Selasa, 10 September 2019

Mengenang Komposer OM Sinar Kemala A. Malik Buzaid



Insaflah, wahai manusia
Jika dirimu bernoda
Dunia hanya naungan
'tuk makhluk ciptaan Tuhan....

Nama Abdul Malik Buzaid, yang lebih populer dengan A. Malik Bz, tak bisa lepas dari orkes dan musik melayu di tanah air. Ayah sembilan anak ini merupakan salah satu dari sedikit pemusik tempo dulu yang terus berkarya sampai sekarang. Salah satu lagunya, Keagungan Tuhan, yang diciptakan pada 1964, masih diperdengarkan sampai hari ini dalam berbagai versi.

Setiap bulan Ramadan, lagu religi ini hampir selalu dirilis ulang oleh penyanyi atau grup band anak muda. Belum lama ini, Keagungan Tuhan dibawakan penyanyi remaja Vidi Aldiano dalam versi R&B. Sebelumnya, lagu yang awalnya dipopulerkan Ida Laila bersama Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala pada 1964 ini dibawakan GIGI dalam versi rock.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS LUSI HUREK dengan A. Malik Bz di rumahnya di Desa Kureksari, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.


Lagu Keagungan Tuhan ciptaan Anda sudah dibuat berapa versi, selain dibawakan OM Sinar Kemala sendiri?

Kalau tidak salah, sudah lebih dari 40 versi. Ada penyanyi solo, band, dan sebagainya. Mulai Ida Laila, Syam D'Lloyd, Titiek Sandhora, Hetty Koes Endang, Rita Effendy, GIGI, sampai Vidi Aldiano.

Mereka membawakan lagu saya itu sesuai karakter mereka. Ada yang pop, melayu, dangdut, koplo, gambus, kasidah, shalawatan, rock, soul, R&B, sampai sound track sinetron dan film, kemudian jingle iklan. Alhamdulillah, Keagungan Tuhan sudah menjadi lagu abadi, dibawakan orang dari masa ke masa.

Para produser minta izin dulu dari Anda sebagai pencipta lagu?

Ada yang izin, ada yang tidak izin. Ada yang ketahuan dulu baru izin. Maklum, budaya kita di Indonesia kan masih seperti itu. Belum menghormati hak cipta dan hak seorang pencipta lagu. Di TVRI lagu Keagungan Tuhan dirilis orang lain dan ditulis penciptanya orang lain. Itu sampai bertahun-tahun sampai saya komplain. Begitulah nasib pencipta lagu di Indonesia.

Artinya, Anda terus menerima royalti dari lagu itu?

Alhamdulillah. Royalti itu termasuk barang baru di Indonesia. Kalau yang tidak izin, ya, saya tidak dapat apa-apa. Pencipta lagu tidak dihargai. Kalau yang izin, ya, ada meskipun tidak besar. Royalti baru jalan setelah ada KCI (Yayasan Karyacipta Indonesia). Selama ini royalti dari GIGI yang paling tinggi. Sebab, penjualan album dan RBT-nya paling bagus.

Terakhir, lagu Keagungan Tuhan di-recycle oleh Vidi Aldiano.

Saya puas karena ternyata suaranya Vidi ini bagus. Improvisasinya bagus, penjiwaannya bagus. Saya nggak menyangka karena sebenarnya saya belum tahu ketika bapaknya Vidi, Pak Hari dan produser, minta izin memakai lagu Keagungan Tuhan. Saya oke-oke saja karena saya kenal baik neneknya Vidi yang bernama Darsih. Ibu Darsih itu seorang penyanyi keroncong yang bagus.

Bagi pencipta lagu seperti saya, nomor satu itu bukan bayaran, tapi kepuasan batin. Kalau asal dibayar, tapi lagu kita jadi rusak, buat apa? Lebih parah lagi, lagu kita dirusak, sementara kita juga tidak dapat bayaran.

Dari Vidi itu, kemudian dijadikan jingle iklan oleh sebuah perusahaan seluler?

Benar. Setelah membuat kaset dan CD, kemudian produser membuat RBT dengan mendaftar ke perusahaan seluler. Rupanya, XL tertarik karena lagunya bernuansa Ramadan dan anak muda. Saya dihubungi, dimintai izin, ya nggak apa-apa. Yang penting, mengikuti prosedur yang berlaku. Tadinya saya minta agar syair Keagungan Tuhan tidak diubah. Tapi, namanya juga iklan, ya liriknya dibuat sesuai kepentingan mereka.

Apa kekuatan lagu Keagungan Tuhan, sehingga bisa bertahan selama 40 tahun lebih?

Nomor satu, menurut saya, syair, kemudian baru melodinya. Saya yakin itu merupakan inspirasi dan pemberian dari Tuhan Yang Mahakuasa. Lagunya benar-benar murni, tidak ada unsur plagiat atau mencontoh lagu lain. Saya sendiri kaget kok bisa dikasih lagu seperti ini oleh Tuhan ya? Seperti suara gaib saja. Itu yang membuat Keagungan Tuhan bertahan, sampai dibuat film segala.

Bagaimana proses penciptaan lagu itu?

Ceritanya, tahun 1964, ketika masih muda, saya bersama teman-teman jalan-jalan ke kawasan lampu merah di Kremil, Surabaya. Saya duduk-duduk main gitar. Saya perhatikan suasana di sana. Ada orang mabuk, ngomong nggak karuan, ada yang kelonan, ngobrol... macam-macamlah. Kepala saya langsung pusing. Saya minta kertas dan potlot kepada seorang perempuan.

