape Meletus: Adat Lamaholot vs Agama


Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Pulau Lembata, NTT, meletus dahsyat pada Minggu pagi 29 November 2020. Ribuan penduduk dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba. Inilah erupsi terdahsyat dalam sejarah gunung api di kampung halamanku itu.

Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, Ile Ape aman-aman saja. Cuma batuk kecil. Baru kali ini erupsi mengeluarkan material hingga ketinggian 5.000-an meter. Jadi pemandangan yang langka di Flores Timur dan Lembata, bahkan NTT.

Karena itu, semua orang Ile Ape terkejut, panik, dan gelagapan. Tidak sempat membaca tanda-tanda alam beberapa bulan sebelum terjadi letusan ini.

Ada apa dengan Ile Ape? Ada pesan apa di balik letusan gunung setinggi 1.400-an meter itu?

Diskusi informal pun terjadi di Jawa Timur. Di antara sesama orang Ile Ape, Lembata, atau Flores Timur. Yang sama-sama etnis Lamaholot.

Ama Paul Manuk yang asli Adonara Barat punya perhatian khusus terhadap Ile Ape. Guru senior di SMAK Petra Surabaya itu punya suku yang satu nenek moyang dengan suku Manuk di Ile Ape. Ia punya konsen dengan adat leluhur Lamaholot.

Ama Paul: "Ini jadi pelajaran juga buat orang tua rae lewo. Tutu koda untuk gena ana. Berjagalah terus. Dan jangan lupa koda adat ama."

(Ini pelajaran untuk kita di kampung supaya tidak lupa adat istiadat. Mungkin ada adat yang diabaikan selama ini.)

Ama Paul meneruskan:

"Itu termasuk isyarat teti lodo. Sudahkah ribu peten oneka. Terus bagaimana dengan cerita ILE TELO? Tentu ada riwayat sambungannya. Tobo hama2 tutu lagi dan lagi. . ..ama. Pe ada jasmerahnya."

(Kejadian Ile Ape meletus itu isyarat dari langit. Sudahkan kita semua duduk bersama, bicarakan adat istiadat, harus duduk lagi. Semua itu ada jasmerahnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.)

Beberapa menit lalu Ama Cornelis Hurek di Kota Lama, Jalan Pecinan Malang, telepon. Pasti bertanya tentang Ile Ape meletus. Berikut pendapat dan analisisnya.

"Bernie, perkembangan rae lewo nega?" (bagaimana perkembangan erupsi di kampung.)

Saya bilang baru membaca laporan terakhir di situs Magma ESDM. Erupsi masih terjadi tapi tinggi semburan tinggal 800 meter. Tidak lagi 4.000 meter seperti hari pertama.

Data resmi PMBGV ini menunjukkan bahwa erupsi Ile Ape makin lama makin reda. Mudah-mudahan bisa cepat selesai. Agar ribuan warga segera pulang ke kampung masing-masing. Musim hujan saatnya mula wata hokot ekan (menanam jagung dan menyiangi rumput di ladang).

Saya sudah menduga Ama Cornelis di Malang ini lebih banyak bicara soal kristianitas dan alkitabiah. Kontras dengan Ama Paulus yang konsen ke adat istiadat orang Lamaholot.

"Itu peringatan untuk kita semua. Pasti ada hikmah di balik bencana ini," kata Ama Cornelis yang pernah merantau lama di Malaysia Timur.

Hikmah apa?

"Masyarakat kita di kampung itu sudah ratusan tahun terlalu sibuk dengan urusan adat. Bahkan, ada yang sampai lupa dengan Tuhan. Adat, adat, adat.. koda kiring tula gudung," katanya.

"Bukan berarti saya anti sama adat di kampung. Tapi mestinya jangan berlebihan. Gunung meletus ini jadi peringatan agar kita semua kembali pada Tuhan," ujar Ama Cornelis mirip khotbah evangelis yang lahir baru.

Hemmm... repot juga memang. Satu peristiwa alam disikapi dengan sudut pandang yang berbeda meski sama-sama orang Lamaholot. Sama-sama peduli Lewotanah.

