Sabtu, 08 Februari 2020

Warkop Sunyi, Media Sosial Bising

Suasana warkop di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, Jalan MERR, pagi ini senyap. Tak ada percakapan. Obrolan diselingi pisuhan khas Arek-Arek Surabaya tak terdengar. Padahal saya perhatikan ada 11 orang di dalam warkop yang punya layanan internet gratis itu.

Yeah... semua orang sibuk dengan ponselnya. Menikmati video, chatting, main media sosial, main gim, dan sebagainya. Privasi memang sangat dijamin di warkop.

Ponsel pintar atau smartphone rupanya sudah mengubah budaya masyarakat kita. Dari masyarakat yang suka ngobrol, berbual, ngomong ngalor ngidul... menjadi masyarakat yang lebih senyap.

Pita suara mulai jarang dipakai di Jawa Timur. Beda dengan orang NTT di desa-desa yang suka bicara keras-keras dengan lawan bicara di dekatnya. Silakan duduk di ruang tunggu Bandara Eltari, Kupang, NTT. Bising suara manusia dengan sekian banyak logat bahasa daerah.

Sayangnya, budaya ngomong itu kini dialihkan ke media sosial. Apa saja dikomentari. Pakar-pakar instan bermunculan. Siapa saja bisa jadi ahli tentang virus corona. Lengkap dengan kiat-kiat mencegah penularan virus yang bikin geger seisi dunia itu.

Seorang tukang bersih-bersih alias office boy sering membagikan informasi kesehatan di grup media sosial di Sidoarjo. Nasihat-nasihatnya kayak dokter beneran. Padahal Bu Farida, anggota grup yang dokter beneran, justru tidak pernah bahas kesehatan, penyakit-penyakit, apalagi virus baru bernama corona itu.

Medsos pun menjadi begitu riuh di Indonesia. Seorang ibu rumah tangga asal Bogor, Zikria Dzatil, ditangkap dan ditahan di Polrestabes Surabaya gara-gara ujaran kebencian. Menghina Wali Kota Surabaya Bu Risma.

Apa urusan tante dari Bogor itu dengan Wali Kota Surabaya?

"Dunia maya membutakan mata saya," kata Zikria yang belakangan minta maaf kepada Bu Risma.

Bu Risma memang sudah memberi maaf untuk Zikria. Apalagi dia punya anak dua tahun yang perlu diberi ASI dsb. Tapi warga Surabaya, sebagian besar, sudah kadung marah.

"Ditahan agak lama biar kapok," begitu salah satu komentar di Facebook asal Sidoarjo penggemar Bu Risma.

Kamis, 30 Januari 2020

Terkenang Suhu Bingo dan Baba Lee



Suasana Sincia atau tahun baru Tionghoa tahun ini tidak secerah tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya bagi saya pribadi. Betapa tidak. Cukup banyak tokoh Tionghoa yang jadi narasumber saya, kemudian jadi akrab layaknya keluarga sendiri sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Suhu Bingo Tanuwijaya meninggal pertengahan tahun 2019. Suhu atau paranormal ini paling rajin menerbitkan buku-buku tentang astrologi Tionghoa. Salah satunya buku tentang peruntungan 12 shio selama tahun tertentu.

Misalnya, selama Tahun Tikus Logam, shio mana saja yang hoki dan mana yang ciong. Penjelasannya sangat rinci. Buku fengshui itu biasanya sudah muncul di toko buku dua bulan sebelum Sincia.

"Anda baca saja buku saya lalu disimpulkan sendiri," begitu pernyataan khas Suhu Bingo yang beragama Kristen Protestan itu.

Nama Suhu Bingo sempat melejit gara-gara ramalannya tentang krisis ekonomi plus gejolak politik pada 1997 dan 1998 ternyata cocok. Ia kemudian jadi rujukan wartawan-wartawan yang ingin bertanya soal ramalan shio-shio jelang Imlek.

Narasumber lain yang berpulang tahun lalu adalah Lee Tjin Sam. Tionghoa campuran Bali yang tinggal di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Dekat kantor Kecamatan Taman. Di masa tuanya Om Lee duduk santai menjaga toko pracangan dan main musik harmonika.

