Jumat, 12 Juli 2019

Imamat Emas Pater Josef Glinka SVD

Surabaya, 11 April 2007
Imamat Emas Pater Glinka

Oleh HETI PALESTINA YUNANI
Wartawan Radar Surabaya

Sudah empat tahun Pater Prof Dr Josef Glinka SVD tak pernah pulang ke Polandia. Namun, tahun 2007 ini Romo Glinka siap menengok negara asalnya itu lagi. Ada alasan besar kenapa Romo Glinka memutuskan rencana itu.

"Juli tahun ini, saya akan merayakan 50 tahun Imamat. Jadi, saya harus pergi ke Polandia," kata pria asal Makszowy, Polandia, ini di Biara Soverdi, Jalan Polisi Istimewa 9 Surabaya.

Glinka berencana bereuni dengan kawan sesama pastor yang ditahbiskan pada 7 Juli 1957. Untuk perayaan emas bertanggal istimewa 07-07-07 itu, jumlah kawan seangkatannya tak lagi genap 21 orang. Rencana reuni hanya akan dihadiri 13 orang.

"Enam kawan kami sudah meninggal, dua keluar, dan dua lagi kabarnya tengah sakit keras," kata lulusan Seminari Tinggi Serikat Sabda Allah (SVD) di Pieniezno pada 1951-1958.

Untuk perayaan itu, sebenarnya ada waktu empat bulan cuti. Namun, Glinka mengaku tak bakal berlama-lama di Polandia. "Aduh, mana tahan empat bulan di sana? Paling cuma dua bulan saja. Di sini banyak tugas yang harus saya selesaikan," kata sulung dari tiga bersaudara ini.

Begitu lamanya tinggal di Indonesia, Glinka mengaku kesulitan mencari teman dekat saat pulang. Kawan-kawan kecilnya dan beberapa keluarga besarnya juga telah banyak yang meninggal.

 "Kalaupun ada yang dirindukan, mungkin makanan Polandia, terutama sosis buatan mama dan papa saya yang tukang jagal," kata Glinka yang pernah menjadi tukang masak Paus Yohanes Paulus II saat datang ke Indonesia pada 1989.

Indonesia memang sudah tak lagi menjadi tempat tinggal sementara pastor dari ordo Societas Verbi Divini ini. Ia menyebut Indonesia sebagai tanah airnya. Karena itu, jika harus ke Polandia, pria kelahiran 7 Juni 1932 ini justru tak mengatakannya sebagai pulang kampung, melainkan sekadar pergi.

Sejak ditahbiskan sebagai pastor, putra pasangan Konrad Glinka dan Elizabeth ini sudah mengincar Indonesia sebagai negara tujuan pastoralnya. Br Florian Derlik, pamannya yang juga bertugas di Flores, telah lama membuat Glinka mendengar nama Indonesia.

 "Padahal, kalau tak jatuh Indonesia, saya bisa saja dikirim ke Filipina atau Tiongkok yang saya isi dalam form lamaran," katanya.

Pada 1965, Glinka pun menginjakkan kaki di Indonesia, tepatnya Flores. Di pulau yang ia kagumi alamnya itu, Glinka langsung bertugas mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Santo Paulus, Ledalero, Kabupaten Sikka. Soal tugasnya ini, Glinka sebenarnya ingin menjadi pastor praktis.

"Tapi di ordo kami, semua tugas harus dilaksanakan. Termasuk keputusan bahwa saya harus berkutat di dunia akademik," kata pria tambun yang menempuh pendidikan doktoral di Jerman ini.

Karena harus mengabdikan diri pada dunia akademis itulah, dia diajak untuk membantu mengajar di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga yang berdiri pada 1985.

Di Unair, Glinka benar-benar mengabdi meski awalnya hanya dapat honor Rp 200 ribu. Namun, keahliannya di bidang bioantropologi diakui dan mendorong Unair memberinya gelar guru besar luar biasa bidang bioantroplogi. Pada 1995, tugasnya tiba-tiba dicabut. Isunya, Glinka dipaksa berhenti mengajar di Unair karena beberapa orang yang tak menyukai statusnya sebagai misionaris. Namun, hingga sekarang, Glinka tetap setia mengajar di kampus itu, termasuk pasacasarjana.

Kesetiaan itu tak berubah ketika layanan antarjemput tak lagi diterimanya dari Unair. "Honor saya yang hanya Rp 325 ribu saya alihkan untuk ongkos transportasi. Kalau tidak naik becak, ya bemo. Atau taksi karena aman pas dengan tubuh saya yang gemuk ini," kata Glinka yang juga mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini.

