Jumat, 27 Desember 2019

Aning Katamsi dan Dewa Budjana Bawakan O Holy Night



Ada kiriman link menarik dari orang NTT di Jatim. Lagu O Holy Night dibawakan dengan sangat bagus oleh Aning Katamsi dengan iringan gitaris Dewa Budjana.

Aku pun masuk ke YouTube. Wow... bagus banget. Harmoni yang indah saat Natal begini. Ketika polemik soal selamat natal dan tahun baru masih berseliweran di media sosial.

Aning Katamsi siapa tak kenal? Dia juara bintang radio seriosa pada era 1990-an. Mamanya juga juara seriosa tempo doeloe: Pranawengrum Katamsi.

Orang-orang lawas sangat hafal lagu seriosa yang dulu sangat populer macam Kisah Mawar di Malam Hari. Aning pun kerap membawakannya.

Aning lebih terkenal karena sering kolaborasi dengan penyanyi pop papan atas macam Chrisye. Vokal soprano di album pop biasanya diisi Aning.

Dewa Budjana? Gitaris asal Bali ini juga hebat banget. Selain gitaris Gigi, dia juga bikin album solo nan unik. Sangat jarang musisi Indonesia bikin album instrumentalia. Dewa punya kelas.

Kolaborasi Aning dan Budjana membawakan lagu Natal terkenal itu sangat berkesan di hati saya. Kualitasnya sih oke meskipun mungkin bukan yang terbaik. Ada ribuan atau jutaan artis atau orang biasa yang membawakannya di YouTube.

Tapi di tengah suasana yang selalu hangat di NKRI jelang Natal (tradisi tahunan), duet Aning dan Budjana ibarat oase di padang tandus. Aning yang muslim, pakai hijab, melantunkan O Holy Night dengan teknik dan penjiwaan luar biasa. Budjana yang Hindu memainkan gitar dengan petikan yang khas.

Duet artis Hindu dan Islam itu membawakan O Holy Night. Membagikan pesan damai untuk sesama anak bangsa Indonesia. Bahwa Natal adalah hari kelahiran Kristus sang pembawa damai. Bahwa kedamaian itu perlu disebarluaskan di bumi ini.

Aning Katamsi dan Dewa Budjana... terima kasih!
Damai di bumi!
Damai di hati!

Misa Natal di Semarang - Nostalgia Madah Bakti

Suasana Natal tahun ini sangat berbeda. Saya tidak mudik ke NTT karena kuota cuti sudah habis. Jatahnya sudah saya pakai saat ayahku meninggal dunia pada 22 Juli 2019 lalu.

Gak enak kalau ambil cuti lagi untuk natalan. Dan tidak mungkin dikasih libur minimal 5 hari. Paling cuma 2 hari. Dus, tidak mungkin bisa pulang ke Lembata untuk misa plus perayaan Natal ala orang Lamaholot.

Maka, saya memutuskan ikut tur bersama seluruh karyawan ke Semarang. Studi banding ke Radar Semarang, koran daerah yang paling sukses di Jawa, sekaligus menikmati kota lama yang penuh bangunan kolonial yang cantik.

Sebelum tur, saya dan Novilawati yang ditugaskan untuk melakukan survei ke Semarang untuk tur 25-26 Desember 2019. Makanya aneh kalau saya tidak ikut piknik ke Semarang.

Nah, saat survei ke kota lama Semarang itu, saya juga survei gereja. Ada Gereja Blenduk yang terkenal di kota lama. Tapi gereja itu Protestan. GPIB Immanuel. Aku tidak mungkin misa di situ.

Bergeser ke pojokan, keluar sedikit dari areal wisata kota lama... wow, ada gereja katolik. Gereja Santo Yusuf, Gedangan, Semarang. Gereja Katolik tertua di Pulau Jawa.

Gereja Gedangan ini sangat terkenal karena dulu Monsinyur Soegijapranata melayani di sini. Beliau uskup pribumi pertama yang juga pahlawan nasional. Gereja Gedangan juga jadi lokasi syuting film Soegija.

Saya juga survei ke Katedral Semarang. Lokasinya dekat Lawang Sewu. Sama-sama gereja tua yang bersejarah.

