Selasa, 10 Desember 2019

Konser Ke-93 Surabaya Symphony Orchestra

Sudah lama saya tidak mengikuti kegiatan konser Surabaya Symphony Orchestra (SSO) pimpinan Dr HC Solomon Tong. Orkestra ini biasa bikin konser besar 3 kali setahun di Surabaya. Konser Natal, Konser Paskah, dan Konser Kemerdekaan.

Rutinitas itu dilakukan Pak Tong sejak Desember 1996. Itulah konser perdana sekaligus hari lahir SSO. "Kota sebesar Surabaya harus punya symphony orchestra yang bagus," kata Solomon Tong kepada saya.

Biasanya pekan pertama bulan Desember SSO bikin konser Natal. Bagaimana dengan tahun 2019?

Apakah SSO masih punya energi?
Apakah Pak Tong masih semangat dan... sehat?

Asal tahu saja, Solomon Tong belum lama ini merayakan ulang tahun ke-80. Meskipun rajin olahraga, banyak berdoa, rajin bermusik, minum jamu-jamu Tiongkok, kondisi beliau tentu tidaklah sebugar saat berusia 70 atau 60 tahun.

Maka, saya pun iseng mengirim salam dan pertanyaan singkat via WA. Apa kabar Pak Tong? Selamat ulang tahun ke-80. Kapan SSO bikin Christmas Concert?

Tak sampai 5 menit, Bapak Solomon Tong menjawab.

"Terima kasih... saya baru ulang tahun ke 80, dan tgl 10 Desember ada konser SSO di Hotel Swissbell Jl. Manyar Kertoarjo No 100 jam 18.00. datang ya," tulis dirigen sekaligus pendiri SSO itu.

Luar biasa!

SSO ternyata masih eksis. Masih bikin konser musik klasik di akhir tahun. Pak Tong juga masih punya energi untuk membina orkestra yang sangat langka itu.

Hanya saja, tempatnya bukan lagi di Shangri-La atau Westin (sekarang jadi JW Marriott) atau Sheraton tapi di Swissbell. Hotel baru ini tentu tidak sementereng tiga hotel yang selalu jadi jujukan SSO itu.

Apakah pertimbangan biaya? Atau pertimbangan lain? Saya belum tanya.

Mbak Mimin, sekretaris SSO yang asal Waru, Sidoarjo, kemudian mengirim sedikit informasi tentang Christmas Concert 2019. Judulnya Glory to God. Tema yang cocok dengan visi dan misi Solomon Tong yang dikenal sebagai pendiri sejumlah gereja Tionghoa di Surabaya.

Wow... konser ke-93!

Ternyata SSO sudah 93 kali bikin konser besar di bawah pimpinan Solomon Tong. Artinya, setiap tahun SSO bikin 4,04 kali konser skala besar dan sedang. Belum termasuk konser-konser kecil yang sifatnya internal atau ditanggap sejumlah perusahaan.

Pak Tong juga memanfaatkan konser-konsernya untuk regenerasi pemusik, penyanyi, dirigen dsb. Karena itu, di semua konser SSO selalu ada penampil anak-anak, remaja belasan tahun, dewasa, hingga lansia.

Penyanyi lao ren itu biasanya dari Tiongkok. Bisa juga pengusaha atau pejabat yang doyan menyanyi. Salah satunya, dulu, Jenderal Pur Wiranto.

"Kita harus mengakomodasi banyak selera dan kepentingan," kata Pak Tong.

Resep itulah yang membuat SSO masih bertahan sampai sekarang. Masih bikin konser natal sekaligus merayakan ulang tahun ke-23.

Senin, 09 Desember 2019

Koran Quoji Ribao dan Qiandao Ribao Masih Diminati

Senin pagi 9 Desember 2019.

Saya masih melihat 2 koran berbahasa Tionghoa (Mandarin) di kawasan Pondok Candra, Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Masing-masing 4 eksemplar.

"Koran Mandarin itu untuk langganan. Mereka dari dulu setia baca koran Tionghoa," kata ibu pemilik kios koran.

Wanita itu keturunan Tionghoa tapi tidak bisa berbahasa Tionghoa. Apalagi membaca aksara Tionghoa yang antik itu. Sejak terbit pada awal 2000an, saat Gus Dur jadi Presiden RI, pelanggan dua koran Tionghoa tersebut stabil.