Saya kemudian menulis syair, notasi, bahkan intronya. Komplet. Cepat sekali prosesnya. Pulang ke rumahnya Pak Kadir, pimpinan OM Sinar Kemala, ada piano. Saya coba memainkan lagu itu. Kok enak rasanya. Pak Kadir juga senang. Sorenya saya benahi lagi, tambah bagus.

Dua hari kemudian Pak Urip Santoso datang ke rumah Pak Kadir untuk latihan bersama Sinar Kemala. Pak Urip ini pakar musik yang juga guru saya di bidang aransemen. Dia bilang, lagumu itu bagus. Lalu, sejak itu kami mainkan bersama teman-teman OM Sinar Kemala. Penyanyinya Ida Laila, dengan nada dasar Bes.

Rekamannya di mana?

Di RRI Surabaya. Piringan hitamnya (PH) kemudian diproduksi di Lokananta, Solo, dan disebarkan ke radio-radio di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, lagu saya pun jadi populer.

Keagungan Tuhan benar-benar dahsyat. Saya sendiri tidak pernah membayangkan bisa seperti ini. Radio Australia, BBC London, Suara Amerika (VOA), mutar lagu Keagungan Tuhan pada acara Pilihan Pendengar.

Selain Keagungan Tuhan, Anda telah menciptakan ratusan lagu untuk OM Sinar Kemala dan penyanyi lain. Siapa yang mendorong Anda menjadi song writer?

Saya diprovokasi oleh kakak saya, Abdullah, mantan TNI. Dia bilang kalau orang lain bisa membuat lagu mestinya kamu juga bisa. Jangan menjiplak lagu-lagu India, mengubah syair, kemudian mengklaim sebagai ciptaan sendiri.

Maka, saya belajar musik ke beberapa pemusik terkenal. Guru saya antara lain Pak Urip Santoso dan Pak Abubakar. Saya sampai mondok di rumahnya Pak Abubakar untuk belajar akordeon. Saya juga belajar biola sama pemusik-pemusik keroncong.

Setelah menguasai banyak instrumen, saya akhirnya bisa menulis lagu. Tapi semua itu, berdasarkan pengalaman saya, harus ada ilham dari Tuhan. Kalau nabi mendapat wahyu, seniman mendapat ilham. Tanpa ilham, sulit menghasilkan lagu yang baik.

Saya dulu sering dipaksa oleh produser untuk membuat lagu di studio. Ini yang saya tidak pernah bisa. Musik dangdut itu sempat terpuruk antara lain karena suka menjiplak lagu-lagu India. Kalau orientasinya hanya komersial, ya, nggak akan awet.

Ngomong-ngomong, apakah musik bisa menjadi sandaran hidup?

Di Indonesia sulit. Peneliti musik dangdut dari Amerika, Prof Andrew Weintraub, heran ketika masuk ke rumah saya ini. Kok rumah saya kecil, sederhana? Padahal, karya saya begitu banyak. Sejak dulu pun saya sudah dinasihati senior saya bahwa kita sulit hidup dari musik. Harus ada usaha atau pekerjaan lain.

Nasihat ini juga saya sampaikan kepada anak-anak saya. Mereka memang saya ajari musik, belajar not balok, not angka, alat-alat musik, tapi jangan sampai mengandalkan hidup dari musik. Lain sekali kondisinya dengan pemusik di negara maju yang bisa hidup makmur dari karya musiknya. (*)





Orkes Melayu dari Kampung Arab

Popularitas lagu Keagungan Tuhan tak lepas dari jasa Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala. Orkes asal Kampung Ampel, Surabaya, yang dipimpin A. Kadir (almarhum) ini pada 1960-an dikenal sebagai salah satu OM terkenal di tanah air. OM Sinar Kemala bahkan kondang hingga ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

"Kalau di Medan ada OM Bukit Siguntang, OM Sinar Medan, dan OM Kenangan, kita di Jawa Timur punya OM Sinar Kemala. Saking populernya, kami selalu menerima tanggapan dari berbagai daerah," jelas Abdul Malik Buzaid, pemain akordeon sekaligus pencipta lagu untuk OM Sinar Kemala.

Menurut A Malik Bz, sapaan akrab pria asal Kampung Ampel, Surabaya, ini, kehebatan OM Sinar Kemala tidak lepas dari peran Abdul Kadir sebagai pemimpin orkes. Selain santun dan berwibawa, pemusik keturunan Arab itu sangat menonjol secara musikal. Kadir mahir menguasai banyak instrumen musik, vokalnya bagus, dan punya jiwa kepemimpinan tinggi.

"Pak Kadir itu disiplin, keras, dan cenderung otoriter. Tapi justru itu yang membuat OM Sinar Kemala bisa eksis dan dikenal publik," kata Malik Bz.

Berbeda dengan OM-OM papan atas seperti Bukit Siguntang atau Kenangan, OM Sinar Kemala banyak merilis lagu-lagu bernuansa Arabia. Ini tak lepas dari latar belakang A. Kadir sebagai pemusik gambus ternama di Kampung Arab pada 1950-an.

"OM Sinar Kemala itu tadinya Orkes Gambus Alfan. Saya belum ikut. Nah, karena pemasaran musik gambus surut, sementara musik melayu naik daun, maka Kadir beralih ke OM Sinar Kemala," kenang Malik.

Kalau orkes dangdut sekarang hanya beranggotakan tujuh hingga 10 orang, menurut Malik, orkes melayu selalu diperkuat belasan, bahkan 20-an orang. Pemain biola Sinar Kemala saja 12 orang. Belum lagi pemain alat musik tiup yang juga banyak. "Jadi, kami harus membaca partitur kalau main musik. Nggak pakai hafalan thok," katanya.

