Minggu, 08 Desember 2024

Yuliati Umrah Budayakan Tanaman Cempaka Mulia di Tetirah Gayatri, Lereng Gunung Bromo

Yuliati Umrah, Ketua Yayasan Arek Lintang, yang juga dikenal sebagai petani dan perangkai bunga, kini tengah membudayakan tanaman cempaka mulia (Magnolia figo) di Tetirah Gayatri. Bunga dengan aroma wangi khas ini menjadi salah satu tanaman yang ia tanam secara mandiri untuk kebutuhan usaha dan pelestarian tradisi.

Menurut Yuliati, cempaka mulia memiliki sejarah panjang sebagai bunga yang digunakan dalam berbagai ritual penting di Indonesia, khususnya di Ambon, yang merupakan habitat asli bunga ini.

 "Sejak era kuno, bunga ini digunakan sebagai persembahan karena aromanya yang sangat wangi," katanya.

 Yuliati mulai menanam cempaka mulia pada tahun 2020, saat pembangunan Tetirah Gayatri, dan sejak itu ia merawatnya dengan penuh perhatian.

Ia juga baru mengetahui bahwa bunga ini memiliki peran penting dalam adat istiadat masyarakat Tengger. "Baru dua tahun terakhir saya tahu bahwa bunga ini digunakan oleh pemimpin suku Tengger, Romo Dukun, dalam upacara besar dan ritus wajib mereka," lanjutnya.

 Tidak hanya itu. Bunga cempaka mulia juga digunakan dalam tradisi malam Jumat Legi oleh masyarakat di desa-desa di lereng Gunung Arjuno, yang memiliki sejarah sebagai tanah suci sejak era Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Yuliati menambahkan bahwa selama ini banyak yang mengenal bunga cempaka kanthil (cempaka kuning atau cempaka gading) yang berasal dari India dan Nepal. Namun cempaka mulia yang memiliki aroma lebih lembut dan jarang ditemukan, justru menjadi pilihan utama dalam ritual-ritual tersebut.

 "Saya bersyukur dua pohon cempaka mulia saya tumbuh besar dan berbunga banyak. Bahkan, saya sudah berjanji kepada Romo Dukun Tengger untuk tidak segan memetiknya bila dibutuhkan untuk upacara," ujarnya.

Melihat pentingnya pelestarian bunga ini, Yuliati juga mengajak teman-temannya di Desa Bulukerto, lereng Gunung Arjuno, untuk menanam lebih banyak pohon cempaka mulia. "Keburu punah nanti," ungkapnya.

 Ia mengundang siapa pun yang ingin menikmati harum lembut bunga cempaka mulia untuk berkunjung ke Tetirah Gayatri yang terletak di lereng Gunung Bromo.

Kamis, 05 Desember 2024

Menemani Mama Siti di Surabaya, Pengganti Mama Yuli yang Sudah Tiada

Mama Yuliana Manuk anak pertama dari dua bersaudara. Keduanya perempuan. Adiknya Mama Siti Kasa.

Mama Yuli dan Mama Siti beda agama meski satu orang tua. Mama Yuli Katolik, Mama Siti Islam. Sama-sama kuat menjalankan agamanya. 

Mama Yuli pernah tinggal di asrama Susteran SSpS, Larantuka, saat jadi siswi SKP: Sekolah Kepandaian Puteri. Sembahyang pagi, sembahyang malam, sembahyang malaikat 3 kali sehari. Itu yang diajarkan kepada 4 anaknya di pelosok Pulau Lembata.

Sebaliknya, Mama Siti juga rajin "sembeang moan lema" - sembahyang lima waktu. Pintar mengaji. Bahkan, Mama Siti pernah ikut lomba mengaji alias MTQ tingkat kecamatan meski tidak menang.

Beda agama, beda keyakinan, tapi tinggal serumah. Rukun, damai, tanpa konflik hanya karena perbedaan keyakinan. Itulah budaya Lamaholot di Pulau Lembata, NTT.

"Tite kiwanan nong watanen hama hena. Tite taan tou!" begitu omongan nenek moyang Lamaholot dulu.

Artinya, "Kita yang Katolik dan Islam sama saja. Kita jadi satu!" 

Mama Yuliana sudah meninggal dunia pada 1998. Bapa Nikolaus Nuho Hurek berpulang pada 22 Juli 2019. 