Beda dengan koran-koran cetak berbahasa Indonesia yang peminatnya turun tajam. Ibu itu mengaku tidak bisa mengambil banyak surat kabar pagi. Takut tidak laku. "Di belakang masih numpuk koran-koran lama," katanya.

Di Surabaya ada 2 koran harian berbahasa Tionghoa. Guoji Ribao yang tebal banget milik Dato Taher Mayapada dan Qiandao Ribao milik beberapa pengusaha Tionghoa Surabaya.

Porsi berita murni di 2 koran Tionghoa itu tidak banyak. Paling banyak berita-berita pesanan dari komunitas Tionghoa. Mirip album foto-foto perayaan ulang tahun, reuni, peluncuran produk dsb.

"Komunitas-komunitas Tionghoa itulah yang menghidupi koran. Sebab koran Tionghoa tidak bisa dijual kayak koran-koran biasa. Pasarnya kan sangat sempit," kata Sun, teman lama mantan wartawan media Tionghoa.

Sun juga bilang pembaca setia koran Tionghoa adalah para lao ren alias tiyang sepuh alias orang tua. Mereka memang butuh bacaan dengan aksara Tionghoa agar tidak lupa bahasa Tionghoa tulisan.

"Anak-anak muda jarang yang baca koran Tionghoa. Jangankan koran Tionghoa, koran-koran berbahasa Indonesia pun mereka jarang baca. Generasi milenial itu membaca media sosial dan HP," kata Sun yang tidak fasih bahasa Tionghoa.

"Bahasa Tionghoa itu kan baru diizinkan sejak Gus Dur jadi presiden. Otomatis generasi Tionghoa kelahiran masa Orde Baru tidak bisa bahasa Tionghoa. Mungkin ada beberapa yang bisa tapi tidak banyak," katanya.

Yan Shi, guru senior bahasa Tionghoa, jadi pengisi rubrik sastra di koran Qindao Ribao alias Harian Nusantara. Dia bilang kehadiran koran macam Qindao dan Guoji sangat penting untuk mengangkat kembali sastra Tionghoa yang sempat mati suri selama tiga dasawarsa.

Gara-gara ada koran Tionghoa, gairah Yan Shi menulis puisi, syair, dan cerita pakai bahasa Tionghoa melonjak tinggi. Nenek 80an tahun ini setiap hari menulis sastra Tionghoa untuk koran dan bikin buku.

Sudah ada 5 atau 7 buku yang diterbitkan Ibu Yan Shi. Tulisan itu awet, katanya. Beda dengan omongan yang cepat hilang terbawa angin. Dan cepat dilupakan orang.

Membaca dan menulis aksara Tionghoa juga membuat para lao ren tidak cepat pikun.

Minggu, 08 Desember 2019

Gregorius Soeharsojo Goenito Seniman Eks Pulau Buru


Usianya 83 tahun. Namun, Gregorius Soeharsojo Goenito masih akrab dengan kanvas, cat, kertas, dan tinta. Bahkan, belakangan ini pria yang akrab disapa Greg atau Harsojo itu juga rajin menulis puisi dan cerita tentang pengalaman hidupnya di Pulau Buru, Maluku, dan mengikuti diskusi politik di radio dan televisi.

Ketika ditemui di rumahnya, kawasan Trosobo, Taman, Sidoarjo, Pak Greg itu sedang sibuk membongkar dokumentasi sketsa-sketsa lamanya yang disimpan di beberapa map. Ada pula foto-foto berusia puluhan tahun yang sudah tidak jelas lagi gambarnya.

 Namun, pria kelahiran Madiun, 10 Februari 1936, ini masih ingat nama-nama kawan seperjuangannya di Pulau Buru, Maluku. Pulau tempat pembuangan sekitar 10 ribu sampai 12 ribu tahanan politik aliran kiri yang dianggap pendukung Bung Karno dan Nasakom.

"Sebagian besar sudah tidak ada lagi di dunia ini. Makanya, saya sangat bersyukur kepada Gusti Allah yang masih memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati hidup. Ini merupakan berkah yang luar biasa," kata Greg.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Soeharsojo Goenito di rumahnya di Desa Beringinbendo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Apa kegiatan Anda sekarang?