Saya diajari beberapa lagu Mandarin yang dipopulerkan Teresa Teng. Baba Lee sering cerita pengalaman masa kecilnya yang sangat susah pada zaman Jepang. Mengungsi ke kawasan Prigen dan sebagainya. "Jepang itu brengsek," katanya.

Di usia produktifnya, Lee Tjin Sam bekerja sebagai fotografer kepolisian. Tugasnya memotret pelaku, korban, barang bukti untuk keperluan proses verbaal.

Zaman dulu belum banyak orang yang punya kamera. Apalagi ke mana-mana bawa kamera. Setiap hari. Beda dengan sekarang. Semua orang punya ponsel yang bisa dipakai memotret atau membuat video.

Maka, Lee Tjin Sam ini punya dokumentasi foto-foto Sidoarjo masa lalu yang paling lengkap. Khususnya di kawasan utara yang bertetangga dengan Surabaya. Termasuk sekolah Tionghoa, kelenteng yang sudah dibongkar, toko-toko di pecinan lawas.

Baba Lee sering saya jadikan narasumber kalau ingin membahas Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. "Dulu di Sepanjang ini ada perumahan khusus untuk tunawisma," tuturnya.

Sayang, proyek yang dibuat pada masa Gubernur Soenandar itu ambyar di tengah jalan. Rumah-rumah itu dijual dan para gelandangan kembali minta-minta di jalan raya. "Pancen angel ngurusin wong mbambung," kata baba yang pernah jadi komunitas motor Vespa Sidoarjo itu.

Dua minggu sebelum Sincia saya mampir ke rumah Lee Tjin Sam di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Suasananya tidak lazim. Rumah tua itu tertutup rapat. Di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang jualan es. Ada juga tukang jahit permak pakaian.

Ke mana Baba Lee?

"Maaf, beliau sudah enggak ada," kata pemilik depot di sebelah rumah baba Tionghoa itu.

Oh, Tuhan...

Saya hanya bisa terdiam. Mengenang percakapan hangat sambil ngeteh (Baba Lee tidak minum kopi) dan menikmati melodi lagu-lagu Mandarin. Salah satunya Tian Mimi.

Kamsia untuk Suhu Bingo dan Baba Lee!

Rabu, 29 Januari 2020

Wanita Indonesia kayaknya lebih cerdas

Mahasiswi Indonesia yang mendapat beasiswa kedokteran di Tiongkok akhir tahun 2019.



Virus corona lagi heboh di Tiongkok. Tiap saat media-media di Indonesia memberitakannya. Surabaya apalagi. Soalnya ada 10 mahasiswi Unesa yang kuliah di Wuhan.

Universitas Negeri Surabaya memang sudah lama kerja sama dengan Tiongkok. Confusius Institute di Surabaya pun gandeng Unesa. Anak-anak Unesa pun paling antusias belajar bahasa Mandarin yang disebut-sebut paling sulit di dunia itu.

Terlalu banyak bahas corona bikin bosan. Sebab corona bukan makanan enak. Corona hanya bikin orang sakit. Dan obatnya belum ada.

Saya sejak lama justru tertarik dengan jender para mahasiswa penerima beasiswa. Dari dulu paling banyak perempuan. Laki-laki sangat sedikit. Mahasiswa Unesa di Wuhan ini pun 100 persen wanita.

Sudah lama saya memantau pengiriman mahasiswa ke Tiongkok dan Taiwan. (Taiwan masih negara sendiri ya?) Sebagian besar wanita. "Kebetulan peminatnya banyak yang cewek," kata Andrean Su yang sejak dulu menangani pengiriman mahasiswa ke Tiongkok.

Putrinya Bu Mandagi di Sidoarjo dulu kuliah di Heilongjiang. Dia generasi awal mahasiswa yang pigi cari ilmu di Tiongkok. Wilayah paling utara dan dingin. Ada festival patung dari es setiap tahun.

