Selasa, 05 Mei 2020

Bapa Kami Bahasa Lamaholot (Versi Ile Ape)



Ama dewa lera wulan kowa lolon
Kame ikit sogang naran moen
Lodo dai ia tana ekan peheng pereta
Helo mo peheng pereta ribun pulo kae teti kowa lolon
Ti kame ma sare mela

Niku tulung pao boe kame leron getan
Ake mang peten hukut nalan kamen
Helo kame di amet maring kaka ari kamen

Ake mai huko bekel puken nalan raen
Tedun kame lolon hena rae mai
Ti ake ma pana laran nalan mekin lali mai. Amen!


Bulan Mei bulan rosario. Bulan kontas gabungan, kata orang Flores Timur alias Lamaholot. Tiap malam ada doa rosario dari rumah ke rumah. Selama 30 hari.

Hari terakhir, 31 Mei, misa bersama di gereja atau di Gua Maria.

Tentu saja tahun ini tidak ada kontas gabungan. Sembahyang di rumah masing-masing. Bisa lengkap 5 peristiwa atau 3 peristiwa atau 1 peristiwa saja.

Saya perhatikan di Lembata umat Katolik lebih suka 3 peristiwa. Beda dengan di Jawa yang selalu lengkap 5 peristiwa. "Supaya cepat selesai," kata anak muda agak bercanda.

Minggu lalu ada orang bertanya tentang doa Bapa Kami dan Salam Maria bahasa Lamaholot. Saya agak kelabakan karena tidak pernah berdoa dalam bahasa daerah Flores Timur dan Lembata itu. Sejak kecil kami diajari doa bahasa Indonesia.

Generasi bapak saya sempat mengalami misa dan doa-doa dalam bahasa Latin. Bahasa daerah di Flores Timur hampir tidak pernah dipakai untuk doa-doa liturgi.

Hanya beberapa kakek dan nenek dulu yang sembahyang pakai bahasa daerah dengan kata-kata sendiri. Sebab tidak ada rumusan resmi doa-doa katolik dalam bahasa Lamaholot.

Setiap wilayah cenderung bikin terjemahan sendiri-sendiri. Beda dengan umat Katolik di Jawa yang punya doa-doa liturgi berbahasa Jawa sejak zaman Belanda sampai sekarang. Misa-misa bahasa Jawa pun sangat populer.

Betul dugaan saya. Setelah saya cek di internet, media sosial, versi doa-doa bahasa Lamaholot memang berbeda-beda. Pulau Lembata saja ada lima atau enam versi seperti Ile Ape, Lerek, Kedang, Lamalera, Hadakewa.

Versi Pulau Adonara, pusat bahasa dan budaya Lamaholot, juga ada beberapa versi. Belum versi Pulau Flores bagian timur. Ada versi Waibalun, Hokeng, Tanjungbunga dsb.

Begitulah. Bahasa Lamaholot memang punya variasi yang kaya meskipun akarnya sama. "Di tempat saya agak lain," kata Gabriel, kawan lama asal Lewotobi, Flores Timur, yang sudah lama jadi penduduk Kenjeran, Surabaya.

Maka, saya pun hanya bisa memberikan doa Bapa Kami bahasa Lamaholot versi Ile Ape, Lembata. Sama-sama Ile Ape pun masih ada perbedaan versi yang dibawakan Ama Lukas Soge Hurek dan Ama Raymundus Laba Lagamaking.

Rumusan ini sejatinya bukan resmi dari gereja tapi saya anggap sangat cocok dengan sosial budaya Lamaholot dan tidak menyimpang jauh dari Pater Noster que est in caelis...

Bapa Kami Ile Ape versi Ama Lukas Hurek menggunakan kata-kata sehari-hari. Sedangkan Bapa Kami Ile Ape versi Ama Raymundus Lagamaking menggunakan kata-kata adat semacam krama inggil di Jawa.

Apa pun bahasanya, apa pun versinya, doa Bapa Kami perlu didaraskan setiap hari. Tidak hanya saat bulan rosario atau kontas gabungan.

Senin, 04 Mei 2020

Misa Streaming Laku Keras saat Covid

Orang Indonesia memang rajin beribadah. Apa pun agamanya. Masjid, gereja, pura, wihara selalu penuh. Misa di Gereja Katolik biasa diadakan tiga sampai lima sesi.

Bagaimana dengan misa streaming saat wabah Covid-19?

(Oh ya, para uskup di Indonesia tidak menganjurkan umat Katolik untuk ikut misa online yang rekaman. Harus misa live streaming. Bukan rekaman misa.)

Selama satu bulan lebih ini saya amati misa streaming di Indonesia, khususnya Jawa, sangat ramai. Kecuali di luar Jawa yang jaringan internetnya susah dan paket data mahal. Maka misa streaming di NTT misalnya sepi jemaat.