Sama seperti dulu. Membuat sketsa, melukis, bikin puisi, ya, kumpul dengan teman-teman. Sekarang saya hampir selalu di rumah karena tenaga saya sudah sangat kurang, namanya juga tiyang sepuh. Tapi saya merasa masih punya banyak energi untuk melanjutkan perjuangan ini.

Perjuangan apa?

Yah, macam-macamlah, perjuangan di bidang kesenian karena saya kan seniman. Saya ingin agar di era reformasi ini bangsa kita bisa belajar dari sejarah. Jangan sampai kita terjatuh dalam lubang yang sama. Sebagai orang yang sudah tua, saya sedih karena korupsi kok kayaknya makin menjadi-jadi di tanah air kita. Itu kan bertentangan dengan tujuan reformasi.

Para mahasiswa dulu pada tahun 1998 berunjuk rasa di mana-mana untuk menjatuhkan rezim Orde Baru karena dianggap KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Lha, kok sekarang KKN itu malah makin banyak. Ini artinya kita tidak belajar dari sejarah. Kesannya seperti meniru KKN yang dilakukan oleh Orde Baru.

Sekarang kan sudah banyak koruptor yang ditangkap KPK?

Tapi koruptornya malah tidak takut sama KPK. Setiap hari kita melihat televisi, membaca koran, kasus korupsi terjadi di mana-mana. Dan itu sangat memprihatinkan.

Anda belum lama ini menerbitkan buku memoar berisi sketsa-sketsa di Pulau Buru. Prosesnya bagaimana?

Saya menyiapkan bahan-bahan dan menyusun naskah selama lima tahun lebih. Revisi berkali-kali agar informasinya lebih menarik dan akurat. Soalnya, buku itu kalau sudah dicetak sulit direvisi.

Ide buku itu dari mana?

Justru dari orang Amerika Serikat, Dr Janet Steele, profesor dari George Washington University. Suatu ketika Bu Janet mengunjungi saya di rumah ini. Dia terkejut ketika koleksi sketsa saya tentang Pulau Buru begitu banyak, hanya menumpuk di map. Prof Janet Steele mendorong saya untuk segera membukukan sketsa-sketsa itu agar bisa dinikmati oleh orang banyak.

Kemudian ide dari Janet Steele ini juga direspons positif oleh teman-teman di Jogjakarta. Nah, sejak itulah saya mulai serius untuk menyusun sebuah buku kenangan dari Pulau Buru. Buku itu saya kasih judul Tiada Jalan Bertabur Bunga.

Buku itu isinya semacam kumpulan skesta Anda semasa berada di Pulau Buru?

Yah, semacam itulah. Sketsa-sketsa itu saya beri catatan dan keterangan singkat. Sehingga pembaca bisa mengetahui latar belakang dan konteks sebuah peristiwa atau objek yang saya bikin di sketsa tersebut.

Dan, jangan lupa, sketsa-sketsa itu asli dibuat di Pulau Buru, bukan baru dibuat setelah kami dipulangkan ke Jawa. Jadi, ini semacam catatan sejarah dalam bentuk gambar, bukan sekadar naskah atau tulisan. Kalau almarhum Pramoedya Ananta Tour membuat catatan pengalaman di Pulau Buru dalam bentuk novel dan esai, saya bikin dalam bentuk sketsa.

Biasanya sebagian besar orang sengaja melupakan pengalaman yang buruk. Mengapa Anda kok malah membeberkan pengalaman selama dibuang di Pulau Buru?

Ini persoalan sejarah bangsa kita Bung! Bung Karno mengatakan Jas Merah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Apa yang sudah terjadi pada masa lalu, seperti saya dan teman-teman alami di Pulau Buru, hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda, anak cucu kita. Supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh generasi terdahulu.

Apakah Anda punya dendam sejarah karena berada di pihak korban?

Sama sekali tidak ada dendam. Buat apa? Saya dari dulu sangat rileks, biasa-biasa saja. Kalau dendam, sakit hati, saya bisa stres berat. Dan, mungkin saya sudah lama tidak ada di dunia ini. Saya justru bersyukur kepada Tuhan karena diberi usia yang panjang, sementara sebagian besar teman saya sudah tidak ada lagi.