Mengapa wanita sangat dominan?

Belum ada riset. Tapi sudah pasti mereka lebih cerdas dan tekun. Mana ada mahasiswa bego dapat beasiswa di luar negeri?

Lulusan terbaik S1 di hampir semua kampus di Jawa Timur pun mayoritas wanita. Kalau tidak percaya silakan riset sendiri. Cukup cari data lima tahun terakhir.

Melihat tren ini naga-naganya para perempuan Indonesia bakal dominan dalam 20 tahun ke depan. Potensi akademik, intelektual, dan integritasnya lebih baik. Wanita juga dianggap lebih jujur dan tidak suka korupsi.

Malam Sincia malah Ketiduran

Kue keranjang asli buatan Tante Tok Swie Giok di Sidoarjo. 


Biasanya saya saya hadir setiap Sincia. Malam tahun baru Imlek. Biasanya diundang Bu Juliani ketua Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya.

Kadang hadir di Sanggar Agung, kelenteng dan tempat hiburan di Pantai Ria Kenjeran. Sebab dulu Sanggar Agung yang paling meriah. Bos Soetiadji biasa mendatangkan artis dari luar negeri macam Malaysia, Taiwan, Tiongkok, atau Hongkong.

Tapi suasananya sudah beda. Bu Juliani sudah meninggal dunia. Sanggar Agung tidak lagi bikin perayaan besar dan panggung gembira. Cuma sembahyangan biasa, kata seorang pekerja.

Sebetulnya putri Bu Juliani sudah mengingatkan saya dua pekan sebelum Sincia. Jangan lupa datang pada malam tahun baru. Makan-makan seperti biasa. "Siap," jawabku singkat.

Sayang, Jumat malam itu saya kelelahan. Tidur sebelum jam 21. Niatnya sih bisa bangun jam 23 lalu meluncur ke Kelenteng Cokro.

Acara inti di sana selalu dimulai persis pukul 00.00. Sembahyang bersama disusul hiburan, makan-makan menu nusantara dan sedikit Tionghoa. Pengurus kelenteng biasa menyembunyikan makanan tak halal di ruangan khusus. Maklum, banyak tamu yang bukan Tionghoa dan bukan muslim.

Sayang... malam itu saya kebablasan. Hujan gerimis membuat hawa sejuk enak. Bangun sudah pukul 04.00. Tidak bisa lagi ikut imlekan di TITD Cokro.

Gong xi fa cai!

Agak siang saya pun meluncur ke Sidoarjo. Kawasan pecinan. Di rumah Tante Tok Swie Giok pembuat kue keranjang tradisional itu. Meskipun sudah berusia 80 tahun, Tante Tok selalu bikin nian gao.

Banyak banget kue keranjang yang dibuatnya. Sebab banyak order selama satu bulan lebih. Panen rezeki tahunan. "Saya sudah siapkan kue keranjang untuk sampean," kata Tante Tok.

Cukup ramai rumah tante keturunan Hokkian itu. Ada rombongan dari Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo. Maklum, putra-putri tante banyak yang Katolik. Tante Tok sendiri Buddhis yang dekat dengan perkelentengan.

Maka obrolan jadi asyik. Temanya bukan lagi imlekan atau budaya Tionghoa tapi tentang liturgi katolik, gosip-gosip, hingga ngerasani romo. Hehehe... "Romo X itu sudah bukan romo lagi. Sudah jadi orang awam," kata mas yang aktivitas gereja.

Tanpa terasa sudah satu jam anjangsana di rumah Tante Tok. Makan siangnya menu khusus Tionghoa campur Jawa. Ada mi panjang umur, teh khusus dari Tiongkok yang sepet.

Ngomong-ngomong apa resep Tante Tok masih segar dan bekerja keras di usia 80 tahun?

"Gak ada resep-resepan," katanya.

"Minum air putih yang banyak. Kurangi makanan berminyak. Jangan stres! Ingat sama Tuhan," Tante Tok menambahkan dia punya rahasia umur panjang.

Kamsia yang banyak!

Selamat tahun baru Imlek!