Malik masih ingat nama-nama pemain OM Sinar Kemala seperti Ida Laila alias Murah Ati (vokal), Nur Kumala (vokal), Khadam (trombone), Ellya Khadam (vokal), S Achmady (vokal), A. Kadir (suling, tabla), Yohana Satar (penyanyi), A. Rafiq (vokal), Wakhid (gitar), Saleh (trumpet, klarinet), Abubakar (biola, arranger), Muhammad Degel (kendang), A. Karim (tamborin), Umar (penyanyi), Said Efendi (vokal), Fuad (marakas), Husein (akordeon).

"Banyak yang sudah almarhum. Pak Kadir meninggal pada tahun 1985 di Ampel Cempaka," tutur Malik. "Pak Kadir sempat bilang sebelum dia meninggal, OM Sinar Kemala tidak akan mati."

Ketika film India booming pada 1960-an dan 1970-an, masyarakat Indonesia pun tergila-gila dengan musik Hindustan. Orkes-orkes di tanah air pun harus menyesuaikan diri seperti musik di film Awara. Maka, lagu-lagu bercorak Melayu menjadi andalan orkes-orkes.

"Pak Kadir sendiri kemudian mengubah penampilan ala India. Penyanyi Sinar Kemala seperti A Rafiq dan Ellya Khadam bergaya ala India. Dan itu sangat disukai masyarakat," katanya.

Ketika OM Sinar Kemala di puncak kejayaan, terjadi konflik antara Remaco (Jakarta) dan Golden Hand (Surabaya). Kedua perusahaan rekaman ini memperebutkan artis-artis OM Sinar Kemala. Maka, OM Sinar Kemala pun pecah.

Sejumlah personel kunci keluar dan bikin orkes baru. Orkes pecahan Sinar Kemala antara lain OM Sinar Mutiara (pimpinan Fouzi), OM Awara (S Achmady], OM Permata (Mono Sanjaya).

"A. Rafiq cabut ke Jakarta dan mendirikan A Rafiq Group. Orang ini dulu suaranya cempreng, nggak punya power. Setelah digembleng di Sinar Kemala, A. Rafiq maju pesat," tuturnya.

Malik Bz, penulis lagu plus pemain akordeon dan piano juga diajak bergabung dengan orkes lain. Bahkan, diminta membuat orkes baru untuk rekaman. "Tapi saya tidak mau. Saya tetap bertahan bersama OM Sinar Kemala," tegas Malik.

OM-OM pecahan Sinar Kemala ini dalam waktu singkat meraih popularitas. OM Awara dengan duet Ida Laila dan S Achmady mencetak puluhan album dan laku keras. A Rafiq, dengan celana dan goyangan yang khas, pun kian kondang setelah hijrah ke Jakarta. Malik sendiri tetap menulis lagu untuk dinyanyikan penyanyi-penyanyi rekaman sambil memberi les musik dari rumah ke rumah.

"Dunia rekaman kita nggak karuan karena dikuasai orang-orang yang mata duitan. Bikin lagu bukan untuk seni, tapi semata-mata uang. Seniman karbitan merajalela. Saya dipaksa ikut arus industri, tapi nggak mau," tegas Malik Bz.  (Lambertus Hurek)

PERSONEL OM SINAR KEMALA

Ghozali [pembawa acara]
Ida Laila [penyanyi]
Nur Kumala [penyanyi]
Munif Bahaswan [penyanyi]
Khadam [trombone]
Piek Nyoo [penari]
Fouzi [penggembira]
Ellya Khadam [penyanyi]

A. Kadir [pemimpin, suling, tabla]
Yohana Satar [penyanyi]
Wakhid [gitar]
Saleh [trumpet, klarinet]
Salim [pelawak]
Abubakar
Muhammad Degel [kendang]

A. Malik Bz. [akordeon, piano]
A. Karim [tamborin]
Umar [penyanyi]
Said Efendi [penyanyi]
Fuad [marakas]
Husein [akordeon]

Pemain biola : 12 orang.
Orkestrasi / arranger :

Suyanto
Andi Saifin
Kanan [Kepala RRI Surabaya]
Marzuki [RRI]
Urip Santoso
Sofyan


ABDUL MALIK BUZAID

Nama populer: A. Malik Bz.
Lahir : Surabaya, 31 Desember 1944
Istri : Aisyah
Anak : 9 orang. Dua dari istri pertama, tujuh dari istri kedua.
Nama anak: Zed (alm), Rifki. Sofyan (alm), Yasir, Anas, Miqdah, Azhar, Mus'ab, Amru.
Alamat: Jalan Flamboyan II/21 Kureksari, Waru, Sidoarjo.

ORGANISASI

- Persatuan Artis Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI) Jawa Timur
- Dewan Kesenian Sidoarjo

PENGHARGAAN

- Anugerah Bakti Musik Indonesia, 2005
- Gubernur Jatim Imam Utomo, 2004
- Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan Brunei Darussalam, 1994

Senin, 09 September 2019

Soesijanto GM Luminor Hotel Sidoarjo Doyan Golf

GM Luminor Sidoarjo Soesijanto dan PR Hotel 88 Surabaya Devy Widya


Dulu saya sering mampir di Luminor Hotel, Jalan Jemursari Surabaya, kalau ada live music. Kebetulan GM-nya, Soesijanto, senang musik. Sesekali dia bikin jazz night. Yang paling saya ingat, Ucok, saksofonis terkenal di Surabaya, mengajak anggota komunitas jazz-nya ke Luminor.

