Kamis, 23 Juli 2020

Sri Mulyani Ciptakan Tari Dara Putih saat Pandemi

Kreativitas tak boleh mati di tengah pandemi. Meski sanggar tarinya sementara tutup, Sri Mulyani justru sibuk menggarap karya tari kreasi baru. Salah satunya karya tari berjudul Dara Putih.

Tari itu diikutkan dalam lomba Ekspresi Tari Virtual 2020 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud RI. Tari Dara Putih pun lolos dalam seleksi 280 karya tari se-Indonesia.

Sri Mulyani mengikuti lomba kategori pengembangan tari kreasi baru tunggal. Sebanyak 70 karya lolos ke tahap kedua. Dari Jatim ada 11 karya yang lolos.

"Saya membuat gerak tari, busana, hingga bagaimana merias karakternya," ujar Sri Mulyani.

Seniman tari yang sudah melanglang ke berbagai negara untuk menggelar pertunjukan tari ini dikenal sering menciptakan karya tari baru dengan mengambil inspirasi alam sekitar, legenda, hingga kisah kepahlawanan.

Bagaimana dengan tari dara putih?

Menurut Sri, burung dara atau merpati dikenal punya kemampuan navigasi yang luar biasa. Terbang jauh ke mana pun pasti akan kembali ke tempatnya semula. Karena itu, tempo doeloe merpati dijadikan kurir pengantar surat.

"Burung dara juga sangat setia dengan pasangannya. Putih maknanya suci," paparnya.

Mantan karyawati sebuah bank di Surabaya itu juga mulai mencoba mengadakan kelas tari online. Maklum, sanggar tari di rumahnya di kawasan Gununganyar Tambak, Surabaya, vakum sejak pandemi corona merebak di tanah air.

Sudah mulai ada siswa yang belajar seni tari secara virtual. Namun, Sri mengaku kangen dengan murid-muridnya. "Selama pandemi ini kami tidak bisa bertemu secara langsung," katanya.

Rabu, 22 Juli 2020

Misa Satu Tahun Bapa Niko Hurek

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah setahun Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggalkan kami. Setahun yang penuh pergumulan.

Di musim pandemi Covid-19 ini tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengenang beliau. Misa di gereja belum boleh. Sembahyang arwah di Lembata, NTT, pun sangat dibatasi meskipun kabupaten asalku itu zona hijau.

"Kame sembahyang teti lango ro kayak ayak hala," kata Is Hurek, adik bungsu saya di kampung. (Kami sembahyang arwah tapi tidak bisa banyak orang.)

Masih lumayan di Lembata. Surabaya masih zona merah. Merah tua bahkan. Sempat jadi zona hitam. Karena itu, gereja-gereja masih belum boleh mengadakan misa yang dihadiri umat. Cukup misa streaming atau online mass saja.

Minggu lalu saya sudah pesan ujud misa ke Pater Dominikus Udjan SVD. Pastor Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya, ini kebetulan sesama orang Lembata. Ayahnya, Bapa Yosef Nuba Ujan (alm), pun sahabat dekat ayahku. 

Karena itu, Pater Domi ini saya anggap keluarga sendiri. "Pater, go pesan misa arwah tun tou Bapa Niko," pesan saya lewat WA.

"Go giliran misa hari Selasa. Emu go tulis ti romo ahan neng misa," jawab Pater Domi.

(Saya giliran misa hari Selasa. Nanti saya tulis agar romo lain yang bacakan saat misa.)

Rabu 22 Juli 2020.

 Saya bangun pagi sekali. Sebelum jam empat. Bersiap untuk misa pagi online yang dimulai pukul 06.00. Takut ketinggalan atau lupa. Aneh kalau yang pesan misa malah tidak ikut misa.

Misa harian pagi tadi dipimpin Romo Aloysius Widya Yanuar Nugraha. Misa daring ini diikuti 215 jemaat dari rumah masing-masing. Lebih banyak ketimbang misa harian langsung di gereja sebelum Covid-19 yang rata-rata tidak sampai 100 orang.

Deo gratias! 

Romo Widya membacakan ujud misa. Salah satunya untuk ketenteraman arwah Bapa Nikolaus Nuho Hurek.

Matur nuwun, Romo!

Namanya juga misa harian, apalagi streaming di masa pandemi, hanya 30 menit selesai. Itu sudah termasuk Doa Angelus sebelum misa.

Yang berkesan, bacaan Injil Yohanes tentang Maria Magdalena sangat menyentuh dan memperkuat iman. Maria Magdalena terkejut melihat makam Yesus yang kosong. Siapa yang ambil jenazahnya?