Minggu, 19 Januari 2020

Bahasa Ibu Yang Terancam Punah

Masih soal bahasa ibu. Minggu pagi ini ada artikel bagus di Jawa Pos. Judulnya "Menjaga Bahasa Ibu".

Fariz Alnizar dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyodorkan fakta mutakhir:

11 bahasa daerah telah punah.
22 terancam punah.
4 sakaratul maut.
16 stabil tapi terancam punah.

Sudah lama saya peduli bahasa ibu. Dari mana saja. Biasanya saya bertanya sederhana: apa bahasa daerah Anda untuk 'saya mau minum kopi'. Atau 'saya lelah setelah berjalan jauh'.

Sayang, 80 persen 'responden' tidak tahu. "Kami di rumah tidak pernah pakai bahasa daerah," kata seorang mahasiswi asal NTT di Surabaya.

Akhir pekan lalu, banyak orang NTT berkumpul untuk mengikuti promosi calon doktor asal Belu di Universitas Airlangga. Ada beberapa orang yang mengaku berasal dari Solor, Kabupaten Flores Timur.

Wow, menarik!

Di Surabaya ada orang Solor yang cukup terkenal di kalangan umat Katolik. Pater Gregorius Kaha SVD, Pastor Kepala Paroki Gembala Yang Baik di Jalan Jemur Andayani. Gereja GYB ini dikunjungi Gubernur Khofifah, Kapolda, dan Pangdam jelang misa Malam Natal 2019.

Saya biasa berbicara dalam bahasa Lamaholot dengan Pater Goris Kaha. Romo ini poliglot. Menguasai banyak bahasa khas imam-imam SVD. Maklum, "Dunia adalah paroki kami," begitu moto SVD yang saya baca di kalender saat masih anak-anak di Pulau Lembata.

Kembali ke ruang ujian doktor. Saya pun mencoba berbasa-basi dalam bahasa Lamaholot. Langsung dijawab, "Pakai bahasa Indonesia saja. Saya tidak bisa bahasa daerah."

Yo wis...

Maka aku pun mulai ngobrol pakai bahasa Indonesia ala Kupang saja! Orang keturunan Lamaholot yang tinggal di NTT malah tidak bisa berbahasa Lamaholot. Kalah jauh sama Ama Paul, guru SMA Petra Surabaya yang sejak remaja sudah merantau di Jawa.

Ama Paul ini bahkan setiap minggu menulis puisi khusus dalam bahasa Lamaholot. Bahkan sudah menerbitkan buku dalam bahasa daerah Lamaholot. "Tite ake lupang Lamaholot," kata pak guru yang tinggal di Sidoarjo itu.

Ada lagi Pater Wayan SVD di Wonokromo, Surabaya. Asli Bali tapi pernah tugas di Adonara. Meskipun sudah puluhan tahun bertugas di Surabaya, Pater Wayan tidak lupa bahasa Lamaholot. Beliau bahkan senang bercakap dalam bahasa Lamaholot ketika berjumpa dengan orang Lamaholot macam saya.

Bahasa ibunya bahasa Bali tentu selalu digunakan. Pater Wayan pun fasih bahasa Jawa ngoko sampai kromo. Maklum, bahasa Jawa dan Bali punya kedekatan. Beda dengan bahasa Lamaholot atau bahasa-bahasa di NTT yang berbeda struktur dsb.

Bahasa Lamaholot jelas bukan bahasa yang terancam punah. Sebab penuturnya tersebar di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan di luar NTT yang ada orang Lamaholotnya. Tapi kalau orang Lamaholot di luar bumi Lamaholot, khususnya NTT, malu berbahasa Lamaholot ya... wassalam!

Sabtu, 18 Januari 2020

Prof. Dr. Mangestuti Agil Telaten Kembangkan Ramuan Tradisional




Alam Indonesia sangat kaya dengan aneka tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan. Namun, belum banyak peneliti yang fokus meneliti tanaman obat dan aneka ramuan tradisional. Bahkan, guru besar yang menekuni ilmu yang satu ini pun masih sangat sedikit.

