Sabtu, 20 Juni 2020

Sujud Bumi vs Sujud Gawai

Sudah lama saya kenal Heri Lentho. Seniman dan penata tari terkenal di Jatim. Banyak pertunjukan tari dan kesenian di Surabaya digarap Cak Lentho yang asli Malang itu. Salah satunya festival seni dalam rangka HUT Kota Surabaya.

Tahun 2020 ini tidak ada perayaan hari jadi Kota Surabaya. Gara-gara pandemi Covid-19. Normalnya sepanjang bulan Mei ada agenda untuk memeriahkan HUT Surabaya yang bersamaan dengan awal pembentukan Majapahit itu.

Namun, Heri Lentho tidak lantas kehilangan ide dan ekspresi. Dalang tak pernah kehilangan lakon. Ada beberapa ritual olah gerak yang disebarkan Lentho secara virtual. Ritual, ibadah, bersih-bersih.. itu juga ritual keseharian bangsa kita, katanya.

Sayang, ritual ala nenek moyang itu, makin hilang di era digital. Bangun tidur ambil HP, cek media sosial. Sebelum tidur main gadget main medsos, nonton YouTube, Facebook, Twitter, WAG, Instagram... dsb.

Setelah capek baru tidur. Kadang sampai pukul 24.00 atau 02.00. Banyak orang yang melekan di warkop-warkop sampai dini hari hanya untuk numpang WiFI gratisan.

Dulu, sebelum ada ponsel pintar, orang biasa berdoa sebelum tidur. Bangun tidur, melipat selimut, merapikan tempat tidur dsb. Ada juga yang olah batin dengan meditasi. Heri Lentho biasanya melakukan olah gerak menyambut matahari pagi atau bulan purnama.

"Sekarang orang sudah sangat ketergantungan sama HP," katanya. Bisa gila kalau kehilangan sinyal seluler atau internet. Gadget sudah jadi kebutuhan.

Maka, Heri menggagas puasa gadget. Tidak perlu lama-lama. Cukup satu hari saja. Seniman 53 tahun itu mulai menggagas gerakan puasa gawai alias gadget pada 20 Mei 2020 lalu. Sebelumnya ada gerakan sujud bumi. Intinya sama.

"Kita kurangi ketergantungan sama gadget. Mari kita sama-sama sujud bumi, adakan ritual sederhana di kediaman kita masing-masing," katanya.

Gagasan Heri Lentho rupanya kurang cukup bergaung meskipun dimuat besar di koran lokal. Puasa gawai di jaman now?

Rasanya sangat sulit meski tidak mustahil. Apalagi di masa pandemi yang sering menuntut kerja dari rumah. Tapi paling tidak kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Paling tidak mengurangi aktivitas sujud gawai dan mencoba sujud bumi dan sujud alam.

Jumat, 19 Juni 2020

Selamat ulang tahun di surga

Tidak banyak orang Indonesia yang merayakan ulang tahun. Kata-kata 'happy birthday' sangat asing. Khususnya di desa. Orang desa bahkan tidak tahu tanggal dan bulan lahirnya. Tahunnya pun sering tidak pasti.

Karena itu, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan ngarang sendiri hari lahirnya: 17 Agustus. Biar gampang diingat. Dan dirayakan ramai-ramai oleh semua orang Indonesia.

Almarhum bapaku, Nikolaus N. Hurek juga sama. Tanggal lahirnya tidak jelas. Tahunnya 1940. Karena itu, dulu pater asal Belanda menulis asal aja tanggal lahir Bapa Niko 6 Desember. Disesuaikan dengan pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas alias Sinterklas setiap 6 Desember.

Setelah tingkat pendidikan makin baik, wajib sekolah 9 tahun, tanggal lahir orang Indonesia lebih akurat. ''Tabe gewan hala muri,'' kata orang Lamaholot di NTT. Tidak lagi ngawur atau mencongak kayak Pater Belanda atau Pak Dis itu.