Ama yang satu menganggap masyarakat di kampung sudah mengabaikan adat istiadat nenek moyang. Terlalu ikut arus modernisasi. Koda kiring, tula gudung.. sudah tidak seintens pada masa lalu.

Sebaliknya, Ama yang satunya lagi menganggap kami orang-orang Ile Ape terlalu larut dalam adat istadat. Agama di KTP Katolik tapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab, 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, katekismus dsb.

Saya sih manut Mbah Rono aja. Sang profesor pakar gunung berapi itu punya pendapat yang sangat menarik tentang erupsi dan perilaku volcano. Gunung api itu sahabat manusia, bukan musuh.

Gunung api pasti meletus atau erupsi. Itulah mekanisme alam untuk mengeluarkan material yang sudah dimasak di dapurnya selama sekian tahun. Material-material itu pun bermanfaat untuk manusia. Kawasan Ile Ape dan Lembata umumnya akan lebih subur.

Gunung Ile Ape di Kampungku Meletus

Ada panggilan berkali-kali dari Pulau Lembata, NTT, lewotanah alias kampung halaman. Tidak segera saya angkat karena masih OTW alias di jalan raya. Saya agak trauma telepon-teleponan di jalan karena pernah kesenggol. Terkilir sedikit.

Saya sudah bisa menduga isinya. Berita kurang enak dari kampung. Deg-degan karena hampir tidak ada telepon atau SMS atau pesan WA yang isinya berita bahagia.

 "Gunung Ile Ape meletus. Semua warga panik dan sedang mengungsi ke Lewoleba," kata Kristofora di Desa Lewotolok. Adik bungsu ini tani gareng atau menangis sejadi-jadinya karena memang emosinya paling peka. Mudah sedih dan menangis.

Oh Tuhan!

Minggu pertama Masa Adven! Pagi-pagi Ile Ape alias Ile Lewotolok erupsi. Meletus hebat. Benar-benar gawat karena wedhus gembelnya sangat tinggi. Hujan abunya menyebar sangat jauh.

Meski namanya Ile Ape (ile: gunung, ape: api), gunung di kampung kami itu sudah lama tidak erupsi. Bahkan sering dianggap sangat aman karena sudah mati. Meskipun setiap hari melelehkan cairan belereng dan kepulan asap.

Saya cek internet dan media sosial. Foto-foto Ile Ape meletus sudah mulai viral. Tinggi sekali semburannya. Orang-orang di Pulau Adonara yang sebenarnya agak jauh dari Lembata pun ngeri melihat letusan Ile Ape.

 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut erupsi pertama 500 meter, disusul erupsi kedua mencapai 4.000 meter. Tinggi Ile Ape sendiri sekitar 1.400-an meter dari permukaan laut.

Ketinggian erupsi yang mencapai 4 km, ada yang bilang 5 km, itu yang viral di berbagai media. Ile Ape atau Ile Lewotolok sekaligus Pulau Lembata tiba-tiba jadi terkenal. Padahal selama ini tidak banyak orang di luar NTT yang tahu tentang Lembata. 

Saya sendiri pun selalu mengaku berasal dari Pulau Flores kalau ditanya orang Jawa Timur. Tidak pernah saya bilang Lembata atau Lomblen. Sebab pasti muncul pertanyaan lanjutan, ''Lembata itu di mana?"

Sebagai orang yang lahir di kampung tua, kawasan gunung itu, saya sangat paham risiko dan dampak bencana geologi letusan Ile Ape. Sebanyak 26 desa seluruhnya berlokasi di sekeliling gunung. Semua desa berada di pinggir pantai tapi juga tidak terlalu jauh dari gunung sakti itu.

Kampung-kampung yang jauh cuma di kawasan tanjung seperti Tuak Wutun, Dulitukan, Tagawiti, Palilolon. Sementara kampungku di kawasan Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Lamawara, Lewotolok, Waowala... sudah pasti terkena siraman abu gunung api.

"Bungamuda dan Lamawara parah. Banyak atap rumah yang rusak," ujar Kristofora dengan suara masih panik. Padahal sudah mengungsi di Lewoleba.

Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati si bungsu ini. Bahwa erupsi itu tidak akan lama. Sebagai gunung api, Ile Ape memang harus mengeluarkan semua isi perutnya. Percayalah, letusan akan semakin kecil dan lama-lama akan mereda.