Maka, jauh hari saya sudah rencana misa malam Natal di Gedangan atau Katedral. Mana yang dekat hotel dan jamnya cocok.

Ternyata Gereja St Yusuf Gedangan yang paling dekat. Tidak sampai 7 menit (kalau tidak macet). Misa keduanya pukul 20.30. Di Katedral Semarang pukul 21.00. Maka pilihanku jelas di Gedangan.

Selasa malam, 24 Desember 2019.

Ketika 69 peserta tur Kota Lama Semarang mulai mlaku-mlaku nang kota lama, saya berbelok ke arah Gedangan. Ada tukang ojek yang mendekat.

"Gerejanya dekat. Sampean kasih berapa aja terserah," kata ojek merangkap jukir di kota lama itu.

Satu jam sebelum misa gereja sudah terisi 80%. Saya pun masuk dan dapat tempat duduk agak depan. Lokasi ideal untuk menikmati suasana gereja tua anno 1870 itu. Juga dekat paduan suara yang pakai baju lurik dan blankon khas Jawa.

Arsitektur gereja ini memang indah. Ruangannya membulat dengan lukisan klasik di atasnya. Beda dengan gereja-gereja tua di Surabaya yang cenderung mengotak. Pilar-pilarnya juga besar.

Setelah menunggu hampir satu jam, ekaristi malam Natal pun dimulai. Kor baju lurik diiringi musik campuran keroncong dan klasik ala gereja. Lengkap dengan bas betotnya. Kualitas musik dan kor di sini di atas rata-rata nasional. Baik aransemen, harmoni paduan suara, tempo dsb.

Misa di Semarang ini juga mengingatkan saya pada Madah Bakti. Buku nyanyian liturgi ini sampai sekarang dipakai di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Di Jawa Timur sudah tidak dipakai sejak 1994 (kalau tidak salah) karena diganti Puji Syukur.

Lagu-lagu Madah Bakti memang dirancang sebagai musik inkulturasi nusantara. Karena itu, ensambel keroncong ala Gedangan Semarang ini sangat cocok. Apalagi dirigen dan pemusiknya memang seniman beneran. Bukan umat yang penguasaan musiknya pas-pasan.

Semua lagunya memang dari Madah Bakti. Mulai ordinarium Misa Pustardos yang dari Flores, Alam Raya Karya Bapa, Malam Kudus, Gegap Gempita di Alam...

Saya benar-benar menikmati misa malam Natal meskipun jauh dari keluarga di NTT. Juga tidak kenal romonya. Seorang pastor Yesuit yang homilinya sangat bermutu. Omongan Romo Maryono SJ halus tapi mendalam.

Selepas misa--ini yang beda dengan Surabaya atau Sidoarjo--jemaat tidak langsung pulang. Ada semacam pesta rakyat di halaman gereja dan sekolah. Sudah disiapkan soto, rawon, gudeg dan minuman kopi, teh, es dsb.

Suasananya benar-benar meriah layaknya pesta rakyat. Umat berbaur menikmati nasi soto, rawon, gudeg yang lezat. Di panggung ada pertunjukan musik keroncong dan kesenian anak-anak muda.

Meskipun sudah ganti hari, lewat pukul 00.00, umat Katolik di Semarang tidak buru-buru pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya mereka menghayati kegembiraan gembala-gembala Bethlehem yang menemani Sang Bayi Kudus bersama Yosef dan Maria di kandang sederhana itu.

"Tiap tahun ya acaranya seperti ini. Biar umatnya guyub dan rukun," ujar seorang bapak yang memakai baju lurik.

Malam kian larut berganti pagi. Saya pun makin ngantuk. Jalan kaki lima menit ke pangkalan ojek di kota lama. Lalu menumpang ojek motor ke Pesonna Hotel Semarang. Teman-teman sudah pada ngorok.

Hidup sebagai Sahabat! Selamat Natal!

Selalu tidak enak menjelang Natal di Indonesia. Polemik lawas soal halal haram mengucapkan selamat Natal selalu muncul.

