Rabu, 04 November 2020

Teori Konspirasi dan Antisains

Alan J. Hoge, guru bahasa Inggris daring kondang asal USA, menulis di akun media sosialnya:

"My Effortless English Facebook page is now locked. I can't post to it anymore. I'm sure this will happen soon to my twitter account too."

Saya sering mengikuti kuliah live streaming AJ via YouTube. Artikulasi, ucapan, dan materi kajiannya sangat bagus. Kita yang kurang lancar bahasa Inggris pun bisa mengikuti uraiannya dengan baik.

Masalahnya, saya curiga, AJ rupanya penganut doktrin yang percaya teori konspirasi. Khususnya soal virus korona atau Covid-19. Seperti Presiden Donald Trump, dia ikut menuduh Partai Komunis Tiongkok sebagai biang kerok pandemi korona.

"Anda jangan takut korona. Tidak perlu pakai masker. Biasa saja kalian jalan ke mana-mana. Itu cuma permainan media," katanya.

AJ juga selalu memuji Trump yang tidak pakai masker. Apalagi Trump sembuh dari covid dalam waktu singkat. Ini kian membuktikan teorinya bahwa covid bukan penyakit yang perlu ditakuti.

Rupanya sebagian besar murid AJ di berbagai negara sepaham dan seideologi. Sama-sama penganut teori konspirasi. Sama-sama anti Tiongkok dan.. antisains juga.

Karena itu, ketika ada komentator yang mempertanyakan QAnon, teori konspirasi, dan pandangan AJ langsung dibantah oleh pengikut setia AJ.

Rupanya AJ dan pengikutnya lupa bahwa pasien covid di USA terbanyak di dunia. Angka kematian pun paling tinggi. Tapi ya tetap saja anggap enteng Covid-19. Bahkan, ada yang menganggap covid tidak ada.

Saya pun yakin akun AJ di Facebook bakal dihapus. Ini setelah pengelola FB berani menghapus postingan Presiden Trump yang dianggap ngawur dan antisains. Lah, tulisan presiden saja dihapus, apalagi AJ yang tinggal di Jepang.

Sejak AJ doyan khotbah tentang konspirasi, QAnon, spiritualitas timur, meditasi, diet ular, dan sejenisnya, saya pun tidak aktif lagi mengikuti live streaming-nya. Sebab, tidak ada lagi pelajaran atau latihan bahasa Inggris ala Effortless English yang kondang itu.

Pagi ini, saat orang Amerika memilih presidennya, saya iseng membaca status AJ di Twitter. Akun Effortless English di FB kena penalti. Akunnya sih masih ada tapi AJ tidak bisa lagi menulis opininya tentang Covid-19, masker, jaga jarak, dan protokol kesehatan lainnya.

Presiden Trump dan AJ sering saya jadikan contoh betapa orang Amerika yang sangat maju dan modern pun meremehkan Covid-19 dan mengabaikan protokol kesehatan. Dus, bukan hanya orang Indonesia yang tetap doyan cangkrukan di warung-warung kopi tanpa jaga jarak dan tidak pakai masker.

Selasa, 03 November 2020

Pemain Asing Semua Pulang

Tidak banyak topik menarik selama masa pandemi Covid-19. Sudah tujuh bulan media-media membahas korona. Tes cepat, uji usap, protokol kesehatan... calon vaksin dan sebagainya.

Siapa pun jadi jenuh dengan korona. Apalagi seniman pertunjukan dan olahragawan. Mereka tak bisa lagi berlaga di lapangan. Seniman-seniman ludruk atau wayang kulit tidak dapat tanggapan.

"Saya hanya bisa andalkan warung. Itu pun penghasilan enggak menentu," kata seorang dalang wayang kulit di Mojokerto kepada saya.

Pemain-pemain sepak bola lebih parah lagi. Sebab, Liga 1 tidak bisa dilaksanakan meskipun tanpa penonton. Meskipun pakai sekian banyak prokes alias protokol kesehatan.

Pagi ini saya baca di media harian tentang pemain-pemain asing Persebaya. Setelah dapat kepastian Liga 1 batal, mereka memilih pulang ke negaranya. Sambil memantau perkembangan korona di Indonesia.

