Senin, 10 Mei 2021

Ngopi, Merokok, Baca Koran

Pagi ini saya bersepeda lagi setelah libur seminggu karena capek. Nggowes di kawasan Surabaya Timur, masuk wilayah Sidoarjo di Segoro Tambak, terus ke kawasan Bandara Juanda. Cuaca sangat cerah. Suhu makin panas akhir-akhir ini di musim pancaroba.

Mampir sejenak di warkop kawasan Sedati. Meskipun bulan puasa, aktivitas cangkrukan tidak banyak berubah. Akeh sing mokel. ''Badan gak enak. Makanya aku gak puasa,'' kata Cak Munir yang hari ini tidak puasa.

Munir kelihatan asyik banget baca koran. Khususnya halaman olahraga. Khususnya lagi sepak bola. Khususnya lagi Persebaya. Pria 40-an tahun ini memang penggemar berat Persebaya sejak era perserikatan. Bonek sejati.

''Mudah-mudahan musim ini Persebaya juara,'' kata Cak Munir.

''Tapi Liga 1 gak ada degradasi. Gak seru, Cak. 18 tim dijamin aman.''

''Gak papa. Yang penting juara lah. Musim sebelumnya kan sudah juara 2. Yah, sekarang saatnya juara,'' ujar Cak Munir yang doyan kopi pahit (gula sedikit) plus rokok itu.

Asyik banget memang ngobrol dengan jamaah warkop kayak Cak Munir ini. Sebab, wawasannya tentang sepak bola sangat bagus. Khususnya Persebaya. Bukan cuma Persebaya masa lalu, era Syamsul Arifin, Budi Juhanis, Mustaqim dkk, tapi juga Persebaya era milenium. Persebaya sekarang yang presidennya Azrul Ananda, putranya Bapak Dahlan Iskan, yang terkenal itu.

''Makanya, saya selalu baca koran di warkop agar tidak ketinggalan informasi. Khususnya Persebaya,'' kata Munir.

Obrolan dengan Cak Munir bikin senang hati ini. Betapa tidak. Di tengah banjir informasi di media online dan media sosial, ternyata surat kabar masih diminati orang di Surabaya Raya. ''Aku sudah kecanduan koran. Ngopi sambil baca koran itu asyik,'' katanya.

Lanjut, Cak! 
Aku nggowes maneh!

3 komentar:

  1. Ngopi-Ngerokok-Ngobrol adalah Trinikmat. Kopi tanpa Rokok, bak bercinta dislontongi karet.

    BalasHapus
  2. Cak Hurek, Rika kuwi kaya wong Vienna, doyanane ngandok ning warung kopi.
    Kethok Mbak Sri mampir, kethok Mbak Kholifah mampir, nyang Prigen mampir, nyang Trawas mampir.
    Berapa Rupiah habisnya sekali mampir ? Apa saja sajiannya ?
    Saya bertanya semacam itu, sebab beberapa hari lalu saya menulis dengan uang Rp.30 ribu, kita bisa dapat 3 kali makan di warung, sarapan, makan siang berikut makan malam.
    Padahal kalau saya pulang ke Tanah-Air, sesampainya mendarat di Cengkareng, dijemput oleh saudara ipar, dan selanjutnya keliling Indonesia, makan-minum-hotel semuanya ditraktir oleh ipar-saya. Jadi saya kurang paham dengan harga2 di Indonesia. Hanya saja 4 tahun lalu, ketika kami keliling pulau Lombok, saya membaca di depan warung pinggir jalan, Sedia Nasi Soto Rp.5000,- per porsi. Jadi saya kira sekarang mungkin harganya hanya Rp.10 ribu.
    Gara-gara Pak Jokowi mempromosikan Bipang Ambawang, maka saya ingin tahu, berapa sih harga se porsinya ? Ternyata harga Bipang Ambawang sama dengan harga Be Guling di Denpasar, yaitu 70 ribu Rupiah.
    Waduh jadi bujangan di Indonesia untuk ongkos makan thok, minimum 100 ribu rupiah se hari. Lantas kalau kawin dan beranak, bojo dan anak ditidurkan di kolong jembatan dan dijejeli angin thok ? Apes tenan dadi wong mlarat.


    BalasHapus
    Balasan
    1. Cangkrukan di warkop atau kafe memang asyik. Banyak warna-warninya. Bisa lihat dengan dengar omongan orang yg aneh2 dan demokratis. Termasuk maki2 pemerintah soal covid, larangan mudik, selingkuh dsb.

      Kopi di warkop pinggir jalan yang 3.000 dan kopi di hotel 30 ribuan sama2 nikmat. Tapi di warkop kelas bawah kita orang bisa pantau suara wong cilik. Ampera: amanat penderitaan rakyat.

      Hapus