Rabu, 25 September 2019

Semoga Jokowi Eling lan Waspada

Mahasiswa babak belur. Jokowi juga babak belur. DPR RI lebih babak belur lagi.

Persekongkolan antara Jokowi (pemerintah) dan parlemen di ujung masa jabatan membuat runyam segalanya. Memaksakan pengesahan sekian banyak RUU yang sejumlah pasalnya kontroversial.

Yang paling bikin rakyat sakit hati, khususnya mahasiswa-mahasiswa idealis, adalah revisi UU KPK. Komisi antirasuah ini bakal kehilangan gigi. Apalagi Firli dan 4 komisioner baru sepakat untuk memprioritaskan pencegahan.

"OTT itu ultimum premedium," kata Firli, ketua KPK yang baru yang suka pamer istilah asing saat uji kelayakan dan kepatutan.

"Istilahnya juga ngaco. Yang benar itu ultimum remedium. Bukan premedium," kata Rocky Gerung, dosen filsafat yang belakangan ini lebih banyak bicara di televisi.

Bukannya mendengar suara rakyat, Presiden Joko Widodo satu suara dengan parlemen. Tidak sampai seminggu Jokowi setuju revisi UU KPK. Maka KPK nanti tidak bakal sedigdaya sekarang. Apalagi ketuanya, Firli, punya filosofi seperti itu.

Jutaan rakyat kecewa. Jutaan orang yang saat pilpres memilih Jokowi pun sakit hati. Tidak menyangka Jokowi yang gembar-gembor akan memperkuat KPK tega melakukan pelemahan.

"Justru revisi ini untuk memperkuat KPK," kata Menkumham Yasonna Laoly. Logikanya sangat sulit diterima rakyat biasa.

Sukses main slintutan merivisi UU KPK, dewan makin bernafsu kejar tayang. Sebab masa jabatannya habis sebentar lagi. Lalu dipaksakan untuk menggedok 5 atau 7 rancangan undang-undang baru. Dan semuanya ada pasal-pasal kontroversial.

Salah satunya ya KUHP baru itu. Selama ini banyak orang lebih fokus ke pasal kumpul kebo, perzinaan, atau persetubuhan di luar pernikahan. Padahal sejatinya banyak pasal KUHP yang membahayakan kebebasan pers, mengekang kebebasan berpendapat, hingga melemahkan pemberantasan korupsi.

Syukurlah, mahasiswa tidak tinggal diam. Anak-anak muda milenial yang selama ini dianggap cuek dengan isu-isu sosial politik, lebih suka main ponsel dan media sosial ternyata bangkit dan bergerak. Turun ke jalan. Mengepung anggota dewan yang katanya terhormat itu.

Mahasiswa memang babak belur karena dihadapi aparat dengan pentungan dan gas air mata. Tapi sebetulnya Jokowi lebih babak belur lagi. Jokowi kena batunya. DPR tak ada urusan karena akan diganti minggu depan.

Jangan lupa, gerakan mahasiswa yang TSM (terstruktur, sistematis, masif) membuat Soeharto lengser keprabon pada 13 Mei 1998. Padahal Soeharto dan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun sangat jauh lebih kuat daripada Jokowi yang gak ada apa-apanya.

Semoga Jokowi eling lan waspada!

Minggu, 22 September 2019

Festival Jazz yang Minim Jazz



Minggu lalu ada Jazz Traffic Festival di Pantai Ria Kenjeran, Surabaya. Minggu ini Jazz Gunung Ijen kawasan Licin, Banyuwangi. Seperti di Surabaya, penonton konser jazz aneka artis gado-gado itu ramai banget.

Saya sampai tidak dapat tiket Jazz Traffic 2019. Padahal saya pesan lima hari sebelum festival dua hari itu. "Tiketnya sudah sold out. Maaf," kata Aris, panitia dari Radio Suara Surabaya.

Alhamdulillah, tidak dapat tiket nonton jazz! Saya justru senang karena antusiasme masyarakat untuk menonton jazz makin bagus di Surabaya dan sekitarnya. Jazz bukan lagi musik yang sepi penonton.

Beberapa tahun lalu saya pernah nonton pertunjukan jazz di luar Gelora Delta Sidoarjo. Pianis kawakan dari Belanda Rene Helsdingen kolaborasi dengan musisi jazz papan atas Indonesia. Ada juga penyanyi jazz beneran macam Yura Yunita.

