Malaysia lagi krisis politik. Gara-gara Tun Mahathir mundur dari kursi perdana menteri. Lalu dilantik sebagai PM interim oleh raja alias Yang Dipertuan Agong.
Arahnya ke mana manuver Tun M dan partainya?
Koalisi Pakatan Harapan ambyar?
Siapa PM berikutnya?
Anwar Ibrahim bakal naik sesuai janji saat kampanye dulu?
Sangat menarik mengamati krisis politik di Malaysia. Raja memanggil 221 anggota parlemen untuk diwawancarai satu per satu. Yang Dipertuan Agung pegang peranan utama dalam kemelut politik terkini di Malaysia ini.
Naga-naganya Tun M cuma bikin manuver aja. Ujung-ujungnya posisi politik pria 94 tahun itu semakin kuat. Sebaliknya, posisi Anwar Ibrahim tidak sekuat dulu.
Begitu analisis kita-kita di warkop pinggir jalan. Orang Malaysia tentu lebih paham isu-isu di balik manuver Tun M dan sejumlah politisi yang keluar dari PH.
Apakah Anwar Ibrahim berpeluang jadi PM?
"Berat Bung," kata Daniel Rohi, anggota DPRD Jawa Timur, yang pernah kuliah dan jadi pensyarah (dosen) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Meskipun kelihatan kompak saat kampanye 2018, menurut Daniel, hubungan antara Tun M dan Anwar sebenarnya tidak begitu bagus. Kedua politisi Melayu itu bisa kompak dan bikin koalisi Pakatan Harapan karena ada musuh bersama. Namanya Najib Razak mantan PM.
Setelah sukses menumbangkan Najib, Tun M sepertinya tidak rela melepaskan jabatannya untuk Anwar. "Karena keduanya punya sejarah yang buruk di masa lalu. Tun M gagal mempersiapkan karpet untuk Anwar," kata Daniel Rohi yang dosen UK Petra Surabaya itu.
Krisis politik di Malaysia membuka mata kita bahwa sistem politik parlementer ala Malaysia ternyata sangat tidak stabil. Pemerintahan bisa tumbang kapan saja. Bisa jadi setahun bisa ganti PM tiga kali... kalau tiba-tiba sejumlah MP atau anggota parlemen memutuskan keluar dari koalisi.
Begitu kepentingan dan ideologinya terganggu maka cabutlah ia dari koalisi. Itu juga yang terjadi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an. Sehingga Presiden Sukarno terpaksa menerbitkan dekrit presiden 5 Juli 1959.
Sistem politik kita di Indonesia saat ini juga tidak baik. Model oposisi vs pemerintah ala Amerika tidak jalan. Ketua oposisi Prabowo, calon presiden, malah masuk koalisi. Jadi menteri pertahanan hehe...
Tapi sejelek-jeleknya sistem politik Indonesia, ia masih lebih baik ketimbang di Malaysia. Presiden Jokowi dan presiden-presiden lain bisa dijamin berkuasa sampai lima tahun. Dus, tidak perlu pemilu berkali-kali ala negara Melayu di utara itu.
Arahnya ke mana manuver Tun M dan partainya?
Koalisi Pakatan Harapan ambyar?
Siapa PM berikutnya?
Anwar Ibrahim bakal naik sesuai janji saat kampanye dulu?
Sangat menarik mengamati krisis politik di Malaysia. Raja memanggil 221 anggota parlemen untuk diwawancarai satu per satu. Yang Dipertuan Agung pegang peranan utama dalam kemelut politik terkini di Malaysia ini.
Naga-naganya Tun M cuma bikin manuver aja. Ujung-ujungnya posisi politik pria 94 tahun itu semakin kuat. Sebaliknya, posisi Anwar Ibrahim tidak sekuat dulu.
Begitu analisis kita-kita di warkop pinggir jalan. Orang Malaysia tentu lebih paham isu-isu di balik manuver Tun M dan sejumlah politisi yang keluar dari PH.
Apakah Anwar Ibrahim berpeluang jadi PM?
"Berat Bung," kata Daniel Rohi, anggota DPRD Jawa Timur, yang pernah kuliah dan jadi pensyarah (dosen) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Meskipun kelihatan kompak saat kampanye 2018, menurut Daniel, hubungan antara Tun M dan Anwar sebenarnya tidak begitu bagus. Kedua politisi Melayu itu bisa kompak dan bikin koalisi Pakatan Harapan karena ada musuh bersama. Namanya Najib Razak mantan PM.
Setelah sukses menumbangkan Najib, Tun M sepertinya tidak rela melepaskan jabatannya untuk Anwar. "Karena keduanya punya sejarah yang buruk di masa lalu. Tun M gagal mempersiapkan karpet untuk Anwar," kata Daniel Rohi yang dosen UK Petra Surabaya itu.
Krisis politik di Malaysia membuka mata kita bahwa sistem politik parlementer ala Malaysia ternyata sangat tidak stabil. Pemerintahan bisa tumbang kapan saja. Bisa jadi setahun bisa ganti PM tiga kali... kalau tiba-tiba sejumlah MP atau anggota parlemen memutuskan keluar dari koalisi.
Begitu kepentingan dan ideologinya terganggu maka cabutlah ia dari koalisi. Itu juga yang terjadi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an. Sehingga Presiden Sukarno terpaksa menerbitkan dekrit presiden 5 Juli 1959.
Sistem politik kita di Indonesia saat ini juga tidak baik. Model oposisi vs pemerintah ala Amerika tidak jalan. Ketua oposisi Prabowo, calon presiden, malah masuk koalisi. Jadi menteri pertahanan hehe...
Tapi sejelek-jeleknya sistem politik Indonesia, ia masih lebih baik ketimbang di Malaysia. Presiden Jokowi dan presiden-presiden lain bisa dijamin berkuasa sampai lima tahun. Dus, tidak perlu pemilu berkali-kali ala negara Melayu di utara itu.