Minggu, 29 Januari 2023

Kesambet Firaun di Jawa vs Belodin di Lembata

Cak Nun baru saja kesambet. Jokowi disamakan dengan Firaun. Ada 10 naga. Anthony Salim. Nama Luhut juga disebut. Rezim Jokowi identik dengan Firaun, kata Cak Nun.

Banyak yang protes, tapi tidak sedikit yang tepuk tangan. Menertawakan Firaun versi Cak Nun. Penceramah dan budayawan asal Jombang itu lalu klarifikasi. "Saya kesambet," kata Cak Nun.

Kata "kesambet" ini tidak pernah saya dengar di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember, dsb. Bisa jadi karena jarang ada orang yang kesambet. Kosa kata ini baru muncul di awal tahun 2023 ini. "Itu kata lama," kata seniman di Sidoarjo.

Seniman Sidoarjo Widodo Basuki kemudian menulis geguritan (puisi bahasa Jawa) berjudul Kesambet. Seniman Sidoarjo lainnya, Bambang Tri, menulis pentigraf Jawa. Judulnya juga kesambet. 

KESAMBET

Ringin Growong kuwi arane wit ringin sing umure wis tuwa banget. Mbah kakungku tau crita yen jaman cilikane dicritani embahe, wit ringin kuwi wis ana nalika embahe isih cilik. 

Sing tak elingi biyen ora ana wong sing wani sembarangan ana ngisore wit ringin kuwi. Yen ana sing wani tumindak aneh-aneh bakal nanggung akibate.

 Ana sing lara, ana sing ngomyang ora genah ucape, ana sing bingung kaya wong pekok. Yen ana kedadeyan ngono kuwi diarani kesambet sing mbaurekso.

 (Bambang Tri ES)

Aha.. akhirnya jelas makna kesambet itu. Kerasukan. Bisa kerasukan setan, kerasukan arwah, kerasukan genderuwo dsb.

Sekitar 5 tahun lalu ada wanita kesambet di Jolotundo. Teriak-teriak gak karuan. Suara orang lain yang lebih tua. Mas Wahyu yang rada santri komat-kamit mendoakan, siram itu wanita dengan air dingin. Masih kesambet, kesambet, kesambet.

Wahyu memarahi oknum yang merasuki si wanita. Dihardik. Dimarahi. Akhirnya wanita itu perlahan-lahan siuman. Tamat kesambetnya.

Cerita Bambang Tri tentang ringin growong di Jawa Timur ternyata sama dengan di Pulau Lembata, NTT. Pohon beringin besar, tua, di pinggir kampung sangat ditakuti. Apalagi malam hari. Gelap gulita tanpa listrik.

Kita orang harus hati-hati saat lewat di situ. Banyak sembahyang. Tidak boleh ucap kata-kata kotor, maki-maki dsb. Ringin growong dan pohon-pohon besar lain dipercaya ada penunggunya. Ada saja yang kesambet, kena pukau, semaput dsb.

Di Lembata kesambet biasa disebut belodin. Dulu sering sekali orang kena belodin. Bisa karena melanggar pamali di pohon besar. Bisa juga karena dirasuki orang yang punya ilmu hitam. Geger seluruh kampung. Korbannya meronta-ronta, omong dengan suara yang berbeda. 

Di Ayas punya kampung ada 4 pohon besar. Bukan pohon bao (beringin) tapi niang. Bahasa melayunya belum tahu kita orang. Wingit betul pohon-pohon di luar kota itu. Tidak ada rumah di dekat situ. Rumah terdekat sekitar 4 kilometer yang ada makam umum.

Karena itu, Ayas dkk waktu kecil deg-degan saat lewat di depan itu pohon besar. Biasanya langsung sembahyang Bapa Kami & Salam Maria. Setan-setan tentu takut dengan doa-doa kita, bukan?