Nah, salah satu di antara sedikit guru besar itu adalah Prof Dr Mangestuti Agil, guru besar bidang Ilmu Botani Farmasi Farmakognosi, Fakultas Farmasi Universitas Arlangga. Perempuan kelahiran Jakarta, 22 April 1950, itu menyampaikan pidato bertajuk Pendekatan Etnomedisin Peran Wanita dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Berikut petikan wawancara LAMBERTUS HUREK dengan Prof MANGESTUTI AGIL di Laboratorium Fakultas Farmasi Unair, Surabaya.

Mengapa Anda secara khusus menyoroti peranan wanita dalam pembangunan kesehatan?

Begini. Kaum wanita atau para ibu itu berperan sangat penting dalam menyiapkan generasi mendatang. Karena itu, para wanita ini harus benar-benar sehat. Dan, kalau kita teliti di berbagai daerah, sebagian besar ramuan tradisional entah itu dari Madura, Solo, Jogja dibuat untuk wanita. Hampir 70 persen ramuan tradisional itu dikonsumsi wanita.

Maksudnya?

Sejak zaman dulu nenek moyang kita sudah paham akan pentingnya kesehatan wanita. Begitu seorang wanita akil balig, dia sudah dibiasakan untuk mengonsumsi ramuan tradisional untuk menjaga kesehatannya.
Saya ingatkan, ramuan tradisional itu fungsinya lebih ke pencegahan penyakit, bukan pengobatan!

Nah, dengan rajin mengonsumsi ramuan tradisional, maka siklus masa suburnya baik, kandungannya sehat, semua organ tubuh sehat, sehingga setelah menikah nanti anak yang dilahirkan pun sehat.

Saat hamil pun wanita mengonsumsi ramuan tradisional tertentu untuk menjaga kesehatan. Saya melakukan penelitian di Madura, khususnya Sumenep, untuk mengetahui ramuan tradisional warisan keraton di sana. Wah, luar biasa! Ternyata sejak dulu masyarakat Madura sudah punya ramuan tradisional yang sangat lengkap. Makanya, wanita-wanita dari Madura ini biasanya sangat sehat dan bisa bekerja keras karena sudah terbiasa mengonsumsi ramuan atau obat tradisional.

Apakah ramuan kuno itu masih relevan dengan masa sekarang?

Jangan salah! Itu bukan kuno! Ramuan-ramuan tradisional di tanah air itu sudah terbukti efektivitasnya dari generasi ke generasi untuk menjaga kesehatan masyarakat. Saya melihat di daerah tertentu banyak orang punya kebiasaan minum air daun sirih. Wah, itu khasiatnya luar biasa. Selain meningkatkan kekebalan tubuh, air sirih sangat efektif menghilangkan bau badan. Contoh lain daun katuk (Saurus androgynus).

Itu biasa dipakai ibu-ibu untuk meningkatkan produksi air susu. Bagi saya, pemberian ASI ini punya kaitan erat dengan karakter anak ketika tumbuh menjadi seorang remaja hingga dewasa nanti.

Mengapa terjadi tawuran pelajar atau mahasiswa? Hampir pasti karena waktu kecil dia kurang kasih sayang. Mungkin tidak mendapat ASI dari ibunya. Atau, ibunya tidak menyusui bayinya dengan penuh kasih sayang. Saya sempat menyinggung hal itu dalam pengukuhan guru besar kemarin.

Ngomong-ngomong, sejak kapan Anda rajin meneliti ramuan dan tanaman obat tradisional?

Sudah lama sekali. Sejak tahun 1980, ketika mulai menjadi dosen, saya sudah menggeluti bidang ini. Ternyata, justru bidang ini pula yang akhirnya mengantar saya sebagai guru besar.

Lantas, mengapa ramuan atau pengobatan tradisional kita sepertinya 'kalah' gaung dibandingkan TCM (Traditional Chinese Medicine)?

