Syukurlah, belakangan ini koran-koran sudah menemukan padanan rapid test dan swab test. Selama enam bulan kedua istilah tersebut sangat produktif di media massa. Tiada hari tanpa rapid dan swab.
Pagi ini ada berita di koran. Judulnya: Uji Usab Sasar Perkampungan.
Di alinea pertama ada istilah tes swab. Bukan lagi swab test. Tes swab alias uji uap memang sedang gencar dilakukan Pemkot Surabaya untuk mengatasi pagebluk Covid-19.
Istilah rapid test pun sudah dapat padanan uji cepat atau tes cepat. Biasanya saya pakai tes rapid meskipun dalam hati ingin tes cepat. Biar tidak terlalu berbeda dengan omongan pejabat-pejabat yang selalu pakai rapid test dan swab test.
Begitulah. Bahasa Indonesia memang sangat kehilangan menghadapi serbuan istilah-istilah asing. Khususnya di bidang kedokteran, kesehatan, teknologi informasi, politik, hingga hiburan. Maklum, kita tidak punya kata-kata teknis yang canggih untuk menyebut istilah-istilah teknis yang sangat modern.
Karena itu, bisa dimengerti kalau orang Malaysia cenderung menganggap bahasa Melayu tidak bisa dipakai sebagai bahasa akademis atau bahasa ilmiah di kampus-kampus. Orang Malaysia justru lebih mendahulukan bahasa Inggris daripada bahasa Melayu. Padahal bahasa Melayu notabene jadi asal bahasa Indonesia.
Di era digital yang kian terhubung ini rasanya bahasa Indonesia akan makin gamang menghadapi serbuan bahasa asing. Khususnya Inggris. Kita tidak akan bisa menemukan padanan kata dalam waktu cepat.
Istilah rapid test dan swab test saja butuh waktu enam bulan menjadi uji cepat dan uji usap.
Lockdown belum ada padanan yang pas. Ada media yang pakai kuntara (kunci sementara), tapi lebih banyak yang menggunakan lockdown apa adanya. Seperti offside atau handball dalam sepak bola. Untungnya ada istilah PSBB yang maknanya seperti PSBB: pembatasan sosial berkala besar.
Goenawan Mohamad, esais ternama, pakai istilah lokdon. Sama dengan di warkop-warkop di Surabaya. Download jadi donlot. Upload: aplot.