Karena itu, Mama Siti Kasa yang lahir di Bungamuda pada Oktober 1951 itu saya anggap sebagai ibu kandung. Pengganti kakaknya yang sudah tiada. 

Mama Yuli suka ngomong, suaranya keras. Mama Siti sedikit omong dan low tone. Suaranya selalu rendah, tidak pernah teriak-teriak. Beda dengan kebiasaan orang kampung yang suka "goleng" saat memanggil orang di kejauhan.

Belum lama ini Mama Siti berkunjung ke Surabaya. Menemani Karin, cucunya yang baru masuk kuliah perawat di Stikes RKZ. Sejak bayi Mama Siti yang menjaga Karin di Kupang. Mamanya Karin, Vincentia, bertugas sebagai guru sehingga tidak bisa full time mendampingi anaknya Karin.

Itu yang membuat Mama Siti kangen sekali dengan Karin. Sebaliknya, Karin juga sangat kaget dengan pengalaman baru harus hidup jauh dari orang tua.

Saya pun mengajak Mama Siti ngelencer ke beberapa tempat wisata di Surabaya. Salah satunya Wisata Religi Ampel. Mama Siti sembahyang di Makam Sunan Ampel bersama ribuan peziarah lainnya.

"Atadiken aya kae. Niku helo mihek pana geler," kata Mama Siti yang terkejut melihat begitu banyak manusia memenuhi tempat ziarah terkenal di Surabaya itu.

Artinya, "Manusia begitu banyak seperti semut yang datang pergi."

Semoga Mama Siti diberi kesehatan dan umur panjang!

Ikut Misa di Bangkalan bersama Pengurus Kelenteng Eng An Bio

Sabtu lalu saya mampir ke TITD Eng An Bio, Bangkalan. Kelenteng di Jalan PB Sudirman, kawasan pecinan, itu penuh kenangan. 

Saya kenal dekat Tante Yuyun Kho sejak akhir 90-an hingga berpulang. Tante asal Salatiga ini bukan sekadar bio kong, penjaga kelenteng, tapi juga seniman lukis. Dia biasa melukis figur-figur Tionghoa di dinding kelenteng.

Sepeninggal Tante Yuyun ke Nirwana, Om Jakob Basuki jadi penggantinya. Ia juga aktif ritual sembahyang di kelenteng. Menyiapkan teh untuk para dewa dan tugas rutin sebagai bio kong.

Yang menarik, Om Jakob ini ternyata Katolik taat. Rajin pigi misa di gereja. Dia juga sangat hafal nama-nama rama yang pernah bertugas di Paroki St Maria Fatima, Bangkalan, sejak puluhan tahun lalu. Bahkan sebelum dia jadi Katolik.

Om Jakob Basuki dulu sekolah Tionghoa THHK Bangkalan. Tidak jauh dari kelenteng itu. Maka waktu kecil agamanya ikut orang tuanya: pigi sembahyang ndek kelenteng. Saban tanggal 1 dan 15 kalender Imlek.

Kemudian dipanggil jadi "anak Tuhan": ikut Gereja Pentakosta. Rajin kebaktian, katanya. Tapi juga dia penasaran dengan Sai Baba di Surabaya. Ikutlah dia agamanya Sai Baba. "Semua agama itu baik," katanya.

Mungkin karena pengaruh teman Tionghoa yang ikut Katolik, Jakob akhirnya coba-coba jadi katekumen. Ikut misa. Dekat dengan pastor. Lama-lama dipermandikan secara Katolik. 

Gereja terakhirnya ini dianggap "ramah Tionghoa" dan "ramah kelenteng". Orang Katolik macam Pak Jakob boleh datang ke kelenteng. Bahkan jadi pengurus penting semacam Om Tan ini. "Saya sudah tanya romo, gak masalah," katanya.

Sabtu sore, saya mampir misa di Gereja Katolik Santa Maria Fatima, Bangkalan. Bangunannya makin megah dan cantik. Jauh berbeda dengan ketika saya berkunjung pertama dulu.

Eh, ternyata Om Jakob Basuki sudah ada di dalam gereja. Baca lembaran misa. Saya pun bersalaman lagi dengan baba Tionghoa yang hobi mengisi teka-teki silang (TTS) itu. 

"Saya biasa misa hari Sabtu sore. Hujan gak hujan tetap datang karena itu kewajiban kita sebagai umat Katolik," katanya mirip katekis di kampung.

