Minggu, 23 Februari 2020

Pater Yosef Buku Bala SVD Berkati Kontas Rosario


"Ama, romo di Salib Suci ne Romo Yosep Bala kah. Ra aku lewu?"

Begitu pertanyaan Ama Paul, guru SMA Petra, Kalisari, Surabaya, kepada saya. Bapa guru asal Botung, Adonara Barat, ini sudah bertanya Mbah Google tapi tak ada jawaban. Cuma ada satu dua kalimat pendek tentang sang pastor.

Ini juga menunjukkan bahwa Google tidak bisa diandalkan 100 persen. Kalau tidak ada input dari blogger, media massa, atau media sosial, maka Google tidak bisa apa-apa. Rupanya blogger paroki atau media gereja di Surabaya dan kota-kota lain kurang tertarik menulis sedikit profil pastornya.

Karena itu, hampir tidak ada umat Katolik di Surabaya yang tahu kampung asal Pater Yosef Buku Bala SVD. Tahunya ya dari Flores. "Dari namanya sih beliau asal Flores," kata seorang aktivis di Paroki Gembala Yang Baik, Jemur Handayani, Surabaya.

Flores mana? Flores itu ada 8 kabupaten? Ditambah Lembata jadi 9 kabupaten? Dari Ende, Sikka, Larantuka, Manggarai? Gak nyambung. Pokoknya Flores.. titik.

Syukurlah, saya pernah ngobrol sejenak dengan Pater Yosef Buku Bala SVD di Gereja Gembala Yang Baik (GYB) Surabaya. Beberapa tahun silam. Saat itu pater yang tak suka banyak bicara ini bertugas di GYB. Sehingga saya jadi tahu asal usulnya.

Maka, saya pun bisa menjawab pertanyaan Guru Paul yang juga penulis pantun dolo-dolo Lamaholot itu. "Kita sama-sama Lamaholot, Ama," jawab saya kepada Ama Paul yang tinggal di Pondok Jati Sidoarjo.

Bedanya, Ama Paul orang Adonara Barat, Ama Hurek Lembata Utara, Pater Yosef Buku Bala SVD Flores Timur Daratan. Tidak jauh dari Kota Larantuka. "Kampungnya Lewo Uran, daerah Lewo Tobi," tulis saya di pesan WA.

Lewo artinya kampung. Uran: hujan. Tobi: asam. Mungkin kampung asal Pater Yosef Buku Bala SVD itu banyak hujan dan banyak asam.

Satu lagi yang paling penting. Pater Yosef Buku Bala SVD ini punya adik kandung di Vatikan. Namanya Pater Markus Solo SVD. Salah satu staf kepausan sejak Paus Benediktus XVI. Pater Markus Solo SVD bertugas memajukan kerja sama Vatikan dengan berbagai kalangan lintas agama di dunia.

Ama Paul rupanya senang dengan penjelasan saya. Lalu menemui Pater Yosef Buku Bala SVD di pastoran Paroki Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Beberapa saat kemudian dia mengirim foto pertemuan dengan Pater Yosef Buku Bala SVD.

"Goe kerung Tuan kae. Nae berkat kontas goe tou," tulis Ama Guru Paul yang audiensi bersama istrinya.

Pesan bahasa Lamaholot itu artinya: Saya sudah ketemu Pater (Yosef Buku Bala). Beliau sudah memberkati saya punya kontas (rosario).

Kontas. Istilah ini sangat khas Flores Timur alias Lamaholot. Tidak ada orang yang sebut Rosario. Sembahyang Kontas sudah menjadi kebiasaan bahkan budaya di bumi Lamaholot alias Keuskupan Larantuka.

Dalam keadaan apa pun orang sembahyang kontas. Meskipun kontasnya sering tidak sampai 5 peristiwa. Saat berada di kampung halaman, saya perhatikan kontas biasanya paling banyak 3 peristiwa. Satu peristiwa yang sangat umum.

Beda dengan di Jawa Timur yang sembahyang rosario selalu full 5 peristiwa. Hampir tidak ada lingkungan atau kelompok doa yang mendiskon rosario.

Begitulah. Rupanya tiga paroki SVD yang bertetangga di Surabaya-Sidoarjo punya imam asal Lamaholot. Pater Gregorius Kaha SVD di Paroki Gembala Yang Baik, Jemur Handayani (asli Solor), Pater Dominikus Beda Udjan SVD di Paroki Roh Kudus, Rungkut-Gununganyar (asli Lembata), dan Pater Yosef Buku Bala SVD, Paroki Salib Suci, Tropodo, Waru (asli Lewouran, Lewotobi).