Saat Ayas mudik tahun 2019, sebelum pandemi covid, pohon-pohon besar itu sudah tak ada lagi. Malah di depan pohon itu berdiri dua atau tiga rumah. Sudah jadi terusan kampung. Tidak ada gangguan, kata penghuni rumah baru di depan (bekas) tempat angker itu.

"Masih ada orang belodin di sini?" Ayas bertanya.

"Ada tapi sedikit. Beda dengan zaman kita kecil dulu. Anak-anak muda sekarang lebih rasional. Main HP, main game, kurang percaya sia-sia (takhahul)," kata teman lama di kampung.

Bung Ayas pun sering jalan kaki sendiri malam hari. Gelap gulita. Sesekali pakai senter di HP. Masih ada sedikit rasa takut tapi tidak separah saat usia sekolah dasar dulu. Toh pohon besar tak ada lagi. Ada pula rumah baru di sebelahnya.

Anehnya, orang-orang lama di atas 40 tahun masih percaya belodin, suanggi, santet, belodin dsb. Juga percaya bahwa genderuwo masih ada di batas desa meski pohon besar sudah ditebang. Ayas pun dimarahi karena dianggap mencari masalah.

Bukan itu saja. Pintu-pintu dan jendela-jendela di kampung pun wajib ditutup pada malam hari. Biasanya di atas pukul 19.00. Jangan biarkan pintu dan jendela rumahmu terbuka. Apalagi sampai tengah malam.

Ya, karena itu tadi, ada kepercayaan lama bahwa suanggi-suangi atau genderuwo-genderuwo gentayangan mencari mangsa. Dia orang bisa dengan mudah masuk ke rumah yang pintu dan jendelanya terbuka.

"Kita harus percaya sama Tuhan Allah. Suanggi dan setan bisa diusir dengan sembahyang," kata Ayas menirukan omongan pater-pater Belanda tempo doeloe.

Omongan berbau kitab suci atau agama macam ini kurang mempan di pelosok NTT. Ayas malah dimarahi. "Engkau itu terlalu lama di Jawa sehingga sudah lupa dengan adat istiadat di sini," kata orang kampung dengan nada tinggi.

"Yo wis... sing waras ngalah!"  kata orang Surabaya. 

Sejak itu Ayas tak lagi jalan kaki sendiri malam hari saat mudik di kampung. Ketimbang kena belodin alias kesambet. 

Selasa, 24 Januari 2023

Bersejarah! Tahbisan 3 Imam SVD di Gereja Roh Kudus Rungkut

Panen imam di kebun anggur selalu ada meski sedikit. Tiga diakon Societes Verbi Divini (SVD) bakal ditahbiskan sebagai imam pada Senin, 30 Januari 2023. Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono bakal menahbiskan tiga imam baru itu di Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. 

Ketiga diakon SVD yang akan ditahbiskan itu Siprianus Jegaut,l SVD, Konradus Tampani SVD, Joan Nami Pangondian Siagian SVD.

 Dua dari Flores, satu Tapanuli alias Batak. Saya tidak pernah dengar ada pater SVD asal Batak. Maklum, kawasan Sumatera Utara sejak doeloe identik dengan Ordo Kapusin alias OFM Cap. Sebaliknya, NTT sejak Hindia Belanda memang identik dengan SVD setelah imam-imam SJ dan OP (Dominikan) terusir bersama tuan-tuan Portugis.

Tahbisan khusus SVD di Surabaya pun sangat langka. Mungkin belum pernah ada. Biasanya dijadikan satu dengan imam-imam praja di Katedral HKY, Jalan Polisi Istimewa. Yang sering itu diakon-diakon SVD itu pulang lalu ditahbiskan di kampung halamannya. Meriah sekali. Dulu bisa pesta 5 hari  kalau di Flores Timur dan Lembata.

Yang menarik, tahbisan diadakan di Gereja Roh Kudus, ayas punya paroki. Kebetulan paroki ini digembala pater-pater SVD asal NTT. Belakangan ditambah RD Yohanes Setiawan asal Sidoarjo yang bukan SVD.

