Jumat, 13 September 2019

Babu Cantik di Brunei

Ada foto menarik tentang perjalanan di Brunei Darussalam yang dimuat Jawa Pos. Lapak semacam pujasera penjual jajan pasar. Tulisannya: KUIH MALAYA BABU CANTIK.

Hem... babu cantik!

Rupanya kata BABU di Brunei sifatnya netral. Tidak terkesan merendahkan orang yang bekerja sebagai pelayan atau pembantu. Malah dijadikan tagline untuk usaha kuliner jajan pasar.

Beda dengan di Indonesia. Kata BABU atau BATUR sangat dihindari di Indonesia. Cuma dipakai sang majikan untuk memaki-maki pembantu rumah tangga yang jahat. Misalnya pembantu curi uang, perhiasan, atau barang-barang di rumah lalu melarikan diri.

Babu memang kata asli bahasa Melayu yang kita angkat jadi bahasa Indonesia. Sebagian orang Indonesia paham artinya. Kecuali orang-orang kampung di pelosok NTT yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kayak saya dulu di daerah Lembata. Sampai SMP pun susah berbahasa Indonesia karena tiap hari hanya berbahasa Lamaholot.

Nah, rupanya dalam perjalanan waktu kata BABU itu berubah nilai rasanya. Dari netral menjadi kasar atau tidak sopan. Istilah anak sekolahnya: mengalami peyorasi. Karena itu, kata babu selalu dihindari dalam percakapan dan tulisan sehari-hari di Indonesia.

Di media massa, khususnya koran, biasa dipakai PRT: pembantu rumah tangga. Tapi itu pun dianggap kurang halus. Makanya diganti lagi menjadi ART: asisten rumah tangga. Padahal pembantu itu ya sama dengan asisten.

Kalangan aktivis perempuan malah tidak suka istilah PRT atau ART. Apalagi babu atau batur. Mereka menyebut pekerja sektor domestik. Domestic worker.

Dengan begitu, para ART alias pekerja domestik ini mendapat perlindungan dan hak-hak seperti pekerja di pabrik-pabrik. (Kata buruh juga dianggap kasar dan tidak sopan. Dipakailah pekerja atau karyawan/karyawati atau naker alias tenaga kerja.)

"Mereka harus punya standar upah minimum, jam kerja, dsb. Pekerja domestik itu berat lho," kata seorang aktivis perempuan di Surabaya.

Melihat spanduk kuliner di Brunei ini (juga Malaysia) kelihatan sekali betapa kata-kata Melayu yang semula netral kini sudah berubah rasa dan nuansa. Kata-kata pribumi malah sering dianggap kasar. Sedangkan kata-kata asing dianggap keren dan terhormat.

Orang lebih suka disebut driver taksi atau ojol ketimbang sopir taksi atau tukang ojek. Satpam-satpam lebih suka disebut sekuriti.

Konjen Mr Gu: Hongkong Makin Suram



Ada apa dengan Hongkong?

James Chu, orang Tionghoa asal Banyuwangi, yang sudah lama jadi warga negara itu belum cerita apa-apa. James lebih suka berbagi rekaman sedang main band. Lagu-lagu campursari, keroncong, atau tembang kenangan.

"Kita orang gak usah bahas demonstrasi dan sebagainya. Itu sudah biasa di Hongkong," katanya.

Sejak muda James terlempar ke Tiongkok karena masalah kewarganegaraan. Dampak PP 10. Dia jadi kuli di Wuhan sambil main musik dari kampung ke kampung. Sampai akhirnya buka usaha di Hongkong.

"Tapi jiwa saya tetap Indonesia. Kita orang selalu pulang kalau ada kesempatan," kata pengusaha + pemusik yang biasa menghibur para buruh migran alias TKI itu.

Lantas, apa sebetulnya yang terjadi di Hongkong?
Demo kok berminggu-minggu?
Minta merdeka dari Tiongkok?
Satu negara dua sistem bagaimana?

Berita-berita tentang gejolak di Hongkong muncul tiap hari di koran-koran Indonesia. Apalagi di internet. Bos Dahlan juga bolak-balik membahas di laman pribadinya. Termasuk cerita tentang Joshua Wong yang kendel itu.

"Bosan baca berita soal Hongkong. Gak menarik lagi," kata pembaca setia koran di pinggiran Surabaya.