Sayang, penonton aslinya tidak sampai 20 orang. Lainnya panitia, gadis-gadis cantik penjual rokok MLD, hingga tukang sound dan pekerja panggung. Sejak itulah tak ada lagi konser jazz di Sidoarjo. Kapok!

Benarkah jazz sekarang sudah dicintai masyarakat Jatim? Hem.. perlu survei atau riset kecil-kecilan. Tapi dari amatan sepintas, panitia jazz di tanah air dalam 10 tahun belakangan ini makin pintar jualan. Pintar bikin kemasan yang menarik.

Bungkusnya memang festival jazz, tapi isinya macam-macam. Ada koplo, dangdut, campursari, pop anyar, pop agak lawas dsb. Bintang jazz traffic tahun lalu Via Vallen, ratu musik koplo asal Tanggulangin Sidoarjo. Bintang jazz traffic tahun ini Didi Kempot. Raja campursari dari Solo.

"Aku bela-belain ke sini untuk nonton Didi Kempot," kata seorang pria 40an tahun dari Malang. "Aku senang banget sama Raisa. Keren banget pokoke," kata seorang mahasiswi di Surabaya.

Lima atau enam orang yang saya tanyai secara acak ini mengaku tidak punya urusan dengan jazz. Juga tidak tahu artis atau band apa yang masuk genre jazz, blues, atau sejenis itu.

"Kalau penyanyi jazz itu kayak Andien," kata seorang ibu rumah tangga 40an tahun. Dia juga kenal Indra Lesmana, Trie Utami, atau Vina Panduwinata yang jazzy.

"Sekarang ini yang benar-benar jazz memang sangat sedikit," kata wanita yang saat kuliah senang mutar kaset itu.

Dari daftar artis penampil selama dua hari, boleh dikata tak sampai 20 persen yang benar-benar jazzer. Bahkan mungkin hanya 10 persen. Sebagian besar justru artis atau band yang tidak punya rekam jejak bermain jazz.

Tapi begitulah tuntutan zaman. Selera anak muda sekarang di era digital tentu beda dengan remaja-remaja di era analog. Yang penting festival jazz sukses, sold out, panitia untung. Agar tahun depan bikin festival jazz lagi. Bukan begitu?

Jumat, 20 September 2019

Pasal Kumpul Kebo, Selingkuh, Mbalon



Pemerintah dan parlemen rupanya punya komitmen untuk menegakkan moral rakyat Indonesia. Jangan ada (lagi) orang Indonesia yang hidup bersama di luar pernikahan yang sah. Istilah sekarang: kohabitasi. Istilah lawas: kumpul kebo. Lebih lawas lagi: samen leven.

Karena itulah, KUHP yang baru ada pasal khusus untuk kohabitasi. Kepala desa atau kepala kampung bisa melaporkan pasangan yang kumpul kebo di kampungnya. Misalnya, kamar-kamar kos dijadikan tempat gendakan.

Istri atau suami bisa melapor jika mengetahui pasangannya selingkuh. Misalnya ngamar di hotel atau vila. Lalu diproses hukum.

Bagaimana kalau yang diajak ngamar itu purel atau PSK? Kena pasal juga? Kelihatannya kena. Sebab pasal kohabitasi ini rada ngaret.

Bagaimana kalau turis dari Amerika atau Eropa yang belum terikat pernikahan ngamar bareng di hotel? Apakah nanti resepsionis harus tanya surat nikah tamu-tamunya? Agar tidak dibuat ngamar bareng pasangan yang bukan suami istri?

Ini yang rupanya jadi bahan gunjingan seputar RUU KUHP karya anak bangsa pengganti KUHP tinggalan Belanda itu. Kelihatannya pemerintah + dewan sangat concern pada moral bangsa. Tidak ingin anak bangsa mengalami degradasi moral. Bagus lah.

Pasal kohabitasi alias kumpul kebo ini sebetulnya sama dengan perda-perda di sejumlah daerah. Sama pula dengan qanun di Aceh. Sama-sama merujuk pada syariah. Beda dengan KUHP Belanda yang dianggap tidak bisa menjerat para pelaku kumpul kebo, pelacuran, perzinaan dsb.