Selalu ada jumpa pers seminggu atau dua tiga hari jelang Natal. Isinya mengingatkan kembali fatwa MUI tentang larangan itu. Belakangan ada ribut-ribut soal tulisan di kue atau roti.

Di televisi pun polemik soal Natal ini jadi bahan diskusi. Aku malas. Ganti channel. Ada berita tentang larangan mengadakan kebaktian atau misa Natal di wilayah Sumatera Barat.

Ya.. sudahlah. Biarkan saja mereka bicara berbusa-busa di televisi atau media sosial. Siapa saja bebas berpendapat sesuai alam pikiran dan ideologinya.

Aku lebih suka nonton diskusi atau debat di televisi-televisi internasional. Topik bahasan mereka sudah jauh ke depan. Amerika bahas impeachment. Ada lagi televisi yang bahas Brexit. Tiongkok bahas investasi dsb dsb.

Tidak ada yang bahas halal haramnya selamat Natal. Oh, ada juga di Malaysia. Tapi tidak seramai di NKRI.

Bagaimana ini Romo Benny? Polemik selamat Natal makin ramai? Ada kabar larangan kebaktian dan perayaan Natal di daerah tertentu?

"Biarkan saja. Orang Katolik itu sejak dulu tidak pernah minta dikasih ucapan selamat Natal. Gak penting. Gak perlu dibahas lagi," kata pastor yang sekarang jadi staf khusus BPIP.

Romo asal Malang ini tiap hari bicara Pancasila Pancasila Pancasila... Bhinneka Tunggal Ika dan sejenisnya. Romo Benny juga paling sering diwawancarai koran, televisi, media daring, radio tentang isu di Dharmasraya soal pelarangan itu.

"Masih banyak isu besar yang perlu dibahas untuk masa depan bangsa ini. Tidak perlu dibesar-besarkan soal selamat Natal dan sejenisnya," katanya.

Kalau begitu, Romo bikin renungan Natal untuk surat kabar. Tidak usah panjang-panjang. Temanya Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang. Sesuai dengan pesan Natal bersama KWI dan PGI.

"Kamu nanya aja biar saya jawab. Jawabanku nanti kamu olah sendiri jadi artikel yang bagus," kata pastor projo Keuskupan Malang yang sudah lama "dikaryakan" di Jakarta itu.

Siaaaap!

Aku pun menulis 5 pertanyaan lewat WA. Tidak sampai 20 menit sudah dijawab semua.

Romo Benny antara lain menulis:

"Hidup sebagai sahabat berarti menjalankan perintah Tuhan mengasihi sesama. Siapakah sesama itu? Setiap manusia yang ada di bumi. Kita tidak membedakan suku, etnis, agama.

"Paus Fransiskus menekankan pentingnya membangun dialog antar umat Kristiani dan Muslim. Untuk mewujudkan aktualisasi agama menjadi rahmat perdamaian."

Kepingan-kepingan pendapat Romo Benny itu kemudian aku rangkai menjadi artikel untuk Renungan Natal 2019. Lalu dimuat di halaman 1. Lengkap dengan foto Romo Benny yang sejak frater suka potongan rambul gundul-gundul pacul.

"Ais ju Tuhan pung ana bua dong pulang kambali pi sorga. Ju itu gambala dong baźžŒomong bilang,

"We! Mari kotong pi Betlehem ko pi lia itu Ana dolo! Te Tuhan su kirim itu kabar kasi kotong.

"We! Mari kotong pi Betlehem ko pi lia itu Ana dolo! Te Tuhan su kirim itu kabar kasi kotong."

(Injil Bahasa Melayu Kupang, NTT)

Selamat Natal!

Minggu, 15 Desember 2019

Menteri Penerangan vs Menteri Penggelapan

Musim hujan tugas para menteri penerangan jauh lebih berat. Mereka harus kerja keras untuk menghalau awan agar tidak turun hujan di suatu tempat. Lokasi si menteri penerangan itu dibayar.

Saya baru tahu pawang hujan atau tukang sarang disebut menteri penerangan di Banyuwangi. Menteri-menteri penerangan di Kota Blambangan itu dikenal paling sakti di Jawa Timur. Olah spiritual kanuragannya tinggi. Jarang mengecewakan konsumen yang punya hajatan.

