Minggu, 12 Februari 2023

Nostalgia Suhu Slamet di Jawa Pos Era Kembang Jepun

Oleh Slamet Oerip Prihadi 
Mantan Redaktur Jawa Pos Era Kembang Jepun (1982-1989)

Rasanya perlu diceritakan bagaimana awal proses perubahan Jawa Pos. Tidak mungkin koran yang semula hanya terjual sekitar 1.000 eksemplar per hari kemudian melesat begitu saja.

Jawa Pos menembus tiras 100 ribu eksemplar per hari pada 1986. Yaitu tiras puncak pesaing lokal utama Surabaya Post.

Ketika Dahlan Iskan (Dis) dan tim kecilnya masuk dalam manajemen Jawa Pos, kultur kerja Jawa Pos masih pokoke terbit. Tim kecil Dis saat itu adalah Dharma Dewangga, Slamet Oerip Prihadi (wartawan), Imam Suroso (pemasaran), dan Theresia Oemiati (sekretaris redaksi).

Sebagian para wartawan asli JP masih suka menghabiskan waktu di kantor PWI Jatim di Joko Dolog, Taman Apsari. Ada yang main biliar, atau sekadar kongkow-kongkow di sana.

Kekuatan untuk berkompetisi belum terpancar di kantor Kembang Jepun. Produksi beritanya masih elementer. Semuanya berupa stright news. Belum ada yang namanya features, indepth news, blow up news, dsb.

Ada yang hanya mengubah lead dari press release. Kalau masih kurang lari ke mesin berita Antara. Tinggal pilih dan sobek mana yang dirasa penting. Kemudian kertas beritanya diserahkan kepada bagian pracetak.

Mesin cetaknya di lantai 1 juga kuno dan kecil. Warnanya kehitaman saking lawasnya. Karena sudah tua, tak heran bila mesinnya sering ngadat. SDM, peralatan, sistem kerja yang ada masih jauh dari level siap take off.

Honor wartawan bukan diukur dari bobot atau kualitas beritanya. Tapi diukur dari berapa panjang beritanya di kertas folio. Berapa sentimeter panjangnya. Kondisi perusahaan memang sudah di bibir jurang kematian. Hidup segan, mati tak mau.

Situasi awal seperti inilah yang dihadapi Dahlan Iskan. Waktu itu Dis baru berpangkat redaktur pelaksana (redpel). Pemimpin redaksinya masih asli Jawa Pos, yaitu Oetje Masran, pensiunan Mayor TNI AD. Karena itu, awal tugas Dis di Jawa Pos tahun 1982 adalah membenahi redaksi.

Situasi di luar divisi redaksi pun masih  menyedihkan. Imam Suroso yang ditugasi di bidang pemasaran tentu sedih melihat JP dicetak 6.800 eksemplar per hari, tapi yang terjual hanya sekitar seribu eksemplar.

Sektor iklan juga sepi. Halaman-halaman JP harus dipenuhi berita dan foto berita karena minimnya iklan.

Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo, dalam hal ini PT Grafiti Pers, harus menginvestasikan dana awal Rp 300 juta untuk menyelamatkan Jawa Pos dari kematian. Dana 300 juta sangat besar pada 1982. Seingat saya, dana tersebut untuk membeli gedung kantor Jawa Pos untuk redaksi dan iklan serta yang untuk keuangan di seberang agak ke timur.

Tahun 1982 harga sepeda motor Honda bebek baru hanya Rp 600 ribu. Jadi, dana Rp 300 juta bisa untuk membeli 500 motor. Sekarang harga sepeda motor bebek Honda Rp 17,5 juta. Berarti sekarang sekitar Rp 8,75 miliar.

Tapi hitungan ini tentu tidak benar. Sebab, kenyataannya nilai gedung JP di Kembang Jepun puluhan miliar. Lokasinya sangat strategis di pusat perdagangan. (bersambung)

11 komentar:

  1. Nostalgia beta ada di era tahun 60'- sampai 70'-an.
    Dulu waktu masih sekolah, setiap liburan panjang musim panas, selalu kami saling bertanya : Lu liburan ini mau kerja dimana ?
    Jawabannya macam2: Gua ke Stuttgart nguli di Mercedes-Benz. Gua ke Frankfurt nguli di Bandara ngangkat koper penumpang. Gua ke Swedia nguli di perusahaan frozen food. Dan macam2 lainnya.
    Ada satu teman, dia selalu langganan ke Stuttgart ke sebuah perusahaan percetakan. Disana dia harus menyusun, satu per satu cetakan macam-macam huruf-huruf yang jumlahnya ratusan, terbuat dari Timbal (Plumbum) yang berracun untuk kesehatan, membentuk kata2 dan menjadikan kalimat dan berita.
    Pekerjaan itu disebut Schriftsetzer. Harus sangat mahir berbahasa Jerman. Karena berbahaya untuk kesehatan, maka gajinya paling tinggi dibandingkan kuli2 lainnya. Perusahaan diharuskan setiap hari menyediakan setengah liter susu untuk setiap pekerja, konon kandungan Calcium yang ada di susu, dapat menetralisir pengaruh Timbal.
    Yah, dunia selalu berputar, banyak pekerjaan yang dulu sangat penting, sekarang sudah obsolet.
    Seorang teman saya, orang Cina-Taiwan, dia seorang Doktor Technik, dosen di Universitas Technik di Jerman. Pernah bekerja di MBB, seperti Habibie, dan terachir bekerja di ESA, Organisasi Ruang Angkasa Eropa.
    Tahun 2005 si Taiwan bertanya kepada saya, apakah dia dan keluarganya boleh pakai rumah saya yang di Tiongkok. Tentu saja saya bilang boleh. Saya langsung telpon kepada sopir dan asisten rumah tanngga (ubab), supaya dia dijemput dan diupeni.
    Si-Doktor Taiwan itu sudah sering kali diundang oleh universitas2 diseluruh Tiongkok, untuk memberi kuliah kepada mahasiswa.
    Bulan Juni yang baru lalu, saya tanya kepada dia; Kapan lu pergi ke Tiongkok lagi ? Dia bilang : Sudah lama gua tidak pernah diundang lagi, sebab orang2 Tiongkok sekarang sudah lebih pandai daripada gua. Apa yang dia bilang bukannya ironi, tetapi memang begitulah kenyataan nya. Hanya orang Eropa dan orang kulit putih yang tidak bisa percaya. Beta sendiri juga dulu pernah jadi Foreign Expert di Tiongkok, sekarang beta malu mengakui itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia kamsia.. siansen punya pengalaman bukan main berkesan. Tempo doeloe pekerja2 di percetakan memang macam itulah. Mereka dapat susu dan tunjangan khusus karena kondisi mesin cetak zaman dulu memang berat.. dan mengerikan.

      Hapus
  2. menarik.. ternyata ada ubab juga di Tiongkok. bayarane pasti memuaskan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di-mana2 ada ubab, bahkan saya pernah lihat di sebuah surat kabar golongan haleluya tertentu, " di Surga pun ada ubab ". Saya lihat di gambarnya, sepasang meneer en mevrouw duduk santai diatas kursi rotan di depan rumah style kolonial dengan taman bunga yang luas, dua orang anak-anak mereka bermain riang diatas rumput yang terpelihara rapi, pakaian mereka necis perlente. Disebelah mereka berdiri seorang jongos india yang bersorban, di tangannya membawa nampan dengan poci dan cangkir teh, siap melayani keluarga bahagia tersebut, haleluya haleluya.
      Itulah Surga versi kaum haleluya. Ada juga Surga versi lain, disana penuh perawan perawan abadi siap melayani.
      Di Tiongkok boleh punya ubab, asalkan pakai efemisme Baomu, 保姆, bao = pelindung, pembela, mu = bibi, inang.
      Di Jerman juga ada ubab, tetapi dilarang pakai istilah lama, Putzfrau, Bedienerin, sekarang euphemismen nya Haushalthilfe alias asisten rumah tangga.
      Tahun 2000 gaji seorang ubab di Tiongkok 300 Yuan per bulan, sekarang sudah naik minimum jadi 4000 Yuan. Kelihatannya naiknya kok besar, 13 kali lipat, tetapi harga tanah bangunan naiknya 35 kali lipat. Jebulnya ubab ya tetap tidak mampu membeli rumah.
      Mau diubah jadi Baomu atau ART, ya tetap saja celengannya kelas ubab. Yang harus diganti bukan panggilannya, tetapi kesejahteraannya.
      Euphemismen pekerjaan saya dalam bahasa Jerman, Selbststädigerwerbstätiger alias Sapi perahan negeri.

      Hapus
    2. Ubab di Tiongkok susah bisa memiliki rumah atau apartement pribadi di kota2 kelas kabupaten. Tetapi mereka bisa menyewa apartement murah milik pemerintah, asalkan orang tersebut punya guan-xi atau koneksi di pemerintahan.
      57,9% penduduk negara Jerman hidup di apartement sewa, hanya 42,1% punya papan sertifikat hak milik.
      Jika kekayaan seseorang dinilai dari kepemilikan Sertifikat Rumah Hak Milik, maka saya yakin orang Lembata jauh lebih kaya daripada orang Jerman.
      Hidup manusia memang sangat aneh, ubab saya Yi-Ay punya rumah besar tua dengan kebun yang cukup luas, terletak langsung di pinggir pantai yang sepi di sebuah teluk yang air lautnya tenang, warisan dari orang-tua nya, ditinggal kosong melompong begitu saja. Semua orang China lebih senang hidup di kota besar. Padahal dulu dia dan suaminya A-xin hidup jadi petani dan nelayan. Alasannya di dusun tidak ada sekolah untuk kedua anak2 mereka. Begitulah mereka sekeluarga hidup di rumah saya. Yi-Ay rajin jadi ubab, A-xin kerjanya cuma antar-jemput anak2 mereka ke- dan dari- sekolah. Setelah itu dia keluyuran jadi tukang ojek, dan sering kali saya memergoki nya berjudi di pasar. Wong urip wis ojo ngoyo-ngoyo.