Namun, tradisi ulang tahun yang dirayakan tetap belum banyak. Sebab dianggap budaya Barat. Semua yang berbau Barat dianggap kurang bermoral, tidak sesuai dengan budaya timur. Apalagi pakai tiup lilin, menyanyi dsb. Kayak Londo aja.

Kini, sejak ada media sosial, hari lahir atau birthday selalu dirayakan. Paling tidak selalu diingatkan oleh Facebook dan medsos yang lain. Ucapan HBD atau Happy Milad (makin populer) berseliweran di media sosial.

Bahkan, ulang tahun itu juga dirayakan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Maklum, Facebook tidak tahu akun-akun mana saja yang orangnya sudah tidak ada lagi di dunia.

''Selamat berbahagia Sayang di surga. Lagi ngapain di sana? Kayaknya ramai banget di sana deh," tulis istri temanku untuk suaminya yang sudah berpulang.

Menarik. Sangat menarik habitus baru orang Indonesia di era kejayaan media sosial ini. Orang tidak lagi alergi HBD, kue ultah, lilin ultah. Ulang tahun dirayakan ramai-ramai secara virtual atau daring.

Saya jadi ingat budaya Tionghoa di kelenteng-kelenteng. Setiap tahun ada pesta ulang tahun dewa-dewi tuan rumah kelenteng secara besar-besaran. Bukan tahun baru Imlek yang dirayakan secara meriah. Pesta sejit dewa bisa tiga hari sampai satu mimggu.

Saya biasa hadir di acara HUT Kong Tiek Tjung On di Kelenteng Cokro Surabaya dan HUT Makco di Kelenteng Sidoarjo. Perayaan HUT dewa dan dewi yang sudah meninggal sekian ratus atau ribu tahun lalu.

Seperti kebanyakan orang Indonesia, awalnya saya heran mengapa orang Tionghoa selalu merayakan HUT orang mati. Bukankah birthday party itu untuk orang hidup?

Tapi lama-lama saya paham makna, filosofi, serta teologi di balik sejit dewa-dewi itu. Bahwa sesungguhnya orang yang sudah meninggal itu tetap berada di tengah-tengah kita.

Orang tua, kakek nenek, keluarga, sahabat yang sudah tiada itu sejatinya cuma berubah dimensi. Roh mereka immortal. Tidak akan pernah mati.

Karena itu, saya tidak lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepada Mas Juniarto, pelukis Sidoarjo, komite seni rupa Dewan Kesenian Sidoarjo, yang telah berpulang ke pangkuan-Nya bulan lalu.

Selamat bahagia di surga!

Sembahyang diam-diam di dalam kamar

Wabah corona belum bisa diatasi di Indonesia. Khususnya di Jawa Timur. Lebih khusus lagi di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Tapi suasananya sudah new normal. Gak ada bedanya dengan sebelum Covid-19.

PSBB atau lockdown ringan selama 42 hari sudah berlalu. Ekonomi sempat macet cet. Rakyat menjerit minta PSBB dihapus. Pemerintah akhirnya ngalah. Sebab duit negara untuk bansos dsb pun sudah cekak.

''Sekarang ini masa transisi menuju new normal,'' kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Toko-toko, mal, tempat hiburan, warkop... sudah buka. Tempat-tempat ibadah juga mulai dilonggarkan. Masjid-masjid bahkan sejak lama pun tetap buka dengan pembatasan.

Bagaimana dengan gereja-gereja?

Sampai sekarang masih tutup. Misa streaming tiap hari. Bisa berkali-kali ekaristi lewat laptop atau ponsel. Lebih efisien. Cuma tidak bisa komuni suci.

''Keuskupan masih bikin protokol jelang new normal,'' kata seorang romo di Surabaya.

Besar kemungkinan bulan Juli baru bisa misa di gereja. Itu pun tidak akan normal. Jemaat dibatasi 50% atau 60% saja.

Bagaimana cara membatasi umat? Pakai tahun lahir ganjil genap? Pakai nomor HP ganjil genap seperti usulan mantan Wapres Jusuf Kalla untuk masjid?

