Kamis, 13 Mei 2021

Lari Pagi di Alun-Alun Bunder

Ketika masih SMP dan SMA saya senang olahraga lari. Jarak menengah dan agak jauh. Maraton 42 km terlalu jauh. Lari 10 km lumayan kuat meski tidak bisa cepat kayak atlet lari tingkat nasional.

Kamis pagi, 13 Mei 2021, saya coba nostalgia lari-lari di Alun-Alun Bunder, Malang. Sepi banget karena Idulfitri. Orang sibuk salat Id dan berhari raya di rumah masing-masing. 

Saya pun napak tilas alun-alun peninggalan Belanda itu. Dua kali jalan agak cepat, kemudian lari. Wuih.. ternyata ngos-ngosan meski hanya satu putaran saja. Denyut jantung sangat kencang. Keringat bercucuran.

Faktor U memang tak bisa dinafikan. Semangat boleh tinggi tapi onderdil tubuh tidak sekuat masa remaja belasan tahun. Maka saya pun kembali jalan kaki mengelilingi alun-alun bersejarah dan penuh kenangan masa lalu itu.

Ada balai kota, kantor dewan, SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, stasiun kereta api, Splendid Inn, aula Skodam... suasana lawas yang tak banyak berubah. Bangunan-bangunan tua rupanya dipelihara dengan baik di Kota Malang ini.

Kembali ke lari pagi atau lari sore. Dulu boleh dikata saya rutin berlari keliling alun-alun bunder dengan mudah. Bisa 10 kali, 15 kali, bahkan 20 kali putaran. Napas tidak sampai ngos-ngosan.

Bahkan, sesekali saya ikut berlari bersama para petinju Sasana Kawanua di alun-alun ini. Markas Kawanua BC di Jalan Pajajaran, dekat banget dengan Jalan Suropati kompleks militer itu.

Tidak mudah mengimbangi gaya berlari para petinju profesional karena kecepatannya tinggi. Seperti dikejar anjing gila aja. Beda dengan kita orang yang berlari dengan tempo sedang-sedang saja. Karena itu, ketika kita memaksakan diri mengikuti pace para petinju Kawanua otomatis pola pernapasan jadi kacau. Bahaya.

Sasana Kawanua sudah lama mati. Begitu juga sasana-sasana yang pernah top di Malang seperti Javanua BC dan Gajayana BC. Sasana Gajayana BC di dekat Gereja Kayutangan sudah lama jadi kantor dinas Pemkot Malang. Sasana inilah yang pernah melahirkan Thomas Americo, petinju kondang asal Timor Timur itu.

Olahraga lari rupanya hanya cocok untuk orang-orang muda. Tapi sejatinya semua orang perlu selalu gerak badan. Kalau sudah tidak bisa lari ya jalan kaki pun boleh. Atau nggowes sepeda angin.

Sensasi Nostalgia di Toko Oen Malang

Kamis ini Lebaran. Bersamaan dengan Hari Kenaikan Yesus Kristus. 

Mau misa di Gereja Kayutangan, Malang, tapi tidak bisa karena bukan jemaat setempat. Protokol kesehatan di gereja-gereja memang sangat ketat (dan kaku).

Tak apa-apa. Toh bisa misa daring. Libur Lebaran di Malang tapi ikut misa dari Gereja Katedral Larantuka, Flores Timur. Dipimpin Romo Edy Saban orang Lembata. 

Misa di gereja tua peninggalan Portugia ini ibarat nostalgia mengenang masa kecil di Larantuka. Saat jadi misdinar atau putra altar Pater Paulus Due SVD dan Romo Gorys Kedang Pr -- keduanya sudah rest in peace.

Suasana Kota Malang di hari raya ini lengang. Tak banyak kendaraan lewat. Hampir tidak ada warung atau depot yang buka. Aku pun jalan kaki ke kawasan Kayutangan. Mampir dulu ke gereja yang sepi gara-gara Covid-19.

Oh, Toko Oen persis di depan Gereja Kayutangan ternyata buka. Pesan kopi dan roti tawar. Nongkrong, baca koran Jakarta Post yang disiapkan pengelola Toko Oen, sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia. Beatles, Roberta Flack, dan artis-artis lawas lainnya.

