Kamis, 30 Juni 2022
Berbahagialah Jokowi yang membawa damai
Rabu, 29 Juni 2022
Komodo di Surabaya vs Komodo di NTT
Selasa, 28 Juni 2022
Orang Tionghoa Dojan Sekali dengen Pesta-Pesta
Sabtu, 25 Juni 2022
Flores itu ada di Batak
Kamis, 23 Juni 2022
Nyambangi Kawan-Kawan Pelukis Sidoarjo di Balai Pemuda
Sabtu, 04 Juni 2022
Covid Mereda, Wisata Jolotundo Mulai Menggeliat
Suasana di kawasan wisata Jolotundo, Trawas, mulai agak normal lagi. Namun belum seramai sebelum pandemi. Pengunjung asal Surabaya dan Sidoarjo masih mendominasi. Terlihat dari plat L dan W.
Ayas baru mampir lagi setelah cukup lama jaga prokes covid. Jaga jarak, kurang mobilitas, hindari kerumunan. Di Jolotundo ini agak sulit jaga jarak. Sebab warga setempat (sebagian besar) kurang percaya covid. Juga kurang percaya manfaat vaksinasi hingga dosis.
"Orang sehat kok disuntik?" kata Mbok Ponami kepada Ayas.
Sejak awal pandemi, puncak varian Delta, hingga sekarang wanita asli Balekambang, Jolotundo, itu juga tidak pakai masker. Juga tidak pernah menyediakan air untuk cuci tangan di warungnya. "Silakan cuci tangan di belakang. Ada kamar mandi," katanya santai.
Beberapa jam lalu saya jalan kaki ke kolam petirtaan Jolotundo. Ngos-ngosan karena tanjakan sangat tajam. Orang kota yang jarang jalan kaki pasti kesulitan. Kecuali anak-anak muda yang biasa mendaki gunung.
Ayas mampir sebentar ke reruntuhan warungnya Ningsih. Masih berantakan. Warung ini ditimpa pohon tumbang pada 14 November 2021. Tiga orang meninggal dunia. Salah satunya Ryan, anaknya Ningsih. Ayas kenal dekat Ningsih, Ryan, ibunya Ningsih hingga neneknya Ningsih.
Ayas berhenti dan kirim doa untuk para arwah korban pohon tumbang itu. Masih tak percaya kalau Ryan meninggal secara tragis di usia yang masih belia. Meninggalkan seorang anak balita.
Ayas lanjutkan mendaki hingga ke markas Pak Dalang. Ngobrol soal kesenian tradisional, pewayangan, dsb. Situasinya sulit, kata dalang Jawa Timuran itu.
Sebelum ada covid pun dalang-dalang sepi tanggapan. Setahun bisa main dua kali saja sudah bagus. Dua tahun pandemi membuat seni pertunjukan sekarat. Bukan hanya wayang kulit tapi juga kesenian yang lain.
Karena itu, Pak Dalang dari dulu buka warung di dekat pintu masuk Jolotundo. Asap dapurnya bisa ngepul terus berkat warung di kompleks wisata utama di Kabupaten Mojokerto. Seniman tradisional belum bisa hidup dari kesenian.
Jumat, 03 Juni 2022
Eyang Hartini Mochtar 92 Tahun Belum Pensiun
Hartini Mochtar Kasran merayakan ulang tahun ke-92 di Hotel Elmi Surabaya pada 1 Juni 2022. Sekaligus peluncuran bukunya berjudul "92 Tahun Belum Pensiun". Berisi tulisan apresiasi berbagai kalangan. Termasuk Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Eyang Hartini, sapaan akrabnya, memang belum pensiun di usia 92 tahun. Masih jadi ketua umum Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Surabaya. Sudah 28 tahun tanpa jeda.
Eyang sebetulnya ingin diganti pengurus yang lebih muda. Tapi tak ada yang bersedia. Lebih tepatnya: sungkan.
"Jangan bahas itu, Bu," kata pengurus BANI ketika Hartini Mochtar meminta pergantian ketua umum.
Eyang Hartini memang tipe Neli: nenek lincah. Selalu ada aktivitasnya selain mengurus arbitrase alias sengketa bisnis perusahaan. Wanita kelahiran Pare Kediri ini aktif ikut line dance, senam pagi bersama para senior.
Lagu favoritnya Fly Me To The Moon dari Frank Sinatra. Begitu musik lawas ini terdengar saat perayaan hari jadi di Hotel Elmi, Eyang Hartini langsung bergerak. Berdansa. Line dance bersama kawan-kawannya yang jauh lebih muda. Pakai sepatu hak tinggi.
Sedikit banyak saya kenal beliau dan keluarga besarnya. Lima tahun saya tinggal di Ngagel Jaya Selatan, rumah almarhum Eyang Tubagus Mochtar, yang tak lain suami Eyang Hartini ini.
Eyang Hartini tinggal di rumah yang satunya di Ketintang bersama Eyang Mochtar. Model rumah bangsawan tempo doeloe yang modelnya sama persis.
Eyang Mochtar seorang anggota TNI AD yang cukup terkenal di Surabaya di masa lalu. Ia dipercaya menjadi direktur 6 atau 7 perusahaan eks Belanda di kawasan Ngagel. Ada pabrik karet, pabrik sabu, pabrik kimia, dan beberapa lagi. Saya pernah bahas di blog lama.
Meskipun tentara tulen, Eyang Mochtar punya kemampuan manajerial untuk mengelola pabrik-pabrik eks Belanda yang dinasionalisasi itu. Sebelumnya tentara-tentara yang dikaryakan ikut kursus atau diklat intensif di Bandung. Tentara-tentara itu yang kemudian jadi bos-bos pabrik.
Bagaimana kondisi pabrik-pabrik itu? Cukup bagus di awal. Begitu yang saya baca di catatan lawas. Namun, makin lama makin kedodoran hingga mati suri. Eyang Mochtar kemudian mundur setelah berbeda pandangan soal manajemen perusahaan-perusahaan eks kolonial di Jawa Timur
Nah, Eyang Hartini ini dulunya sekretaris Eyang Mochtar, direksi perusahaan daerah Jatim. Tresna jalaran saka kulina. "Saya nyambi kerja dapat bonus suami," kata Eyang Hartini.
Eyang Mochtar ketua Kadin pertama di Jawa Timur telah meninggal dunia pada 15 Maret 2002. Dimakamkan di Pemakaman Delta Praloyo Sidoarjo.
Eyang Hartini pun sudah lama memesan makam nomor 594 di samping makam suaminya nomor 595.
''Sehingga pihak pengelola pemakaman sudah mengetahui bahwa tanah di samping makam suami saya sudah di-booking," tulis Eyang Hartini di bukunya.
Biasanya orang Indonesia tabu membicarakan kematian. Apalagi booking makam segala. Tapi eyang yang jago Hollands spreiken ini punya pandangan lain. "Kapan saja kita harus siap dipanggil-Nya," kata Eyang Hartini.
Selamat ulang tahun, Eyang Hartini!