Saya bersyukur diberi kesempatan untuk hidup di era reformasi, sementara banyak teman saya yang sudah meninggal dunia pada tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka tidak sempat menikmati udara reformasi. Mereka tidak bisa menyaksikan rezim Orde Baru yang dulu sangat berkuasa dan ditakuti itu ternyata bisa ambruk juga. Makanya, sebagai orang tua yang pernah menjadi korban Orde Baru, saya hanya bisa mengingatkan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan di masa lalu.

Ngomong-ngomong, apakah Anda masih punya keinginan untuk pameran?

Jelas dong. Saya malah ingin mengadakan pameran tunggal. Sebab, banyak sekali karya saya tentang Pulau Buru yang belum diketahui masyarakat.

Oh ya, apa resep umur panjang dan tetap sehat di usia senja?

Selalu optimis, berpikir positif. Kalau punya masalah, silakan berkarya, melukis, membuat puisi, bernyanyi, olahraga. Jangan suka memanjakan tubuh. Sebaiknya kita lebih sering jalan kaki atau naik sepeda pancal daripada naik motor atau mobil. Olahraga juga bisa dilakukan dengan menyapu halaman, berkebun, atau menyiram bunga. Makanya, saya ini kelihatan seperti lebih muda 20 tahun. Hehehehe..... (*)



Satu Barak dengan Pramoedya

Selama sepuluh tahun (1969-1979) Soeharsojo Goenito menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. Meski 'hanya' satu dasawarsa di sana, kenangannya akan Buru tak pernah hilang dari ingatannya. Dia masih ingat nama-nama rekannya yang tinggal di barak berukuran 10 x 25 meter.

"Satu barak berisi 14 tahanan. Salah satu teman saya satu barak adalah Pramoedya Ananta Tour," tutur Gregorius Suharsojo.

Pramoedya, novelis besar yang menulis tertralogi Pulau Buru itu, digambarkan Greg sebagai seniman yang sangat tegas pada pendirian dan punya disiplin tinggi. Dia menjadi inspirasi bagi seniman lain agar terus berkarya meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas. Itu pula yang mendorong Greg rajin membuat sketsa selama berada di pulau pembuangan itu.

Nah, goresan sketsa-sketsa yang dibuat di Pulau Buru itu kemudian dilukis ulang ketika ayah empat anak ini sudah kembali ke Jawa. Lukisan-lukisan Greg didominasi warna biru laut dan hijau.

 "Itu warna alam di sana yang masih saya ingat sampai sekarang," katanya.

Bukan hanya penulis, penyair, atau pelukis, sejumlah seniman musik dan teater pun rajin berkarya selama berada di Pulau Buru. Mereka mengajak teman-temannya bernyanyi bersama atau berlatih sandiwara untuk dipentaskan di sebuah aula yang cukup bagus.

"Waktu itu kesenian memang cukup hidup di sana. Berkesenian itu membuat kami bisa mengisi hari-hari kami dengan gembira dan optimis," katanya.

Gencarnya tekanan dari dunia internasional dan aktivis hak asasi manusia, proyek Instalasi Rehabilitasi alias Inrehab di Pulau Buru ini pun akhirnya ditutup. Dan, pada 12 November 1979 rombongan terakhir tapol meninggalkan Pulau Buru, termasuk di dalamnya Pramoedya Ananta Tour.

"Sayang, Pram sudah lebih dulu meninggalkan kita sebelum mendapat Hadiah Nobel kesusastraan. Pram itu sastrawan terbesar kita yang diakui dunia, tapi dibuang ke Buru," kata Greg. (rek)



CV SINGKAT

Nama : Gregorius Soeharsojo Goenito
Lahir : Madiun, 10 Februari 1936
Alamat : Trosobo, Taman Sidoarjo

Pendidikan :

- Sekolah Rakyat Taman Siswa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Dewasa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Madya, Madiun
- Akademi Administrasi Perusahaan Veteran, Surabaya


Perjalanan Karier :
- Bergabung di Sanggar Tunas Muda, Madiun, dibawah bimbingan pelukis Sediyono, Soenindya dan Kartono, 1952.
- Bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 1963-1965.
- Diasingkan bersama para seniman Lekra lainnya ke Pulau Buru, Maluku, 1969.
- Kembali ke Jawa, menetap di Surabaya, 1978.
- Pameran Bersama Bunga Rampai Pelukis Lekra di Galeri Surabaya, 2005.
- Pameran Tunggal Memoar Pulau Buru di Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.
- Menyusun buku Tiada Jalan Bertabur Bunga.