Belum ada putusan resmi. Aku sih enjoy aja mengikuti misa-misa online yang sangat kaya dan variatif. Mulai misa yang cuma 20 menit hingga misa tridentina Latin ala pra-KV 2 yang bisa sampai dua jam.

Pagi ini aku nggowes sepeda lawas. Mampir ngombe di depan Gereja Bethany Rungkut. Tepatnya di kompleks ruko. Tetangganya toko pakaian anak, apotek, dan BRI.

''Ibadahnya mulai hari Minggu besok. Jemaatnya dibatasi untuk jaga jarak,'' kata ibu pekerja Bethany Successful Family.

Di depan gereja ruko dipasang panduan pelaksanaan ibadah di gereja sesuai protokol kesehatan Covid-19. Banyak banget aturannya. Aku hitung ada 24 aturan.

Di antaranya, bawa masker, jaga jarak selama beribadah, tidak berjabat tangan, jendela dibuka, lama ibadah kurang dari 50 menit.

Aku rasa protokol di Bethany ini kurang lebih sama dengan di gereja-gereja lain. Aku jadi gak semangat pigi gereja. Lebih baik sembahyang di rumah saja sampai corona benar-benar hilang.

Beta jadi ingat ayat suci dalam bahasa Melayu Kupang:

''Kalo bosong sambayang, na, maso pi dalam kamar ko tutu pintu. Ais sambayang diam-diam pi sang bosong pung Bapa. Biar orang laen sonde lia, ma bosong pung Bapa yang lia.''

Kalau mau sembahyang, masuklah ke dalam kamar, tutup pintu, dan sembahyang diam-diam. Tidak usah ramai-ramai.

Jumat, 05 Juni 2020

Banyak Orang Takut Dites Corona

Dulu orang ramai-ramai minta dites masal. Kalau bisa semua warga Surabaya, Sidoarjo, Gresik... seluruh Jatim dites. Biar ketahuan siapa yang kena corona dan siapa yang sehat walafiat. Tapi peralatan tes cepat dan swab masih sedikit.

Maka yang dites hanya warga di kampung-kampung zona merah. Itu pun sebatas di sekitar rumah pasien Covid-19. "Kalau pemerintah serius mestinya semua orang dites," begitu omongan sebagian warga di media sosial.

Sejak dua minggu lalu peralatan rapid test makin banyak. Tes masal dilakukan di berbagai kawasan Surabaya Raya. Mulai pasar-pasar hingga kampung-kampung padat.

Pemerintah pusat juga mengirim mobil lab untuk tes swab. Hasilnya cepat diketahui. Tak perlu menunggu seminggu atau 10 hari. Sebab Surabaya Raya sudah lama merah. PSBB sudah tiga jilid.

Anehnya, belakangan warga malah takut dites cepat. Ada saja alasannya. Ada yang tutup kios lalu lari. Seperti di Pasar Taman Sidoarjo. "Aku sehat kok. Gak mau tes," kata seorang pedagang.

"Rapid test gak oleh sangu," kata pedagang yang lain.

Mengapa warga takut dites?

Sebab, khawatir hasil tesnya reaktif. Lalu diisolasi selama 14 hari oleh pemkab atau pemkot. Lalu diswab dan sebagainya.

"Bagaimana dengan anak-anak dan istrinya di rumah? Makan apa kalau kepala keluarga diisolasi dua minggu?" kata ibu pemilik warkop di Gunung Anyar Surabaya.

Wanita asal Madura ini menolak ikut rapid test masal gratis di puskesmas. Sebab, itu tadi, takut reaktif atau positif corona. Bukan takut mati, tapi takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya.

Sampean gak takut corona?

"Hidup dan mati kita di tangan Allah. Kalau memang sudah ajal ya meninggal," katanya enteng.

Ibu Madura itu serta hampir semua pengunjung warkop bahkan menjadikan corona sebagai bahan guyonan. Sakit jantung mati dibilang corona. Pasien TBC mati corona. Diabetes, komplikasi dsb pun dianggap corona.

"Aneh-aneh aja pemerintah itu," kata seorang bapak asal Segoro Tambak, Sidoarjo.