SVD Provinsi Jawa rupanya punya kebijakan baru. Tahbisan imam diadakan khusus SVD di paroki yang imam-imamnya SVD.

Semoga pater-pater baru mampu menggembala domba-domba ke padang rumput yang hijau. Juga membawa kembali domba-domba yang sesat. 

Kata Miskin Diganti Prasejahtera (atau MBR)

Kata "miskin" jadi masalah di Surabaya. Jadi bahasan parlemen. Wakil rakyat minta pemkot menarik stiker "keluarga miskin" alias gakin.

Apa yang salah dengan pemkot? Bukankah pemkot memasang stiker untuk menandai keluarga miskin agar dapat bantuan?

Kata "miskin" gak enak didengar. Bisa membawa dampak psikologi, kata Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, mantan wartawan Surya dan Tempo.

Adi mengusulkan kata miskin diganti prasejahtera. Label keluarga miskin itu akan menimbulkan stigma yang kurang baik.

Pola pikir Adi dan anggota dewan lain ini persis era Orde Baru. Eufemisme berkembang subur. Miskin diganti prasejahtera. Harga naik dibilang disesuaikan. Ditangkap diamankan. Buruh jadi pekerja atau karyawan.

Tidak boleh ada serikat buruh. Yang boleh serikat pekerja. Pelacur jadi wanita harapan.

Selain prasejahtera untuk miskin, dulu ada istilah sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3. Sudah lama istilah yang sering muncul di TVRI tempo doeloe itu hilang. Sebab kriterianya tidak jelas. Ribet.

Orde Baru sudah lama tumbang. Diganti reformasi. Tapi pola pikir ala orba dengan segala eufemismenya belum hilang. Ada prasejahtera, MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), dan banyak lagi.

Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono  tahun 90-an ikut mengkritik bahasa jurnalistik khas Orde Baru saat jadi wartawan. Bahasa yang penuh jargon, slogan, eufemisme, propaganda. "Bahasa jurnalistik itu harus sederhana, lugas, mudah dipahami, tidak berbelit-belit," katanya.

Itu dulu. Sebelum jadi politikus. Sebelum jadi ketua parlemen.

Semoga semua orang sejahtera, tidak ada lagi yang prasejahtera! 

Senin, 23 Januari 2023

Mampir Sejenak di Margasiswa PMKRI Surabaya

Cukup lama saya tak singgah di Margasiswa PMKRI Surabaya. Persis di samping Hotel Garden Palace, Jalan Taman Simpang. Gedung tua peninggalan Belanda yang masih sedap dipandang.

Bangunan tempo doeloe itu ada tulisan Houtstra. Mungkin meneer (tuan) Belanda yang empunya rumah. Kemudian diambil alih Keuskupan Surabaya. Diberikan ke PMKRI Sanctus Lukas Surabaya sebagai margasiswa atau kantor sekretariat. Hebat sekali PMKRI Surabaya!

PMKRI di kota-kota lain tidak semujur PMKRI Surabaya. Margasiswanya kontrakan. Pindah-pindah. Lebih sering di kos-kosan pengurus atau ketua presidium. Contohnya PMKRI Jember. Sama sekali tidak ada bantuan dari hirarki untuk kontrak margasiswa.

Karena itu, teman-teman di PMKRI Jember dulu sangat cemburu dengan Surabaya. Jangankan margasiswa, rama moderator pun tak ada. Beda dengan Surabaya yang punya moderator resmi. Diangkat langsung oleh Uskup Surabaya.

Dulu saya sering singgah di margasiswa PMKRI Surabaya ini. Menginap, wisata, ngobrol, diskusi dengan kawan-kawan Sanctus Lukas. Nginap berhari-hari gratis. Kalau urusan makan minum ya beli sendiri di warung Mbak Lis di depan margasiswa. Warung itu sangat terkenal dengan menu rawon yang khas. Penggemarnya sangat banyak.