"Asyik banget kalau di hotel ada event jazz secara rutin. Apalagi tamu-tamu kami banyak yang suka," ujar Soesijanto.

Tak banyak percakapan tentang jazz, musik, okupansi dsb saat menikmati live music di Luminor Jemursari. Maklum, general manager yang satu ini sibuk meladeni tamunya yang banyak. Diajak bicara satu per satu.

"Kalau ada live music, silakan datang lagi," kata arek Suroboyo itu.

Eh, tak lama kemudian Soesijanto pindah ke Sidoarjo. Jadi GM Luminor Hotel di Jalan Pahlawan. Tak jauh dari mulut jalan tol, Stadion Gelora Delta, dan RS Delta Surya. Lokasi Hotel bintang 3 milik Waringin Hospitality itu memang sangat strategis. Membuat wajah Sidoarjo lebih modern.

Maka, diskusi atau lebih tepat ngobrol bareng GM Soesijanto jadi lebih sering. Ada-ada saja idenya untuk memeriahkan hari jadi Kabupaten Sidoarjo.

"Kita bikin semacam pesta kuliner khas Sidoarjo. Libatkan semua hotel yang ada di Sidoarjo. Kita harus ciptakan event untuk menarik wisatawan," katanya.

Ide ini kemungkinan baru bisa dieksekusi tahun depan. Saat hari jadi Sidoarjo kemarin Luminor Hotel bikin event sepeda sehat ke sejumlah objek wisata di Kabupaten Sidoarjo. Di antaranya candi-candi dan Pabrik Gula Toelangan (yang sudah dua tahun tidak beroperasi). Peserta sepeda sehat ini umumnya pengusaha dan relasi Luminor Hotel di Surabaya.

Soesijanto menilai Kabupaten Sidoarjo punya banyak potensi yang bisa diangkat ke tingkat nasional. Bandara Internasional Juanda berada di Sidoarjo. Terminal Purabaya di Bungurasih, Kecamatan Waru. Hotel-hotel berbintang juga mulai banyak. Tidak lagi terkonsentrasi di kawasan Bandara Juanda, tapi sudah masuk ke tengah kota.

Selain Luminor Hotel di Jalan Pahlawan, belakangan ada Favehotel di Jalan Jenggolo dan Neo+ di Jalan Raya Waru. Ada pula The Sun Hotel yang lebih dulu beroperasi pada 2005. Tamu-tamu hotel ini perlu "ditahan" agar bisa jalan-jalan dan berwisata di Kota Delta.

"Makanya, belum lama ini kami juga support acara jambore sepeda tua nasional di Gelora Delta. Kami tampilkan menu-menu khas Sidoarjo yang lezat," katanya.

Omong punya omong, akhirnya saya tahu kalau GM Soes ini penggemar berat golf. Bukan cuma hobi, golf sudah jadi kebutuhan hidupnya. "Saya sudah coba hampir semua olahraga. Sampai sekarang masih main bulutangkis. Tapi tidak ada olahraga yang nikmatnya melebihi golf," ujarnya seraya tersenyum.

Golf? Apanya yang nikmat?

"Wuihhh... sulit diceritakan. Kenikmatan golf itu hanya bisa dirasakan. Sekali merasakan nikmatnya golf, kita akan jatuh cinta selamanya," tuturnya.

Kalau sudah bicara golf... GM Soesijanto tampak sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Soesijanto kemudian memberi semacam kursus kilat cara memukul bola golf.

 "Mukulnya gak asal. Gak boleh pakai power. Ada seni dan teknik khusus. Kalau Anda memakai power, ya pasti gagal."

Soesijanto kemudian memperlihatkan video di ponselnya. Hampir semuanya tentang permainan golf kelas dunia. Padang golf dengan rumput hijau yang sangat terawat.

 "Coba Anda perhatikan orang tua ini. Teknik memukulnya luar biasa. Gerakannya seperti hipnotis," katanya.

Sebagai orang yang sangat awam golf, saya sulit memahami permainan golf. Olahraga yang mirip klangenan pengusaha-pengusaha dan para veteran yang purnatugas. Nikmatnya di mana?

"Waduh, luar biasa golf itu. Kapan-kapan kita bikin turnamen golf biar Anda bisa melihat langsung di lapangan," ujar sang GM lantas tertawa kecil.

Soesijanto juga menyebut golf ini punya banyak filosofi. Salah satunya adalah bagaimana melawan diri sendiri. Musuh terbesar golfer itu sejatinya bukan pemain lain tapi dirinya sendiri. Dia harus bisa kontrol emosi, tetap tenang menghadapi berbagai handicap dsb dsb.

"Jadi, kita tidak gampang stres. Beban pekerjaan seberat apa pun bisa kita hadapi dengan tenang," kata GM Soes ala motivator Mario Teguh.

Jumat, 06 September 2019

Menang Taruhan tapi Sedih



Dari dulu saya selalu pegang Malaysia kalau taruhan bola. Sebab saya tahu Indonesia sangat sulit menang atas tim nasional negara tetangga itu di level senior. Beda dengan timnas U16 atau U19 kita yang masih gres. Saya masih ingat Dollah Saleh dkk dari Malaysia mempermalukan timnas Indonesia pada akhir 80an.

Karena itu, semalam saya menang taruhan saat nonton bareng di warkop Ngagel dekat sungai di Jagir Wonokromo. Taruhan kecil-kecilan khas wong embongan. Cukup Rp 100 ribu aja.