Sudah tiga bulan kita bergulat dengan corona. Tapi belum ada tanda-tanda virus aneh itu segera dijinakkan. Angka pasien justru naik naik naik terus. PSBB pun diperpanjang entah sampai kapan.

"Pasien naik itu karena tes masal makin banyak. Coba kalau gak ada tes ya gak ada yang sakit corona," kata pria Segoro Tambak itu.

Jumat Batik yang Makin Redup

Sejak ada corona kayaknya orang Indonesia, khususnya Jawa Timur, makin jarang pakai batik. Bahkan sebelum covid pun semangat pakai baju batik sudah sangat berkurang. Kecuali pegawai-pegawai yang memang diwajibkan oleh manajemennya pakai batik sebagai dresscode setiap Jumat.

Jumat pagi ini saya amati selintas jalan raya di Surabaya. Kawasan perbatasan Surabaya-Sidoarjo dari Rungkut Menanggal, Pondok Candra, hingga Juanda Sedati. Sangat sedikit yang pakai batik. Tidak sampai 50 persen.

Padahal, dulu Jumat identik dengan batik. Euforia batik luar biasa setelah PBB mengakui batik sebagai warisan dunia asal Indonesia. Sampai-sampai si kera pemain topeng monyet pun dipakaikan seragam batik.

Saya sendiri berusaha pakai batik setiap Jumat karena memang imbauan manajemen. Tapi lama-lama makin banyak yang tidak pakai batik. Berkurang terus terus terus... hingga di bawah 50 persen.

Suatu ketika saya jadi aneh sendiri karena pakai batik. Sebab teman-teman lain berpakaian bebas. Banyak yang pakai kaos oblong. Terlalu formal kalau batikan, kata teman.

Apa boleh buat, saya pun tak lagi pakai batik setiap Jumat. Cuma ke gereja saja yang pakai batik. Tapi sudah tiga bulan tidak pigi misa. Ekaristi cukup live streaming atau rekaman english mass via telepon seluler. Karena itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali pakai batik.

"Batik itu kebanggaan bangsa Indonesia. Kita harus lestarikan dan mengembangkan terus," kata Dr Lintu Tulisyantoro, dosen UK Petra sekaligus ketua komunitas batik Jatim.

Lintu paling antusias meneliti dan mengembangkan batik di Jatim. Koleksi batiknya di Larangan, Sidoarjo, memang luar biasa. Sering ia pamerkan di pendopo kabupaten dan tempat-tempat mentereng di Surabaya.

Meskipun euforia batik sudah lama berlalu, Lintu selalu kampanye batik batik batik. Di masa pandemi ini dia bahas batik lewat webinar, seminar online dsb.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai batik?" katanya.

Biasanya kalau sudah diklaim negara sebelah baru kita ngamuk. Sama dengan lagu Rasa Sayang yang sudah lama hilang di Indonesia. Orang sekarang lebih suka Pamer Bojo Anyar, Suket Teki, Bojo Galak, Banyu Langit...

RIP! Kades Katolik yang Bangun Masjid di Lembata


Ama Kepala Keluli mataya kae. Akeng lupa sembahyang nong tutung lilin.

(Bapa Kepala Keluli sudah tidak ada. Jangan lupa sembahyang dan bakar lilin.)

Begitu pesan pendek yang beredar di media sosial dan ponsel orang-orang Lembata, khususnya dari Desa Mawa dan Bungamuda di Kecamatan Ile Ape, belum lama ini. Ada foto Ama Kepala Keluli semasa hidup. Tampak masih kokoh di usia yang lanjut.

Saya pun tertegun sejenak dan berdoa. Semoga Ama Kepala Keluli beristirahat dengan tenang bersama Bapa di surga.

Requiem aeternam!
Resquescat in pace!

Carolus Keluli Nimanuho nama lengkap almarhum yang rumahnya paling dekat dengan pantai di Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT, itu. Ama Keluli pernah jadi kepala desa. Karena itu, ia selalu disapa Ama Kepala Keluli meskipun sudah puluhan tahun tidak menjabat.