Misa Minggu Advent I dipimpin Romo Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm. Pastor asal Tumpang, Malang, itu memang satu-satunya romo yang bertugas di Paroki Bangkalan. Umat Katolik di Kabupaten Bangkalan memang sedikit. Jadi, tidak perlu banyak pastor seperti paroki-paroki di Surabaya yang minimal tiga romo untuk satu paroki.

Mea culpa!
Mea maxima culpa!

Nostalgia Restoran Kiet Wan Kie di Kembang Jepun: Ikon Kuliner Legendaris di Surabaya

Surabaya, kota dengan sejarah panjang sebagai pusat perdagangan, menyimpan kenangan manis tentang restoran legendaris Kiet Wan Kie (KWK). Restoran Tionghoa ini pernah menjadi primadona pada era Hindia Belanda, menyajikan masakan khas Hong Kong di Jalan Kembang Jepun.

Gedung eks restoran KWK hingga kini masih berdiri dan digunakan sebagai kantor serta gudang ekspedisi KWK. Meski lokasi utamanya telah berubah fungsi, Resto KWK tetap eksis di beberapa tempat di Surabaya. Restoran ini masih terkenal di kalangan warga Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.

Di masa lalu, Restoran KWK berlokasi sangat strategis di tengah keramaian kawasan pecinan. Restoran ini sering menjadi jujukan warga Tionghoa untuk mengadakan pesta atau mentraktir tamu dan rekan bisnis mereka. "Masakannya memang khas," ujar Baba Liem di Jalan Kembang Jepun.

Pada masa Hindia Belanda, KWK menawarkan menu spesial seperti babi opor muda (spenvarken) yang hanya tersedia di akhir pekan dan hari besar. Pelanggan juga dapat memesan makanan khusus untuk pesta kecil maupun besar, mencerminkan fleksibilitas dan keunggulan pelayanannya.

 Sistem "kartjis" untuk pembelian makanan yang diperkenalkan KWK menjadi salah satu inovasi modern pada zamannya.

Meski masakan KWK kini sudah beradaptasi dengan selera modern, reputasi restoran ini sebagai bagian dari sejarah kuliner Surabaya tetap hidup. Bagi warga Tionghoa yang mengenang masa lalu, KWK bukan sekadar restoran, tetapi simbol kebersamaan dan tempat berbagi momen istimewa.

Tidak banyak yang tahu bahwa Ekspedisi KWK di Kembang Jepun yang tembus ke belakang di Jalan Kopi itu dulunya restoran mewah di Soerabaia. Saat ini gedungnya kelihatan kusam dan kurang terawat. Sama dengan gedung-gedung tua lain di kawasan Kembang Jepun, Sambongan, Kopi, Bongkaran, Slompretan, Gula, Kalimati, Songoyudan, hingga Jalan Husin.

Kamis, 28 November 2024

Tahun Ini Jagoku Kalah Semua! Mulai dari Lembata, Sidoarjo, Jawa Timur, Pilpres hingga Amerika

Siapa pun yang menang nasib kita "hama hena". Sami mawon alias sama saja. Meskipun yang menang itu calon bupati dari satu kampung atau satu kecamatan. Bahkan, masih ada ikatan keluarga dekat atau jauh.

Begitulah yang terjadi di Pulau Lomblen alias Kabupaten Lembata. Kabupaten baru sejak 1999, kalau tidak keliru. Hasil pemekaran Kabupaten Flores Timur (Larantuka). Baru ada 3 bupati di Lembata. 

Ketiganya jagoku semua. Bupati Andreas  Manuk dua periode ada ikatan kekerabatan dari Ile Ape. Saya sempat tinggal bersama keluarga Ama Ande (almarhum) di Larantuka. Saat itu Ama Ande menjabat kepala dinas di Pemkab Flores Timur.

Tidak pernah terpikir sekian tahun kemudian Lembata jadi kabupaten sendiri dan bupatinya Ama Ande Manuk. Dua periode pula.

Bupati Yenci Sunur, baba Tionghoa asal Kedang, juga dua periode, mestinya. Tapi meninggal dunia karena covid. Maka, Dr. Thomas Ola Langoday, wakil bupatinya, naik jadi Bupati Lembata. 

Dr. Thomas Langoday akademisi top di Kupang. Asli Ile Ape juga. Adik iparku juga suku Langoday.  

Tahun ini Ama Thomas Langoday maju di Pilkada 2024 sebagai petahana (incumbent). Hasilnya: kalah! Yang menang Kanisius Tuaq - pasti dari kawasan barat alias Kedang. 