Jumat pagi ini ada artikel di koran. Yang nulis Pak Kucing sapaan akrabnya. Konjen Tiongkok di Surabaya Gu Jingqi. Mr Gu tentu saja menjelaskan posisi politik Beijing.

"Hongkong yang awalnya makmur saat ini terus tenggelam dalam kekacauan dan kesuraman dalam pemberontakan," tulis Mr Gu.

"Itu membuat setiap orang Tiongkok yang memiliki hati nurani merasa sangat sedih."

Konjen yang berkantor di Jalan Mayjen Sungkono ini juga menengarai ada kekuatan Barat yang anti Tiongkok berkolusi dengan pengacau di Hongkong. Orang asing berkali-kali ditemukan di antara kerumunan pengunjuk rasa.

Sayang, saya tidak bisa bertanya ke Joshua Wong dan kawan-kawan untuk meminta tanggapan mereka atas artikel yang ditulis Pak Kucing ini. Joshua dkk juga pasti tidak membaca tulisan dalam bahasa Indonesia ini.

Tapi kelihatannya warga Hongkong yang berunjuk rasa itu lebih suka hidup dalam tatanan British ketimbang tatanan Zhongguo. Mereka juga lebih suka berbahasa Kanton ketimbang Mandarin.

Semoga "kesuraman dan kekacauan" ini segera berlalu. Dan selamat menikmati kue bulan.

Kamis, 12 September 2019

Mengenang OM Sinar Kemala, A. Kadir, dan Ida Laila

Ida Laila (depan kiri) bersama personel lengkap OM Sinar Kemala, Surabaya.



Saya sering mendengar kisah seputar OM Sinar Kemala dari Bapak A. Malik Buzaid, salah satu personel OM Sinar Kemala yang tinggal di Desa Kureksari, Kecamatan Waru, Sidoarjo.

Kebetulan saya sering mampir ke rumah Abah Malik untuk tanya-tanya seputar kisah di balik lagu Keagungan Tuhan yang legendaris itu.
Pak Malik sangat respek pada almarhum A. Kadir, salah satu dedengkot musik melayu di tanah air. Jasa beliau sangat besar dalam memperkenalkan lagu-lagu berirama melayu [kemudian bermetamorfosa menjadi dangdut] di seluruh Indonesia.  Saya yakin, orang tua kita pernah menikmati lagu-lagu melayu ala OM Sinar Kemala dan orkes-orkes sejenis.

Nah, kaset ‘Mengenang A. Kadir’ ini diterbitkan Lokananta, perusahaan rekaman milik negara di Solo. Ada 18 lagu di sini. Saya duga, lagu-lagu ini ditransfer dari piringan hitam dengan aransemen musik orisinal, khas 1960-an. Sepenuhnya akustik.

SiSI A:
Keagungan Tuhan [karya A. Malik Bz.] penyanyi Ida Laila,
Pengantin Baru [A. Kadir] penyanyi A. Kadir,
Pujaan Hati [Fouzi] Ida Laila,
Pandangan Sekejap [A. Kadir] Ida Laila/A. Kadir,
Ingkar Janji [Fouzi] A. Kadir,
Tertawan [A. Malik Bz.] Nurkumala,
Di Lembah Duka [A. Kadir] Surayah,
Jangan Diragukan [Fouzi] A. Kadir,
Insan dan Seni [A. Malik Bz.] Fadiah.

SISI B:
Kembalilah Kekasihku [A. Kadir] A. Kadir,
Bercerai Kasih [A. Malik Bz.] Ida Laila,
Hanya Padamu [A. Kadir] A. Kadir,
Tiada Harapan [A. Rafiq],
Menanti Kekasih [A. Kadir] A. Kadir,
Berjumpa Kembali [A. Kadir] A. Kadir/Ida Laila,
Kisah Nan Lalu [A. Malik Bz.] A. Kadir,
Suara Jiwaku [Achmad] A. Kadir,
Terimalah [A. Malik Bz.] A. Kadir.

Saya beberapa kali memutar kaset lama ini untuk menangkap roh OM Sinar Kemala sekaligus struktur musik melayu 1960-an. Hmm.. ternyata A. Kadir bersama anggota orkes mempersiapkan album ini dengan sungguh-sungguh. Mulai dari pola melodi, ritme, aransemen, hingga seksi gesek [string section] yang mempermanis lagu.