Misa streaming di Jawa dipastikan ramai. Minggu kemarin (3/4) saya ikut misa streaming Keuskupan Surabaya. Romo Fusi Nusantoro yang pimpin ekaristi dari kapel keuskupan di Jalan dr Soetomo.

Umat yang ikut streaming mass lebih dari 3.500. Mungkin ada yang pindah channel sehingga saat misa berakhir (perutusan) peserta misa tercatat 2.972 orang.

Senin pagi ini saya ikut misa streaming lewat channel Paroki Sambiroto, Semarang. Umat online juga buanyaak. Di atas 2.000 orang. Dari awal sampai akhir angka peserta yang tercatat di YouTube selalu di atas 2.000.

Angka 2.000-an itu luar biasa. Sebab, misa harian di mana-mana hanya diikuti sedikit jemaat. Di Surabaya paling banyak 150 orang. Rata-rata di bawah 100 orang di Paroki Roh Kudus, Rungkut.

Yang menarik, misa streaming yang diadakan gereja-gereja di Eropa dan Amerika tidak banyak umat online-nya. Padahal negara-negara Barat itu sudab bertahun-tahun bikin misa streaming dan online mass.

Minggu lalu saya ikut misa streaming lewat channel gereja di Irlandia. Umatnya tidak sampai 1.000 orang. Sunday Mass di Amerika juga sama.

Misa harian Paus Fransiskus yang pakai bahasa Italia itu pun tidak terlalu banyak umatnya. Masih kalah sama Indonesia. Lagi-lagi ini jadi bukti bahwa orang Indonesia memang sangat haus liturgi atau ibadah.

Semoga virus corona segera berlalu sehingga semua tempat ibadah buka lagi.

Minggu, 03 Mei 2020

Covid Bikin Tidur Lebih Cepat

Pandemi virus corona sejak awal Maret 2020 membuat irama hidup dan kerja kita berubah drastis. Tak ada lagi siaran langsung sepak bola di TV. Sebab, liga-liga di Eropa distop.

Liga Indonesia juga libur panjang. Entah sampai kapan. Sebagian besar dari 18 klub minta Liga 1 Indonesia dihentikan karena pandemi corona kelihatannya belum selesai dalam waktu dekat.

Selama bertahun-tahun irama hidup kita, yang gila bola, didikte sepak bola. Khususnya Liga Inggris dan Spanyol. Kita melekan untuk nonton pertandingan MU, Liverpool, Chelsea, Arsenal dsb hingga larut malam.

Masih lumayan Liga Inggris biasanya sudah selesai pukul 01.00. Liga Spanyol malah baru kickoff pukul 01.00 atau 02.00 atau 03.00.

Tapi kalau Barcelona vs Real Madrid ya kita tetap menunggu. Rugi kalau sampai ketinggalan. Nonton cuplikan atau highlight di YouTube pasti tidak afdal. Sebab nuansa dan gambaran pertandingan tidak akan kelihatan.

Wabah Covid-19 ternyata ikut membunuh sepak bola. Sudah tak relevan lagi bicara olahraga, kesenian, politik di masa pandemi. Mata Najwa, Indonesia Lawyer Club (ILC), dan acara-acara televisi Indonesia sudah tak menarik.

Ini ada bagusnya. Kita dipaksa Covid-19 untuk istirahat lebih lama di rumah. Sebab tak ada lagi kafe-kafe dan tempat hiburan yang buka. Pukul 21.00 sudah lengang di mana-mana.

Ujung-ujungnya tidur pun lebih cepat. Sebelum pukul 22.00 saya sudah tidur. Bahkan sebelum pukul 21.00 sudah nyenyak.

Syaratnya cuma satu: jangan memaksa diri menonton video-video di YouTube yang kualitasnya lebih bagus ketimbang televisi kita.

Tidur awal, bangun pun lebih cepat. Suasana ini mirip di kampung-kampung pelosok NTT ketika belum ada jaringan listrik dan televisi.

Covid-19 memaksa kita kembali ke alam. Back to nature! Menikmati kembali ritme tubuh alami yang selama bertahun-tahun hilang.

Pater Lawrence Hambach SVD - Dari USA untuk Lembata

Mendiang ayahku, Nikolaus Nuho Hurek, dulu sering bicara dengan turis-turis bule yang kebetulan datang ke Desa Mawa, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, NTT. Obrolan ringan pakai bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Inggris. Tidak lancar English tapi lumayan untuk ukuran orang desa di pulau terpencil yang dulu disebut Lomblen itu.

Belajar bahasa Inggris di mana?
Kok bisa ngomong sedikit English?
Sementara kita orang di kampung koda Melayu nepa kahen (bicara bahasa Indonesia pun tidak lancar)?