Memang ada kebiasaan di Lembata dan Flores Timur atau etnis Lamaholot untuk menghargai pemimpin desa atau kampungnya. Tetap dipanggil ama kepala (desa) meskipun sudah mantan. Maka, ama-ama kepala ini banyak sekali.

Saya paling ingat Ama Kepala Keluli Nimanuho dan Ama Kepala Philipus Hurek. Sebab keduanya menjabat saat saya berada di Lewotanah atau kampung halaman. Kepala-kepala desa lain juga pasti kenal, ada ikatan darah, tapi saya tidak sempat jadi rakyatnya.

Saya sempat bertemu dan ngobrol sejenak bersama Ama Kepala Keluli di Desa Mawa pada Juli 2019. Masih dalam suasana dukacita terkait kematian Ama Nikolaus Nuho Hurek, ayah kandung saya. Urusan adat istiadat khas kampung.

Saat itu kami, keluarga besar suku Hurek Making melakukan prosesi adat menghadap suku Nimanuho terkait kematian ayahku. Sebab, Bapa Niko dilahirkan oleh Nenek Ebong yang sukunya Nimanuho. Hanya pimpinan atau sesepuh suku Nimanuho pula yang berhak menutup peti jenazah ayah saya. Aturan adat itu juga berlaku di semua keluarga Lamaholot di mana saja.

Bapak C.K. Nimanuho alias Ama Kepala Keluli ini memimpin Desa Mawa yang masih sangat sederhana pada 1980-an. Belum ada listrik. Tidak ada telepon. Tak ada televisi dan sebagainya.

Namun, visi kemanusiaan, gotong royong, toleransi, harmoni ata kiwan dan ata watan (Katolik dan Islam) sangat luar biasa. Tidak ada "kami" dan "mereka" tapi kita. Tite hena: kita semua sama!

Visi itu yang diterapkan Ama Kepala Keluli saat memimpin pembangunan masjid di kampung. Padahal Bapa C.K. Nimanuho ini seorang Katolik tulen. Mayoritas penduduk juga Katolik. Orang Islam tidak begitu banyak.

"Tite hama-hama gotong royong tula mesikit," kata Ama Kepala Keluli Nimanuho.

Artinya, ayo kita semua bergotong royong membangun masjid di kampung kita agar cepat rampung.

Maka, semua warga bergerak. Anak-anak SD macam saya ramai-ramai mengambil pasir, batu, dan material bangunan lainnya. Kerja gotong royong ini dilakukan dengan senang dan ikhlas.

Hasilnya, Masjid Nurul Jannah tampak indah dan gagah.

Ama Mohammad Ansar Paokuma alias Ama Imam yang jadi imam atau pimpinan masjid di dekat pantai itu. Ama Imam ini juga sering pimpin acara "baca doa" atau pengajian di rumah-rumah orang Katolik. Paling sering di rumah saya.

Nah, setelah Masjid Nurul Jannah itu berdiri, kampung kami sering jadi tuan rumah perayaan Idulfitri dan Iduladha se-Kecamatan Ile Ape. Umat Islam sekecamatan datang untuk salat Id berjamaah di masjid hingga ke halaman (namang). Festival musik kasidah pun pernah diadakan di Desa Mawa Napasabok.

Kalau dibandingkan masjid-masjid di kota, apalagi Jawa, sebetulnya masjid di Mawa itu kalah jauh. Lebih cocok disebut langgar atau musala. Bangunannya pun sederhana saja. Tidak seindah masjid-masjid di Jawa.

Namun, proses pembangunan yang langsung dipimpin Ama Kepala Keluli, orang Katolik, bersama warga desa yang mayoritas Katolik (93%), itu sangat berkesan bagi saya. Apalagi ketika kita mendengar banyak orang di tempat-tempat lain menolak pembangunan rumah ibadah agama lain yang mayoritas.
Setiap kali membaca atau mendengar kasus SARA terkait penolakan pembangunan gereja, wihara, pura dsb, saya langsung teringat Masjid Nurul Jannah di kampung halaman saya. Juga ingat Ama Kepala Keluli.