"Sudahlah.. timnas (Indonesia) gak bakalan menang. Pemain-pemain naturalisasinya sudah tua-tua. Gak iso melayu Cak," kata saya bikin mas dari Sidoarjo makin panas karena kalah taruhan.

Di satu sisi, saya senang karena menang taruhan. Tapi, di sisi lain, saya sedih melihat timnas Indonesia dibuat mainan oleh anak buah pelatih Mr Tan. Pasukan Malaysia dalam pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) di Jakarta semalam main lepas, taktis, cerdas, berenergi. Selalu pressing dan mudah merebut bola dari pemain-pemain Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia sudah habis sejak babak pertama. Tidak bisa main 90 menit. Bagaimana kalau Indonesia usul ke FIFA agar durasi permainan sepak bola dikurangi? 90 menit + tambahan waktu terlalu lama untuk Indonesia. Cukup 2 x 30 menit saja. Kayak sepak bola anak-anak di bawah 15 tahun itulah.

"Orang Indonesia itu sulit juara sepak bola karena makannya nasi nasi nasi. Dari dulu juara-juara Piala Dunia itu negara-negara yang penduduknya makan roti.

Orang Tiongkok makan mi. Ya.. sulit juara. Orang Somalia makan jagung.. gak iso menangan," kata saya asal bunyi.

"Alah... Wong Malaysia yo mangan sego. Kok iso apik?" tanya arek Darjo itu.

"Beras di Malaysia itu varietasnya beda dengan di Indonesia. Komposisinya agak lain," kata saya.

Yang pasti, pemain-pemain impor yang aslinya makan roti kayak Beto, Lilipaly, Igbonefo, atau Gonzalez jadi rusak setelah dinaturalisasi. Sebab sudah lama makan nasi, melekan sampai jam 1, jam 2, jam 3, jam 4, untuk nonton Liga Inggris dan Liga Spanyol di televisi. Sudah makan nasi yang indeks glikemiknya tinggi, melekan pula. Ada juga yang rokokan.

Sayang, dari dulu dokter-dokter jarang dilibatkan untuk pengembangan olahraga kita. Khususnya sepak bola. Sport science cuma slogan doang. Pengamat-pengamat di televisi lebih banyak bicara skema 4-3-3 atau 4-2-2, counter attack, false nine dsb. Jarang yang menyoroti kelemahan fisik pemain-pemain Indonesia yang tidak bisa bermain stabil selama 90 menit.

Hanya orang komunis dari Uni Sovyet yang sangat jeli membaca kelemahan pemain-pemain bola Indonesia. Namanya Polosin. Maka, ketika melatih timnas Indonesia, Polosin ini paling fokus di fisik fisik fisik. Latihan teknik, strategi dsb bukan porsi utama.

Hasilnya memang joss. Timnas Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games. Sejak itu Indonesia tidak pernah juara lagi di tingkat Asia Tenggara.

Gak usah muluk-muluk bicara Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Lawan Malaysia saja kalah melulu.

Bagaimana dengab uang hasil menang taruhan itu? Aha, saya pakai untuk beli sate dan pulsa. Lumayan.

Rabu, 04 September 2019

Suster Yerona Hurek Kasih Penghiburan

Sr. Yerona Hurek, CIJ


Baru-baru ini saya ngobrol dengan Tante Suster Yerona Hurek CIJ lewat telepon. Dia mungkin biarawati pertama dari kampung saya di Kecamatan Ileape, Lembata, NTT. Sekarang tugas di Sulawesi Selatan. Adik kandungnya pastor di Keuskupan Larantuka. Namanya Romo Paskalis Gilo Hurek Pr.

Nah, intinya Suster Yerona minta agar saya dan adik-adik tidak boleh bersedih lantaran Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia pada 22 Juli 2019. Orang beriman harus percaya ada kehidupan kekal bersama Bapa di Surga.

"Berni... mo ake tani muri... mo ake sedih. Bapa Niko naika teti Bapa langun kae. Bapa Niko naka surga. Kame pia di pesan misa untuk Bapa Niko," ujar Suster Yerona dengan logat yang khas.

Bahasanya campuran Indonesia, Lamaholot, hingga bahasa Nagi atau Melayu ala Larantuka. Terjemahannya:

"Berni... kamu jangan menangis lagi. Kamu jangan bersedih. Bapa Niko sudah pergi ke rumah Bapa. Bapa Niko pergi ke surga."

Sudah lama sekali saya tidak bertemu tante suster yang jadi pimpinan biara itu. Jadwal cutinya memang beda. Saya biasa pulang saat Natal, Suster Yerona mudik saat lain. Tidak mungkin saat Natal dan Tahun Baru karena para klerus sangat sibuk dengan urusan liturgi, diakonia dsb.

Begitu juga Romo Paskalis Hurek. Saya tidak pernah jumpa selama belasan tahun. Padahal Romo Paskalis sangat sering pulang ke rumahnya di pinggir Desa Mawa Napasabok itu.

"Go balik lewo kang gute ape," begitu kata-kata pastor yang juga pemusik dan penyanyi jempolan itu. (Saya pulang kampung untuk mengambik api. Semacam cas baterai agar tetap punya semangat dan antusias melayani umat. Begitu ujaran khas Romo Paskalis.)

Nah, kata-kata penghiburan dari Suster Yerona Hurek ini sebetulnya sudah sering saya dengar. Setiap hari kita baca di iklan dukacita. Atau di rumah persemayaman jenazah macam Adijasa di Jalan Demak, Surabaya. 