"Di Banyuwangi ada banyak menteri penerangan," kata Samsudin Adlawi, Direktur Radar Banyuwangi.

Di semua 25 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi pasti ada menteri penerangan. Bahkan, ada kecamatan yang punya lebih dari satu pawang hujan.

Suka tidak suka, percaya tidak percaya, menteri penerangan sangat dibutuhkan untuk menghalau awan gelap. Agar hajatan pernikahan atau launching produk di alun-alun berjalan sukses.

Menteri penerangan yang bukan Harmoko itu selalu hadir di acara-acara besar di Sidoarjo, Surabaya, Banyuwangi dsb. Dia membaur dengan warga lain sehingga tidak terdeteksi. Panitia pun tidak semuanya tahu.

"Bagaimana kondisi hari ini? Aman kondusif?" tanya saya.

"Insya Allah, aman," jawab seorang menteri penerangan di alun-alun beberapa tahun lalu.

Saat itu ribuan orang berkumpul menikmati pertunjukan wayang kulit. Dalangnya paling joss se-Indonesia. Mendung tebal. Maklum, musim hujan. Tapi pak menteri penerangan itu komat-kamit bercakap dengan alam.

Benar saja. Pergelaran wayang kulit lancar sampai dini hari. Tidak ada hujan. Awan sudah dihalau ke tempat lain.

Ngomong-ngomong berapa tarif menteri penerangan?

Tidak ada patokan resmi. Tergantung besar kecilnya acara dan potensi hujan. Kalau diorder saat puncak musim hujan tentu beda dengan awal musim hujan. Apalagi kemarau.

Kalau menteri penerangan gentayanga di mana-mana, menteri penggelapan praktis tidak ada. Dukun mana yang bisa mengundang awan gelap agar turun hujan untuk menyirami sawah ladang petani?

Wilayah NTT, khususnya Lembata, Solor, Adonara, Alor, Pantar, Palue.. tidak membutuhkan menteri penerangan. Yang diperlukan adalah menteri-menteri penggelapan.

Jumat, 13 Desember 2019

Musim Hujan Ditunda Januari 2020

Beberapa menit lalu saya lewat di kawasan Juanda. Tak jauh dari BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Badan ini yang tiap hari merilis ramalan cuaca.

Mampir di warkop Pulungan, Sedati, kompleks AL, seperti biasa baca koran. Warkop-warkop di Sidoarjo dan Surabaya memang langganan koran. Sebetulnya bukan abonemen bulanan tapi membeli eceran setiap pagi.

Aha... ada berita dari BMKG di halaman belakang. Intinya, musim hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah ditunda bulan depan. Januari 2020 baru musim hujan.

Meskipun sudah turun hujan beberapa kali, intensitas dan keseringannya belum masuk kriteria musim hujan. Begitu penjelasan Herizal dari BMKG yang jadi narasumber Jawa Pos.

Waduh... musim hujan tertunda lagi. BMKG meleset lagi.

Bulan Oktober lalu, saya masih ingat, BMKG di Juanda, Sidoarjo, menyatakan musim hujan jatuh pada bulan November 2019. Minggu kedua atau ketiga. Beritanya dimuat besar-besar di koran. Lengkap dengan ilustrasi yang bagus.

Tapi, namanya juga ramalan, tidak selalu akurat. Mirip peramal-peramal nomor togel atau porkas yang biasanya mbeleset. BMKG kemudian merevisi prediksi musim hujan.

Apa boleh buat. Alam punya hukum sendiri. Ada saja misterinya meskipun manusia-manusia modern sudah bisa pigi jalan-jalan ke bulan.

Suhu pagi ini panas banget. Mungkin di atas 36. Nggowes sepeda lawas di kawasan tambak jadi gak asyik.

Yang pasti, musim hujan yang tertunda ini jadi berkah bagi para pedagang es tebu, es degan, es jus buah segar, dan sebagainya. Para petani yang mengandalkan air hujan pasti sangat menderita. Bisa paceklik.