Lalu, Yesus datang menyapa Maria Magdalena. Suasana sedih pun berubah menjadi sukacita. Sebab, Yesus sudah bangkit. Roh Allah terus bekerja di dunia. Termasuk saat pandemi ini.

Requiem aeternam!

Minggu, 19 Juli 2020

Tidak Ada Soto Madura di Madura

Ulasan Yu Shigan, mantan menteri dan suhu jurnalistik, pagi ini sangat menggelitik. Soal nasi ayam hainan. Kuliner Tionghoa yang sangat terkenal di Surabaya.

"Tentu setiap kali ke Hainan saya ingin makan nasi ayam Hainan. Yang sangat terkenal di Indonesia maupun di Singapura itu. Kecewa.

Ternyata seperti soto madura dan nasi padang. Tidak ada nasi ayam hainan di Hainan," tulis Mr Yu.

Saya ketawa sendiri gara-gara soto madura. Dulu saya sangat sering blusukan ke Pulau Madura. Kadang naik bus, motor, bahkan sepeda pancal. Sudah keliling Madura. Dari Bangkalan hingga Sumenep.

Bahkan, dulu sering nginap di wisma Kelenteng Kwan Im Kiong di Pantai Talangsiring, Pamekasan. Juga di beberapa hotel kelas tengah di Sumenep. Sampang pun sudah beberapa kali. Khususnya Camplong, pantai wisata andalan Kabupaten Sampang.

Biasanya saya cari soto madura atau sate madura. Maklum, soto madura sangat terkenal di Surabaya. Kuahnya enak dengan daging sapi yang empuk. Sate madura pun mudah didapat di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur.

Kecewa!

Seperti cerita Mr Yu soal ayam hainan tadi. Tidak ada soto madura di Pulau Madura. Sate madura pun tidak ada. Padahal, ini di tengah-tengah Kota Pamekasan.

"Gak ada soto. Yang ada cuma supermi," kata seorang ibu di kawasan Alun-Alun Pamekasan yang lebih terkenal dengan Arek Lancor.

Saya pun meluncur ke kawasan wisata di Talangsiring. Dekat Kwan Im Kiong itu. Sama saja. Yang ada cuma nasi pecel dan lodeh. Itu pun tidak seenak di Surabaya atau Sidoarjo.

Tidak usah jauh-jauh ke Pamekasan atau Sumenep. Di kaki Jembatan Suramadu sisi Madura pun tidak ada yang namanya sate madura.

Jumat, 10 Juli 2020

Mbah Djono Penjaga Hutan Jolotundo Berpulang

Mbah Djono (Sukardjono) berpulang pada 22 Juni 2020. Usianya sangat panjang, 126 tahun.

Semoga Mbah Djono tenang dan bahagia bersama Sang Pencipta Alam Semesta!

Nama Mbah Djono tak asing di kalangan petualang dan wisatawan di kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto. Maklum, dulu hanya ada satu warung di kawasan hutan milik Perhutani itu. Mbah Djono sang empunya warung sederhana itu.

Warung Mbah Djono bukan warung biasa. Ia jadi jujukan petualang, pekemah, wisatawan, atau orang-orang yang ngelaku. Siapa pun bisa tinggal beberapa hari, berminggu-minggu, hingga bulanan.

Yang tidak punya uang bisa ngutang dulu. Bahkan tidak perlu bayar. "Rezeki itu dari Gusti Allah. Kita tetap bisa makan," kata nenek yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu.

Dulu, ketika warungnya masih di samping Petilasan Narotama, banyak sekali pengunjung yang mampir ke Mbah Djono. Paling banyak dari Surabaya dan Sidoarjo. Ngadem. Menikmati suasana sejuk di hutan Jolotundo.

Ada juga yang datang untuk cari nomor togel. Mbah Djono sering ditanyai para pemburu togel itu. Beberapa kali tebakannya tepat. Kadang meleset sedikit. Lebih banyak yang ngawur. Tapi ya banyak yang percaya Mbah Djono.

Saya sendiri mengenal Mbah Djono saat bersama-sama rombongan seniman lukis dan budayawan Sidoarjo. Pelukis Bambang Harryadjie (almarhum) yang jadi ketua rombongan. Ada juga pelukis Tarmudji, Herman Beng (alm), budayawan Eyang Bete, hingga musisi grup rock terkenal di Surabaya.

Lama-lama warung Mbah Djono jadi markas para seniman dan budayawan. Diskusi, ngobrol ngalor ngidul sampai subuh. Suasana selalu ramai di atas pukul 21.00. "Banyak inspirasi di sini," kata Bambang Harryadjie.

Pelukis senior itu pernah bikin pameran greet art di kawasan Jolotundo. Karya-karya Pak Bambang menggunakan bahan-bahan dari hutan seperti kayu kering, daun-daun untuk pewarna, dsb. Banyak turis asing rekanan PPLH yang menikmati pameran itu.