Sabtu 21 Januari 2023. Saya singgah di rumah singgah, eh, margasiswa PMKRI Surabaya. Istirahat sambil menunggu acara Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besar Flores di Surabaya Raya. Acaranya di Balai Pemuda. Sekitar 100 meter dari margasiswa.

Oh, di manakah warung Mbak Lis? Di mana Mas Gatot?

Halaman PMKRI Surabaya bersih total. Tak ada bangunan warung dan pondokan Mas Gatot sekeluarga di belakang. "Sudah pulang ke Jember," kata seorang pelanggan lama di dekat Garden Palace.

Oh, Tuhan!

Saya dan pelanggan-pelanggan lama kehilangan betul masakan khas Mbak Lis. Selain rawon, soto, pecel, oseng-oseng juga enak. Dulu anak-anak PMKRI biasa ngebon kalau belum dapat kiriman dari orang tua. Mbak Lis hafal di luar kepala.

Mas Gatot juga teman ngobrol yang enak. Apalagi kalau bicara kitab suci. Meski tinggal di dalam kompleks katolik, Mas Gatot ini orang pentakosta. Sangat rajin baca Alkitab. Beda dengan kita orang yang tidak hafal ayat-ayat suci.

"Bu Lis dan keluarga sudah pulang. Ada acara perpisahan cukup besar dengan para senior (alumni)," kata Stanley, mantan ketua PMKRI Surabaya.

Hujan deras, petir menggelegar. Saya pun diajak diskusi bersama ketua presidium, pengurus biro, penghuni margasiswa. Kebetulan semuanya berasal dari Flores. Khususnya Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur. Hanya satu orang mahasiswi yang asal Sulawesi Selatan. Itu pun pacarnya cowok Flores.

Ya, ya, ya... PMKRI di mana pun selalu jadi tempat (mengutip himnenya): melatih diri, menggalang budi, bagi gereja dan negara Indonesia. Pro ecclesia et patria!

Tapi, di sisi lain, yang tak kalah penting, PMKRI juga jadi tempat ajar kenal lawan jenis. Bibit-bibit asmara sering tumbuh subur di sini. Sebagian besar ketua presidium baik di Surabaya, Jember, Malang, Jakarta dsb dapat jodoh di organisasi mahasiswa ekstrakampus itu. Aktivis ketemu aktivis cocoklah.

Hujan masih deras di malam tahun baru Imlek. Para junior ini rupanya sangat antusias bicara tentang kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Juga sikap hirarki atau KWI yang cenderung membisu dalam kasus Papua.

Saya agak kewalahan karena sudah lama kurang minat bahas politik. Apalagi soal Papua. Pengetahuan saya sangat kurang. Maka saya hanya bisa merespons secara normatif. Termasuk "memahami" posisi gereja di Papua. Kebetulan Uskup Jayapura Mgsr Leo Laba Ladjar orang Lembata juga. Bapa Uskup ini memang sangat hati-hati kalau bicara soal Papua yang masih bergejolak itu.

Berkumpul dengan aktivis-aktivis muda, ditemani kopi pahit asli Manggarai, membuat kita orang ikut semangat lagi. Ternyata masih banyak anak muda Katolik yang melakukan "ansos" (istilah khas di PMKRI dulu: analisis sosial). Mereka pun tidak main HP atau gawai saat diskusi.

Saya senang idealisme anak-anak muda masih menyala di era digital. Hujan mulai reda. Saya pamit ke Balai Pemuda untuk pesta Nataru bersama masyarakat Flores, Lembata, dan Alor. Adik-adik PMKRI Surabaya itu rupanya kurang tertarik ikut acara Natal bersama meski mereka semua, kecuali satu cewek itu, juga orang Flores asli.

Viva PMKRI!
Pro ecclesia et patria! 

Jumat, 20 Januari 2023

Kangen Kue Keranjang Tante Tok! Gong Xi Fa Cai 🧧🧧

Jelang tahun baru Imlek, Ayas selalu ingat kue keranjang. Ingat kue keranjang, ingat Tante Tok. Pemasak kue keranjang paling tua di Sidoarjo. 