Kamis, 12 Desember 2019

NTT Mestinya Nomor 1 Paling Toleran

Dulu saya sering menulis tentang toleransi dan kerja sama antarumat Katolik dan Islam di Flores Timur dan Lembata. Atau Flores dan NTT umumnya. Luar biasa! Orang Jawa atau Jakarta atau Sumatera pasti geleng-geleng kepala.

Kok bisa seerat itu?

Tidak pernah ada masalah atau benturan antara orang Katolik dan Islam di Lembata dan Flores Timur (Flotim). Di kampung halaman saya ini sekadar toleransi atau membiarkan atau menghormati (pasif) tidak cukup. Di sana masyarakat hidup guyub rukun tanpa melihat latar belakang agamamu.

Oh ya, daerah saya itu cuma ada 2 agama: Katolik dan Islam. Agama asli yang tidak punya nama (biasa saya sebut Lera Wulan) sudah tak punya penganut karena anak-anak dan cucu mereka masuk Katolik atau Islam. Ada satu dua yang konversi ke Protestan atau Pentakosta setelah menikah di luar NTT.

Tentu saja cerita saya tentang kerukunan hidup beragama di NTT sangat subjektif. Hanya berdasar pengalaman masih kecil saya di Lembata dan masa remaja saya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bukan hasil kajian ilmiah yang objektif.

Nah, akhirnya pagi ini Kementerian Agama RI merilis data tentang indeks kerukunan agama di 34 provinsi di Indonesia. Datanya sangat objektif dan terukur. Bukan cuma klaim subjektif seperti yang saya lakukan dulu di blog yang sudah almarhum itu.

Tapi saya tetap kaget karena Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya peringkat 2. Mestinya nomor 1 menurut saya. Peringkat 1 Papua Barat dengan nilai 82,1. NTT peringkat kedua dengan nilai 81,2.

Berikut data dari Kemenag, Desember 2018 :

1. Papua Barat 82,1
2. NTT 81,2
3. Bali 80,1
4. Sulawesi Utara 79,9
5. Maluku 79,9
6. Papua 79,0
7. Kalimantan Utara 78,0

17. Jawa Timur 73,7


27. DKI Jakarta 71,3
28. Jambi 70,7
29. NTB  70,4
30. Riau  69,3
31. Banten  68,9
32. Jawa Barat 68,5
33. Sumatera Barat 64,4
34. Aceh 60,2

Syukurlah... apa yang saya klaimkan selama 10 tahun terakhir beroleh konfirmasi langsung dari Kemenag RI. Bisa jadi ada sedikit masalah di NTT bagian selatan (Kupang dan sekitarnya) sehingga skor yang diperoleh NTT kalah oleh Papua Barat.

Seandainya sampel yang diambil hanya dari NTT Utara alias Flores, Lembata, Solor, Adonara, dan Alor, saya yakin NTT bisa dapat skor di atas 90.

Begitu banyak contoh kerja sama dan gotong royong antara umat Katolik dan Islam dalam berbagai hal. Masjid di Desa Napasabok Mawa misalnya dibangun ramai-ramai seluruh masyarakat desa. Baik yang Katolik maupun Islam. Penggagas pembangunan masjid justru Bapa Carolus Nimanuho, kepala desa saat itu.

Saya dan kawan-kawan yang masih SD pun ikut mengambil material batu dan pasir untuk pembangunan Masjid Nurul Jannah itu. Saat jadi tuan rumah Idul Fitri, semua warga pun ikut sibuk. Mempersiapkan pesta, sembelih kambing, untuk menjamu umat Islam satu kecamatan.

Di Lembata ada kebiasaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Paskah digilir antardesa. Semua warga, tak peduli agamanya, dengan gembira menerima umat Islam yang berlebaran. Besok siang makan enak bersama setelah umat Islam salat Id di lapangan desa.

Begitu pula perayaan Natal sebentar lagi. Saat ini skalanya tidak lagi satu kecamatan tapi sepertiga kecamatan. Umat Katolik dari 7 desa merayakan ekaristi atau misa kudus di salah satu gereja stasi (desa). Giliran setiap tahun.