Ama Niko cuma lulusan SGB, sekolah guru lawas di Larantuka. Ada pelajaran bahasa Inggris tapi cuma selintas ala sekolah menengah sekarang.

"Saya belajar sedikit dari Pater Lawrence. Tuan Lawrence nepe Amerika lewun (Pater Lawrence itu orang Amerika)," kata Ama Niko yang berpulang pada 22 Juli 2019.

Saya cuma tiga atau empat kali melihat Pater Lawrence lewat di kampung. Pakai motor besar ala Amerika. Orangnya ramah, senyum, asyik. Senang ngobrol dengan orang kampung yang tidak ada listriknya.

Saat saya masih SD itu Pater Lawrence sudah pindah ke paroki lain. Paroki Ilape dilayani Pater PM Geurtz SVD dan Pater Willem van der Leur SVD. Keduanya orang Belanda. Karena itu, logat bahasa Indonesia Pater Lawrence sangat berbeda dengan dua pater van Hollands itu.

Pekan lalu, iseng-iseng saya baca catatan singkat di media sosial orang Tionghoa Lembata. Ada foto bersama almarhum Pater Lawrence Hambach SVD. Saya langsung teringat pater asli Amerika Serikat yang menjalani misi di Lembata dan Flores hingga tutup usia itu.

Saya pun mencoba melacak sedikit perjalanan Pater Lawrence. (Banyak orang Lembata pakai nama Lorensius atau Laurensius karena terinspirasi Pater Lawrence Hambach SVD.)

Ketemu sedikit catatan obituari di laman SVD Amerika Serikat.

《Rev. Lawrence Hambach, SVD
(1933 - 2016)

Divine Word missionary Father Larry Hambach passed away Oct. 28, in Indonesia, where he had served the past 55 years.

Born in Canton, June 18, 1933, to the late Lawrence and Rose (Zucal) Hambach. Graduated from St. Mary's School, then continued high school and graduate studies at seminaries in Pennsylvania, New York and Iowa.

He was ordained April 16, 1961, at Techny, Ill.

In 2011, he returned to Canton to celebrate 50 years of Priesthood with family and friends at St. Mary's. 》

Pater Lawrence menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai misionaris di Pulau Lembata, Pulau Solor, dan Pulau Flores. Sebagai native speaker, Pater Lawrence dengan senang hati mengajarkan bahasa Inggris (dasar) kepada orang-orang kampung macam ayahku hingga frater-frater dan pater-pater SVD yang akan diutus ke berbagai negara.

"Semua calon misionaris dari Ledalero wajib ikut English Pronunciation Test yang dibimbing Pater Lawrence," kata seorang pater yang sekarang tugas di luar negeri.

Selain Pater Lawrence Hambach SVD, ada dua lagi pater asal Amerika Serikat yang punya kontribusi luar biasa untuk Pulau Lembata dan Keuskupan Larantuka. Yakni Pater Eugene Schmitz SVD dan Pater Nicholas Strawn SVD.

Ketiga pater asal negeri Paman Sam itu sudah tiada. Tapi jasa-jasa mereka akan selalu dikenang oleh orang Lembata.

PSBB Surabaya Raya Perlu Diperketat Lagi

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik sejak 28 April 2020. PSBB itu semacam lockdown ringan. Ada 17 pos pemeriksaan di perbatasan Surabaya dengan Sidoarjo/Gresik.

Minggu pagi ini saya nggowes ke kawasan Pondok Candra, Waru, Sidoarjo. Tentu saja harus lewat checkpoint. Cukup banyak petugas duduk di pos. Ada juga yang ngopo di warung - bagi yang tidak puasa.

"Pesan sinom," kata saya kepada ibu pemilik warung dekat perbatasan Surabaya dan Sidoarjo.

Gara-gara corona, belakangan saya senang sinom, beras kencur, jahe, temulawak dsb. Sesuai anjuran Bu Risma, Wali Kota Surabaya. Sinom satu gelas besar Rp 5.000.

Saya ikut memantau kendaraan-kendaraan yang masuk dan keluar Surabaya. Kayaknya sama saja dengan Ahad pagi sebelum Covid-19 merebak. Petugas gabungan pun tidak memeriksa pengendara-pengendara itu.

"Belum," kata seorang petugas. "Intinya, kami selalu monitor dan sosialisasi. Agar kita bersama-sama menanggulangi corona."

Agak longgar memang. Tidak seketat seperti potongan video di televisi atau media sosial. Padahal PSBB merupakan kebijakan drastis layaknya lockdown di negara-negara lain.

Yang bikin ketar-ketir, tidak jauh dari checkpoint ini terungkap klaster baru Covid-19 skala besar di Jawa Timur. Ratusan karyawan pabrik rokok Sampoerna diisolasi di sebuah hotel. Sebanyak 123 karyawan yang swab test-nya positif Covid-19.