Tok Swie Giok sudah 88 tahun. Tapi tidak pernah lupa bikin nian gao. Awalnya masak untuk dimakan keluarga sendiri. Lama-lama dipesan banyak orang. Laku keras.

Tante Tok pun kewalahan melayani order kue keranjang. Selama satu bulan tante alumnus sekolah Tionghoa di Sidoarjo itu melekan bersama anak-anaknya. Kalau sakit, ya kita orang bikin sedikit, katanya.

Sejak ada covid, Bung Ayas tidak mampir ke Tante Tok punya rumah di kawasan pecinan. Prokes jaga jarak, maskeran, kurangi bepergian, tidak boleh salaman dsb. Apalagi dengan tante sepuh pembuat kue keranjang.

"Kamu dapat salam dari Tante Tok,"  kata Satria wartawan di Sidoarjo.

"Salam  kue keranjang," Ayas balas Tante punya salam.

Semoga dapat hoki, banyak rezeki, umur panjang, sehat, tidak sakit dsb. Ayas minta Satria sampaikan ke Tante Tok.

Maklum, tante ini lao ren yang gagap teknologi. Tidak punya HP yang ada WA-nya. Bahkan HP biasa yang pakai SMS pun tak punya. Maka, kalau mau kasih selamat tahun baru Imlek, salaman ya harus datang langsung ke rumahnya Tante Tok. 

Ayas biasa minta teh pahit asli dari Tiongkok. Ditambah kue keranjang yang baru dikukus. Biasanya makan-makan juga. Ciamik soro pokoke!

Ayas seneng liat foto Tante Tok. Misih seger, misih kuwat bikin kue keranjang.

Selamat tahun baru Imlek!
Selamat tahun kelinci!
Gong xi fa cai! 

Senin, 16 Januari 2023

Kawan Kelas Yoyok Pulang ke Rumah Abadi

Nawak amal (kawan lama) telah berpulang. Ratno Aryo Wicaksono telah tiada. Meninggal dunia agak mendadak di Malang karena sakit jantung.

Yoyok, sapaan Ratno Aryo Wicaksono, selama ini selalu ceria. Biasa membagi video-video tentang desa binaannya di Kabupaten Malang. Serius sekali kalau bahas soal ekonomi desa, UMKM, dan sejenisnya. Idealismenya sejak jadi aktivis mahasiswa terbawa sampai akhir.

Ayas satu kelas dengan Yoyok saat di SMAN 1 Malang. Orangnya selalu ceria, murah senyum, tapi agak usil. Ulahnya membuat kelas jadi hidup. Apalagi kalau kebetulan guru sakit atau berhalangan. Kelas A1 itu pasti heboh.

Yoyok seniman musik. Sejak SMP sudah main band di Malang. Tukang gebug drum. Makin intens saat di SMA. Saat festival band pelajar se-Jawa Timur di Surabaya Sam Yoyok ini jadi drummer Mitreka Satata, julukan SMAN 1 Malang. Lagu wajib: Musisi dari Godbless. Hasilnya? Lupa.

Main band hobi Yoyok hingga ajal menjemput. Alumni Smansa tetap main band untuk silaturahmi. Bahkan diperluas dengan alumni SMAN 3 dan SMAN 4 yang biasa disebut SMA Tugu. Sebab gedung sekolahnya satu kompleks di tugu Alun-Alun Bundar itu.

Selama 30 tahun Ayas tak pernah ketemu Yoyok alias Ratno alias Daker. Cuma ketemu di grup WA khusus alumni satu kelas A1-3. Total ada 42 orang. Tapi Sri Astuti sudah lebih dulu pulang ke pangkuan-Nya. Kini disusul Yoyok.

Di balik gayanya yang rada nyentrik sebagai seniman musik, Yoyok ternyata sangat serius dan militan. Selalu jujur, sederhana, apa adanya. 