Stasi atau desa yang jadi tuan rumah tentu saja "berkewajiban" untuk menjamu tamu-tamu dari 6 desa itu. Tentu saja perlu sembelih babi, kambing, kadang sapi untuk makan bersama. Jadi, Natal tidak melulu urusan liturgi atau ekaristi seperti di Jawa.

Nah, umat muslim di desa yang ketiban sampur jadi tuan rumah natalan ya ikut sibuk. Bahkan saya lihat mereka paling sibuk karena tidak ikut misa, bukan? Sibuk masak, menyiapkan tenda, meja kursi.. untuk tamu-tamu dari desa tetangga.

Selepas misa Natal pagi (bukan Malam Natal) langsung bersalaman di tenda yang sudah disediakan tuan rumah. Ngobrol, cerita ringan... dan makan besar alias pesta ala rakyat desa. Tidak ada heboh Santa Claus atau Sinterklaas di desa-desa di NTT.

Ini cuma contoh kecil betapa toleransi antarumat sudah menyatu dalam napas dan darah manusia-manusia sederhana di Bumi Lamaholot, Keuskupan Larantuka. Orang Lamaholot tidak perlu penataran P4 atau Pendidikan Moral Pancasila untuk melaksanakan toleransi antarumat beragama.

Makanya, orang Lamaholot yang merantau di Jawa atau Sumatera atau Kalimantan sering heran ada unjuk rasa menuntut gereja ditutup. Heran mendengar gereja disegel. Kaget melihat berita di TV acara sembahyang rosario di rumah warga dibubarkan dsb dsb.

Kembali ke data Kemenag RI. Saya perhatikan ternyata provinsi-provinsi yang tingkat toleransinya sangat tinggi berada di kawasan timur dan tengah. Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, Papua.

Dan... kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Ini cuma sekadar pembacaan data statistik kemenag.

Sebaliknya, Aceh yang sudah lama memberlakukan hukum syariat berada di nomor 34 alias juru kunci. DKI Jakarta yang orangnya pintar-pintar, modern, kosmopolitan, paling maju, paling wah... paling segalanya justru berada di nomor 27.

Saya masih optimistis NTT bakal jadi nomor 1 untuk urusan toleransi beragama kalau sampel yang diambil lebih banyak lagi.

Rabu, 11 Desember 2019

Saatnya Belum Tiba untuk Indonesia

Timnas Indonesia kalah lagi. Again again again again! Belum bisa dapat medali emas sepak bola SEA Games.

Indonesia U23 kalah 0-3 oleh Vietnam. Kalah segalanya. Fisik, taktik, mental, strategi. Apalagi setelah Evan Dimas, arek Suroboyo yang jadi motor serangan dibuat cedera berat. Harus keluar lapangan pada menit ke-20.

Suasana di warkop-warkop pun murung. Impian untuk meriah emas tingkat Asia Tenggara pun sirna. Sudah 28 tahun Indonesia tanpa medali emas sepak bola. Terakhir pada 1991 di Manila, di stadion yang sama.

Lumayanlah... dapat medali perak. Ketimbang timnas senior yang kalah kalah kalah 100%. Timnas U23 asuhan Indra Sjafri sebetulnya bagus di babak penyisihan dan semifinal. Tapi antiklimaks di final.

Pelatih Vietnam, Park Hangseo, saya lihat keras dan meledak-ledak. Memompakan semangat kepada para pemainnya untuk berperang. Semangat inilah yang menular ke anak-anak Vietnam. Mereka bisa bermain dengan nyaman dan enak.

Lantas, kapan Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games atau Piala AFF? (Jangan mimpi juara Asia atau tembus Olimpiade atau Piala Dunia!)

Entahlah. "Semua itu atas izin Allah," kata Pelatih Indra yang sangat religius itu.

Saya jadi ingat kata-kata di kitab suci: "Ibu, panjenengan ngarsakaken punapa dhateng Kula? Dereng dumugi wekdal Kula."

Dereng dumugi wekdal.
Saatnya belum tiba.

Akan tiba saatnya timnas Indonesia jadi juara SEA Games atau Piala AFF!

Entah kapan.