Tapi kata-kata itu menjadi sangat berarti ketika kami keluarga besar ditinggal Bapa Niko Hurek. "Bapamu itu pergi ke rumah Bapa," kata suster yang selalu antusias itu.

Selasa, 03 September 2019

Selamat untuk Kardinal Suharyo



Akhirnya masuk koran utama. Bapa Uskup Agung Jakarta Monsinyur Ignatius Suharyo diangkat Paus Fransiskus sebagai kardinal pada 1 September 2019. Beritanya dimuat Jawa Pos pagi ini dan Kompas kemarin. Biasanya informasi macam ini jarang masuk media arus utama di NKRI.

Ada 12 kardinal baru yang diumumkan Sri Paus asal Argentina itu. Dua di antaranya dari negara muslim. Salah satunya Mgr Suharyo.

Pengangkatan kardinal jelas peristiwa luar biasa. Di lingkungan umat Katolik di seluruh dunia. Apalagi di Indonesia yang mayoritas 90an persen muslim. Orang Katoliknya pun tidak sampai 5 persen. Orang Protestan, apalagi aliran Pentakosta dan Karismatik, jauh lebih banyak.

Kok bisa bapa uskup asal Indonesia yang dipilih jadi kardinal?

Inilah menariknya. Meskipun minoritas absolut, ternyata Gereja Katolik di Indonesia sudah lama diperhitungkan di tataran global. Katolik Indonesia dianggap sudah dewasa. Bukan lagi penerima pater-pater misionaris dari luar negeri, khususnya Eropa, tapi justru bertugas di berbagai negara.

Pater-pater SVD asal Flores NTT kini lebih banyak melanglang ke paroki-paroki di luar negeri. Di Kabupaten Lembata, daerah asal saya, misalnya saat ini hanya SATU paroki yang digembalakan pater-pater SVD. Yakni Paroki Waikomo di dekat RS Bukit yang terkenal itu. Paroki-paroki lain dipegang para reverendus dominus (RD) alias romo diosesan alias projo.

Padahal, hingga akhir 1990an paroki-paroki di Lembata, Adonara, Solor, Larantuka sepenuhnya alias 100 persen dipegang pater-pater SVD. Kiprah para pater asal Indonesia ini tentu saja mendapat perhatian dari Vatikan. Panggilan ternyata sangat subur di Indonesia.

Kembali ke Ignatius Kardinal Suharyo SJ yang baru diangkat Paus Fransiskus. Beliau merupakan kardinal ketiga asal Indonesia. Diawali Justinus Kardinal Darmojuwono SJ (+) pada 1967, kemudian Julius Kardinal Darmaatmadja SJ pada 1994.

Artinya, umat Katolik di Indonesia harus menunggu 25 tahun untuk dapat satu kardinal. Sebelumnya 27 tahun. Memang sangat tidak gampang jadi seorang kardinal. Terlalu banyak syarat dan kualitas yang dituntut Vatikan.

Berbeda dengan dua kardinal pendahulunya yang Yesuit, Kardinal Suharyo ini berlatar imam projo (RD) dari Keuskupan Agung Semarang. Beliau seorang teolog, pemikir, penulis, aktivis, yang ditahbiskan menjadi imam oleh Justinus Kardinal Darmoyuwono SJ.

Monsinyur Suharyo ini menarik. Sejak diangkat jadi Uskup Agung Semarang, beliau menolak hal-hal yang berbau feodalisme. Panggilan kehormatan seorang uskup, Monsinyur, pun beliau kurang suka. Kalau menulis artikel opini di koran dan majalah, penulisnya cukup ditulis I. SUHARYO. Tidak pakai Mgr. I. Suharyo.

Bahkan, beliau lebih suka dipanggil Bapak Suharyo atau Pak Haryo. Ini juga sesuai dengan motonya: Serviens Domino Cum Omni Humilitate (Aku Melayani Tuhan dengan Segala Rendah Hati).

Selamat untuk Kardinal Suharyo!
Selamat untuk Pak Haryo!
Berkah Dalem!

Senin, 02 September 2019

Ratusan Tumpeng di Kelenteng Cokro

Tahun Baru Islam kemarin cukup meriah. Ada pawai di berbagai kampung di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Juga pengajian yang ramai.

Tahun Baru Islam bersamaan dengan Tahun Baru Jawa. Tanggal 1 Suro. Ada acara tumpengan bagi masyarakat Jawa yang kental kejawaannya. Apalagi para penghayat alias kejawen.

Setiap 1 Suro atau 1 Muharram saya selalu ingat Ibu Juliani Pudjiastuti. Orang Tionghoa ini ketua Kelenteng Hong San Ko Tee di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Biasa disebut Kelenteng Cokro.

Meskipun Tionghoa, jemaat Kelenteng Cokro selalu bikin acara suroan. Ada ratusan tumpeng yang disiapkan. Tumpeng-tumpeng itu didoakan oleh Pak Modin, kiai muslim, di depan altar Dewi Sri. Lalu bancakan dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.

"Kami ini meskipun orang Tionghoa, tapi lahir dan hidup di tanah Jawa. Kalau mati pun dikubur di Jawa. Bukan di Tiongkok sana," kata Juliani yang murah senyum itu.

Bu Juliani sudah dipanggil Sang Pencipta untuk ke alam nirwana dua tahun lalu. Saya pun kehilangan suasana suroan yang kental kejawen justru di lingkungan kelenteng Tionghoa.

Saya juga lupa kalau pengurus Kelenteng Cokro masih melanjutkan tradisi tumpengan dan doa bersama untuk Indonesia setiap 1 Suro itu. Maklum, libur nasional 1 Muharram tahun ini jatuh pada hari Minggu. Dus, tidak terasa tanggal merahnya.