Suasana Toko Oen tidak banyak berubah. Meja dan kursi model tempo doeloe. Bangunannya juga khas tahun 1930-an. Hanya roti, kue, camilan yang disesuaikan dengan lidah wong Jowo. Maka tidak akan ada roti gandum di sini. Keju khas Hindia Belanda pun zonder ada.

Saya sudah tahu sejak dulu bahwa harga kopi dan aneka minuman di sini memang mahal. Karena itu, saya cuma pesan secangkir kopi hitam + sedikit gula. Harganya Rp 20 ribu. Roti tawar Rp 15 ribu.

Bagaimana rasanya kopi hitam ala Toko Oen? 

Sama saja dengan kopi di warkop-warkop pinggir jalan di Surabaya dan Sidoarjo yang Rp 3.000-an itu. Malah lebih gurih yang di warkop kaki lima.

Bedanya, di sini kita bisa melihat beberapa turis londo yang sedang nostalgia di toko tempo doeloe. Kita juga bisa membayangkan sensasi noni-noni dan mevrow tempo doeloe yang cakep-cakep beraroma keju.

Als de orchideen bloeien...

Senin, 10 Mei 2021

Ngopi, Merokok, Baca Koran

Pagi ini saya bersepeda lagi setelah libur seminggu karena capek. Nggowes di kawasan Surabaya Timur, masuk wilayah Sidoarjo di Segoro Tambak, terus ke kawasan Bandara Juanda. Cuaca sangat cerah. Suhu makin panas akhir-akhir ini di musim pancaroba.

Mampir sejenak di warkop kawasan Sedati. Meskipun bulan puasa, aktivitas cangkrukan tidak banyak berubah. Akeh sing mokel. ''Badan gak enak. Makanya aku gak puasa,'' kata Cak Munir yang hari ini tidak puasa.

Munir kelihatan asyik banget baca koran. Khususnya halaman olahraga. Khususnya lagi sepak bola. Khususnya lagi Persebaya. Pria 40-an tahun ini memang penggemar berat Persebaya sejak era perserikatan. Bonek sejati.

''Mudah-mudahan musim ini Persebaya juara,'' kata Cak Munir.

''Tapi Liga 1 gak ada degradasi. Gak seru, Cak. 18 tim dijamin aman.''

''Gak papa. Yang penting juara lah. Musim sebelumnya kan sudah juara 2. Yah, sekarang saatnya juara,'' ujar Cak Munir yang doyan kopi pahit (gula sedikit) plus rokok itu.

Asyik banget memang ngobrol dengan jamaah warkop kayak Cak Munir ini. Sebab, wawasannya tentang sepak bola sangat bagus. Khususnya Persebaya. Bukan cuma Persebaya masa lalu, era Syamsul Arifin, Budi Juhanis, Mustaqim dkk, tapi juga Persebaya era milenium. Persebaya sekarang yang presidennya Azrul Ananda, putranya Bapak Dahlan Iskan, yang terkenal itu.

''Makanya, saya selalu baca koran di warkop agar tidak ketinggalan informasi. Khususnya Persebaya,'' kata Munir.

Obrolan dengan Cak Munir bikin senang hati ini. Betapa tidak. Di tengah banjir informasi di media online dan media sosial, ternyata surat kabar masih diminati orang di Surabaya Raya. ''Aku sudah kecanduan koran. Ngopi sambil baca koran itu asyik,'' katanya.

Lanjut, Cak! 
Aku nggowes maneh!

Minggu, 09 Mei 2021

Mengikuti Wisuda Bapa Dr. Urbanus Ola Hurek di Bandung

Pandemi Covid-19 membuat semua tatanan berubah. Disrupsi di mana-mana. Termasuk urusan wisuda sarjana. Sangat janggal rasanya mengikuti suasana wisuda daring di kampus Universitas Padjadjaran, Bandung.

Wisudawan tidak perlu hadir langsung di aula besar bersama rektor, guru besar, petinggi-petinggi Unpad yang terkenal itu. Wisudawan bisa ikut dari mana saja. Tapi tetap pakai toga serta berbagai atribut layaknya wisuda bersama ribuan orang di dalam satu gedung.