Saya pun sempat bikin semacam taman bacaan di dekat warung Mbah Djono. Tapi lama-lama banyak buku dan majalah yang hilang. Akhirnya tutup.

"Biarin aja. Toh, buku-buku itu dibawa pulang," kata Pak Bambang yang sudah saya anggap keluarga sendiri.

Suasana berubah drastis ketika kawasan Jolotundo dimasuki jaringan listrik. Jalannya juga dibeton. Makin banyak warung bermunculan. Mbah Djono sendiri harus geser karena pengelola Petilasan Narotama berganti. Pak Niti kuncen lawas tersingkir.

Sejak itulah posisi Mbah Djono sulit ditebak. Kadang di warungnga Bu Saning, kadang di Bu Gembuk, kadang di kampung...

Komunitas budayawan pun kehilangan jejak. Tidak ada lagi pemilik warung yang asyik, polos, mau melayani nyaris 24 jam seperti Mbah Djono. Jangankan 24 jam, nongkrong agak lama sedikit pun si empunya warung terlihat kurang ikhlas.

Beda banget dengan Mbah Djono yang justru bahagia jika tamunya banyak. Sebab, banyak langganannya tidak minta kembalian. Misalnya, habis Rp 15 ribu dibayar Rp 50 ribu. Kembaliannya untuk Mbah Djono. Sekaligus subsidi silang untuk para musafir yang makan minum gratis itu.

Gara-gara kenal Mbah Djono, saya jadi sering ke kawasan Jolotundo. Menikmati hutan, petirtaan peninggalan Raja Airlangga, dan hawa yang sejuk. Saya jadi kenal anak-anak dan cucunya. Saya pun selalu dapat layanan ekstra berupa selimut tebal warna merah.

Setelah tidak aktif cukup lama, saya tiba-tiba ingin sekali naik ke Jolotundo. Sumpek dengan PSBB, corona dsb di Surabaya dan Sidoarjo. Saya ingin ketemu Mbah Djono yang meskipun sangat tua tapi sangat jarang sakit itu.

"Apa kabar Mbah Djono? Sudah lama nggak ketemu," tanya saya.

"Mbah Djono sudah nggak ada. Ini mau tujuh harinya," jawab Ningsih, cucu Mbah Djono.

Saya langsung terdiam. Berdoa dalam hati.

Selamat jalan, Mbah Djono!

Rabu, 08 Juli 2020

Penjahit Putri di Dekat Bandara Juanda

Saat bersepeda di kawasan tambak Desa Tambakoso, Sidoarjo, ada tulisan menarik di pinggir jalan. PENJAHIT PUTRI. Saya pun turun sejenak untuk memotret plang di dekat Bandara Juanda itu.

Penjahit putri. Maksudnya apa?

- Si penjahit berjenis kelamin putri (perempuan)?

- Penjahit khusus busana putri? Penjahitnya bisa saja laki-laki atau waria.

Saya jadi ingat tulisan sejenis di kawasan Aloha, Gedangan. Banyak sekali plang bertulisan PENJAHIT WANITA.

Penjahit wanita identik dengan penjahit putri di Tambakoso. Lain lagi dengan putri penjahit.

Setelah saya cek ke warkop di sebelahnya, seorang ibu mengatakan bahwa PENJAHIT PUTRI itu memang khusus melayani pesanan pakaian perempuan. Dia tidak akan mau menjahit pakaian laki-laki.

"Dari dulu hanya terima pakaian putri," kata ibu itu.

Lalu, penjahitnya memang putri? "Iya lah. Masak, laki-laki," katanya disusul tawa renyah khas orang tambak.

Istilah penjahit putri atau penjahit wanita memang bisa disalahpahami. Bisa diartikan wanita/putri yang dijahit. Bisa berurusan dengan polisi.

Bagaimana kalau dibalik menjadi wanita penjahit atau putri penjahit?

Wanita penjahit lebih pas. Wanita yang bekerja sebagai penjahit pakaian. Putri penjahit lain lagi artinya. Anak si penjahit yang berjenis kelamin perempuan.

Mungkin lebih pas kalau ditulis PENJAHIT BUSANA WANITA atau PENJAHIT BUSANA PUTRI.

Kurang lazim kalau ditulis WANITA PENJAHIT BUSANA PUTRI.

Selasa, 23 Juni 2020

Nostalgia peneng sepeda lawas

Musim corona ini memaksa orang untuk lebih serius menjaga kesehatan, cuci tangan, jaga jarak, olahraga ringan rutin. Salah satunya bersepeda.