Meski tak melayani umat seperti layaknya pastor paroki, ia menganggap tugasnya di bidang akademik sama dengan pelayanan pastor-pastor lain. Kadang, beberapa umat masih memintanya ceramah, memberkati pernikahan, membaptis anak, dan tugas-tugas pastoral lain. "Jadi pastor adalah impian saya sejak masih 11 tahun. Jadi, asal berada di jalan Tuhan, saya yakin saya tetap menjadi pastor seperti cita-cita saya dulu," kata Glinka.

Pater Josef Glinka SVD


Surabaya 20 May 2006


Saya berkesempatan mewawancarai dua tokoh John Paul II Foundation asal Polandia. Pater Josef Glinka SVD menjadi penerjemah karena mereka bicara dalam bahasa Polandia. Kebetulan Glinka dan dua rohaniwan Katolik itu sama-sama berasal dari Polandia, satu negara dengan almarhum Paus Yohanes Paulus II.

 Pater Prof. Dr. Josef Glinka SVD tokoh luar biasa, setidaknya bagi saya. Terlalu banyak yang harus ditulis tentang beliau. Beliau ahli antropologi ragawi, guru besar Universitas Airlangga, pastor SVD, lama berkarya di Flores, cinta Indonesia, bahasa Indonesianya sangat bagus… sangat dikenal di Surabaya, Flores, bahkan Indonesia.

Asal tahu saja, profesor antropologi di Tanah Air tak sampai lima orang.

Saya beberapa kali mewawancarai Prof Glinka. Salah satunya wawancara panjang untuk dimuat satu halaman koran Radar Surabaya edisi Minggu. Janjian ketemu, on time. Lalu, saya merekam kata-kata beliau yang tegas, sistematis, semuanya layak dikutip.

Lahir di Chrorzow, kota industri di Polandia selatan pada 7 Juni 1932, Pater Glinka dan enam misionaris lain tiba di Jakarta 27 Agustus 1965. Desember 1966, Glinka mulai berkarya di Flores, tepatnya di Pulau Palue, Kabupaten Sikka.

Tak hanya bekerja sebagai pastor, Glinka melakukan riset antropologi dengan sangat intensif. Nah, sejak 1965 itulah ia tinggal di Indonesia, menghirup udara nusantara, bersosialisasi dengan orang Indonesia, khususnya Flores.

Kepada saya, Pater Glinka menyampaikan apresiasi yang tinggi untuk orang Flores. “Orang Flores itu jujur. Polos. Apa adanya,” puji Pater Glinka. Saya, asli Flores Timur dari kampung pelosok, pun bangga.

Setelah puluhan tahun tinggal dan bekerja di Indonesia, Pater Glinka melamar jadi warga negara Indonesia. Istilahnya, minta naturalisasi. Ternyata, prosesnya tidak mudah.

“Sampai sekarang belum diterima. Saya tidak tahu kenapa,” kata pastor yang pintar memasak ini.


Komentar di Blog Lama

MUKHLIS MUKHTAR
11:49 PM, November 22, 2011
salam kae...saya mahasiswa pasca sarajana arsitektur Brawijaya malang asal Ende ...kebtulan lagi meneliti tentang perkanpungan adat di pulau flores..sekedar menangakan Pater Josef Glinka SVD. punya buku tentang Flores kalo bisa tau bukunya tentang apa dan judulnya apa...saya sangat butuh sekalih tentang sejarah di pulau flores..biar bisa jadi refensi yang benar..maksih kae..kalo bisa diberi informasi lewat email email mukhtardesign@yahoo.com

www.watu-oto.com
10:44 AM, March 20, 2017
Begitulah pemerintahan kita. urusan begituan sangat susah. Tapi saya bangga dengan Pater. hebat.

Kamis, 11 Juli 2019

PPDB Zonasi, Anak Tak Perlu Pintar

Sidoarjo, 13 Juli 2018


''Sekarang tidak perlu anak pintar. Kalau punya SKTM ya gampang.''

Begitu keluhan Sigit di Jawa Pos. Pak Sigit kecewa berat karena anaknya gagal masuk SMA negeri. Padahal nilai reratanya di atas 90.

Sekolah-sekolah negeri tahun ini memang mengutamakan anak-anak yang orang tuanya miskin. Bukti miskinnya ya pakai surat keterangan tidak mampu alias SKTM. Maka surat miskin ini laku keras. Para orang tua berlomba-lomba jadi orang miskin. Agar anaknya bisa masuk negeri. Biarpun nilainya rendah.

Kebijakan menteri pendidikan sekarang ini niatnya baik. Biar kualitas pendidikan bisa merata. Tidak boleh lagi ada yang disebut sekolah favorit. Tidak boleh ada penumpukan anak-anak pintar di satu sekolah. Semua anak, berapa pun IQ-nya, dicampur di satu sekolah.

Ada juga kebijakan zonasi. Sekolah negeri wajib mengutamakan pelajar yang rumahnya di dekat sekolah. Tanpa perlu melihat hasil unasnya.