Kamis, 05 Desember 2019

Tak Akan Ada Lagi Ir Ciputra


Tak akan ada lagi orang seperti Ir Ciputra (1931-2019).

Kamis ini 5 Desember 2019 jenazah Pak Ci diantar menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

Orang super istimewa macam Ciputra belum tentu hadir dalam satu abad. Kalaupun ada kalibernya di bawah Pak Ci. Ibarat tinju, Ciputra itu bukan lagi petinju kelas berat, tapi di atasnya.

Dulu, kali pertama ke Surabaya, saya sempat lewat di kawasan Surabaya Barat. Daerah Lidah, Sambikerep dan sekitarnya. Suasananya benar-benar khas desa. Sawah yang luas. Rumah-rumah gedeg sederhana.

Kendaraan bermotor pun belum banyak. Belum ada lampu penerangan jalan. Lebih parah dibandingkan kampung di NTT saat ini.

Siapa sangka kalau kawasan yang dulu dibilang tempat jin buang anak itu sekarang jadi Citraland Surabaya. Suasananya sudah mirip kota-kota modern di luar negeri. Citraland pun jadi kawasan paling elite di Kota Surabaya.

Minggu lalu saya mampir ke daerah Beringinbendo, Sidoarjo. Ngopi dan ngobrol sama Gregorius Suharsojo, seniman lukis dan musik eks buangan di Pulau Buru. Pak Greg cerita banyak hal tentang Lekra, genjer-genjer hingga lagu Nasakom Bersatu.

"Saya dekat sama Pak Subronto Kusumo Atmojo. Komponis hebat yang menciptakan lagu Nasakom Bersatu dan lagu-lagu terkenal tahun 1960an," katanya.

Pak Greg tak lupa menyanyi dan membirama layaknya dirigen paduan suara. "Harus tegas. Jangan kayak orang menari. Ini lagu mars. Begitu yang diajarkan Pak Subronto," kata pria 83 tahun ini.

Saya menyimak lagu lawas yang dilarang Orde Baru itu. Lalu memandang perumahan mewah tak jauh dari rumah Pak Greg. Citra Harmoni Sidoarjo. Banyak patung yang sangat indah. Ada patung kuda yang terasa istimewa.

"Itu karya seni yang luar biasa. Ciputra rupanya seorang penikmat seni kelas tinggi. Makanya perumahan-perumahannya selalu ada sentuhan seni," kata Greg.

Selain Citra Harmoni, di Sidoarjo ada Citra Garden dan Citra Indah. Tidak seelite Citraland di Surabaya. Tapi tata lokasi, tata taman, tata rumah, dan tata-tata lain sangat khas Ciputra. Sedap dipandang mata.

Pak Ci telah meninggalkan warisan yang sangat berharga. Bukan hanya untuk anak cucu, keluarga besar dan perusahaan-perusahaannya, tapi juga untuk Indonesia.

"Tidak akan ada lagi orang seperti Ciputra," kata Dahlan Iskan.

Selamat jalan Pak Ci!
Selamat berbahagia bersama-Nya!

Rabu, 04 Desember 2019

Shalat Salat vs Sembeang Sembahyang



Shalat atau salat?
Sholat atau solat?

Masih banyak versi di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sudah lama pakai salat. Kamus yang lama juga salat. Tapi masih banyak orang Indonesia yang menulis atau mengucap shalat atau sholat (pakai h).

Koran-koran atau media cetak juga tidak seragam. Ratusan media Grup Jawa Pos sejak dulu pakai salat. Sebaliknya, Kompas dan koran-koran kelompoknya pakai shalat.

Kompas juga pakai hektar. Padahal KBBI pakai hektare.

Koran-koran memang tidak selalu ikut kamus resmi. Sebab tim editor bahasa media sering berbeda pandangan dengan pakar-pakar di Badan Bahasa dan KBBI.