Belakangan ini ramai banget anak-anak muda generasi Z di Surabaya berolahraga sepeda. Setiap malam Jalan Tunjungan, Gubernur Suryo, hingga Raya Darmo dan Taman Bungkul berseliweran sepeda pancal.

Mulai sepeda kelas bumbu masak yang Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah ada. Komunitas sepeda tua jarang terlihat. Sebab penggowes-penggowes lawas itu lebih suka ngonthel siang hari. Anak-anak muda gen Z lebih suka malam hari. Sekalian foto-foto selfie di Tunjungan atau Taman Bungkul.

Pagi ini aku ngopi di warkop bersama beberapa penggowes sepeda tua di kawasan tambak Gunung Anyar, Surabaya. Mereka senang dengan tren bersepeda di tengah pandemi ini. ''Mudah-mudahan berlanjut setelah covid,'' kata bapak dari Rungkut.

Namanya juga orang lama, para pesepeda tua itu banyak cerita tentang sejarah dan perjuangan. Khususnya jasa-jasa dan sepak terjang Bung Karno. Apalagi bulan Juni merupakan bulan Bung Karno. Selalu menarik mendengar cerita soal Bung Karno meskipun sudah sering kita dengar.

Ada anggota komunitas sepeda tua dari kawasan Juanda, Sidoarjo, membahas masalah peneng. Semacam pajak sepeda tempo doeloe. Dulu sepeda pancal dipajaki karena dianggap semacam barang mewah.

Namanya penneng atau peneng atau pening. Bisa pening kepala kalau belum bayar peneng. Sebab ada razia peneng di jalan raya. Kayak tilang mobil atau motor saat ini.

Lama-lama peneng sepeda dihapus tahun 1970an dan 1980an. Sebab sepeda onthel bukan lagi barang mewah yang pantas dipajaki. Pajak radio dan pajak TV juga dihapus.

Bisa jadi suatu saat pajak sepeda motor pun dihapus ketika Indonesia sudah makmur dan adil. Cukup mobil saja yang dipajaki.

Sabtu, 20 Juni 2020

Sujud Bumi vs Sujud Gawai

Sudah lama saya kenal Heri Lentho. Seniman dan penata tari terkenal di Jatim. Banyak pertunjukan tari dan kesenian di Surabaya digarap Cak Lentho yang asli Malang itu. Salah satunya festival seni dalam rangka HUT Kota Surabaya.

Tahun 2020 ini tidak ada perayaan hari jadi Kota Surabaya. Gara-gara pandemi Covid-19. Normalnya sepanjang bulan Mei ada agenda untuk memeriahkan HUT Surabaya yang bersamaan dengan awal pembentukan Majapahit itu.

Namun, Heri Lentho tidak lantas kehilangan ide dan ekspresi. Dalang tak pernah kehilangan lakon. Ada beberapa ritual olah gerak yang disebarkan Lentho secara virtual. Ritual, ibadah, bersih-bersih.. itu juga ritual keseharian bangsa kita, katanya.

Sayang, ritual ala nenek moyang itu, makin hilang di era digital. Bangun tidur ambil HP, cek media sosial. Sebelum tidur main gadget main medsos, nonton YouTube, Facebook, Twitter, WAG, Instagram... dsb.

Setelah capek baru tidur. Kadang sampai pukul 24.00 atau 02.00. Banyak orang yang melekan di warkop-warkop sampai dini hari hanya untuk numpang WiFI gratisan.

Dulu, sebelum ada ponsel pintar, orang biasa berdoa sebelum tidur. Bangun tidur, melipat selimut, merapikan tempat tidur dsb. Ada juga yang olah batin dengan meditasi. Heri Lentho biasanya melakukan olah gerak menyambut matahari pagi atau bulan purnama.

"Sekarang orang sudah sangat ketergantungan sama HP," katanya. Bisa gila kalau kehilangan sinyal seluler atau internet. Gadget sudah jadi kebutuhan.

Maka, Heri menggagas puasa gadget. Tidak perlu lama-lama. Cukup satu hari saja. Seniman 53 tahun itu mulai menggagas gerakan puasa gawai alias gadget pada 20 Mei 2020 lalu. Sebelumnya ada gerakan sujud bumi. Intinya sama.

"Kita kurangi ketergantungan sama gadget. Mari kita sama-sama sujud bumi, adakan ritual sederhana di kediaman kita masing-masing," katanya.

Gagasan Heri Lentho rupanya kurang cukup bergaung meskipun dimuat besar di koran lokal. Puasa gawai di jaman now?

Rasanya sangat sulit meski tidak mustahil. Apalagi di masa pandemi yang sering menuntut kerja dari rumah. Tapi paling tidak kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Paling tidak mengurangi aktivitas sujud gawai dan mencoba sujud bumi dan sujud alam.