Ida Laila pada 1960-an jelas masih remaja. Suaranya terdengar cempreng [ceper], agak sulit dengan nada rendah. Kenapa nada dasarnya tidak dinaikkan saja? Barangkala Pak A. Kadir sudah mempertimbangkan berbagai aspek sehingga memilih Ida Laila membawakan ‘Keagungan Tuhan’.

Yang jelas, sejarah sudah tercipta. Ida Laila dan OM Sinar Kemala sudah berhasil mengabadikan lagu ‘Keagungan Tuhan’ yang sangat religius itu. "Lagu itu memang cepat sekali populer ke seluruh Indonesia, bahkan Malaysia, Singapura, dan Brunei. Sampai hari ini pun orang masih menyanyikannya," kata A. Malik Bz., penulis lagu Keagungan Tuhan, yang dikenal sebagai oran dekat A. Kadir.

Kalau disimak baik-baik, musik dan syair OM Sinar Kemala sangat berbeda dengan lagu-lagu dangdut sekarang [tahun 2000-an ke atas]. A. Kadir dan kawan-kawan menampilkan nyanyian yang santun, berpetuah, refleksi, religius. Irama gambus pun kental terasa. Maklum, A. Kadir dan beberapa pemusik memang keturunan Arab yang paham benar tangga nada Timur Tengah.

Lagu melayu mirip kasidah ini terasa di Pengantin Baru, Pujaan Hati, Keagungan Tuhan…. Yah, hampir semuanyalah. Meski begitu, tema lagu sebagian besar tetap berputar-putar di soal asmara muda-mudi.
Menurut Malik Bz., pada 1960-an hingga 1970-an lirik lagu melayu memang sangat memperhatikan rima alias kesamaan vokal di setiap bait. "Nggak kayak sekarang, syair lagu dibuat sebebas-bebasnya asal jadi," kata Malik Bz. kepada saya beberapa tahun lalu. (Abah Malik sudah almarhum.)

Abdul Kadir lahir dan besar di kawasan Ampel, Surabaya Utara. Orangnya santun, berwibawa, dan hebat secara musikal. Suaranya tidak bagus-bagus amat, tapi enak didengar. Nyanyinya tidak ngoyo, bahkan cenderung pakai setengah suara. Mungkin karena disesuaikan dengan irama melayu masa itu yang belum dimasuki unsur rock & beat macam dangdut masa kini.

Karena suka musik, A. Kadir mengajak teman-temannya pada 1950-an untuk mendirikan Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala di Surabaya. Saat itu orkes melayu belum banyak di Indonesia. OM lain yang terkenal dan berpengaruh, kata Malik Bz, adalah OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik di Jakarta.

[Untuk orkes melayu nama pemimpin sangatlah penting. Dia bisa pemusik, penata musik, atau sekadar juragan yang menentukan merah-hitamnya orkes. Nama pemimpin selalu dicantumkan bersama orkesnya. Maka, kita kenal OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir. Kemudian OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik. Sampai sekarang pun orkes melayu atau dangdut di Jawa Timur mempertahankan tradisi ini.]

Menurut A. Malik Bz, komposer sekaligus pianis dan pemain akordeon OM Sinar Kemala, selama 10 tahun lebih OM Sinar Kemala tidak berkembang meskipun sudah mulai dikenal masyarakat di Surabaya dan sekitarnya. Toh, mereka tetap berkarya, main di RRI Surabaya, atau mengisi tanggapan di berbaga hajatan. Para pemusik yang rata-rata muda, bujang, sangat menikmati hobi sebagai pemusik melayu yang disukai masyarakat pada masa itu.

Barulah pada 1961, OM Sinar Kemala melejit. Album demi album mereka rekam di PT Lokananta, salah satu perusahaan rekaman perintis di Indonesia. OM Sinar Kemala mencapai kejayaan pada 1964 dengan merilis hit Keagungan Tuhan karya A. Malik Bz. Adalah Ida Laila, vokalis remaja asal Surabaya, yang membawakan saat rekaman di Lokananta.

RRI Surabaya, sebagai wadah bermusik OM Sinar Kemala, kemudian menyebarkan lagu-lagu OM Sinar Kemala ke jaringan RRI di seluruh tanah air. Maka, di mana-mana orang menyanyikan lagu itu. Lalu, rekaman demi rekaman diproduksi di Lokananta.

Saat saya temui di Kureksari, Waru, Sidoarjo Abah Malik Bz mengatakan bahwa OM Sinar Kemala berhasil mencetak 80 album lagu-lagu melayu baik yang sukses maupun tak. Separo, 40 album, diproduksi Lokananta, Solo, dan 40 lainnya oleh Remaco, Jakarta.