Yang menarik, Kementerian Agama rupanya tidak sreg dengan salat. Maka kemenag mengusulkan agar salat diganti shalat. Alquran yang serapan diganti Al-Qur'an yang transliterasi bahasa Arab.

Tim ahli Badan Bahasa menerima usulan Al-Qur'an tapi menolak shalat. Sehingga kata baku bahasa Indonesia tetap salat. Silakan Kemenang, Kompas, dan pihak lain menggunakan shalat atau sholat.

Di pelosok NTT, kampung asal saya, umat Islam yang berbahasa Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata tidak biasa menyebut shalat atau salat atau sholat atau solat. Sehari-hari saudara-saudari muslim menggunakan kata SEMBEANG atau SEMBAHYANG.

"Mo tobo tepi, go sembeang ki," kata Mama Siti Manuk, bibi saya yang muslimah tulen, adik kandung mendiang ibunda saya. Artinya, Anda duduk sebentar, saya sembahyang (salat) dulu.

Kata sembeang hanya dipakai dalam konteks salat atau doa umat Islam di bumi Lamaholot. Umat Katolik di Lamaholot menggunakan kata sembahyang untuk misa atau ekaristi atau ibadat sabda tanpa imam. Kata sembeang dan sembahyang ini asalnya sama-sama sembahyang.

Pagi ini saya perhatikan sebuah foto menarik di koran Jawa Pos. Ada tulisan besar di proyek Teluk Lamong, Surabaya. UTAMAKAN SHOLAT DAN KESELAMATAN KERJA.

Pesannya bagus. Seberat-beratnya kerja proyek, kuli bangunan, sholat atau solat atau shalat atau salat tetap yang paling utama. Kuli-kuli dari Tiongkok yang ateis ya tidak perlu salat.

Bahasa Lamaholotnya:
AKE LUPANG SEMBEANG (SEMBAHYANG)!

Selasa, 03 Desember 2019

Alquran atau Al-Qur'an?


Minggu lalu Badan Bahasa merevisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Juga menambah lema-lema baru di senarai dalam jaring (jaring). Tentu saja KBBI Luring alias buku cetak belum bisa direvisi segera karena prosesnya panjang. Biaya cetak juga mahal.

Yang mengagetkan adalah Badan Bahasa mengakomodasi beberapa usulan Kementerian Agama soal kata-kata serapan dari bahasa Arab. Kata-kata itu sudah lama mengindonesia. Tapi bagi Kemenag dan sejumlah ormas dan aktivis Islam dianggap kurang pas.

Maka, atas permintaan Kemenag RI, Badan Bahasa mengubah ejaan enam kata serapan bahasa Arab. Enam kata itu:

1. Alquran → Al-Qur'an 
2. Baitulmakdis → Baitulmaqdis
3. Kakbah → Ka'bah 
4. Lailatulkadar → Lailatulqadar
5. Masjidilaksa → Masjidilaqsa
6. Rohulkudus → Ruhulkudus

Sebagai pengguna bahasa Indonesia sekaligus penyunting, saya tidak sepakat dengan perubahan Alquran menjadi Al-Qur'an dan Kakbah menjadi Kabah. Kalau penggunaan huruf 1 dalam Lailatulqadar dan Masjidilaqsa sih boleh saja.

Sudah lama isu ini dipersoalkan. Sangat sensitif karena menyangkut agama Islam. Tapi ini bukan masalah teologi atau doktrin agama. Ini masalah kata serapan dari bahasa asing. Khususnya bahasa Arab yang jadi rujukan Kemenag itu.

Rupanya banyak pihak di Indonesia yang gagal paham tentang kaidah penyerapan kata asing. Mereka tidak bisa membedakan kata serapan dan transliterasi.

Al-Qur'an itu transliterasi. Kata ini jelas bahasa Arab yang ditulis dengan aksara Latin. Karena itu, perlu bantuan apostrof atau koma ain.

Kalau diserap dalam bahasa Indonesia, maka kaidah fonetik bahasa Indonesia yang berlaku. Al-Qur'an yang bahasa Arab menjadi Alquran yang bahasa Indonesia. Sederhana. Tanpa apostrof.

Begitu pula Ka'bah jadi Kakbah, Jum'at jadi Jumat, ni'mat jadi nikmat, ma'ruf jadi makruf, dsb.