Klaster baru di kawasan Rungkut Industri ini bukan main-main. Ratusan karyawan Sampoerna itu punya keluarga dan teman dekat. Bukan tidak mungkin virus corona itu sudah menular ke istri, anak, teman kampung, tetangga dsb.

Surabaya yang paling awal jadi zona merah pun makin merah. Bayangkan, ada ratusan pasien covid di satu tempat kerja di pabrik rokok! Padahal di banyak negara pasien covid tidak sampai 100 orang.

Mudah-mudahan warga makin sadar bahwa virus corona ini bukan virus sembarangan. Sangat mudah menular dan tak pandang kaya miskin, tua muda, apa pun latar belakang orang.

Kamis, 30 April 2020

Gagap menghadapi wabah corona

Sudah dua bulan ini kita semua terjebak corona. Covid covid covid! Isu lain jadi tidak penting. Di mana-mana orang bicara corona corona corona.

Media massa pun sama. Apalagi media sosial. Semuanya satu tema: Covid-19. Awalnya menarik karena penyakit baru. Orang penasaran. Tapi setelah satu bulan, dua bulan.. jenuh.

Tak ada lagi isu menarik tentang virus corona. Tiap hari cuma update data. Pasien meninggal, PDP, ODP, OTG, dan istilah-istilah baru terkait corona.

Juru bicara Covid-19 mungkin sudah capek ngomong corona tiap hari. Presiden Donald Trump di USA juga kelihatannya jenuh. Makanya dia kelihatan ngotot banget untuk membuka kembali Amerika Serikat yang dikarantina selama dua bulan itu.

Saking sumpeknya, Mr Trump sampai mengusulkan agar cairan disinfektan disuntikkan ke tubuh manusia. Supaya virus cepat mati. Hahaha! Jadi ingat banyolan lawas khas Srimulat zaman dulu.

Begitulah. Globalisasi memang sudah lama kita rayakan. Dunia seakan tanpa batas. Kejadian apa pun bisa kita saksikan dari mana saja dan kapan saja. Cukup dengan menengok telepon seluler masing-masing.

Namun, ini yang dilupakan para pemimpin dunia, termasuk WHO, globalisasi juga membuat jasad renik bernama coronavirus bisa berpindah dengan cepat dari negara satu ke negara lain dengan sangat cepat. Dan sangat masif.

Virus corona ini memberi pelajaran kepada kita bahwa semua manusia itu sejatinya sangat lemah. Kaya miskin, negara maju terbelakang, apa pun ras, etnis, agama, kepercayaan, latar belakang... bisa dihajar Covid-19 kapan saja.

Amerika Serikat yang sangat modern, kaya, superpower, punya segalanya pun ternyata gelagapan menghadapi serangan corona. Ahli-ahli USA, profesor-profesor botak, sekalipun belum mampu menemukan obat untuk melumpuhkan corona.

Rabu, 29 April 2020

Nasi Anjing dan Nasi Kucing

Silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Boleh kamus buku (fisik) atau KBBI Daring.

《nasi kucing:
nasi dengan porsi kecil, biasanya dicampur dengan tempe orek, potongan ikan atau ayam, dibungkus daun pisang, dijual di angkringan pada malam hari.》

《nasi anjing:
nasi berkuah (tanpa ikan, daging, dan sebagainya).》

Rupanya orang Indonesia sangat jarang buka kamus. Makanya gampang marah, mispersepsi, curiga dsb. Polisi juga turun tangan untuk mengusut panitia bakti sosial pembagian nasi anjing kepada masyarakat.

Ihwal nasi anjing viral di media sosial. Di bulan puasa begini, komentar pun bermunculan. Seakan-akan nasi anjing itu nasi dengan lauk daging anjing. Bukankah anjing itu haram?

Bisa jadi karena pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita kurang bermutu. Atau lupa bahwa semua bahasa itu ada ungkapan, kata majemuk, istilah.. yang artinya jauh berbeda dengan arti harfiah.

Namanya memang nasi anjing dan nasi kucing. Tapi jangan bayangkan nasi bungkus itu ada daging anjing atau kucing.

Orang itu banyak makan garam. Tidak berarti orang tua itu memasukkan garam ke mulutnya, mengunyah, dan menelan garam alias NaCl. Makan angin tidak berarti menelan angin karena tidak ada nasi lagi.

Apakah istilah atau kata majemuk nasi anjing dan nasi kucing perlu dihapus di KBBI? Agar tidak menimbulkan salah pengertian?

Di tengah pandemi Covid-19 ini sebaiknya semua warga bersatu padu agar virus corona segera berlalu. Bukan malah ribut dengan nasi anjing yang tidak ada anjingnya.