Waktu terus berjalan, dunia hiburan Indonesia pada 1970-an awal dibanjiri film-film India. Salah satunya berjudul AWARA. Film India, kita tahu, tak hanya berisi cerita, tapi lebih-lebih musik dan goyangannya yang khas. Orang Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan kota-kota besar pun demam artis India.

Mau tak mau, irama India pun terserap ke musik melayu 'klasik' tanah air. Nah, lagu melayu bercampur India ini kemudian menjadi cikal bakal dangdut.



Selamat Jalan Ida Laila Penyanyi Dangdut Legendaris




Penyanyi dangdut legendaris asal Surabaya Ida Laila meninggal dunia pada Kamis 12 September 2019. Pagi-pagi saat hendak nggowes sepeda tua, saya baca informasinya di WA. Dari wartawan Tempo di Surabaya, Mas Kukuh.

Mas Kukuh sekaligus minta sedikit informasi dari saya tentang Ida Laila. Khususnya lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan Ida Laila bersama OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir pada tahun 1960an. Lagu itulah yang membuat nama Ida Laila mulai tenar di seluruh Nusantara. Termasuk Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam.

Eh, ternyata wawancara di WA itu diolah menjadi berita di https://www.tempo.co/read/1246908/pedangdut-ida-laila-tenar-setelah-bawakan-lagu-keagungan-tuhan

Saya pun diberi atribusi: pengamat musik dangdut. Lumayan hehe...
Berikut reportase Mas Kukuh di www.tempo.co :




Pedangdut Ida Laila Tenar Setelah Bawakan Lagu Keagungan Tuhan


Editor: Kukuh S. Wibowo
12 September 2019 10:54 WIB


TEMPO.CO, Surabaya - Pengamat musik dangdut, Lambertus Lusi Hurek, mengatakan Ida Laila mulai tenar namanya saat membawakan lagu berjudul Keagungan Tuhan karya A. Malik Buzaid, pimpinan Orkes Melayu Sinar Kemala pada 1964. Sinar Kemala merupakan grup orkes Melayu yang didirikan di kawasan Ampel, Surabaya pada 1960-an.


Menurut Lambertus, Malik memilih Ida membawakan lagu ciptaanya karena bersuara jernih dan bagus dalam menghayati syairnya. "Ida Laila saat itu menjadi salah satu vokalis remaja bersama A. Rafiq dan beberapa artis lagi. Mereka tumbuh dari kampung Arab di Ampel Surabaya," kata Lambertus, Kamis, 12 September 2019.

Setelah itu Ida Laila membuat album duet bareng S. Ahmady, pimpinan Orkes Melayu Awara. Ahmady sejatinya juga anggota Sinar Kemala, namun memutuskan keluar dan berkarier sendiri. Bersama S. Ahmady inilah Ida menelorkan puluhan album lagu yang sangat terkenal pada zamannya. Selain Keagungan Tuhan, lagu-lagu Ida yang populer ialah Sepiring Berdua dan Munafik.

"Bahkan sampai sekarang lagu-lagu Ida bersama Awara masih sering diputar di radio ataupun di warung kopi. Mungkin Ida Laila ini artis dangdut klasik yang albumnya paling banyak di Indonesia," kata Lambertus.

Sebagai biduan dangdut, Ida Laila juga pernah menjadi salah satu narasumber penulisan buku berjudul Dangdut Stories karya Profesor Andrew Weintraub dari Pittsburgh University Amerika Serikat.

Ida Laila meninggal dunia Kamis dini hari tadi sekitar pukul 02.00. Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Dr. Soedono Madiun dalam usia 75 tahun karena penyakit stroke. Rencananya jenazah warga Jalan Kanser Nomor 2 Ploso, Tambaksari, Surabaya itu akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Rangkah Surabaya pada Kamis siang. (*)

Rabu, 11 September 2019

Tidak berani pegang timnas



Bagaimana kalau taruhan lagi? Saya pegang Thailand? Sampean timnas Indonesia?

Kali ini mas yang dari Gedangan, Sidoarjo, tidak berani. Takut kalah lagi. Dia sudah belajar dari pertandingan pertama timnas Indonesia vs Malaysia. Saat itu Indonesia kalah karena kehabisan bensin.