Nah, China itu punya konsep ilmu pengobatan yang berbeda dengan Barat. Hebatnya, mereka berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa diterima dan diakui secara ilmiah. Beberapa waktu lalu saya ikut seminar di Jepang. Saya melihat pihak China selalu berusaha meyakinkan pihak lain, khususnya Barat, bahwa konsep pengobatannya efektif.

Pihak Jepang juga sama. China bahkan seperti 'menantang' pihak Barat, silakan teliti di laboratorium bahwa ramuan tradisional kami ternyata bisa menyembuhkan penyakit liver, misalnya.

Apa hasilnya?

Sekarang ini TCM-TCM sudah diterima di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Kedua macam metode pengobatan itu tidak menafikan satu sama lain, tapi bekerja sama. Keduanya saling melengkapi. Misalnya, seorang dokter dengan metode pengobatan Barat (modern) tidak segan-segan mminta bantuan peramu obat tradisional untuk menangani pasien tertentu.

Bagaimana dengan kita di Indonesia?

Sekarang sudah mulai berkembang ke sana meskipun belum seluas di China. Saya pernah diminta pihak RSUD dr Soetomo untuk mengembangkan poli obat tradisional. Kita buka unit aromaterapi. Jadi, saya optimistis dengan masa depan pengobatan tradisional di tanah air.

Apalagi, kita sudah punya ramuan-ramuan tradisional warisan keraton yang sudah terbukti khasiatnya. Kita juga harus ingat bahwa ada saja penyakit yang tidak bisa diatasi dengan metode pengobatan modern.

Tapi ditengarai banyak pula obat tradisional atau jamu yang mengandung bahan kimia obat beredar di pasaran?

Karena itu, masyarakat sebaiknya mewaspadai produk-produk yang pabriknya kurang bonafide. BPOM biasanya selalu merilis daftar obat-obat tradisional ilegal yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Akan lebih bagus kalau masyarakat mengonsumsi ramuan yang dibuat sendiri seperti yang dilakukan masyarakat di Madura, Jogja, atau Solo. (*)




Isi Waktu Senggang dengan Menyulam


MESKIPUN sudah empat dasawarsa berkecimpun di dunia akademik, Prof Mangestuti Agil ternyata tetaplah seorang perempuan rumahan. Tugas sebagai ibu rumah tangga benar-benar dilakoninya hingga berhasil mengentas kedua anaknya.

"Anak-anak saya sudah dewasa dan mandiri. Tapi nggak ada yang mengikuti jejak saya (sebagai dosen atau peneliti). Yang satu lulusan Fakultas Hukum, satunya lagi Hubungan Internasional," tutur Mangetuti lantas tertawa kecil.

Nah, ketika berada di rumah, setelah sibuk bergelut dengan mikroskop dan berbagai peralatan di laboratorium, Mangestuti menekuni hobi sederhana, layaknya wanita rumahan tempo doeloe. Apa itu?

"Saya dari dulu senang merajut, bikin taplak meja, dan sebagainya. Saya sangat menikmati hobi itu selama bertahun-tahun," katanya.

Banyak orang, khususnya teman-teman dekatnya sesama dosen, sering tak percaya seorang Prof Dr Mangestuti lebih asyik merajut atau menyulam ketimbang melakukan hobi yang lebih 'modern' seperti main golf, tenis, atau piano. "Anda ini doktor kok sukanya nyulam?" kata Mangestuti mengutip pernyataan temannya suatu ketika.

Istri H Agil H Ali (almarhum), wartawan senior dan mantan pemimpin redaksi Memorandum, ini pun cuek saja mendengar gurauan teman-temannya. Dia tetap saja menyulam berbagai keperluan rumah tangganya. Menurut dia, hobi menyulam ini rupanya menurun dari sang ibunda tercinta.

Mangestuti coba-coba membuat sulaman, dan akhirnya jadi hobi sampai sekarang. Hanya saja, dosen senior Fakultas Farmasi Universitas Airlangga ini mengaku tidak suka membuat pola sendiri. Biasanya, dia menyulam mengikuti gambar pola yang sudah ada.

"Kalau mau sih sebetulnya saya bisa membuat rancangan sendiri. Tapi saya lebih suka mengikuti pola yang dibuat orang lain," ujarnya.