Bagaimana dengan pemindahan kuncir di topi sarjana itu?

Dekan tentu tidak bisa melakukan ritual klasik itu dari jauh. Sebagai gantinya, pihak keluarga yang memindahkan kuncir ketika nama sang wisudawan dibacakan.

Saya merasa terharu saat memindahkan kuncir di topi sarjana Bapa Urbanus Ola Hurek di Gedung Pascasarjana FISIP Unpad, Jalan Bukit Dago Utara, Bandung. Sangat bangga rasanya ikut ''meresmikan'' Bapa Urbanus sebagai seorang doktor ilmu sosial politik. 

Dr. Urbanus Ola Hurek.

Kerja keras, dedikasi, pengorbanan Bapa Ur akhirnya berbuah gelar doktor (S-3). Bapa Ur yang dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang itu harus wira-wiri Kupang-Bandung untuk mengejar cita-cita meraih gelar akademik tertinggi itu.

Bapa Ur seakan kembali muda dengan jadi anak kos di Wisma Timah. Hanya sekitar 200 meter dari kampus Pascasarjana FISIP yang sangat sejuk. Saking sejuknya saya mengigil kedinginan saat mandi pada pukul 09.00 di Bukit Dago itu.

Bapa Dr Urbanus Ola Hurek ini adik kandung ayah kandung saya, Bapa Nikolaus Nuho Hurek (almarhum). Bapa Niko anak sulung dari lima bersaudara. Bapa Urbanus anak kelima alias bungsu. Bapa Daniel Demong Hurek, anak keempat pernah jadi Wakil Wali Kota Kupang.

Sepanjang perjalanan dengan KA Harini dari Surabaya Pasarturi ke Stasiun Bandung selama 10 jam lebih, saya banyak merenung tentang pencapaian (achievement) akademik ini. Sulit membayangkan seorang Urbanus yang asli kelahiran Kampung Napaulun, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, meraih gelar doktor. Jadi dosen, peneliti, dan orang penting di fakultasnya.

Betapa tidak. Kedua orang tua Bapa Urbanus (kakek dan nenek saya), almarhum Opa Samun Hurek Making dan Oma Ebong Nimanuho, sama-sama buta huruf. Tidak makan sekolahan. Tidak bisa baca tulis. Bisanya cuma cap jempol untuk urusan KTP dan surat-surat lain di kampung halaman dulu.

Kakek-nenek saya pun tinggal di kampung lama yang jauh dari jalan raya. Lebih banyak menghabiskan waktu di ongen alias ladang di tengah hutan. Kampung lama yang suwung. Bergelut dengan babi hutan dan binatang-binatang liar pemangsa tanaman-tanaman seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian yang memang sangat banyak saat itu.

Tapi, rupanya Opa Samun Hurek Making punya visi yang jauh ke depan. Anak-anaknya harus sekolah. Dua anak perempuan harus bisa baca tulis meskipun tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tiga anak laki-laki (Nikolaus, Daniel, Urbanus) harus bisa lanjut ke SMP, SMA... kalau bisa kuliah.

Apalah artinya visi dan cita-cita kalau tidak didukung dana? Opa Samun tentu tidak mampu membiayai sekolah tiga putranya itu dengan berladang di pedalaman Pulau Lembata. Tapi setidaknya visi itu membuat anak-anaknya punya semangat tinggi untuk menempuh pendidikan meski menghadapi rintangan yang sangat berat.

Karena itu, ketika MC mengumumkan wisudawan terbaik S3 Dede Yusuf Macam Effendy, juga dokter asal NTT, Maria Damayanti, lulusan terbaik di fakultasnya, saya tidak terlalu terpukau. Meskipun itu sebuah pencapaian yang fenomenal. Saya lebih terharu melihat Bapa Dr Urbanus Ola Hurek mengenakan toga kebesaran seorang doktor lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Proficiat untuk Dr Urbanus Ola Hurek!
Selamat untuk Bapa Ur!
Terima kasih banyak, Ama!