Jumat, 21 Februari 2020

Hindari Kucing, Tabrak Manusia



Orang Jawa biasanya sangat takut kalau sampai menabrak kucing. Apalagi sampai mati. Bisa kualat. Karena itu, pengendara mobil dan motor di Surabaya atau Sidoarjo berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari binatang yang namanya kucing kampung itu.

Begitu melihat sosok kucing dari jauh, si pengendara langsung memperlambat kendaraannya. Beda dengan ketika melihat manusia yang akan menyeberang. Pasti tidak dianggap. Menyeberang di zebracross pun tidak aman. Sebab pengendara mobil dan motor tidak mau tahu.

Salah satu kawasan rawan kecelakaan berada di Rungkut dekat perbatasan Sidoarjo dan MERR Gunung Anyar. Pengendara motor dan mobil acuh tak acuh dengan manusia-manusia yang akan menyeberang.

Gak ada ceritanya mobil atau motor mau ngalah. Kasih kesempatan untuk warga setempat menyeberang. Pengendara sepeda pancal pun sama dengan pejalan kaki. Kita baru bisa menyeberang ketika jalannya sudah kosong secara alamiah. Bukan atas belas kasihan pengendara motor dan mobil.

Bagaimana kalau kucing yang menyeberang?

Wow... dijamin berhenti. Saya lihat beberapa kali ada kucing yang tertabrak di Rungkut Menanggal. Geger. Si pengemudi mobil turun untuk mengurusi mayat si kucing itu. Gali tanah untuk dikubur secara layak. Takut kualat.

Jumat pagi ini (21/2) ada berita kecil di koran. Singkat tapi sangat menarik. Hindari Kucing, Tabrak Pemotor hingga Korban Meninggal.

Kejadiannya di Jalan Kendung Raya, Benowo, Surabaya Barat. Naim, 60, mengemudikan Avanza dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ada kucing melintas di jalan. Naim kaget. Dia banting setir untuk menghindari si kucing.

Tapi Naim lupa ada sepeda motor dari arah depannya. Kraaak... pengemudi motor mati. Kucing selamat.

Sudah sebulan ini Surabaya sudah mulai berlaku tilang elektronik di sejumlah titik perempatan. Warga sudah jauh lebih tertib. Kebiasaan nerobos lampu merah dan lampu kuning sudah sangat menurun. Orang malas bayar denda dan berurusan dengan polisi.

Tapi masalah klasik yang jauh lebih besar justru belum disentuh. Yakni menghargai pejalan kaki. Belum ada kebiasaan untuk memberi kesempatan orang untuk menyeberang baik di jalan kampung hingga jalan raya di tengah kota. Sementara jembatan penyeberangan orang masih sangat terbatas.

Senin, 10 Februari 2020

Koran Mencari Jalan Relevansi


Oleh Dahlan Iskan

Media sosial kian perkasa. Tak terbendung lagi. Padahal belum lagi 5G beroperasi.

Ketika radio berita lahir, banyak memperkirakan koran akan mati. Kecepatan radio dalam memberitakan peristiwa membuat koran terancam. Nyatanya koran tetap hidup.

Ketika media televisi lahir diramalkan koran dan radio akan mati. TV adalah media yang bisa menyajikan peristiwa secara lengkap: tulisan, gambar, dan suara. Bahkan gambarnya bergerak. Berwarna pula.

Habislah sudah semua keunggulan radio dan koran. Dibabat habis oleh televisi. Tapi radio ternyata masih tetap hidup. Koran juga tetap hidup.

Sampai munculnya media online. Lewat kehebatan internet. Tapi radio tetap hidup. Koran tetap hidup. Televisi tetap hidup.

Lalu merajalelalah media sosial. Dengan segala kelebihan dan kejahatannya. Kelebihannya begitu banyak. Kejahatannya juga begitu besar. Lewat hoax, fitnah, rekayasa foto dan video. Tapi tidak juga membunuh media yang sudah ada sebelumnya.

Sampai kapan?

Tidak ada yang tahu. Yang jelas sampai Hari Pers Nasional tanggal 8 Februari 2020 masih seperti itu.

