Cak Nun baru saja kesambet. Jokowi disamakan dengan Firaun. Ada 10 naga. Anthony Salim. Nama Luhut juga disebut. Rezim Jokowi identik dengan Firaun, kata Cak Nun.
Banyak yang protes, tapi tidak sedikit yang tepuk tangan. Menertawakan Firaun versi Cak Nun. Penceramah dan budayawan asal Jombang itu lalu klarifikasi. "Saya kesambet," kata Cak Nun.
Kata "kesambet" ini tidak pernah saya dengar di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember, dsb. Bisa jadi karena jarang ada orang yang kesambet. Kosa kata ini baru muncul di awal tahun 2023 ini. "Itu kata lama," kata seniman di Sidoarjo.
Seniman Sidoarjo Widodo Basuki kemudian menulis geguritan (puisi bahasa Jawa) berjudul Kesambet. Seniman Sidoarjo lainnya, Bambang Tri, menulis pentigraf Jawa. Judulnya juga kesambet.
KESAMBET
Ringin Growong kuwi arane wit ringin sing umure wis tuwa banget. Mbah kakungku tau crita yen jaman cilikane dicritani embahe, wit ringin kuwi wis ana nalika embahe isih cilik.
Sing tak elingi biyen ora ana wong sing wani sembarangan ana ngisore wit ringin kuwi. Yen ana sing wani tumindak aneh-aneh bakal nanggung akibate.
Ana sing lara, ana sing ngomyang ora genah ucape, ana sing bingung kaya wong pekok. Yen ana kedadeyan ngono kuwi diarani kesambet sing mbaurekso.
(Bambang Tri ES)
Aha.. akhirnya jelas makna kesambet itu. Kerasukan. Bisa kerasukan setan, kerasukan arwah, kerasukan genderuwo dsb.
Sekitar 5 tahun lalu ada wanita kesambet di Jolotundo. Teriak-teriak gak karuan. Suara orang lain yang lebih tua. Mas Wahyu yang rada santri komat-kamit mendoakan, siram itu wanita dengan air dingin. Masih kesambet, kesambet, kesambet.
Wahyu memarahi oknum yang merasuki si wanita. Dihardik. Dimarahi. Akhirnya wanita itu perlahan-lahan siuman. Tamat kesambetnya.
Cerita Bambang Tri tentang ringin growong di Jawa Timur ternyata sama dengan di Pulau Lembata, NTT. Pohon beringin besar, tua, di pinggir kampung sangat ditakuti. Apalagi malam hari. Gelap gulita tanpa listrik.
Kita orang harus hati-hati saat lewat di situ. Banyak sembahyang. Tidak boleh ucap kata-kata kotor, maki-maki dsb. Ringin growong dan pohon-pohon besar lain dipercaya ada penunggunya. Ada saja yang kesambet, kena pukau, semaput dsb.
Di Lembata kesambet biasa disebut belodin. Dulu sering sekali orang kena belodin. Bisa karena melanggar pamali di pohon besar. Bisa juga karena dirasuki orang yang punya ilmu hitam. Geger seluruh kampung. Korbannya meronta-ronta, omong dengan suara yang berbeda.
Di Ayas punya kampung ada 4 pohon besar. Bukan pohon bao (beringin) tapi niang. Bahasa melayunya belum tahu kita orang. Wingit betul pohon-pohon di luar kota itu. Tidak ada rumah di dekat situ. Rumah terdekat sekitar 4 kilometer yang ada makam umum.
Karena itu, Ayas dkk waktu kecil deg-degan saat lewat di depan itu pohon besar. Biasanya langsung sembahyang Bapa Kami & Salam Maria. Setan-setan tentu takut dengan doa-doa kita, bukan?
Saat Ayas mudik tahun 2019, sebelum pandemi covid, pohon-pohon besar itu sudah tak ada lagi. Malah di depan pohon itu berdiri dua atau tiga rumah. Sudah jadi terusan kampung. Tidak ada gangguan, kata penghuni rumah baru di depan (bekas) tempat angker itu.
"Masih ada orang belodin di sini?" Ayas bertanya.
"Ada tapi sedikit. Beda dengan zaman kita kecil dulu. Anak-anak muda sekarang lebih rasional. Main HP, main game, kurang percaya sia-sia (takhahul)," kata teman lama di kampung.
Bung Ayas pun sering jalan kaki sendiri malam hari. Gelap gulita. Sesekali pakai senter di HP. Masih ada sedikit rasa takut tapi tidak separah saat usia sekolah dasar dulu. Toh pohon besar tak ada lagi. Ada pula rumah baru di sebelahnya.
Anehnya, orang-orang lama di atas 40 tahun masih percaya belodin, suanggi, santet, belodin dsb. Juga percaya bahwa genderuwo masih ada di batas desa meski pohon besar sudah ditebang. Ayas pun dimarahi karena dianggap mencari masalah.
Bukan itu saja. Pintu-pintu dan jendela-jendela di kampung pun wajib ditutup pada malam hari. Biasanya di atas pukul 19.00. Jangan biarkan pintu dan jendela rumahmu terbuka. Apalagi sampai tengah malam.
Ya, karena itu tadi, ada kepercayaan lama bahwa suanggi-suangi atau genderuwo-genderuwo gentayangan mencari mangsa. Dia orang bisa dengan mudah masuk ke rumah yang pintu dan jendelanya terbuka.
"Kita harus percaya sama Tuhan Allah. Suanggi dan setan bisa diusir dengan sembahyang," kata Ayas menirukan omongan pater-pater Belanda tempo doeloe.
Omongan berbau kitab suci atau agama macam ini kurang mempan di pelosok NTT. Ayas malah dimarahi. "Engkau itu terlalu lama di Jawa sehingga sudah lupa dengan adat istiadat di sini," kata orang kampung dengan nada tinggi.
"Yo wis... sing waras ngalah!" kata orang Surabaya.
Sejak itu Ayas tak lagi jalan kaki sendiri malam hari saat mudik di kampung. Ketimbang kena belodin alias kesambet.