Kamis, 06 Mei 2021

Tes Genose Dua Kali di Stasiun KA

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung setahun lebih. Protokol kesehatan, 3M jadi 5M, jaga jarak, tes rapid, PCR, antigen dsb sudah jadi makanan sehari-hari.

Saya pun beberapa kali melihat dan memotret calon penumpang pesawat yang menjalani tes usap cepat, swab test saat masih awal pandemi. Ketika pesawat-pesawat baru mulai diizinkan terbang lagi. 

''Kami su punya fasilitas  rapid test di mana-mana. Sekarang Bapa sonde perlu takut terbang lai. Silakan Bapa pigi lihat di kawasan Juanda,'' kata Mas Danang, Humas Lion Air, yang senang menirukan gaya bicara orang NTT dalam bahasa Melayu Kupang.

Intinya, Mas Danang minta saya ikut menjajal swab test milik Lion Air di Jalan Bypass Juanda itu. Tapi saya takut dites covid. 

Bagaimana kalau positif? Karantina dua minggu? Bisa-bisa melebar ke mana-mana dampaknya. Kantor tempat kerja bisa lockdown. Seperti yang terjadi di RRI Surabaya dan Suara Surabaya Media beberapa bulan lalu.

Awalnya mau tes, ragu.. akhirnya tidak jadi tes rapid sama sekali. Melihat orang disogok hidungnya saja sudah takut.

Waktu berlalu.. akhirnya saya dipaksa keadaan untuk tes deteksi covid. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Itu syarat wajib untuk naik kereta api jarak jauh.

Kali ini masih takut tapi skalanya sudah turun jauh. Sebab saya sudah disuntik vaksin Sinovac dua kali bersama kawan-kawan pekerja media di kantor gubernur Jatim. Paling tidak lebih percaya diri karena ada imunitas dari vaksin buatan Tiongkok itu. Meskipun vaksinasi tidak menjamin seseorang tidak terpapar virus korona.

Selasa 4 Mei 2021. 

Saya pun dipaksa melakukan ritual nyebul kantong plastik di Stasiun Pasar Turi. Gampang banget. Kayak mainan anak-anak aja. Beda banget dengan swab test yang pakai merogoh lendir di dalam lubang hidung.

Hasil tes Genose C19 ini pun lekas diketahui. Tak sampai enam menit. ''Hasil pemerikaan NEGATIF,'' demikian surat keterangan yang diteken dr Marisca Asukawati.

Lega benar hati ini. Aku bebas Covid-19. Bisa jadi vaksinasi tempo hari membuat badan saya lebih tahan serangan virus asal Wuhan itu.

Syarat perjalanan dengan KA jarak jauh pun lengkap. Bisa berangkat ke Bandung. Bertemu Bapa Kecil Urbanus Ola Hurek.

Rabu 5 Mei 2021. 

Saya harus segera kembali ke Surabaya. Sebab ada larangan operasional kendaraan-kendaraan umum, khususnya kereta api mulai 6 Mei. Agar tidak ada gelombang mudik yang dahsyat di Pulau Jawa seperti tradisi jelang Lebaran di masa normal.

Saya baca lagi pengumuman di stasiun kereta api. Juga keterangan dokter itu. Masa berlaku tes genose atau rapid test antigen, PCR hanya 1x24 jam. Bukan 3x24 jam lagi seperti dulu.

Maka, saya harus tes genose lagi di Stasiun Bandung. Bayar lagi Rp 30 ribu. Kalau nekat pakai surat genose yang kemarin pasti ditolak karena sudah lewat tiga jam.

Begitulah. Dalam tempo 24 jam lebih sedikit saya dipaksa untuk menjalani tes lagi. Hasilnya negatif. Yang tanda tangan dr Imam Junaedi dari Bandung.

Saya pun lega karena dua kali tes sama-sama negatif hasilnya. Tapi covid ini penyakit yang aneh tapi nyata. Hari ini negatif, besok bisa positif. Apalagi jika kita tidak taat prokes dan meremehkan covid.

