Saya perhatikan, anggota grup Flobamora di Jawa Timur lebih suka berkomunikasi pakai bahasa Kupang. Semacam bahasa Melayu Pasar dengan dialek Kupang. Orang NTT pasti tidak asing lagi.
Bahasa Kupang, karena hakikatnya bahasa Melayu Pasar, mudah dipahami orang NTT dari berbagai kawasan. Malah jadi semacam bahasa persatuan atau lingua franca orang-orang NTT di kawasan selatan dan Pulau Sumba.
Mulai dari Kupang dan seluruh Pulau Timor bagian barat, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Raijua dsb. "Beta orang Sabu na. Beta su lama tinggal di Surabaya," kata mendiang Om Peter.
Ia asli Sabu, remaja di Kupang, merantau di Jawa, lama di Jakarta, keliling berbagai kota di tanah air. Tapi aksen Kupang tidak bisa hilang ketika berbahasa Indonesia baku yang baik dan benar.
Orang Kupang sangat sulit, bahkan tidak bisa melafalkan e pepet. Semuanya é alias e benar. "Beta pu badan betul-betul sakit," kata bapa lain yang asli Soe.
Orang Sumba punya beberapa bahasa daerah. Ketika berkomunikasi dengan orang dari daerah lain, yang berbeda bahasa, mereka biasa berbahasa Melayu Kupang. Seperti John Kii, teman satu kosku dulu. Bung John ini benar-benar sonde bisa bilang ē pepet. Semuanya é benar.
Masyarakat Pulau Alor juga begitu. Meskipun jauh dari Kupang, mereka selalu berbahasa Melayu Kupang ketika bertemu orang yang bahasa daerahnya lain.
Unik karena Pulau Alor ini bertetangga dengan Pulau Lembata. Orang Lembata berbahasa Lamaholot seperti warga Kabupaten Flores Timur. Sebelum reformasi, Lembata juga masuk Kabupaten Flores Timur.
Apakah karena sering berbahasa Kupang, Pulau Alor, Pantar, dan sekitarnya masuk Keuskupan Kupang? Entahlah.
Yang pasti, sejak SD saya heran mengapa Alor yang bertetangga dengan Lembata masuk wilayah Keuskupan Kupang. Bukan Keuskupan Larantuka seperti Pulau Lembata, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Flores bagian timur.
Yang pasti pula, daerah-daerah yang lingua franca atau bahasa persatuannya bahasa Kupang mayoritas Kristen Protestan. Masyarakat di Pulau Flores hingga Lembata yang mayoritas Katolik tidak bisa bahasa Melayu Kupang. Alor yang jadi tetangga Lembata mayoritas Protestan. Sedangkan Lembata tidak ada Protestan, kecuali pendatang dari Kupang, Sumba, Alor dan wilayah selatan NTT.
Saya yang dari wilayah utara so pasti tidak lancar bahasa Kupang. Tapi sering pura-pura bahasa Kupang saat berkomunikasi dengan orang Kupang, Sabu, Rote, atau Sumba di Surabaya. Guru bahasa Kupang terbaik adalah Peter A. Rohi (RIP) dan Daniel Rohi, dosen UK Petra yang sekarang jadi anggota DPRD Jawa Timur.
Daniel Rohi ini sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya. Sejak jadi mahasiswa UK Petra, kemudian jadi dosen di kampus terkenal itu. Daniel juga jarang kumpul-kumpul dengan orang NTT. Kecuali saat Natal bersama atau pertemuan keluarga besar Flobamora. Tapi logat Kupangnya tidak hilang. Itu sudah jadi identitasnya.
Akhir-akhir ini beta mulai belajar lagi bahasa Kupang dengan membaca Alkitab Bahasa Kupang. Kata-katanya sederhana dan sangat khas di NTT.
Minggu pagi ini, 27 September 2020, beta baca Injil Lukas 12: 4-7. Begini bunyinya:
"Bosong pikir coba, burung pipit pung harga barapa? Paling mura, to! Lima ekor dua sen, aa? Biar bagitu, ma Tuhan Allah sonde lupa buang satu ekor ju.
Bagitu ju Tuhan taro hati sang bosong. Dia tau parsis barapa banya rambu di bosong pung kapala. Jadi bosong sonde usa taku, te Tuhan nilei bosong lebe dari burung pipit bambanya dong."