Percuma pegang timnas. Mainnya kayak rawon. Gak iso melayu. Napase gak kuat, kata pria 40an tahun ini di warkop kawasan Gubeng Surabaya tadi malam.

Indonesia memang kalah segalanya. Dipermalukan di rumah sendiri 0-3. Babak pertama lumayan, tanpa gol, babak kedua hancurrr.

Pemain Indonesia itu tidak bisa bermain 90 menit. Hanya bisa main satu babak. 45 menit lalu amblas. Demikian saya mengulang teori lama berdasarkan pengamatan saya menonton timnas senior dalam 10 tahun terakhir. Timnas U16 dan U19 justru bagus.

Mas itu dan beberapa penggila bola pun menimpali. Intinya memperkuat pendapat saya. Semuanya mengkritik pemain-pemain timnas yang banyak kelemahannya. Khususnya stamina yang habis.

Jadwal kompetisi terlalu padat. Pemain-pemain kami kelelahan, kata pelatih Simon dikutip koran pagi. Pemain-pemain sudah berjuang habis-habisan di lapangan, katanya ngeles.

Masih ada beberapa pertandingan yang bakal dilakoni tim Garuda. Tapi dua laga awal ini sangat merisaukan. Tak ada harapan untuk lolos. Main di kandang aja melempem. Apalagi bertanding di Malaysia, Thailand, Vietnam, Uni Emirat Arab.

Bagaimana kalau Indonesia lempar handuk aja? Tidak perlu bertanding lagi? Toh hasilnya bisa dipastikan kalah kalah kalah... melulu.

Kya Kya Kembang Jepun Dicat Ulang

Dua hari ini gapura Kya Kya Kembang Jepun dicat ulang oleh pekerja dari Pemkot Surabaya. Dalam rangka revitalisasi kota tua Surabaya. Program pemkot ini sudah berjalan tiga bulan.

Bangunan-bangunan tua era kolonial di kawasan Kembang Jepun, Karet, Panggung, Pabean dicat. Perlahan-lahan wajah kota lama, pecinan, mulai kelihatan lebih segar. Tidak kusam lagi seperti biasanya.

Wali Kota Risma memang ingin menjadikan kawasan kota tua hingga Ampel dan seterusnya sebagai destinasi wisata Surabaya. Agak telat memang karena masa jabatan Ning Risma berakhir tahun 2020.

Selama hampir 10 tahun menjabat wali kota, Ning Risma lebih fokus bangun taman-taman di berbagai kawasan. Juga bikin jalan pendamping alias frontage road yang terkenal itu. Penataan kota tua baru belakangan saja.

Hampir tiap sore saya ngopi di warkop dekat Kya Kya Kembang Jepun. Sambil ngobrol sama bu warung asli Madura yang tinggal di Bulak Banteng. Belajar bercakap bahasa Madura dengan penutur asli. "Kelihatan lebih indah," kata ibu penjual rujak manis asli Pulau Garam itu.

Kya Kya Kembang Jepun. Tahun 2003 jalan raya yang dulu bernama Handelstraat itu pernah dijadikan pusat kuliner. Makan-makan sambil menikmati tradisi budaya Tionghoa. Manajemen Kya Kya berkantor di Kembang Jepun 167. Persis di sebelahnya gapura khas pecinan itu.

Kya Kya cuma sukses menyedot pengunjung pada dua tahun awal. Tahun ketiga makin sepi. Tahun keempat apalagi. "Tahun 2007 itu tenant yang ada tinggal 30 persen. Sudah senen kemis," kata Freddy Handoko Istanto, pengurus Kya Kya Kembang Jepun, yang sekarang dosen Universitas Ciputra.

Tak lama kemudian pujasera Kya Kya bubar. Kontrak kerja sama Jawa Pos dengan Pemkot Surabaya memang habis. Belum lagi banyak persoalan lain. "Terlalu banyak pedagang makanan yang cuma coba-coba. Makanya sebagian besar pengunjung tidak puas. Harganya mahal tapi makanannya gak enak," kata Freddy.

Begitulah. Kya Kya Kembang Jepun yang pujasera itu sudah jadi nostalgia. Jadi catatan penelitian arek-arek mahasiswa anyar. Freddy Istanto pun jadi narasumber utama.

"Gara-gara proyek Kya Kya itu, saya jatuh cinta sama gedung-gedung tua," kata Freddy yang sering mampir ke Kembang Jepun untuk menikmati nasi rawon khas peranakan itu.