Tapi bagaimana penerapan di lapangan nanti? Bagaimana dengan pasangan nikah siri? Pasangan kawin kampung yang diakui adat di NTT, misalnya, tapi belum sah sesuai hukum negara? 

Bagaimana dengan para gepeng yang bertahun kumpul kebo karena kesulitan mengurus pernikahan siri + pernikahan resmi?

"Jangan dipelintir ya! Kami sama sekali tidak punya maksud untuk memasukkan jutaan orang ke dalam penjara. Sekarang saja penjara sudah penuh," kata Menkumham Yasonna Laoly di televisi beberapa menit lalu.

Masalahnya, pasal soal kumpul kebo, gelandangan dihukum denda jutaan rupiah (duit dari mana?), ayam masuk halaman orang dsb sudah kadung bikin kita geleng-geleng kepala. Belum lagi masalah KPK, kebakaran hutan yang berulang, hingga menpora jadi tersangka korupsi.

Liem Ou Yen dan Sempoa Tiongkok

Rabu lalu, 18 September 2019, saya menemui Liem Ou Yen di Jalan Kembang Jepun 46 Surabaya. Tokoh Tionghoa ini baru saja pulang dari Tiongkok. Mendampingi beberapa doktor dan profesor pakar Islam untuk konferensi internasional tentang Islam di Tiongkok.

"Biasalah... saya jadi penerjemah bahasa Mandarin. Tapi seminar juga pakai bahasa Inggris," kata pengusaha yang aktif mengurus paguyuban dan organisasi sosial Tionghoa di Surabaya itu.

Liem Ou Yen lantas bercerita banyak tentang sejumlah situs menarik di Tiongkok yang ada kaitan dengan Islam. Maklum, selama ini Liem selalu menemani para kiai atau ulama NU, Muhammadiyah, MUI, PITI dsb untuk studi banding di Tiongkok. "Masjid di Tiongkok itu besar-besar dan bagus-bagus. Sangat modern," katanya.

Tapi saya lebih tertarik pada sempoa. Alat hitung khas Tionghoa ini selalu ada di depan bos UD Gunung Mas itu. Unik dan menarik. Di era digital ini, ternyata pengusaha Tionghoa sekelas Liem Ou Yen masih menggandalkan sempoa ketimbang kalkulator, komputer, atau aplikasi kalkulator di ponsel dalam mengelola bisnisnya.

"Saya punya kalkulator, tapi saya lebih suka pakai sempoa. Menghitung pakai sempoa itu pasti lebih cepat dan akurat," ujar Liem seraya tersenyum.

Liem kemudian meminta seorang tamunya menghitung dengan kalkulator. Liem juga menghitung pakai sempoa kesayangannya. Hasilnya, dalam waktu singkat Liem sudah menyelesaikan hitungannya. Sementara sang tamu baru selesai beberapa menit kemudian.

"Singkatnya, kalau kita sudah tahu cara pemakaiannya, maka menghitung dengan sempoa itu pasti lebih cepat dan hasilnya benar. Kemungkinan salah sangat kecil karena bilangan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan bisa kita lihat di sempoa," ujarnya.

Liem Ouyen sendiri tidak menafikan kecanggihan kalkulator dan alat hitung modern lain, termasuk komputer. Hanya saja, menurut dia, hasil hitungan bisa keliru jika entry datanya salah. Belum lagi kalau terjadi gangguan (error) atau baterai lemah.

"Sempoa tidak pakai baterai atau listrik. Jadi, kemungkinan keliru hampir tidak ada," katanya.

Selain alasan praktis, menurut koordinator Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya ini, alat hitung tradisional sempoa ini bisa membantu meningkatkan kualitas memori seseorang. Orang tidak cepat lupa atau pikun. Dan, itu dirasakan betul oleh pria kelahiran Muara Teweh, Kalimantan Tengah, 31 Juli 1945, itu.

"Saya ini walaupun sudah tidak muda, tapi tidak cepat lupa. Saya bisa mengingat dengan cepat, ya, antara lain karena tiap hari menggunakan sempoa," katanya.

Karena itu, Liem mengusulkan agar para pelajar, khususnya murid sekolah dasar, diberi pelajaran berhitung dengan sempoa. Jangan membiarkan anak-anak termanja dengan kalkulator. Apalagi cuma main copy paste di internet.