Meski terkesan sederhana, menurut dia, hobi menyulam ini membuat Mangestuti menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya di rumah. Dia pun menjadi lebih peduli dengan berbagai aksesoris di rumah. Baginya, rumah ibarat istana pribadi yang selalu terus diperindah dengan aneka sulaman hasil karyanya sendiri.

Hanya saja, seiring karier akademiknya yang terus melejit, ditambah kesibukan mengikuti seminar baik di dalam maupun luar negeri, hobi menyulam ini tak lagi seintensif dulu. "Tapi saya tetap senang menyulam kalau ada waktu luang," katanya. (rek)


Tentang Mangestuti

Nama : Prof Dr Mangestuti Agil Apt MS
Lahir : Jakarta, 22 April 1950
Suami : H Agil H Ali (almarhum)
Anak : 2 orang
Hobi : Pekerjaan rumah tangga, khususnya menyulam
Jabatan Fungsional: Guru Besar Fakultas
Farmasi, Universitas Airlangga
Departemen : Farmakognosi dan Fitokimia
Alamat : Jl Dharmawangsa Dalam, Surabaya
Pendidikan : S1-S3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Mengapa Aku Suka Courier New



Aku termasuk generasi awal yang menggunakan komputer. Mulai komputer yang pakai tiga disket, MS awal, hingga laptop dan sekarang ponsel. HP sekarang sejatinya sama dengan komputer.

Sebelum kenal komputer aku sudah biasa mengetik pakai mesin ketik manual. Pasang kertas, pita, siapkan tipex untuk menghapus kata-kata yang salah ketik. Lama-lama aku bisa menulis artikel, berita, atau apa saja tanpa salah.

Mengetik langsung jadi. Tanpa koreksi. Orang-orang lama memang dipaksa untuk mengetik kata-kata dan kalimat tanpa salah. Beda dengan mengetik di komputer meja, laptop, atau HP yang bisa dikoreksi dengan sangat mudah.

Nah, gara-gara terbiasa dengan mesin ketik dan komputer lawas, saya pun jadi terbiasa dengan font atau jenis huruf ala mesin ketik. Typewriter fonts.

Sejak dulu aku selalu gunakan Courier atau Courier New. Font ini sangat mirip dengan mesin ketik manual. Beda banget dengan Times New Roman, Arial, Verdana dsb.

Ada kutipan di internet:

"Font Courier dibuat untuk mengimitasi bentuk tulisan mesin ketik. Courier kurang cocok digunakan untuk CV karena bisa membuat CV terlihat jadul dan kurang nyaman dibaca, apalagi untuk menulis satu halaman penuh."

Saya tidak setuju pendapat itu. Bagi saya, Courier dan Courier New justru sangat nyaman dibaca. Tanda-tanda baca macam titik, koma, tanda seru dsb paling jelas terlihat.

Sebagai editor atau redaktur, saya sangat mudah menemukan kata-kata yang salah ketik kalau tulisan diketik pakai Courier atau Courier New. Kalau ditulis pakai Times Roman atau Verdana atau Arial dsb sering kelewatan. Hasil editing jadi buruk.

Lain editor lain selera. Temanku sangat fanatik Tahoma. Ukurannya besar dan sangat hitam di layar komputer. Beda dengan Courier yang agak cerah.

Sebagian besar editor di Surabaya tidak peduli font. Apa pun font-nya tetap dimakan. Mereka bisa mengedit naskah apa pun font-nya.

Saya perhatikan para mahasiswa, wartawan, karyawan dsb sejak tahun 2005 tidak punya font favorit. Mereka mau memakai font standar (template) dari laptop atau komputer. Paling banyak pakai Calibri.

Karena itu, mau tidak mau, saya mengubah lebih dulu font mereka menjadi Courier New point 12. Itulah font kesayanganku sejak mengenal komputer.

Rupanya, dari 100-an karyawan, hanya 2 orang yang pakai Courier New. Saya dan satu orang dari Sidoarjo.