Salah satu kalimatnya:

"Aku tidak menikah karena akan menciptakan kemiskinan baru!"

Menikah akan menciptakan kemiskinan? Tidak ada nawak-nawak yang berani bahas secara terbuka di grup. Tapi seniman dan aktivis macam Yoyok selalu punya alibi dan penjelasan panjang lebar.

Selamat jalan, Nawak Yoyok! R.I.P.

Ajaran lama yang sering dilupakan wartawan: Lead harus istimewa

Sobekan Lead



Oleh  Dahlan Iskan


"JANGAN besar karena jabatan. Besarkanlah jabatan." 

Ketika kalimat itu diucapkan Pangdam V/Brawijaya yang baru, Mayjen TNI Farid Makruf MA, saya langsung membuka kotak kue di depan saya. Saya robek karton bagian sampingnya. Saya pinjam pulpen Johannes Dipa SH. Saya tulis kalimat itu di karton sobekan. Saya pun berkata dalam hati: "Kalimat ini akan saya jadikan lead di tulisan saya".

Lead adalah kalimat pembuka  dalam sebuah tulisan. Mencari kalimat pembuka, adalah salah satu bagian yang tersulit dalam menulis.

Banyak orang memulai tulisan dengan kalimat asal-asalan. Padahal kalimat pembuka itu harus istimewa. Dulu ada doktrin jurnalistik dalam menulis: lead harus diambil dari bagian yang terpenting dalam seluruh tulisan.

Doktrin itu terkait dengan teknologi lama: di percetakan model lama kalimat disusun dengan huruf-huruf terbuat dari timah. Tidak bisa dipotong di tengah. Beda dengan zaman komputer sekarang ini. Anda bisa potong tulisan di bagian mana pun yang  Anda mau. 

Maka, dulu, bagian yang terpenting harus ditaruh di tempat paling awal di tulisan. Disebut lead.

Di zaman berikutnya muncul teori baru. Khusus untuk penulisan cerita. Feature. Leadnya tidak lagi yang terpenting, tapi yang termenarik. 

Penting belum tentu menarik. Menarik belum tentu penting. Dengan menempatkan bagian paling menarik di lead pembaca akan tergoda untuk terus mengikuti cerita.

Saya memilih jalan yang lebih sulit: lead harus gabungan dari unsur terpenting dan termenarik. 

Untuk membuat lead yang ''hanya'' mengutamakan ''penting'', hanya perlu berpikir 9 kali. Untuk membuat lead yang mengutamakan ''menarik'' juga hanya perlu berpikir 9 kali. 

Maka untuk menggabungkan yang terpenting dan termenarik hitung sendiri: harus berapa kali berpikir.

Kadang tidak harus berpikir sama sekali. Seperti untuk membuat lead hari ini. Tinggal comot dari ucapan sumber berita. Sumber beritalah yang harus berpikir. 

Benar. Kadang lead sudah ditemukan jauh sebelum memulai menulis. Lead tulisan hari ini, misalnya, sudah saya temukan ketika kalimat itu diucapkan Pangdam Farid Makruf. "Ini akan saya jadikan lead" tekad saya saat mendengar kalimat itu. 

Baru dari Pangdam Farid saya mendengar kalimat seperti itu: penting sekaligus menarik.

Sayangnya sobekan karton kotak kue itu hilang. Saat Pangdam meninggalkan tempat, sobekan itu saya tinggal di meja. Saya mengantarkan Pangdam ke pintu depan. Saya juga ikut buru-buru naik mobil. Harus ke Pacet.

Di jalan saya menelepon kantor. Agar sobekan karton di atas meja itu difoto. Lalu dikirim dengan WA ke saya. 

Sobekan itu diperlukan karena saya akan menulis Disway di dalam mobil, di perjalanan menuju Pacet. Bahan-bahan tulisan ada di sobekan itu.

Rupanya meja sudah dibersihkan. Tidak ditemukan lagi sobekan itu. Kue yang belum termakan pun sudah bersih. Saya tidak bisa mulai menulis tanpa sobekan itu. 