Tentu terjadi pergeseran-pergeseran. Terjadi reposisi. Maka yang akan terjadi adalah apa pun jenis medianya, sepanjang ia relevan dengan perkembangan masyarakat, ia akan tetap diperlukan.

Maka, pengelola media apa pun akan terus mencari posisi baru. Agar terus relevan dengan kemajuan umum. Atau memilih mati bunuh diri. Rasanya tidak akan ada yang seperti itu.

Selamat mencari jalan relevansi!

Sabtu, 08 Februari 2020

Kalender Jawa dan Tionghoa Sangat Perlu

Meskipun ada kalender digital di ponsel, kalender kertas masih perlu. Setidaknya bagi saya. Karena itu, saya senang dapat kiriman tiga kalender bagus jelang tutup tahun 2019 lalu.

Kalender dari salah satu perusahaan rokok punya gambar-gambar menarik. Ada juga kalender dari Konsulat Jepang dan Konsulat Tiongkok.

Satu lagi kalender tanpa gambar yang saya beli di pinggir jalan. Angka-angkanya sangat besar. Mudah dilihat dari jarak jauh.

Sayang, dua kalender oleh-oleh itu dari konjen asing itu tidak bisa dipakai karena tidak ada tanggal merahnya. Semuanya tanggal hitam. Padahal bulan Januari ada tanggal merah tahun baru Imlek 25 Januari 2020.

Apa boleh buat, dua kalender itu saya berikan ke warkop. Ibu pemilik warkop pun tidak puas karena tidak ada tanggal merahnya. Bisa jadi tanggalan itu bakal dibuang atau dirobek.

Tanggalan murah Rp 5000-an itu sengaja saya beli karena ada hari pasaran Jawa: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Jadi, bisa dipakai untuk mengecek hari-hari tertentu untuk perayaan atau acara tertentu di Jawa Timur. Bisa juga untuk mengetahui kapan bulan purnama dan bulan mati.

Bulan purnama dan bulan mati ini bisa terbaca di kalender bulan alias Imlek (bahasa Tionghoa). Penjaga tambak di Sidoarjo macam Pak Sukari di Jabon sangat mengandalkan tanggalan Jawa. "Tanggal 13, 14, 15 Jawa akan ada rob," katanya.

Selain tanggalan Jawa yang paralel dengan kalender Hijriah, tanggalan Tionghoa sangat saya butuhkan. Kita bisa melihat kapan tanggal 1 dan 15 Imlek. Kelenteng-kelenteng pasti ramai pada dua tanggal itu.

Sayang, tanggalan lima ribuan yang saya beli di Pasar Kembang itu ternyata tidak punya versi Imlek atau Tionghoa. Adanya cuma Masehi, Hijriah, dan Jawa.

Maka, kemarin saya salah tanggal saat berkunjung ke Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Saya pikir ada acara Cap Go Meh. Sembahyang bersama disusul makan lontong capgomeh ramai-ramai.

"Cap Go Meh tanggal 8 Februari, Hari Sabtu," kata pengurus Kelenteng Cokro. "Ada acara khusus di sini," tambahnya.

Waduh...

Perlu cari kalender baru yang lebih lengkap dan akurat. Berdasar pengalamanku, tanggalan Tionghoa yang paling akurat menentukan kapan bulan purnama dan bulan mati. Tanggalan Jawa biasanya terlambat atau lebih satu hari.

Salam Cap Go Meh!

Amen Amin Aamiin Aman

Orang Flores yang mayoritas Katolik biasa bilang AMEN di akhir doa-doa. Entah di gereja, gabungan (lingkungan atau kring kalau di Jawa), sekolah, dan di mana saja.

Amen amen amen... alleluia!

Orang Kristen Protestan lebih suka pakai HALELUYAH atau Hallelujah (bahasa Inggris).

Padahal, di buku-buku liturgi macam Yubilate, Syukur Kepada Bapa, Madah Bakti, atau Puji Syukur tertulis AMIN. Buku-buku nyanyian atau liturgi di Indonesia yang terbit di atas tahun 1980 memang pakai AMIN, bukan AMEN.

Mengapa orang Flores atau NTT umumnya masih pakai amen meskipun kata bahasa Indonesia yang baku menurut kamus adalah amin?

Kebiasaan lama. Selama bertahun-tahun umat Katolik mengikuti misa dalam bahasa Latin. Dan kata AMEN memang dari bahasa Latin. "In nomine patris et filii et spiritus sancti. AMEN."