Saya tergelitik dengan kalimat pertama berita itu:

<< Pemain asing Persebaya akhirnya semua meninggalkan Indonesia. >>

Saya baca tiga kali. Saya merenung sejenak. Mengapa wartawan dan redaktur media itu memuat kalimat seperti itu? Khususnya posisi "semua".

Seandainya saya editor atau redaktur, kata "semua" saya geser ke awal kalimat. 

<< Semua pemain asing Persebaya akhirnya meninggalkan Indonesia. >>

Bisa juga: << Akhirnya, semua pemain asing Persebaya meninggalkan Indonesia. >>

Kata "semua" tidak boleh jauh dari "pemain Persebaya". Agar hukum DM terlihat jelas. Hukum lawas diterangkan-menerangkan ini sering dilupakan wartawan-wartawan muda.

"Yang penting kan pembaca mengerti," kata seorang reporter. "Yang penting medianya laku," tambah yang lain.

Media yang bagus itu, kata beberapa jurnalis veteran, adalah media yang laku. Bukan media yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 "Walaupun bahasa Indonesianya bagus, kalau gak laku ya percuma," kata pria yang kurang peduli bahasa standar itu.

Oktober lalu bulan bahasa. Badan Bahasa melakukan analisis penggunaan bahasa Indonesia di media-media di seluruh Indonesia. Hasilnya, seperti biasa, sebagian besar media kurang peduli bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Kualitas berbahasa wartawan-wartawan perlu ditingkatkan lagi," kata seorang pakar bahasa Indonesia. "Pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing masih terlalu kuat."

< Pemain asing Persebaya akhirnya semua meninggalkan Indonesia. >>

Kalimat di awal berita Persebaya di atas adalah contoh pengaruh bahasa daerah. Khas obrolan di warkop-warkop dengan bahasa Jawa Suroboyoan. 

Bahasa Jawa: Pemain asing kabeh balik nang negorone.

Terjemahan lurus: Pemain asing semua pulang ke negaranya.

Bahasa Lamaholot: Pemain asing wahan kae balika negara raen.

Terjemahan lurus: Pemain asing semua pulang ke mereka punya negara.

Senin, 26 Oktober 2020

Tetangga berpulang karena korona

Ada seorang laki-laki di daerah Rungkut meninggal dunia. Usia di atas 70. Biasa, bisik-bisik tetangga pun muncul. Sakit biasa atau... covid?

Pertanyaan biasa. Tapi tidak enak kalau bertanya begini kepada keluarganya. Serba salah kita orang.

Yang pasti, dua hari sebelumnya saya lihat ada empat petugas dari puskesmas. Semua pakai baju hazmat. Sudah pasti ada pemeriksaan yang ada kaitannya dengan korona.

Tak lama kemudian ada pengumuman dari masjid di perumahan. Innalillahi... Maklumat tentang warga sekitar yang meninggal dunia. Ini juga biasa.

Yang tidak biasa, sejak era maskeran, dengar baik-baik tempat pemakamannya. Di makam kelurahan, dibawa pulang ke kota asal.. atau Keputih, Surabaya.

Oh... jenazah bapak itu ternyata dimakamkan di Keputih!

TPU Keputih itu makam khusus yang disediakan Pemkot Surabaya untuk mayat-mayat korban Covid-19. Juga yang dicurigai covid meskipun hasil tes swabnya belum keluar.

"Jenazah langsung dibawa dari rumah sakit ke TPU Keputih," demikian suara dari masjid.

Jelas sudah status almarhum bapak itu. Tidak perlu tanya-tanya lagi. Yang perlu adalah lebih waspada. Protokol kesehatan harus diperketat lagi.

Wilayah Rungkut Menanggal sebenarnya paling ketat menerapkan protokol kesehatan. Sebelum kawasan lain bikin kampung tangguh atau kampung wani, Rungkut Menanggal lebih dulu menerapkannya. Ini juga pasien korona awal di Surabaya ada yang dari sini. Tapi sembuh seperti sedia kala.