Lantas, bagaimana wajah kota tua setelah revitalisasi nanti?

Sudah pasti beda dengan gebrakan Dahlan Iskan dengan Kya Kya Kembang Jepun pada 31 Mei 2003 yang lalu. Ning Risma dan pemkot tentu sudah punya desain tentang wajah destinasi wisata di kota tua.

Saat ini Jalan Kembang Jepun sangat sepi pada malam hari. Hanya ada beberapa warung tenda di sebelah barat. Sama sekali tak ada sisa-sisa kejayaan ketika artis-artis top, politisi, menteri-menteri, hingga SBY (saat itu calon presiden) mampir dan makan minum di Kya Kya sambil menikmati alunan musik khas Tionghoa dan tembang kenangan.

Selasa, 10 September 2019

Prof Andrew Weintraub Pakar Dangdut dari Amerika

Andrew Weintraub bernyanyi dangdut di Gang Dolly Surabaya.



Dangdut itu musik rakyat. Anehnya, tidak ada ada ahli kita yang melakukan kajian secara mendalam baik dari aspek sosial, budaya, sejarah, dsb. Yang serius melakukan penelitian justru orang Amerika.

Prof Andrew Weintraub PhD dari dari University of Pittsburgh USA baru saja meluncurkan buku DANGDUT versi bahasa Indonesia di Unair Surabaya. Buku ini aslinya berbahasa Inggris berjudul DANGDUT STORIES pada 2010. Peneliti yang sangat gemar dangdut, khususnya Rhoma Irama, ini memberikan kontribusi besar pada literatur musik kita yang memang sangat minim.

Andrew, begitu pak profesor ini minta disapa, menelusuri jejak dangdut sejak masih cikal-bakal protomelayu, kemudian melayu deli, orkes melayu, gebrakan Rhoma Irama, hingga masyarakat mulai kenal musik genre dangdut. Andre bahkan membahas juga dangdut daerah, koplo, hingga artis-artis erotis macam Inul atau Trio Macan.

"Jangan panggil saya Profesor atau Doktor! Panggil saja Andrew supaya lebih akrab," kata Andrew Weintraub kepada saya dalam beberapa kesempatan.

 Inilah bedanya orang USA yang rendah hati meskipun hebat ketimbang orang kita yang cenderung gila gelar, suka mencantumkan banyak titel, meskipun penelitiannya tidak jelas. Banyak juga lho doktor dan profesor palsu di Indonesia.

Mana ada buku cerita dangdut sedetail dan selengkap ini? Andrew memburu rekaman-rekaman awal berupa piringan hitam sejak era Hindia Belanda hingga masa kini. Dia menyimak dan menganalisis struktur lagu, instrumentasi, cara nyanyi, syair, hingga penampilan musisi.

Saya pastikan orang Indonesia sekalipun, termasuk orang dangdut, tidak punya bahan-bahan yang dipunyai Andrew Weintraub. Rhoma Irama sendiri kaget melihat koleksi rekaman Andrew yang luar biasa. "Suatu saat kita belajar dangdut di Amerika," gurau Abdul Malik Buzaid (sekarang almarhum), personel OM Sinar Kemala Surabaya.

Saya beruntung diajak Andre mengikuti proses wawancara dan pengumpulan bahan-bahan dangdutnya di Surabaya. Dia temui musisi Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala yang sangat terkenal pada 1960an. Mula-mula diskusi bersama di Hotel Hyatt, kemudian Andre menemui satu per satu pemusik di rumah masing-masing. "Supaya mereka bisa bicara lebih jujur dan bebas," katanya.

Dia juga survei orkes dangdut di Gang Dolly tempat prostitusi. Bahkan dia jadi vokalis dadakan dengan lagu-lagu Rhoma. Totalitas yang luar biasa.

Saya pun terkagum-kagum dengan cara kerja pakar USA. Dia harus bertemu muka one on one dengan sumber. Dan harus sumber pertama kecuali yang sudah meninggal dunia. Maka dia keliling Indonesia untuk menggali dangdut yang fenomenal itu.

Kapan ahli-ahli kita bisa ngelutus kayak Amrik?

Oh ya, saya juga berterima kasih karena Andrew mencamtumkan nama saya di kata pengantar buku dangdutnya baik yang versi bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

"Setelah ini saya akan melakukan penelitian tentang musik KOPLO. Sangat unik dan menarik," kata profesor yang ramah ini.