Saya pun minta agar semua tempat sampah dikumpulkan. Sampahnya diperiksa. Sobekan itu harus ditemukan.

"Mungkin di kantong jaket bapak," ujar petugas kantor.

Saya mulai ngegas. Untuk apa telepon ke kantor kalau sobekan itu ada di kantong. Baju, celana, dan jaket saya masih yang itu-itu juga. Jangankan sobekan, uang pun tak ada.

Sampai tiba di Pacet, sobekan masih raib. Batas waktu sudah mepet. Kalau tulisan telat dikirim saya bisa dimarahi admin. Itulah kesempatan admin untuk marah, setelah hanya admin yang jadi sasaran marah perusuh. 

Terpaksa saya mulai menulis. Tanpa catatan apa-apa. Anda sudah membacanya kemarin dulu. Hanya saja tulisan itu harus saya hentikan saat cerita sampai ke soal Poso. Nama-nama ekstremis Poso ada di sobekan itu. Nama-namanya khas Sulteng: sulit saya ingat. Hanya sedikit  orang Sulteng yang saya ingat namanya. Salah satunya: Mastura. Ada juga Toana.

Maka sambungan tulisan itu saya janjikan baru bisa terbit di hari Senin. Siapa tahu perlu dua hari untuk menemukan sobekan. 

Setelah tulisan Letnan Master selesai dikirim ke Disway, barulah saya dapat kabar: sobekan itu ditemukan. Hari sudah larut. Tulisan di sobekan itu sudah tidak lengkap. Ada yang tersobek ada yang tersiram air. 

Bagaimana kalau sobekan itu tidak ditemukan? Bisakah edisi Senin muncul dengan cerita lanjutan? Bisa. Tapi saya harus menanggung malu: bertanya lagi ke Pangdam. Saya tidak boleh malu. Itulah doktrin lama saya kepada wartawan: jangan malu bertanya ulang kepada narasumber.

Apakah saya tidak pernah mengalami kesulitan dalam  menemukan lead? 

Kadang saya sendiri juga begitu sulit menemukan lead. Tidak semua sumber berita seperti Jenderal Farid. Wartawan sangat senang dengan sumber berita yang kata-katanya berisi, kalimatnya penuh warna dan ingatannya kuat. 

Memang, kadang sumber berita juga tergantung pada pancingan pertanyaan. Kalau pertanyaan tidak bermutu sumber beritanya juga malas berpikir. 

Tapi kalau sumber beritanya seperti Pangdam Farid penulisnya bisa sambil bersiul. Dari sekali bertemu Jenderal Farid saya bisa mendapat lima calon lead. 

"Anak Pasar jadi Jenderal" di edisi kemarin dulu itu, juga kata-kata Farid. Lalu lead yang saya pakai hari ini. Demikian juga yang akan saya jadikan lead edisi besok pagi.

Bagaimana kalau sulit menemukan kalimat yang bisa dijadikan lead?  Jangan berpikir terlalu keras. Tulis saja apa yang keluar dari pikiran. Pun kalau itu bukan pilihan terbaik. Lalu Anda hapus. Tulis lagi yang lain. Yang mungkin juga belum menarik. Hapus lagi. Sampai ketemu sendiri lead yang terbaik.

Zaman muda dulu, saat awal-awal jadi wartawan, urusan lead ini paling meneror. Maka setiap kali selesai wawancara pikiran langsung bertanya: apa lead-nya nanti. Sepanjang perjalanan pulang ke kantor pun pikiran fokus ke mencari lead. Kadang sampai lampu bang-jo tidak terlihat. Ditangkap polisi.

Begitu lead ditemukan, bagi saya, 50 persen tulisan sudah selesai. Cerita bisa dialirkan dari lead itu.

Lead itu ibarat ibarat gincu. Menarik untuk dilihat. Penting untuk dibayangkan. (*)

Minggu 15 Januari 2023