Covid-19 juga ibarat gunung es. Angka riil yang positif bisa jadi jauh lebih banyak ketimbang yang diumumkan satgas setiap hari. Sebab gunung es itu hanya sepertiga yang kelihatan di permukaan. Di bawah permukaan masih ada dua pertiga.

Sebanyak 66 persen korban covid yang belum terdeteksi itu antara lain orang-orang yang takut dites seperti saya... dulu.

Sabtu, 01 Mei 2021

Selamat Jalan, Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD

Sudah sering saya ingin bertemu Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD di Paroki Salib Suci, Waru, Sidoarjo. Tapi pandemi Covid-19 membuat pater-pater alias romo-romo di Surabaya Raya diproteksi dengan sangat ketat. Mas-mas satpam biasanya menolak dengan alasan yang masuk akal.

''Ketemu romo harus daftar dulu, janjian dulu. Nanti dicarikan waktu yang pas,'' kata seorang satpam gereja di Wisma Tropodo, Sidoarjo, itu.

''Saya dengan Pater Yosep ini kebetulan satu daerah. Flores Timur. Makanya saya mau ketemu paling lama 30 menit,'' kata saya merayu petugas itu.

''Sama aja. Aturannya sudah begitu,'' katanya tegas kayak polisi.

Akhirnya saya pulang dengan rasa kecewa. Apa boleh buat, pandemi covid ini membuat semua tatatan ambruk. Disrupsi total. Liturgi pun harus daring. Silaturahmi atau anjangsana dengan pater pun tak boleh.

Meski tidak bisa tatap muka, Pater Yosep Bukubala bisa ditemui hampir setiap hari di YouTube. Misa daring live streaming dari Gereja Salib Suci pagi hari. Selain Pater Yosep, ada dua pater lain yang konselebrasi. Pater Fransiskus Sidok SVD dan Pastor Gabriel Madja SVD.

 Paroki Salib Suci ini memang digembalakan pater-pater SVD. Boleh dikata 95% asal NTT, khususnya Flores, Lembata, Solor, Adonara. Pater yang bukan NTT kayaknya cuma Pater Heribert Balhorn SVD (+) asal Jerman.

Tiba-tiba datang kabar mengejutkan dari Ama Paulus. Orang Adonara Barat di Sidoarjo ini memang dekat dengan Pater Yosep Bukubala SVD.


''Telah berpulang ke Rumah Bapa Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD pukul 21.30 WIB pada Selasa 27 April 2021.

Jenazah saat ini disemayamkan di Gereja Paroki Salib Suci Tropodo, Sidoarjo, sampai dengan Kamis, 29 April 2021. Jenazah akan diantarkan ke Soverdi, Jalan Polisi Istimewa No. 9 Surabaya pukul 19.00 WIB dari Paroki Salib Suci. 

Jenazah akan dimakamkan di Kembang Kuning setelah Misa Requiem pagi Jumat 30 April 2021 di Soverdi. Misa tersebut hanya diikuti oleh Komunitas Soverdi.''

Oh, Tuhan, satu lagi pater, sang gembala umat dipanggil ke rumah-Nya. Pater asli suku Lamaholot. Pater Yosep Bukubala yang saya kenal sejak beliau bertugas di Paroki Gembala Yang Baik, Jalan Jemur Handayani, Surabaya. Pater yang ramah dan tutur katanya halus. Halusnya malah melebihi wong Jowo.

Saya pun menyempatkan diri datang ke Gereja Salib Suci. Menemani Pater Yosep yang terbaring di dalam peti jenazah. Wajahnya tenang meski pucat. Tugas pater asal Lewouran, Flores Timur, ini selesai sudah.

''Pater Yosep sempat bilang ingin ketemu adiknya, Pater Markus Solo SVD, tapi tidak kesampaian. Tuhan lebih sayang beliau,'' kata seorang bapak aktivis gereja.

Pater Dr Markus Solo, yang juga musisi dan penyanyi lagu-lagu pop daerah Flores Timur, sudah lama bertugas di Eropa. Sekarang jadi salah satu staf kepausan di Vatikan. Kedua pastor bermarga Kewuta ini jadi kebanggaan warga Lewouran dan orang Lamaholot pada umumnya.