Minggu malam, 1 September 2019, baru saya ingat 1 Suro. Ingat Kelenteng Cokro. Ingat Ibu Juliani. "Tadi siang ada acara tumpengan di Kelenteng Cokro?" saya bertanya ke Erwina Tedjakusuma, putri mendiang Ibu Juliani. "Semoga lancar dan sukses!"

"Ada, Pak Hurek.. acaranya lancar, sukses. Kamsia," Erwina membalas.

Oh, rupanya Erwina dan pengurus Kelenteng Cokro lupa memberi tahu para wartawan di Surabaya. Karena itu, pagi ini tidak ada foto dan berita tumpengan di Kelenteng Cokro. Padahal biasa foto ratusan tumpeng di halaman TITD Hong San Koo Tee selalu menghiasi koran-koran di Surabaya keesokan harinya.

Selamat Tahun Baru Islam!
Selamat Tahun Baru Jawa!
Rahayu... Rahayu... Rahayu!

Minggu, 01 September 2019

HM Handoko Pengusaha dan Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo



Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, HM Handoko aktif mengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sidoarjo. Dia juga tak segan-segan bergabung dengan partai politik.

Oleh LAMBERTUS HUREK


KESIBUKAN Handoko, yang bernama Tionghoa, Poo Tji Swie, ini memang luar biasa. Pagi hingga siang mengurus bisnis, berhubungan dengan konsumen, relasi, hingga kalangan perbankan. Namun, di sela kesibukan itu, Handoko bisa dengan mudah melakukan 'improvisasi' dengan bertemu orang-orang nonbisnis seperti politisi, aktivis ormas, hingga pengurus PITI.

Sebagai salah satu tokoh teras Partai Golkar Sidoarjo, tentu saja Handoko ikut sibuk membahas persiapan pemilihan bupati di Sidoarjo. Dia banyak memberi masukan tentang strategi, taktik, hingga analisis mengenai kemampuan para kandidat. Handoko sejak dulu punya feeling yang kuat dalam menebak hasil pemilu.

"Saya memang tidak bisa diam. Ada saja yang harus saya kerjakan. Dan itu membuat saya lebih semangat dalam menjalani kehidupan ini," ujar ayah dua anak ini, Yuliana Handoko dan Albert Handoko, kepada Radar Surabaya pekan lalu (pertengahan Mei 2010).

Sebagai muslim Tionghoa, selama ini nama HM Handoko alias Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah yang dipercaya untuk babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.

"Saya sih maunya tidak lama-lama mengurus PITI. Kalau bisa cukup satu periode, gantian ke orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk organisasi itu gak gampang," katanya seraya tersenyum.

Ketika hendak mengakhiri periode kedua di PITI Sidoarjo, Handoko mengaku sudah mengader beberapa aktivis muslim Tionghoa untuk menggantikan posisinya di PITI. Dia bikin acara-acara keagamaan Islam, bakti sosial seperti sunatan massal, hingga diskusi atau audiensi dengan pejabat. Handoko pun senang karena para pengusaha muslim Tionghoa yang selama ini hanya fokus di bisnis mulai bersedia membagi waktu untuk urusan sosial kemasyarakatan.

Sayang, ketika menjelang muktamar untuk mengganti dirinya, para kader itu merasa belum siap mengelola organisasi PITI. Handoko pun geleng-geleng kepala. Pria yang fasih bahasa Hokkian dan Mandarin ini kemudian sengaja mengulur-ulur waktu muktamar sambil melakukan lobi-lobi dengan beberapa kader muda yang dianggap potensial. Hasilnya? "Tidak memuaskan," kenang Handoko.

Apa boleh buat, muktamar PITI Sidoarjo akhirnya digelar juga pada 2005. Dan HM Handoko terpilih kembali sebagai ketua PITI Sidoarjo untuk masa jabatan lima tahun. "Itu yang membuat saya selalu identik dengan PITi Sidoarjo. Orang kalau omong PITI Sidoarjo, ya, mesti larinya ke saya. Padahal, saya sendiri sih tidak ingin berlama-lama duduk di depan," katanya.

Mengurus organisasi sosial keagamaan seperti PITI Sidoarjo, menurut Handoko, sangat berbeda dengan organisasi politik, parlemen, pemerintahan, atau organisasi bisnis. Kalau di dunia politik orang berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi bupati/wali kota, gubernur, atau anggota dewan, di PITI malah seakan berlomba-lomba menghindar.

"Sebab, di PITI itu kita harus benar-benar berjiwa sosial yang tinggi. Kita harus banyak berkorban untuk organisasi dan masyarakat," akunya.


Salah satu obsesi HM Handoko adalah membangun masjid berarsitektur Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Sayang, sampai sekarang impian itu belum juga terwujud.

HARUS diakui, Masjid Cheng Hoo di Jalan Gading 2 Surabaya yang arsitekturnya unik, khas Tionghoa, bahkan sekilas mirip klenteng, menjadi inspirasi bagi para pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di seluruh Indonesia. Bahkan, mereka yang bikin PITI pun tergerak untuk mendirikan masjid sejenis di kotanya masing-masing.

Tak usah jauh-jauh. Di Pandaan, tetangga Sidoarjo, sudah berdiri Masjid Cheng Hoo milik Pemkab Pasuruan yang sangat menarik perhatian para pengguna jalan Surabaya-Malang. Di Sumatera pun sudah ada masjid semacam Masjid Cheng Hoo di Surabaya. "Nah, saya ingin Sidoarjo punya Masjid Cheng Hoo juga. Bahkan, kita sudah punya konsep sebelum yang di Pandaan itu jadi," kata HM Handoko kepada Radar Surabaya belum lama ini.