Memangnya sekolah-sekolah negeri sudah merata? Jangankan di luar Jawa, di Sidoarjo sekalipun sekolah negeri yang bagus (sekolah favorit, istilah warga) ada di tengah kota. Ada empat SMA negeri.

Maka berbahagialah warga Sidoarjo yang tinggal di Kelurahan Pucang dan Siwalanpanji. Sebab merekalah yang paling berhak masuk SMAN 1 Sidoarjo yang sangat favorit (dulu) itu. Sebab sekolah elite itu berlokasi di kampung halaman mereka.

Sebaliknya, warga Kecamatan Sukodono atau Balongbendo atau Wonoayu tidak akan bisa masuk SMA negeri. Begitu juga warga Kecamatan Sedati yang wilayahnya ada Bandara Internasional Juanda. Wilayah kecamatan-kecamatan ini tidak punya SMA dan SMK negeri.

Dari 18 kecamatan di Sidoarjo, masih banyak kecamatan yang tidak punya SMA negeri. Sekolah-sekolah negeri yang bagus justru numpuk di tengah kota. Beginikah zonasi pendidikan itu?

Kebijakan menteri pendidikan saat ini jelas mengubah filosofi persekolahan yang sudah bertahun-tahun dianut di Indonesia. Model rekrutmen berdasar nilai unas (dulu ebtanas) atau seleksi sepertinya tidak berlaku lagi.

Tidak ada lagi istilah anak pintar, sedang, atau lambat menangkap pelajaran. Semua murid dianggap punya kemampuan yang sama untuk mengikuti pelajaran. Filsafat yang sudah sering ditolak pakar-pakar pendidikan macam Pater Drost SJ.

''Kami khawatir siswa yang nilainya rendah tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik seperti teman-temannya yang nilainya tinggi,'' ujar Yuniarto, guru salah satu SMA negeri.

Syukur-syukur anak yang nilainya rendah itu ketularan temannya yang pintar. ''Kalau gurunya bagus, anak-anak yang nilainya jelek itu bisa dibuat pintar. Salahnya guru kalau ada anak yang nilainya di bawah 70,'' ujar Sugianto, teman saya yang guru bahasa Mandarin dan punya sekolah bisnis berbahasa Mandarin.

Mr Su ini tergolong aliran sama rata sama rasa khas Tiongkok. Dia sejak dulu menolak dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit. Karena itu, dia sangat senang dengan kebijakan Menteri Muhadjir dalam penerimaan siswa baru.

''Sekolah swasta juga mestinya gitu. Semua pendaftar harus diterima selama kursinya cukup. Lan iso mbayar hehe,'' kata saya disambut tawa Mr Su.


Komentar di Blog Lama:

Anonymous
2:32 AM, July 14, 2018
Lambertus yang budiman, di belahan dunia yang lain, di kota New York, borough Manhattan, terjadi masalah yang sama. Di sana ada sekolah2 favorit yang penerimaannya hanya melalui tes masuk, yaitu antara lain Stuyvesant, Bronx Science High School. Banyak sekali (hingga 70%) orang Asianya yang masuk, walaupun bukan orang kaya, karena mereka belajar mati2an agar bisa tembus ujian penerimaan. Lulusan dari sekolah2 tsb dapat masuk ke universitas2 terbaik seperti 2 anak sepupu saya (yang kakek neneknya hoakiau dr Indonesia) yang meneruskan ke Harvard.

Walikota yang baru Bill Blasio (yang istrinya orang hitam) tidak menyukai sistem penerimaan tersebut. Ia memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan (School Superintendent) agar mengubah sistem dengan menerima lulusan to 10% dari semua SMP, tidak peduli berapa nilainya, agar semua ras di New York City terwakili sama rata.

https://www.nytimes.com/2018/06/02/nyregion/de-blasio-new-york-schools.html

Orang keturunan Asia protes: tidak adil! Diskriminasi thd Orang Asia yang rajin belajar untuk mengubah nasib mereka. Orang hitam dan Puerto Rico dll. ras yang merasa tak terwakili, senang: ini baru adil! Kan kami orang miskin, karena itu tidak punya akses ke bimbingan belajar! Padahal selama ini bimbel sudah diadakan secara gratis oleh New York City untuk semuanya demi melawan persepsi tersebut. Tetapi siapa yang datang ke bimbel? Hanya orang Asia-Amerika yang miskin, wkwkwkwkwkwk!

Inti permasalahannya: apakah definisi keadilan itu? Apakah keadilan itu sama rata untuk semua ras / kultur? Apakah keadilan itu buta ras?