Di Sidoarjo juga Mas Iin kalah. Cak Bandi yang mantan kepala desa dekat Bandara Juanda itu menang meyakinkan. Di luar prediksi banyak pengamat.

Saya juga jagokan Bu Risma di Pilgub Jawa Timur. Energinya yang besar, kerja keras, turun langsung, punya sistem untuk mencegah korupsi kita harap diadopsi di tingkat provinsi.

Bu Risma ingin "resik-resik" Jawa Timur. Memangnya provinsi ini tidak resik? KPK beberapa kali datang menggeledah kantor pejabat-pejabat di Jawa Timur. Tiada asap tanpa api!

Pilpres di Hari Valentine 14 Februari 2024 pun begitu. Jagoku kalah telak. Paket makan siang gratis menang 58 persen. Jurus bansos dan joget gemoy ternyata sangat manjur. 

Pilpres di USA saya iseng-iseng taruhan. Jagoku seorang perempuan sangat cerdas, enak bicara, murah senyum. Saya harap Kamala bikin sejarah di negara Paman Sam itu. 

Hasilnya, rakyat Amerika Serikat lebih suka Bapa Donald Bebek, eh, Donald Trump. Padahal, kalau tidak salah, bapak ini beberapa kali jadi terdakwa beberapa perkara. Mulai soal main cewek hingga manipulasi macam-macam.

Bapa Donald juga kalau tidak salah 'mendukung" penyerangan Gedung Capitol. Kayaknya baru pertama kali ada serangan yang sangat antidemokrasi. Padahal USA dari dulu disebur rajanya demokrasi sejagat.

Eh, ternyata rakyat Amerika lebih memilih Pak Bebek. Kamala kalah telak!

"Suara rakyat suara Tuhan!" kata pepatah Latin.

Artinya, para pemenang pilbup, pilgub, pilpres, hingga US Election memang orang-orang yang direstui Tuhan untuk memimpin rakyat di lingkungannya masing-masing.

Saya gagal menangkap bisikan suara dari langit. Mea culpa!

Rabu, 27 November 2024

Hotel Ping An Tjan, Surabaya, Saksi Bisu Kejayaan Masa Kolonial yang Kini Mangkrak

Iseng-iseng baca koran zaman Belanda  ketemu iklan kecil di surat kabar Sin Po edisi 9 Desember 1922. Ada Hotel Tionghoa yang baru dibuka di Surabaya pada 1 November 1922. Itu hotel punya merek: Ping An Tjan.

Lokasinya di Sambongan Gang Tjaijpoo Nomor 8 Soerabaia. Direktur: Lie Tiauw Hwat. Eigenares: Nyonya Pang A Kioe Nio.

Ada keterangan bahwasanya Hotel Ping An Tjan sebelumnya adalah rumah Oeij Kang Jan. Pasti saudagar Tionghoa kaya pada zaman Hindia Belanda.

Akhirnya terjawab sudah owe punya penasaran selama ini. Losmen Samudra, persis di samping Gereja Kristen Tionghoa (GKT), Jalan Samudra (d/h Jalan Bakmie) itu dulunya gedung apa? Riwayatnya seperti apa. 

Hotel yang berlokasi di Sambongan Gang Tjippo No. 8 – sekarang Jalan Kopi – dulunya dikenal akan fasilitasnya yang mewah dan pelayanannya yang prima. Namun, setelah masa kejayaannya, hotel ini berganti nama menjadi Losmen Samudra, lalu perlahan kehilangan pamornya hingga akhirnya tutup.


Suparti, warga sekitar yang telah lama tinggal di kawasan Sambongan, mengungkapkan bahwa lesunya hotel-hotel di kawasan ini dimulai sejak penutupan Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut). 

"Dulu Ping An Tjan sangat ramai, karena banyak pedagang luar pulau yang jadi pelanggan tetapnya. Tapi sekarang, tinggal bangunannya saja yang mangkrak," ujarnya.

Suparti juga menyebut bahwa beberapa hotel era kolonial di Sambongan yang masih bertahan, seperti Hotel Semut, Hotel Irian, Grand Hotel, dan Hotel Merdeka, juga mengalami kondisi yang sulit. Sepi tamu. Kondisinya juga ibarat lansia yang kurang terawat.