"Ramalan di sini letusan nanti sore akan lebih besar lagi," katanya.

"Tenang, sabar, banyak sembahyang kontas (rosario)... semoga erupsi ini segera berakhir," kata saya.

Omonganku kayak penasihat spiritual yang paham rahasia gunung berapi. Padahal, saya pun ngeri melihat foto-foto dan video erupsi Ile Ape di grup medsos Flobamora Jawa Timur:  "Pray for Lembata! Ile Lewotolok Meletus! Ribuan Warga Ngungsi!"

Gara-gara Ile Ape meletus, saya jadi rajin membaca laman Magma milik Kementerian ESDM yang rutin melaporkan aktivitas semua gunung berapi di Indonesia. Saya perhatikan ketinggian erupsi cenderung makin turun. 

Satu jam lalu ketinggian erupsi sekitar 800 meter. Jauh di bawah 4.000-an meter pada Minggu 29 November 2020 lalu. Berita di media online pun tidak lagi seru. 

Mudah-mudahan letusan Ile Ape segera berakhir. Apalagi saat ini masih pandemi virus korona. Pulau Lembata memang berstatus zona hijau. Tapi kalau pengungsi berjejalan di tenda, relawan-relawan dari luar berdatangan... bisa tambah runyam.

Kamis, 19 November 2020

Tahbisan 3 Imam Baru di Lewotolok

Biasanya kabar dari kampung halaman kurang menyenangkan. Paling banyak berita kematian. Atau orang sakit keras. Atau bencana alam gunung meletus, banjir, kekeringan, gagal panen.  Terakhir kabar tentang kebakaran puluhan rumah adat di Kampung Napaulun, Pulau Lembata, NTT.

Karena itu, kalau ada panggilan telepon atau SMS atau WA dari kampung biasanya saya deg-degan. Orang-orang NTT lain di perantauan pun sama. Jangan-jangan... jangan-jangan... Dan biasanya dugaan itu tidak terlalu meleset.

Kali ini agak lain. Kabarnya bahagia. Kristofora, adik saya, mengirim pesan singkat:

"Met malam kame wia misa tahbisan di Stasi Lewotolok.. terlalu rame sekali.

Ini malam syukuran misa perdana di Lamawara. Romo orang Lamawara suku Langobelen.

Imam suku Langobelen yang bapa matay na berkat bapa pe  tabis ia Stasi Lewotolok ra ete telo."

Deo gratias!
Syukur kepada Allah!

Ada tahbisan imam baru di Gereja Stasi Stella Maris, Lewotolok, Ile Ape, Lembata. Tiga imam baru sekaligus. Pater Antonius Bisu Markus SVD, Pater Yoseph Bala Roma SSCC, dan Romo Yohanes Watan Langobelen Pr.

Saya ingat... Frater Yohanes Watan Langobelen bulan Juli 2019 lalu yang memberkati jenazah Bapa Nikolaus Nuho Hurek di kampung Bungamuda. Sekarang sudah resmi jadi pastor.

Tak pernah saya bayangkan, dulu... Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong datang ke Lewotolok untuk menahbiskan tiga imam baru sekaligus. Bukan apa-apa. Paroki kami di pesisir pantai utara Laut Flores sering dianggap gersang panggilan. Daerah yang kurang katolik karena adat istiadat nenek moyangnya terlalu kuat. 

Orang lebih takut melanggar aturan adat ketimbang tidak pigi sembahyang misa. Rajin pigi sembahyang di gereja tapi juga sangat rajin bikin ritual di rumah adat yang terbakar itu.

Karena itu, waktu saya kecil, tidak banyak pater atau romo asal paroki kami. Tidak sampai hitungan jari sebelah alias tidak sampai lima orang. Beda dengan Lembata bagian selatan yang panggilannya sangat subur. Bahkan mungkin paling subur di NTT, bahkan Indonesia.

Karena itu, dulu, Pater Petrus M. Geurtz SVD dan Pater Willem van der Leurs SVD, keduanya asal Belanda, selalu mengajak umat di stasi-stasi kami untuk banyak mendoakan panggilan. Agar ada orang Ile Ape yang dipanggil masuk seminari. Agar bisa menggantikan pater-pater Eropa dan Amerika itu.

