Ama dewa lera wulan kowa lolon
Kame ikit sogang naran moen
Lodo dai ia tana ekan peheng pereta
Helo mo peheng pereta ribun pulo kae teti kowa lolon
Ti kame ma sare mela
Niku tulung pao boe kame leron getan
Ake mang peten hukut nalan kamen
Helo kame di amet maring kaka ari kamen
Ake mai huko bekel puken nalan raen
Tedun kame lolon hena rae mai
Ti ake ma pana laran nalan mekin lali mai. Amen!
Bulan Mei bulan rosario. Bulan kontas gabungan, kata orang Flores Timur alias Lamaholot. Tiap malam ada doa rosario dari rumah ke rumah. Selama 30 hari.
Hari terakhir, 31 Mei, misa bersama di gereja atau di Gua Maria.
Tentu saja tahun ini tidak ada kontas gabungan. Sembahyang di rumah masing-masing. Bisa lengkap 5 peristiwa atau 3 peristiwa atau 1 peristiwa saja.
Saya perhatikan di Lembata umat Katolik lebih suka 3 peristiwa. Beda dengan di Jawa yang selalu lengkap 5 peristiwa. "Supaya cepat selesai," kata anak muda agak bercanda.
Minggu lalu ada orang bertanya tentang doa Bapa Kami dan Salam Maria bahasa Lamaholot. Saya agak kelabakan karena tidak pernah berdoa dalam bahasa daerah Flores Timur dan Lembata itu. Sejak kecil kami diajari doa bahasa Indonesia.
Generasi bapak saya sempat mengalami misa dan doa-doa dalam bahasa Latin. Bahasa daerah di Flores Timur hampir tidak pernah dipakai untuk doa-doa liturgi.
Hanya beberapa kakek dan nenek dulu yang sembahyang pakai bahasa daerah dengan kata-kata sendiri. Sebab tidak ada rumusan resmi doa-doa katolik dalam bahasa Lamaholot.
Setiap wilayah cenderung bikin terjemahan sendiri-sendiri. Beda dengan umat Katolik di Jawa yang punya doa-doa liturgi berbahasa Jawa sejak zaman Belanda sampai sekarang. Misa-misa bahasa Jawa pun sangat populer.
Betul dugaan saya. Setelah saya cek di internet, media sosial, versi doa-doa bahasa Lamaholot memang berbeda-beda. Pulau Lembata saja ada lima atau enam versi seperti Ile Ape, Lerek, Kedang, Lamalera, Hadakewa.
Versi Pulau Adonara, pusat bahasa dan budaya Lamaholot, juga ada beberapa versi. Belum versi Pulau Flores bagian timur. Ada versi Waibalun, Hokeng, Tanjungbunga dsb.
Begitulah. Bahasa Lamaholot memang punya variasi yang kaya meskipun akarnya sama. "Di tempat saya agak lain," kata Gabriel, kawan lama asal Lewotobi, Flores Timur, yang sudah lama jadi penduduk Kenjeran, Surabaya.
Maka, saya pun hanya bisa memberikan doa Bapa Kami bahasa Lamaholot versi Ile Ape, Lembata. Sama-sama Ile Ape pun masih ada perbedaan versi yang dibawakan Ama Lukas Soge Hurek dan Ama Raymundus Laba Lagamaking.
Rumusan ini sejatinya bukan resmi dari gereja tapi saya anggap sangat cocok dengan sosial budaya Lamaholot dan tidak menyimpang jauh dari Pater Noster que est in caelis...
Bapa Kami Ile Ape versi Ama Lukas Hurek menggunakan kata-kata sehari-hari. Sedangkan Bapa Kami Ile Ape versi Ama Raymundus Lagamaking menggunakan kata-kata adat semacam krama inggil di Jawa.
Apa pun bahasanya, apa pun versinya, doa Bapa Kami perlu didaraskan setiap hari. Tidak hanya saat bulan rosario atau kontas gabungan.