 Cak Boen, arek Kalimas yang kini duduk di Amerika Serikat, punya pengalaman dengan hotel di dekat restoran Tionghoa kelas atas di era kolonial itu. Selain menjadi hotel, Ping An Tjan juga pernah menyediakan layanan ekspedisi antara Surabaya dan Banjarmasin.

 "Dulu saya pernah diajak naik sepeda gandolan bersama pembantu laki-laki untuk mengantar barang ke sana," kenang Cak Boen, yang semasa kecilnya sering menyaksikan kegiatan di Hotel Ping An Tjan.

 Menurut dia, kakaknya yang tertua juga sering diminta untuk mengurus pengiriman barang di sana. Cukup ramai kawasan Sambongan pada masa lalu karena ada banyak hotel di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.

Lantas, mengapa sekarang jadi bangunan mangkrak? Ada kesan angker malam hari. Apalagi ada pohon beringin di depannya.

Cak Boen menyebut nasib bangunan ini semakin tidak menentu karena masalah warisan. "Menurut teman main tenis saya di Surabaya, keturunan pemiliknya terlalu banyak dan tersebar di mana-mana, jadi sulit untuk mengeksekusi penjualan warisan," katanya.

 Ia juga mengingatkan bahwa jika dibiarkan terlalu lama terlantar, bangunan seperti ini berpotensi diambil alih oleh pihak ketiga, mafia tanah, atau tukang serobot tanahnya Gusti Allah.

Bangunan tua Hotel Ping An Tjan kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu kawasan Sambongan, yang dulunya menjadi pusat aktivitas ekonomi. Sayangnya, kawasan ini semakin terpinggirkan di tengah dominasi perkembangan kota modern yang berfokus di Surabaya Pusat dan Selatan. 

"Jejak sejarah Sambongan seperti Ping An Tjan menunggu perhatian serius agar tidak lenyap begitu saja sebagai bagian dari warisan budaya Surabaya," komentar AI.

Senin, 25 November 2024

Suster Ursula, OSA, teman masa kecilku di kampung pelosok Pulau Lembata

Suster Ursula, OSA, pekan lalu mampir di Surabaya. Suster asal Desa Lamawara, Lembata, itu kontak saya. Bagi fotonya bersama suster asal Belanda.

"Kami mengunjungi Romo Kurdo di Gereja Santo Paulus, Juanda," tulis Suster Ursula di caption foto wasap.

Di Sidoarjo, tepatnya Desa Geluran, Taman, komgregasi suster OSA punya biara kecil. Ada sekolah juga. Karena itu, Sr Ursula dkk dari Ketapang, Kalimantan Barat, selalu mampir. Kantor pusat OSA memang di Ketapang.

Biasanya cuma mampir semalam lalu geser ke Tumpang, Malang. Sebab OSA punya biara sekaligus rumah sakit di sana. RS Sumber Sentosa. Sudah puluhan tahun melayani masyarakat di Tumpang dan sekitarnya.

"Kame langsung mai Tumpang. Suster Belanda maring Surabaya pelate ayaka," kata teman masa kecil di Ile Ape, Lembata, itu.

 Artinya, "Kami langsung pergi ke Tumpang. Suster Belanda bilang Surabaya terlalu panas."

Suster Ursula ini nama lahirnya Marselina. Waktu kami SD di kampung dipanggil Marse. Lalu ganti nama Ursula setelah resmi jadi suster. Ursula itu dia punya mama punya nama di kampung pelosok Lembata. 

Maka kadang saya masih keliru sebut nama. Mestinya Suster Ursula, saya bilang Suster Marse. "Di sini tidak ada Suster Marse," kata seorang staf di Biara OSA Taman, Sidoarjo.

 Suster Ursula, OSA sudah 30 tahun lebih jadi biarawati Kongregasi Santo Agustinus (OSA). Motonya: Sungguh, Allah itu keselamatanku, aku percaya dengan tidak gemetar, sebab TUHAN ALLAH itu kekuatan dan mazmurku.  Ia telah menjadi keselamatanku (Yes. 12:2).

Meski biarawati, Sr Ursula punya keahlian khusus di bidang keperawatan dan rumah sakit. Karena itu, dia sangat sering ditugaskan untuk menangani manajemen RS Sumber Sentosa di Malang.

Saya sering diajak ke Tumpang untuk mengunjungi biara sekaligus rumah sakit di pinggir jalan raya itu. Tapi selalu tidak pas waktunya. Ketika saya berkesempatan mampir di RS Sumber Sentosa, Sr Ursula malah berada di Ketapang, Kalbar.