"Waktu kami sekolah dulu, sempoa ini menjadi alat peraga dalam pelajaran berhitung. Dan saya masih merasakan manfaatnya sampai sekarang," katanya.

Minggu, 15 September 2019

Acara Kue Bulan di Kenjeran



"Acara kue bulannya kapan?" tanya saya kepada seorang nona Tionghoa di Kelenteng Sanggar Agung, Kenjeran, Surabaya.

"Kue bulan opo? Gak tau," jawab si nona sambil main ponsel.

Ada lagi beberapa pengunjung yang saya tanya. Tionghoa juga. Tapi tidak tahu juga. Hem... mungkin mereka cuma wisatawan biasa. Bukan jemaat kelenteng di pinggir laut itu. Bisa juga agamanya tidak ada hubungan dengan tradisi budaya Tiongkok.

Untung ada Bapak Teguh. Orang Tionghoa yang tinggal di Kalikepiting. Dia pegang kertas-kertas kuning berisi tulisan Tionghoa. Doa untuk keselamatan, katanya. Pak Teguh yang sangat paham acara kue bulan tadi.

"Acaranya Jumat malam (13/9/2019). Pas bulan purnama. Sembahyangan dan bazar kuliner nusantara," kata Teguh yang banyak bicara spiritualitas Tao itu. "Anak-anak Tionghoa sekarang memang banyak yang lupa tradisi leluhurnya. Kebarat-baratan."

Pesta kue bulan atau Mooncake Festival memang selalu dirayakan saat bulan purnama. Bulan kedelapan penanggalan Tionghoa yang berbasis bulan alias Imlek itu. Tanggal 15.

 Karena itu, orang Tionghoa yang biasa pigi sembahyang di kelenteng pasti tahu acara Tiong Chiu Jie yang ada kue bulan alias Tiong Chiu Pia itu. Nona-nona Tionghoa tadi bisa dipastikan tidak pigi sembahyang di kelenteng. Mungkin pigi gereja atau pigi wihara. Mungkin juga tidak pigi-pigi.

Dulu, biasanya Sanggar Agung ini bikin festival bulan purnama. Besar-besaran. Ada panggung gembira, artis dari Tiongkok atau dalam negeri, atraksi barongsai, bazar kuliner dsb. Kemudian ada pelepasan lampion harapan.

"Sekarang ini sembahyangan biasa saja," kata Teguh yang banyak tahu sejarah dewa-dewi Tiongkok itu.

Yang bikin ramai di kawasan Kenjeran Park alias Pantai Ria, dekat kelenteng, justru festival musik jazz. Sabtu dan Minggu. Banyak artis dan band yang tampil meskipun sebagian besar bukan aliran jazz.

Didi Kempot dan Raisa jadi bintang hari pertama. Sayang, tiket sudah ludes sejak pekan lalu. "Maaf, tiketnya sudah sold out. Saya tidak bisa bantu," kata Aris panitia dari Suara Surabaya FM.

Apa boleh buat. Saya hanya bisa duduk dan ngobrol bersama Pak Teguh yang banyak bicara soal kebatinan, surga dan neraka, naga hijau, naga merah dsb.

 "Manusia itu sering lupa sama Yang di Atas," katanya. "Terlalu banyak menghabiskan waktu untuk senang-senang, hura-hura, lupa sembahyang." 

Sabtu, 14 September 2019

Bos Bayar Parkir Rp 700.000

Dahlan Iskan baru menulis tentang jalan-jalan di Eropa. Yang bikin saya terkesan ada dua: jalan kaki dan parkir.

"Di Belfast saya mendapat hotel di pusat kota. Di depan gereja tua. Hotel ini tidak punya tempat parkir. Ada gedung parkir. Tiga blok dari sini, ujar petugas hotel.

Saya pun parkir di situ. Ongkos parkirnya: 20 pound. Sekitar Rp 300 ribu. Ya sudah. Masih lebih murah dari parkir di Washington DC tiga bulan lalu. Yang Rp 700 ribu itu," tulis Bos Dahlan, Sabtu 14 September 2019.