Konsep Masjid Cheng Hoo Sidoarjo yang digodok Handoko dan kawan-kawan sebetulnya mirip dengan Cheng Hoo Surabaya. Selain masjid berarsitektur Tionghoa, Handoko menginginkan pusat budaya Islam dan Tionghoa, sekolah, perpustakaan, lapangan olahraga, gedung serbaguna. Karena itu, lahannya harus cukup luas.

"Kalau sekadar masjid yang biasa-biasa saja, buat apa? Kita ingin ada nilai tambah bagi masyarakat di Kabupaten Sidoarjo," ujar pria bernama asli Poo Tji Swie itu.

Setelah membahas secara internal, Handoko bersama beberapa pengurus teras PITI Sidoarjo mengadakan audiensi dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan pejabat-pejabat lain. Intinya, Win Hendrarso memberikan respons positif. Handoko juga menggelar jumpa pers untuk mengetuk hati para pengusaha Tionghoa baik muslim maupun nonmuslim yang peduli pada rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo.

"Alhamdulillah, banyak pihak yang tertarik untuk memberikan dukungan. Itu yang membuat saya dan teman-teman sangat antusias. Insya Allah, jadi," kenang ayah dua anak ini.

Sayang, setelah konsep itu digulirkan selama lima tahun, rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo tak kunjung terealisasi. Pemkab Pasuruan yang tak pernah gembor-gembor justru lebih dulu mewujudkan masjid berarsitektur Tionghoa. Handoko pun mulai lemas dan tampaknya tak lagi berselera membicarakan rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo.

"Tapi kita tetap punya komitmen ke sana kok," tegasnya.

Menurut Handoko, persoalan utama yang mengganjal rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo adalah persoalan lahan. Awalnya, beberapa pengusaha properti alias pengembang berjanji menghibahkan sebagai lahan fasilitas umum (fasum) kepada PITI Sidoarjo. Ukurannya pun cukup memadai. "Tapi belakangan komitmennya kurang kuat," katanya.


Di era Orde Baru, warga keturunan Tionghoa sangat alergi politik. Mereka fokus 100 persen di bisnis. Setelah Orde Baru ambruk pada 1998, banyak pengusaha Tionghoa yang mulai terjun ke politik. Salah satunya Haji Muhammad Handoko.


SEBAGAI orang Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), HM Handoko tentu saja aktif turun ke lapangan. Bikin pengajian, bakti sosial, mengunjungi kiai-kiai berpengaruh, hingga menyumbang sejumlah masjid dan ormas Islam. Nama Handoko pun akhirnya dikenal luas di Kabupaten Sidoarjo, khususnya di kawasan Sedati dan sekitarnya.

Aktivitas sosial keagamaan ini ternyata menjadi modal yang besar bagi Handoko setelah reformasi. Ketika partai-partai baru bermunculan setelah Orde Baru tumbang, Handoko pun dilirik sejumlah aktivis politik di partai baru. Singkat kata, Handoko akhirnya memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Handoko sangat aktif dalam proses pembentukan PKB di Jawa Timur. "Saya memang cocok dengan figur Gus Dur dan komunitas nahdliyin. Kita memang ingin mengedepankan pemahaman Islam yang ramah, toleran, dan demokratis," kata pengusaha diler sebuah merek sepeda motor terkenal asal Jepang itu.

Handoko bahkan kemudian dipercaya menjadi pengurus teras di partai bintang sembilan itu. Sejak itu aktivitas keseharian ayah dua anak itu luar biasa padatnya. Sambil mengurus bisnis, ada saja aktivis politik yang datang ke kantornya di kawasan Sedati Agung.

"Saya menjadi paham liku-liku dan seluk-beluk politik. Bahwa di politik itu faktor kepentingan sangat dominan. Kalau sudah bicara kepentingan, teman sendiri bisa disikut," katanya.

Alhasil, selama 10 tahun terakhir, Handoko sudah mencicipi pengalaman sebagai aktivis, bahkan pengurus, beberapa partai politik. Ketika dia berusaha mengambil jarak dengan dunia politik, ada saja kader partai yang merangkulnya.

 "Saya pikir berpolitik juga bagian dari pengabdian kita kepada masyarakat. Politik juga bisa dikatakan sebagai ibadah," ujar pria yang kini menjadi pengurus DPD Partai Golkar Sidoarjo itu.

Sebagai warga negara yang baik, menurut Handoko, orang Tionghoa seharusnya perlu memberi warna tersendiri pada kehidupan politik di tanah air. Sebab, suka tidak suka, berbagai kebijakan dalam kehidupan berbangga dan bernegara ditentukan oleh para politisi di lembaga legislatif atau eksekutif. "Maka, orang Tionghoa perlu terlibat di politik supaya kita bisa bicara, kasih masukan, dan ikut menentukan kebijakan publik," tegasnya.

Hanya, Handoko buru-buru menambahkan, semua orang PITI yang terjun ke politik tidak boleh membawa-bawa organisasi, melainkan pribadi. Sebab, PITI itu organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik. PITI pun tidak dibenarkan terlibat dalam dukung-mendukung calon tertentu.

"Apalagi, orang PITI itu partainya bermacam-macam. Ada yang Golkar, PKB, PAN, Demokrat, dan sebagainya," katanya. (*)

Dimuat di Radar Surabaya edisi 13-15 Mei 2010