Sekarang Pater Yosef Bukubala sudah tenang di Rumah Bapa. Tak ada lagi homilinya yang sejuk untuk menguatkan iman umat di tengah pandemi.

Selamat jalan, Pater Yosep!
Pana mang sare-sare, Ama Tuan!

Tak Ada Lagi Mbak Kholifah di Jalan Karet

Sudah seminggu ini warkop Mbak Kholifah di kawasan kota lama Surabaya tutup. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal warkop itu biasanya buka meskipun bulan Ramadan. 

Langganannya cukup banyak. Salah satunya saya. Selain itu, sejumlah karyawan di kawasan kota lama seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Cokelat, hingga Kalimas.

Mampir di warkop ini ibarat belajar bahasa Madura juga. Sebab Kholifah yang asli Bangkalan selalu berbahasa Madura dengan Umi dan beberapa oreng (orang) di situ yang sama-sama berasal dari Madura.

 Kawasan Surabaya Utara ini memang sering dipelesetkan sebagai Blok M. Blok Madura. Saking banyaknya orang Madura yang bekerja di sektor informal. Tukang parkir, tambal ban, warkop, sopir truk-truk yang biasa mangkal di Jalan Karet hingga Kalimas, tukang ojek online, dsb.

''Ke mana Mbak Kholifah?'' tanya saya kepada Umi. Tukang parkir yang hajah ini asli Bangkalan tapi sudah puluhan tinggal di Surabaya. Umi ini yang paling dekat dengan Kholifah.

''Mbak Kholifah sudah nggak ada,'' katanya. ''Sudah seminggu ini meninggal dunia.''

Oh, Tuhan... semoga Mbak Kholifah tenang di alam keabadian.

Saya tak pernah menyangka kalau Mbak Kholifah pergi secepat ini. Usianya belum 40. Orangnya juga kelihatan sehat dan jarang mengeluh sakit, tidak enak badan, dan sejenisnya.

Jangan-jangan... sakit Covid-19?

"Nggak ada itu kopid-kopidan. Mbak Kholifah meninggal karena sakit lambung,'' kata perempuan gemuk yang selalu dipamggil Umi setelah naik haji bersama suaminya itu.

Oh, Tuhan....

Sebelum pandemi covid ini datang, Mbak Kholifah juga kehilangan suami. Meninggal dunia karena sakit. Tak lama kemudian  Kholifah menikah lagi dengan orang Madura juga. Belum sampai dua tahun dia menyusul suami pertamanya ke alam baka.

Berbeda dengan ngopi di warkop-warkop lain, apalagi di depot sebelah yang kopinya mahal, ngopi di warkopnya Mbak Kholifah terasa gayeng. Ibarat cangkrukan bersama teman-teman lama. Ada saja obrolan ringan hingga berat seperti tren media massa dan media sosial, bisnis shipping and cargo yang kantornya di dekat situ, kawasan kota lama yang masih kumuh dan semrawut.

Mas Surani, karyawan perkapalan, malah lebih suka membahas ramuan madura dan menggojlok Kholifah pakai bahasa Madura tentu saja. Omongannya selalu seru...  dan ngeres.

Kholifah selalu menanggap para wartawan dan karyawan koran langganannya tahu banyak hal tentang apa saja di Surabaya dan negara ini. Mulai penangkapan pemakai sabu-sabu, pengeroyokan maling motor, hingga perkembangan covid.

''Pak Wartawan, kapan korona ini berhenti? Kok gak selesai-selesai?" tanya Kholifah. "Orang sudah bosan baca berita-berita tentang korona. Jualan saya jadi gak laku."

Gampang-gampang sulit menjawab pertanyaan Kholifah. Sebab jawaban kita akan disusul pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sulit lagi. Tapi asyik karena mbak warkop ini termasuk salah satu dari sedikit orang (Madura) yang masih sempat baca koran ketika warkopnya sepi.

Kini salah satu pelanggan koran itu telah tiada. Dan pelanggan-pelanggan warkopnya seperti saya kehilangan tempat cangkrukan dan ngopi plus ngerasani pejabat, politisi, dan sebagainya.