Saya perhatikan umat Katolik di Jawa lebih banyak yang pakai AMIN ketimbang AMEN. Tapi kata AMEN masih sering saya dengar di Surabaya dan Sidoarjo. Beda dengan Flores yang lebih dari 90 persen pakai AMEN AMEN AMEN.

Yang menarik itu di media sosial. Orang Indonesia yang muslim kelihatannya lebih suka transliterasi bahasa Arab ketimbang Amin yang merupakan kata serapan. Sebagian besar pengguna media sosial tidak sreg dengan kata AMIN versi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Mengapa demikian?

"Karena AMIN artinya aman," kata seorang guru di Sidoarjo. Lengkap dengan aksara Arab.

Selain AMIN yang aman itu, menurut dia, ada 3 lagi arti amin. Tulisannya beda meskipun bunyinya (hampir sama).

AMIN = Aman
AAMIN = Minta pertolongan
AMIIN = Jujur, amanah
AAMIIN = Kabulkan doa kami

Nah, kata AMIN yang dipakai di Indonesia merujuk pada seruan di akhir doa atau sembahyang. Memohon agar Tuhan mengabulkan doa saya/kita/kami.

"Maka, yang benar adalah AAMIIN," kata orang Sidoarjo itu.

Di internet pun banyak tulisan seperti itu. Sudah jutaan orang yang berbagi di media sosial. Karena itu, kata AAMIIN dengan dua A dan I makin popular di media sosial. Bahkan sejumlah media arus utama pun ikut-ikutan memakai transliterasi Arab.

Kembali ke AMEN dan AMIN di Gereja Katolik. Pada 1992 para uskup se-Indonesia menerbitkan buku Puji Syukur sebagai pengganti Madah Bakti. Ada penjelasan khusus tentang kata AMIN ini. Petikannya:

"AMIN berarti setuju atau demikianlah. AMIN merupakan aklamasi atau tanggapan atas doa yang diucapkan orang lain atau pemimpin.

"Maka, kalau seluruh doa diucapkan bersama-sama atau seorang diri, AMIN pada akhir doa tidak harus diucapkan," tulis Komisi Liturgi KWI dalam pengantar buku Puji Syukur.

Maka, sejak 1990-an itulah saya perhatikan sudah sangat jarang umat Katolik di Jawa mengucapkan kata AMIN saat berdoa bersama Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan sebagainya. Awalnya kagok tapi lama-lama terbiasa.

Biasanya ada saja orang yang keceplosan bilang AMEN di akhir doa. Biasanya orang Flores yang baru datang ke Pulau Jawa.

Warkop Sunyi, Media Sosial Bising

Suasana warkop di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, Jalan MERR, pagi ini senyap. Tak ada percakapan. Obrolan diselingi pisuhan khas Arek-Arek Surabaya tak terdengar. Padahal saya perhatikan ada 11 orang di dalam warkop yang punya layanan internet gratis itu.

Yeah... semua orang sibuk dengan ponselnya. Menikmati video, chatting, main media sosial, main gim, dan sebagainya. Privasi memang sangat dijamin di warkop.

Ponsel pintar atau smartphone rupanya sudah mengubah budaya masyarakat kita. Dari masyarakat yang suka ngobrol, berbual, ngomong ngalor ngidul... menjadi masyarakat yang lebih senyap.

Pita suara mulai jarang dipakai di Jawa Timur. Beda dengan orang NTT di desa-desa yang suka bicara keras-keras dengan lawan bicara di dekatnya. Silakan duduk di ruang tunggu Bandara Eltari, Kupang, NTT. Bising suara manusia dengan sekian banyak logat bahasa daerah.

Sayangnya, budaya ngomong itu kini dialihkan ke media sosial. Apa saja dikomentari. Pakar-pakar instan bermunculan. Siapa saja bisa jadi ahli tentang virus corona. Lengkap dengan kiat-kiat mencegah penularan virus yang bikin geger seisi dunia itu.

Seorang tukang bersih-bersih alias office boy sering membagikan informasi kesehatan di grup media sosial di Sidoarjo. Nasihat-nasihatnya kayak dokter beneran. Padahal Bu Farida, anggota grup yang dokter beneran, justru tidak pernah bahas kesehatan, penyakit-penyakit, apalagi virus baru bernama corona itu.

Medsos pun menjadi begitu riuh di Indonesia. Seorang ibu rumah tangga asal Bogor, Zikria Dzatil, ditangkap dan ditahan di Polrestabes Surabaya gara-gara ujaran kebencian. Menghina Wali Kota Surabaya Bu Risma.