Rupanya Tuhan menjawab doa-doa sejak tahun 1980-an dan 1990-an itu. Pelan... tapi mulai ada hasil. Kalau dulu selalu ada tahbisan di Lamalera, Boto, Hadakewa dan sekitarnya, kini Ile Ape pun mulai disebut. 

Bapa Uskup Larantuka makin sering turne ke kawasan pesisir utama. Bukan sekadar untuk memberi sakramen krisma, tapi sakramen imamat. Dari 15 desa (sebelum pemekaran), saat ini hampir semua desa atau stasi sudah melahirkan pastor. Kecuali tentu saja beberapa desa atau kampung muslim seperti Tuak Wutun atau Pali Lolon.

Bahkan, tahun lalu ada imam baru asal kampung kami yang ditahbiskan di Keuskupan Kupang. Romo Yeremias Ama Bodo Lingiraman Laper Making. Romo Yeremias yang asli Napaulun itu cucu Ama Bodo, seorang pemuka adat paling kuat pada tahun 1980-an di kampung halaman kami.

"Itulah rencana Tuhan," kata orang kampung.

Romo Yeremias boleh dikata menggantikan Romo Paskalis Hurek Making yang meninggal dunia karena tabrak lari di Larantuka tahun 2019. Juga Romo Zakarias Benny Niha Making yang meninggal karena sakit.

"Saya merasa bahagia dan senang karena tidak sendiri lagi. Sudah ada adik yang jadi imam baru," kata Romo Paskalis saat khotbah misa perdana di kampung tahun lalu.

Tak lama kemudian Romo Paskalis yang jago nyanyi dan main band itu dipanggil menghadap-Nya. Kini ada gantinya imam baru dari kampung sebelah. Tiga orang sekaligus.

Rabu, 18 November 2020

Bapa, tolong kasih makanan!

Pagi ini ada orang Kupang bagi-bagi firman. Orang itu memang paling hobi bagi ayat. Jarang bagi roti atau nasi bungkus. 

"Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, Bung!" katanya di grup medsos orang NTT di Jawa Timur.

Firman pagi ini berjudul "Tuhan Yesus Ajar Orang Sambayang"
(Lukas 11:2-4). 

Pasti sudah tak asing lagi. Pasti doa Bapa Kami. Doa yang selalu diucapkan orang Katolik tiap hari bersama Salam Maria, dan Kemuliaan.

"Kalo bosong sambayang, na, maso pi dalam kamar ko tutu pintu. Ais sambayang diam-diam pi sang bosong pung Bapa. 

Biar orang laen sonde lia, ma bosong pung Bapa yang lia. Nanti Dia balas kasi sang bosong deng berkat bam-banya."

Begitu seringnya mengucapkan Bapa Kami membuat mulut kita seperti mesin doa. Otomatis nerocos begitu saja. Makna kata-katanya seperti tenggelam.

Kemarin ramai di grup Sidoarjo. Ada seorang kakek 70an tahun ditemukan sendirian di tanah kosong. Hutan bambu. "Tinggal sendiri. Masak sendiri seadanya," kata anak Candi yang memotret gelandangan itu.

Saya bayangkan kakek itu setiap hari berdoa Bapa Kami... meski bukan serani. Meskipun kata-kata yang diucapkan tidak sama persis seperti di Alkitab.

"Bapa, tolong kasi sang botong makanan yang cukup tiap hari."

Bapa, tolong beri kami makanan yang cukup tiap hari.

Makanan yang cukup. Ukuran cukup itu memang macam-macam. Kakek ini mungkin bisa makan Rp 10 ribu sehari. Sementara yang lain Rp 30 ribu, Rp 50 ribu, Rp 200 ribu.

Tapi paling tidak bisa bertahan hidup di tengah pandemi virus korona yang berkepanjangan. "Bisa makan aja alhamdulillah," kata gelandangan lain di dekat Kalimas Surabaya.

Di masa pandemi ini, doa Bapa Kami rasanya lebih sering diucapkan ketika banyak perusahaan limbung, PHK di mana-mana, berbagai usaha lesu.

Bapa, tolong kasih makanan tiap hari!