Warga Rungkut Menanggal juga sempat bikin geger karena nekat menutup perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Dibuka sebentar oleh pemkot, kemudian ditutup lagi dalam waktu lama. Sekarang sudah buka lagi karena banyak pengendara yang protes.

Sayang, belakangan saya lihat protokol kesehatan mulai kendor. Posko-posko kampung tangguh sudah dibongkar. Tak ada lagi cek suhu tubuh, operasi masker dsb.

Warkop-warkop pun sudah losss begitu saja. Tidak ada yang namanya jaga jarak. Tukang-tukang ojek online berkerumun di warkop-warkop seakan korona sudah tidak ada.

Korban-korban korona sudah banyak. Terlalu banyak. Meskipun korban-korban itu sebagian besar punya penyakit bawaan, lanjut usia, sikap mengentengkan covid sangat berbahaya. Mirip Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang ndablek alias kepala batu.

Jumat, 23 Oktober 2020

Musim hujan segera tiba

Musim hujan kelihatannya datang lebih cepat tahun 2020 ini. Semalam hujan deras di Surabaya. Dua minggu terakhir hujan di beberapa kota di Jawa Timur.

Pola musim sudah lama berubah. Sulit ditebak. Tahun lalu, 2019, musim hujan telat.

Akhir Desember pun hujan jarang turun. Pertengahan Januari baru hujan beneran.

Tahun-tahun sebelumnya juga sama. Tapi tidak setelat tahun lalu. Sudah terlambat, durasinya pun tidak lama. Sulit ditebak.

Petani-petani yang mengandalkan siraman air hujan sudah lama bingung. Mau menanam jagung, misalnya, khawatir hujan tidak turun sehingga
tanaman mati.

Itu sering terjadi di NTT. Khususnya Pulau Flores bagian timur, Solor, Adonara, Lembata, Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil lainnya. Gagal
panen jadi cerita yang berulang.

Tidak heran, anak-anak muda di sana makin banyak yang merantau. Paling banyak di Malaysia Timur, jujukan utama. Kemudian Batam dan sekitarnya.

Pulau Jawa bukan jujukan perantau NTT karena peluang kerjanya dianggap kecil. Terlalu banyak syarat dan ketentuan. Harus pakai ijazah SMA atau SMK, keterampilan ini itu, dan sebagainya.

"Tauke-tauke di Malaysia tidak butuh ijazah apa pun. Yang penting engkau mau kerja apa saja. Yang penting engkau punya tenaga kuat,"
kata seorang TKI yang sukses di Sabah, Malaysia.

Saat nggowes pagi ini ada sedikit gerimis. Isyarat alam menyatakan
musim hujan sudah dekat.

"Tanda-tandanya mulai muncul tunas-tunas bambu. Inilah saatnya panen
rebung," kata Cak Fathur, seniman yang merangkap petani dan kuli bangunan di Buduran.

Mudah-mudahan hujan membawa berkah. Bukan bencana banjir atau longsor seperti yang diingatkan BMKG.

"Air hujan dari langit jatuh ke bumi, diserap ke dalam tanah. Itu sunatullah. Air hujan jangan dibuang ke laut," begitu kira-kira ucapan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Kamis, 22 Oktober 2020

Pengungsi Syiah Sampang Kembali ke Jalan Aswaja

Minggu lalu saya mampir ke Puspa Agro, Taman, Sidoarjo. Kali pertama sejak pandemi korona awal Maret 2020. Puluhan imigran asing masih sama saja. Main HP, ngobrol, ngopi, ada yang punya teman perempuan dsb.

Nasib orang Afganistan, Pakistan, Somalia, Iran dsb itu tidak jelas. Masih tunggu dikirim ke negara ketiga. Sebagian besar ingin menetap di Kanada. "Jangan di Australia lah," kata orang Afganistan yang kini jadi penjual kopi.

Bagaimana dengan pengungsi asal Sampang? 

Ini yang menarik. Sebanyak 350 orang Sampang mengungsi di Rusunawa Puspa Agro sejak 2012 dan 2013 lalu. Rumah-rumah mereka di desa dibakar. Harta benda mereka pun ludes.