      Hapus
    3. Dui dui.. kemarin ada unjuk rasa aktivis pembela ART menuntut adanya UU yg mengatur hak2 dan kesejahteraan ART.
      Betul sekali: yg harus diganti bukan panggilannya tapi kesejahteraannya.

      Hapus
  3. Ada eufemisme ubab di Jakarta yg sekarang menyebar ke mana2. Pembantu rumah tangga lebih sering dipanggil Mbak.

    Sejak zaman TVRI hitam putih sampai sekarang kalau ada pemeran ART di sinetron, lawak, komedi situasi.. selalu ngomong pakai logat Jawa yg medhog bangeet. Kalau tukang pukul, debt collector, centeng dan sejenisnya bicara Melayu logat Maluku, NTT, Papua.. pokoke wetanan 😄😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eufemisme ala Jakarte,
      Engkoh saya di Jakarte tidak mau dipanggil " Koh " oleh penduduk disana. Reaksinya : Saya bukan A-Cong !
      Adik saya di Jakarte kalau berbelanja dipanggil " Tacik " oleh pelayan di toko, dia merasa tak senang hati, ngomel bilang pelayan kok tidak sopan. Lalu saya tanya kepada nya : Habis orang lain harus panggil lu apa ? " Bunda " jawab nya.
      Jadi masa ini, bukan hanya orang hadramaut yang mlungsungi, tetapi orang tionghoa nya juga ikut latah.

      Hapus
  4. Kamsia kamsia.. siansen sudah bagi cerita tentang ubab2 di Tiongkok. Cukup senang karena dapat jaminan upah, apartemen dsb. Hebat juga negara komunis yg sering dimaki-maki orang kita itu. Ternyata mereka mengamalkan sabda Allah.

    BalasHapus
  5. Bernostalgian lagi. 10 tahun silam, saya pergi ke kota Malang mengunjungi seorang sahabat karib waktu SMA. Teman itu bilang, nanti malam kita akan diundang makan oleh seorang teman nya, seorang pengacara.
    Malamnya kita ketemu di Restaurant Hotel Tugu. Baru pertama kali saya masuk kedalam Hotel Tugu, padahal dulu saya sering kali ngengkol sepeda lewat Alun-alun Bunder - Hotel Tugu- Splendid- kearah Jalan Semeru.
    Waktu pesan menu makan malam, saya baca ada Nasi Buk Madura, karena belum pernah dengar, maka saya memilih menu itu.
    Waktu makan dan asyik ngobrol, si-pengacara bilang: Kita orang tenglang memang kebangetan soro, mulai lahir sampai mathek, selalu bikin susah orang Jawa !
    Saya jadi penasaran, bertanya; Maksud lu apa ?
    Dia balik bertanya; Waktu lu lahir, siapa bidannya yang memandikan lu. Waktu lu bayi, siapa yang ndulang dan cuci pantat lu. Waktu lu mathek, siapa yang ngangkat dan memandikan lu.
    Siapa yang menggali lubang kubur lu ?????
    Ya, bener juga omongan si-pengacara . Saya pikir: Bayangkan kalau seandainya di Jawa Timur ada musim Winter, dimana suhu udara bisa sampai minus 20 derajad Celcius, tanah galian kuburan membeku keras seperti beton, bagaimana susahnya Pak Jawa menggali dengan cangkul liang lahat lu !
    Mangkanya kita, Vreemde Oosterlingen ( Arab, Tiongkok, India, Pakistan,dll.), jangan congkak hidup di Indonesia !
    Londo-nya, sebelum ayam jantan berkokok 1.Januari 1963, sudah lari ter-birit2 dari Indonesia. Sebelumnya di Lingkungan Ketabang dan Darmo Surabaya, banyak ada Sinyo dan Nonik Londo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow.. menarik sekali siansen punya nostalgia di Aloen-Aloen Boender. Ayas punya pengalaman yg sama di tempat itu. Sampai sekarang pun ayas belum pernah masuk ke Hotel Splendid, Hotel Tugu, dsb meski doeloe saban hari jalan kaki di kawasan itu.

      Hapus