Apa urusan tante dari Bogor itu dengan Wali Kota Surabaya?

"Dunia maya membutakan mata saya," kata Zikria yang belakangan minta maaf kepada Bu Risma.

Bu Risma memang sudah memberi maaf untuk Zikria. Apalagi dia punya anak dua tahun yang perlu diberi ASI dsb. Tapi warga Surabaya, sebagian besar, sudah kadung marah.

"Ditahan agak lama biar kapok," begitu salah satu komentar di Facebook asal Sidoarjo penggemar Bu Risma.

Kamis, 30 Januari 2020

Terkenang Suhu Bingo dan Baba Lee



Suasana Sincia atau tahun baru Tionghoa tahun ini tidak secerah tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya bagi saya pribadi. Betapa tidak. Cukup banyak tokoh Tionghoa yang jadi narasumber saya, kemudian jadi akrab layaknya keluarga sendiri sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Suhu Bingo Tanuwijaya meninggal pertengahan tahun 2019. Suhu atau paranormal ini paling rajin menerbitkan buku-buku tentang astrologi Tionghoa. Salah satunya buku tentang peruntungan 12 shio selama tahun tertentu.

Misalnya, selama Tahun Tikus Logam, shio mana saja yang hoki dan mana yang ciong. Penjelasannya sangat rinci. Buku fengshui itu biasanya sudah muncul di toko buku dua bulan sebelum Sincia.

"Anda baca saja buku saya lalu disimpulkan sendiri," begitu pernyataan khas Suhu Bingo yang beragama Kristen Protestan itu.

Nama Suhu Bingo sempat melejit gara-gara ramalannya tentang krisis ekonomi plus gejolak politik pada 1997 dan 1998 ternyata cocok. Ia kemudian jadi rujukan wartawan-wartawan yang ingin bertanya soal ramalan shio-shio jelang Imlek.

Narasumber lain yang berpulang tahun lalu adalah Lee Tjin Sam. Tionghoa campuran Bali yang tinggal di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Dekat kantor Kecamatan Taman. Di masa tuanya Om Lee duduk santai menjaga toko pracangan dan main musik harmonika.

Saya diajari beberapa lagu Mandarin yang dipopulerkan Teresa Teng. Baba Lee sering cerita pengalaman masa kecilnya yang sangat susah pada zaman Jepang. Mengungsi ke kawasan Prigen dan sebagainya. "Jepang itu brengsek," katanya.

Di usia produktifnya, Lee Tjin Sam bekerja sebagai fotografer kepolisian. Tugasnya memotret pelaku, korban, barang bukti untuk keperluan proses verbaal.

Zaman dulu belum banyak orang yang punya kamera. Apalagi ke mana-mana bawa kamera. Setiap hari. Beda dengan sekarang. Semua orang punya ponsel yang bisa dipakai memotret atau membuat video.

Maka, Lee Tjin Sam ini punya dokumentasi foto-foto Sidoarjo masa lalu yang paling lengkap. Khususnya di kawasan utara yang bertetangga dengan Surabaya. Termasuk sekolah Tionghoa, kelenteng yang sudah dibongkar, toko-toko di pecinan lawas.

Baba Lee sering saya jadikan narasumber kalau ingin membahas Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. "Dulu di Sepanjang ini ada perumahan khusus untuk tunawisma," tuturnya.

Sayang, proyek yang dibuat pada masa Gubernur Soenandar itu ambyar di tengah jalan. Rumah-rumah itu dijual dan para gelandangan kembali minta-minta di jalan raya. "Pancen angel ngurusin wong mbambung," kata baba yang pernah jadi komunitas motor Vespa Sidoarjo itu.

Dua minggu sebelum Sincia saya mampir ke rumah Lee Tjin Sam di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Suasananya tidak lazim. Rumah tua itu tertutup rapat. Di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang jualan es. Ada juga tukang jahit permak pakaian.

Ke mana Baba Lee?

"Maaf, beliau sudah enggak ada," kata pemilik depot di sebelah rumah baba Tionghoa itu.

Oh, Tuhan...

Saya hanya bisa terdiam. Mengenang percakapan hangat sambil ngeteh (Baba Lee tidak minum kopi) dan menikmati melodi lagu-lagu Mandarin. Salah satunya Tian Mimi.

Kamsia untuk Suhu Bingo dan Baba Lee!