Kalau kata Alquran dan Kakbah yang sudah puluhan tahun jadi penghuni KBBI dikembalikan ke Al-Qu'ran dan Ka'bah maka kita mundur jauh ke belakang. Kembali ke kata asli alias hanya transliterasi atau cuma mengubah aksara Arab menjadi bahasa Latin.

Rupanya kegalauan saya ternyata dirasakan sejumlah pembina bahasa Indonesia di Jawa Timur. Seorang pakar bahasa Indonesia menulis begini:

 "Semestinya kalau Kemenag mau menulis Alquran dan Kakbah dengan Al-Qur'an dan Ka'bah ya silakan saja mengacu pada pedoman transliterasi. Namun, kalau ejaan kemudian ikut ditundukkan, itu berarti kembali ke masa lalu alias mundur. 

Penggunaan apostrof sebagai pengganti bunyi glotal tentu bertabrakan dengan PUEBI. Masyarakat baru saja paham bahwa Jum'at harus ditulis Jumat, eh tiba-tiba kebijakannya lentur."

Selasa pagi ini, 3 Desember 2019, saya baca Jawa Pos di warkop dekat Bandara Juanda. Ada kalimat berbunyi: "... dai diwajibkan fasih membaca Alquran dan memiliki wawasan Islam wasathiyah atau moderat."

Syukurlah, Jawa Pos masih taat asas dengan kaidah bahasa Indonesia sesuai dengan PUEBI dan KBBI yang lama. Bukan Al-Qur'an melainkan Alquran.

Saya pun menghubungi Mas Andri, koordinator editor bahasa Jawa Pos. Saya anggap Mas Andri ini yang paling paham kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar.

Apakah Grup Jawa Pos akan menyesuaikan diri dengan keinginan Kemenag dan KBBI yang baru?

 "Kami belum mengikuti perubahan itu Mas. Masih pakai kesepakatan sebelumnya," jawab Mas Andri.

Sepakat!

Penggunaan apostrof membuat bahasa Indonesia tidak sederhana lagi. Kata-kata bahasa Indonesia seharusnya bebas dari apostrof. Bahasa Indonesia sering dipuji orang asing justru karena kesederhanaannya itu.

Minggu, 01 Desember 2019

Kolekte vs Nyawer Artis



Misa di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo, baru saja usai. Minggu Pertama Adven. Persiapan jelang Natal. Paternya asal Flores, sudah pasti SVD, tak tahu namanya. Mungkin romo tamu.

Saya tidak fokus ke homili tentang Nuh dan sebagainya. Entah mengapa, kali ini saya tertarik ke kolekte. Sumbangan sukarela ke kotak atau kantong kain. Nilainya terserah. Ada yang masukkan 100, 50, 20, 10, bahkan 2000an.

Tidak apa-apa menyumbang sedikit. Lama-lama jadi bukit, bukan? Kolekte ini berbeda dengan persembahan 10% alias perpuluhan di gereja-gereja yang bukan katolik.

Giliran kantong warna ungu itu sampai ke tangan saya. Kudu nyumbang. Berapa pun nilainya? bisik hati kecilku. Uang merah atau biru atau 20?

Akhirnya saya masukkan susu tante alias sumbangan sukarela tanpa tekanan ke kantong kolekte. Suara hati berbisik lagi, kok lebih sedikit ketimbang nyawer penyanyi dangdut koplo? Kok berat banget nyawer gereja?

Gereja kan sudah banyak yang nyumbang? Artis koplo dan pemain keyboard itu kan jarang dapat job akhir-akhir ini. Begitu suara hati berbisik lagi.

Jadi malu memang kalau membandingkan nyawer artis dan nyawer gereja alias kolekte. Mestinya sumbangan untuk gereja lebih besar daripada kasih saweran ke penyanyi. Gak nyawer pun gak apa-apa. Gak kolekte pun gak papa.

Minggu lalu ada bacaan tentang persembahan seorang janda miskin di tempat ibadah. Duit yang dimasukkan ke dalam kotak amal hanya beberapa sen. Tapi Yesus bilang saweran, eh.. sumbangan janda miskin itu jauh lebih besar ketimbangan persembahan orang kaya.

Markus 12 : 43-44

Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka:

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.

Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."