 Gara-garanya SARA. Ratusan pengikut Tajul Muluk itu menganut paham Syiah. Mazhab yang berbeda dengan (hampir) semua umat Islam di Indonesia yang Aswaja.

Selama 9 tahun sudah banyak upaya untuk rekonsiliasi. Presiden SBY bentuk tim khusus untuk rekonsiliasi agar warga Sampang itu bisa balik ke kampung halamannya. Tapi hasilnya gagal.

Presiden SBY diganti Presiden Jokowi. Tidak ada upaya khusus untuk menyelesaikan persoalan pengungsi Syiah Sampang. Bisa jadi tim itu bekerja dalam senyap.

Nah, kini ada perkembangan menarik. Tajul Muluk, pemimpin pengungsi Syiah asal Madura, menyatakan telah bertobat. Meninggalkan Syiah dan kembali ke Aswaja. "Tidak ada paksaan," katanya.

Tajul yang pernah dipersekusi dan dipenjara itu mengatakan bahwa pihaknya telah mempelajari paham-paham dalam agama Islam. Akhirnya mereka telah mengambil keputusan, yakni berpindah ke Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (Aswaja).

Pernyataan tertulis Tajul Muluk sudah dikirim ke ulama-ulama di Sampang dan Pemkab Sampang. Juga disebarkan secara luas di media sosial dan media massa.

Meski begitu, Tajul Muluk dan ratusan warga Sampang itu belum bisa pulang dalam waktu dekat. Sebab, para ulama di Madura menuntut ada baiat atau semacam ikrar kesetiaan.

"Kami siap dibaiat kapan saja," kata Tajul Muluk.

Perubahan sikap Ustad Tajul ini memang luar biasa. Sulit dibayangkan dia berubah sedrastis ini. Dulu, Anda sudah tahu, Tajul sama sekali tak gentar saat dipersekusi warga yang marah. Tajul juga berapi-api saat bicara di pengadilan.

Dulu, Tajul selalu siap melayani debat tentang masalah keislamanan, khususnya Syiah. Bisa berjam-jam tanpa titik temu.

Tapi rupanya waktu jualah yang telah mengubah sang guru komunitas pengungsi Sampang di Sidoarjo itu. "Allah sendiri yang menyentuh hatinya," kata seorang pengunjung warkop di Puspa Agro.

Rabu, 21 Oktober 2020

Tes Swab Jadi Momok Menakutkan

Uji usap atau swab tes sangat mahal. Sekali tes Rp 900 ribu. Itu kalau uji mandiri. Kalau swab masal nol rupiah alias gratis.

Anehnya, warga Surabaya, juga kota-kota lain di Indonesia, tidak mau tes swab gratis. Biarpun diiming-imingi suvenir, bubur kacang hijau dsb.

Karena itu, para pedagang di pasar-pasar tradisional semburat melarikan diri ketika melihat rombongan petugas kesehatan datang. Pasar-pasar tutup kalau informasi keburu bocor.

Belum lama ini ratusan pedagang dan pembeli di pasar pinggir kali Rungkut Menanggal, Surabaya, ramai-ramai kabur saat didatangi petugas kesehatan. Namun, jalan-jalan tikus atau gang kecil sudah dikunci.

Tes masal pun sukses. Ada tiga orang yang kena Covid-19. Langsung dibawa ke hotel untuk isolasi dua minggu. Sekarang sudah sembuh.

Covid-19 ini memang sangat berbeda dengan penyakit-penyakit lain. Orang tahu bahwa virus corona ini sangat fatal. Sudah banyak yang mati. Tapi, sebaliknya, virus ini akan hilang sendiri kalau imunitas tubuh bagus.

"Orang itu kalau sudah saatnya mati ya mati. Kita tidak perlu takut sama covid," kata seorang ibu di pasar lawas Rungkut Menanggal itu.

Wali Kota Risma rupanya gregetan dengan begitu banyak warga yang mengabaikan protokol kesehatan. Bolak-balik razia tidak mempan juga. Dihukum push-up, hafal Pancasila, nyanyi Indonesia Raya, hingga memberi makan orang gila pun tak mempan.