Kita di Surabaya atau Jakarta pasti heran. Hotel kok tidak punya tempat parkir? Tamu-tamu harus parkir cukup jauh. Terpaut tiga blok.

Bisa dipastikan hotel itu akan mati kalau di Indonesia. Mana ada tamu yang mau parkir jauh dari hotel? Orang Indonesia maunya parkir sangat dekat dengan hotel, gedung, pertemuan, kantor, toko, pusat kuliner, atau tempat ibadah.

Sudah banyak hotel atau penginapan yang tutup gara-gara tidak punya tempat parkir. Gereja-gereja lama pun banyak yang kehilangan jemaat. Pindah ke gereja-gereja baru yang kebaktiannya di hotel atau convention hall. Salah satu sebabnya ya lahan parkir itu tadi.

Pekan lalu kami mengikuti gathering di Trawas, Mojokerto. Saya bertemu beberapa pengelola vila di pegunungan yang sejuk itu. "Parkirnya langsung di dalam, Mas," katanya.

Parkir motor dan mobil di dalam kamar? Begitulah salah satu nilai plus vila atau hotel di pegunungan. Dus, tidak perlu jalan kaki 50 meter atau 100 meter ke kamar tidur.

Sepeda motor bahkan bisa dimasukkan ke dalam kamar. Nyaman banget... ala Indonesia. Juga tidak perlu bayar parkir sampai Rp 300 ribu atau Rp 700 ribu kayak di Eropa atau Amerika.

Akar masalahnya tidak lain hilangnya kebiasaan jalan kaki. Beli sabun atau minyak goreng pun harus naik motor. Padahal jaraknya tidak sampai 20 meter. Seperti parodi-parodi Sascha dari Kanada di YouTube itu.

Sascha sendiri bikin gebrakanyr dengan jalan kaki dari Jakarta ke Denpasar. Lebih tepatnya jalan kaki dengan sepatu roda. Ternyata kaki manusia yang kelihatan lemah itu bisa dipakai untuk berjalan sangat jauh.

Gara-gara orang Indonesia malas jalan kaki, banyak pengusaha yang bikin layanan drive thru. Orang tidak perlu turun dari mobil. Membeli ayam tepung cukup buka kaca mobil... beres.

Ngurus perpanjangan SIM juga ada layanan drive thru di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Luar biasa memang orang Indonesia!

Jumat, 13 September 2019

Hilang minat nonton sepak bola

Persebaya lagi main lawan Kalteng Putra. Masih imbang. Banyak orang nonton bareng di kafe kawasan Rungkut, Surabaya, Jumat 13 September 2019. Tapi saya kehilangan selera menonton balbalan jowo - istilahnya Mas Arif, mantan wartawan sepak bola.

"Percuma nonton balbalan jowo," katanya. Teman asli Malang ini kemudian menyebut begitu banyak kebobrokan di sepak bola Indonesia.

Sudah lama saya diingatkan Arif soal balbalan jowo ini. Tapi saya masih sering nonton di televisi. Kadang langsung di stadion kalau di Sidoarjo. Ada keasyikan nonton langsung di lapangan. Bisa teriak-teriak dan maki-maki pemain, pelatih, atau suporter lawan. 

Ujaran kebencian atau caci maki tidak berlaku di stadion. Penjara bisa penuh kalau suporter yang misuh-misuh. Negara bisa bangkrut karena harus memberi makan para suporter yang dijerat pasal ujaran kebencian.

Nah, minat nonton balbalan jowo akhirnya hilang setelah menyaksikan laga timnas senior kita lawan Malaysia dan Thailand. Benar-benar hancur. Babak belur. Level permainan kita masih di bawah Malaysia dan Thailand. Jangan-jangan Indonesia sekarang satu tingkat dengan Timor Leste?

Apa gunanya Liga 1 kalau pemain-pemainnya memble di timnas? Pesepak bola yang tidak sanggup bermain selama 90 menit? Tidak bisa berlari mengejar bola karena napasnya habis?

Syukurlah, sekarang internet menawarkan begitu banyak pilihan. Video-video konser musik di Youtube sangat banyak. Saat Persebaya main, saya justru menonton rekaman wawancara Rhoma Irama dengan Alvin Adam. 

Saya jadi tahu artis idola Bang Haji ternyata Broery Marantika dan Tom Jones.