Sekarang Ama Kepala Keluli sudah tak ada lagi di dunia ini. Sudah pergi menemani Bapa Niko, sahabat ngobrol dan minum kopi di kampung, menghadap Sang Pencipta. Selesai sudah tugasnya di alam fana ini.

Ama Kepala Keluli hanya mau kopi kental di gelas besar, bukan gelas kecil. Ngobrolnya ngalor-ngidul dari soal remeh-temeh hingga masalah besar yang serius.

Dua orang penting di kampungku itu sudah tak ada lagi. Saat aku mudik tak ada lagi obrolan yang diwarnai gelak gawa Bapa Niko Hurek dan Ama Kepala Keluli Nimanuho.

Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Selamat jalan Ama Kepala Keluli!
Jasa-jasa moen kame lupang hala!
(Jasa-jasamu tak akan kami lupakan!)

Sabtu, 23 Mei 2020

Misa 19 Menit ala Amerika


Sabtu ini, 23 Mei 2020, saya ikut misa online. Seperti biasa sejak gereja-gereja di Surabaya tutup sementara sejak 22 Maret 2020.

Sengaja kali ini saya pilih channel dari USA. Bukan Canada atau Washington seperti sebelum pandemi corona. Uskup Msgr. William F. Stumpf yang pimpin misa dari SS. Peter and Paul Cathedral di Indianapolis, Amerika Serikat.

Luar biasa!

Misa bersama Bapa Uskup Stumpf ini sangat padat dan efisien. Lecta missae alias misa tanpa nyanyian. Tanpa misdinar atau putra altar. Cukup dibantu seorang pater atau romo.

Tata perayaan ekaristi sama saja dengan di Indonesia. Cuma beda bahasanya saja. Bahasa Inggris punya kelebihan: lebih padat dan lancar mengalir. Uskup atau romo di USA juga tidak banyak basa-basi seperti di sini.

Karena itu, misa cepat selesai. Hanya 19 menit! Bandingkan dengan misa harian di Surabaya atau Malang yang rata-rata 50 menit. Misa hari Minggu di Indonesia paling cepat 70 menit. Syaratnya tidak banyak nyanyian dan homili singkat.

Selama dua bulan misa online ini saya rasa misa di Indianapolis USA ini yang tercepat. Biasanya misa harian di Amerika berkisar 25 sampai 33 menit. Indonesia minimal 40-an menit.

Selama 30-an tahun saya pikir rekor misa tercepat itu di Larantuka, Flores Timur. Misa yang dipimpin Pater Krisik SVD asal Ceko. Bacaannya sangat cepat, lancar, tanpa basa-basi, dan tanpa khotbah.

Bagian utama misa, yakni doa syukur agung, juga mengalir kayak sungai. Pater Krisik biasa berdoa sendiri tanpa jawaban umat. Belakangan baru saya tahu itulah tata kurban misa pra Konsili Vatikan II.

Karena itu, misa bersama Pater Krisik cepat selesai. Tapi secepat-cepatnya Pater Krisik, saya rasa durasinya masih di atas 23 menit. Lebih lama ketimbang misa yang dipimpin Uskup Stumpf di Indianapolis itu.

Yang jelas, orang-orang NTT di NTT umumnya tidak suka misa yang terlalu singkat dan padat. Sebab mereka sangat suka bernyanyi. Lagu yang punya 5 atau 7 ayat atau kuplet dinyanyikan semua. Beda dengan di Jawa yang nyanyiannya biasa cuma dua kuplet atau satu kuplet saja.

Que bene cantat bis orat! Siapa yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali.

Pepatah ini sangat merasuk di kalangan umat Katolik di NTT, khususnya Flores dan Lembata. Orang sedih kalau misa atau ibadat sabda tanpa nyanyian.

Tapi di era milenium yang bergegas ini rasanya misa cepat ala mendiang Pater Krisik SVD atau Uskup Stumpf di Amerika lebih disukai. Lebih hemat data internet juga.

Dominus vobis cum!