Karena itu, Risma membentuk tim Swab Hunter. Petugas mengamankan para pelanggar prokes untuk diswab. Tidak perlu hukuman sosial yang tidak bikin jera itu. Swab tes malah jadi momok yang menakutkan.

Hasilnya memang josss. Pelanggaran prokes makin berkurang akhir-akhir ini. Surabaya pun tak lagi masuk zona merah. Angka pasien terus menurun, kata Risma.

Mengapa warga Jatim sangat takut swab test?

Alasannya ekonomi. Bukan kesehatan. Kalau diswab dan terkonfirmasi, maka diisolasi 14 hari. Dan bisa diperpanjang.

 "Siapa yang cari uang untuk keluarga? Apa negara mau kasih makan dan menjamin semua kebutuhan keluarga selama diisolasi?" tanya mbak pemilik warkop yang hasil tes rapidnya negatif.

Negara Indonesia yang masih miskin sudah pasti tidak akan mampu menjamin semua kebutuhan keluarga pasien Covid-19. Karena itu, kebijakan lockdown atau karantina wilayah tidak bisa dilakukan di Indonesia.

Karena itu pula, pandemi korona ini sulit dihentikan di sini.

Masih Ada Carok di Surabaya

Setahun ada ada beberapa kasus carok di Surabaya. Pelakunya, Anda tahu, orang Madura di Surabaya. Atau orang ber-KTP Surabaya tapi orang tua atau moyangnya asal Madura.

Minggu lalu Mat Nadim, 55, membacok tetangganya di Jalan Wonosari Wetan II-E, Surabaya. Achmad Suhandi, 51, meregang nyawa setelah dicarok pakai celurit tiga kali.

Mat Nadim sempat kabur ke Sampang, kampung halamannya. Tapi tak lama kemudian dicokok polisi.

"Saya puas.. puas banget. Sebab dia suka ganggu istri saya. Sudah sering saya tegur tapi diulang lagi," kata Mat Nadim kepada wartawan di kantor polisi.

Carok sudah jadi budaya. Ada kajian di buku-buku sejarah.

Ada juga film yang terkenal tahun 1980-an tentang carok. Saya sempat
lihat cuplikannya di TVRI era hitam putih. Tapi belum pernah lihat
filmnya secara utuh.

Kalau ada di YouTube saya mau nonton film Carok ini. Agar bisa lebih
paham budaya dan psikologi pelaku carok. Tentang kehormatan membela
harga diri rumah tangga dsb.

Dulu di Universitas Jember ada semacam pusat studi tentang Madura.
Pakarnya Pak Latif Wiyata. Sudah bikin banyak kajian akademis,
seminar, menulis artikel, buku-buku dsb.

Kabupaten Jember itu sekitar 80 persen berbahasa dan berbudaya Madura.
Tapi dulu saya jarang dengar ada kasus carok. Mungkin karena budaya
Madura di Jember sudah mengalami jawanisasi sejak era Hindia Belanda.
Ketika orang-orang Madura didatangkan untuk menggarap perkebunan
tembakau, kakao, kopi, cokelat dsb.

Selain Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan yang
disebut wilayah Tapal Kuda, komunitas Madura pun sangat banyak di
Surabaya. Kalau belajar bahasa Madura tidak perlu jauh-jauh ke
Bangkalan atau Sumenep. Cukup mampir ke Surabaya Utara.

Sering ngopi di kawasan utara dekat Suramadu lama-lama bahasa Madura
kita jadi lancar. Paling tidak bahasa sehari-hari.

Lantas, mengapa budaya carok masih ada di era milenium ini? Pusat
kajian Madura di Jember bisa melakukan penelitian lanjutan.

"Jangankan orang Madura, siapa pun akan marah kalau istrinya diganggu
laki-laki lain. Apalagi dipergoki sendiri," kata Cak Wanto, orang
Sidoarjo.

Yang pasti, Mat Nadim bakal lama tinggal di penjara. Bisa 14 tahun
atau seumur hidup. Tapi Mat Nadim memberi pelajaran kepada siapa pun:

"Jangan sekali-kali mengganggu istri orang!"

Masalahnya, Nyonya Nadim, kok mau aja diganggu sama tetangganya yang
sudah tewas itu.