Lambertus Hurek
11:54 AM, July 14, 2018
sistem pendidikan atau lebih tepat persekolahan itu kunci kemajuan bangsa. makanya perlu didesain dengan super serius oleh pemerintah, parlemen dsb. tidak bisa setengah2. tidak boleh ganti menteri ganti kebijakan.

presiden jokowi rupanya kurang super untuk ngurusin persekolahan di indonesia. buktinya menteri pendidikannya terkesan asal tunjuk. anies baswedan dicopot. lalu diganti muhadjir dari yayasan muhammadiyah. sistem persekolahannya, psb, diubah. unas juga. kesannya kayak trial and error.

siapa yg jamin sistem persekolahan kita tetap sama setelah menteri pendidikannya diganti? sistem zonasi bakal lanjut terus? jadi prosedur tetap seterusnya? tidak ada.

belum lagi kurikulum. guru. lab. buku2. pokoke ruwet.

Anonymous
1:15 PM, July 14, 2018
Sistem zonasi sama rata seperti itu memang bisa berhasil, tetapi hanya di 2 tempat: Jepang dan negara2 Nordik yg mempunyai ciri2 yg sama: masyarakatnya sangat homogen, penghasilan yg tinggi, dan guru2 yg sangat kompeten dan digaji sangat tinggi. Apakah Indonesia memenuhi persyaratan itu?

Sistem pendidikan utk Indonesia yg sangat majemuk itu seharusnya diserahkan ke provinsi atau bahkan kota. Boleh aja ada kurikulum nasional yg diadopsi ttp tidak bisa dipaksakan.

Digabung dgn sistem magang ala Jerman, untuk mereka yg tidak cocok di wilayah akademis.


Lambertus Hurek
6:16 PM, July 14, 2018
betul betul.. pendapat dan masukan yg sangat ciamik. indonesia memang sangat heterogen. tidak bisa pukul rata aja.
sistem zonasi yg paling sempurna dan sukses itu cuman di flores. itu pun cuman tingkat SD. semua anak pasti sekolah di kampung halamannya. tidak ada yg sekolah di desa tetangga. tingkat SD memang masih sangat homogen anaknya.


Anonymous
3:39 PM, July 14, 2018
Mutu sekolah dan universitas di Eropa semuanya sejajar, tidak ada istilah sekolah- atau universitas-favorit. Istilah itu mungkin hanya ada di England.
Tetapi anehnya Eropa memiliki sejenis sekolah untuk murid yang agak bebal, nakal, disebut Sonderschule. Janganlah memandang rendah anak2 lulusan Sonderschule, sebab mereka kelak akan menjadi tukang2 yang sangat ulung, yang mengharumkan barang2 berlebel Made in Germany.
Ketika kesebelasan sepakbola negara Jerman berhasil meraih gelar juara dunia tahun 1974, hanya ada satu orang dari para pemain yang memiliki ijasah lulusan SMA, yaitu Paul Breitner, sehingga oleh teman2-nya dia dipanggil Herr Professor. Pemain2 kelas dunia lainnya, Franz Beckenbauer, Gerd Mueller, Sepp Maier, Guenter Netzer, dll. hanya punya ijasah tanda lulus SMP.

Lambertus Hurek
6:02 PM, July 14, 2018
informasi yg menarik. model jerman itu yg ciamik. sekolah2 pertukangan alias kejuruan itulah yg lebih dibutuhkan. tidak perlu semua anak masuk sma karena rutenya terlalu panjang untuk nggolek penggawean.

saya baru tau kalo pemain2 jerman barat yg hebat banget itu ternyata hanya satu yg jalur sma. kamsia.

Anonymous7:42 AM, July 15, 2018
Lambertus, untuk generasi 1990, Juergen Klinsmann yg memenangkan Paula Dunia 1990 itu pun juga sekolah kejuruan menjadi tukang bikin roti (baker).


Lambertus Hurek
9:20 AM, July 15, 2018
klinsmann itu penyerang yg sangat tajam. dapat peluang sedikit aja gawang lawan sangat terancam. klinsmann saat itu didukung pemain2 lain yg merata kualitasnya di timnas jerman. apalagi ada dirigen yg namanya matthaeus. ciamik soro.


Lambertus Hurek
9:29 AM, July 15, 2018
sistem persekolahan ala jerman dan belanda itulah yg dijadikan rujukan oleh pater drost sj dalam tulisan2nya tentang pendidikan. intinya, yg saya ingat, siswa yg bisa melanjutkan sekolah ke sma itu pasti lebih sedikit. mayoritas lulusan smp sebaiknya ke smk atau sekolah pertukangan yg dikelola dengan bagus. kenapa? pater drost bilang pelajaran2 di sma atau universitas itu menuntut kemampuan akademik yg sangat tinggi. begitu juga universitas: hanya bisa diikuti mahasiswa2 yg otak akademiknya super. kalau sedang2 saja ya jalurnya di politeknik atau sejenisnya yg prakteknya lebih banyak.

dari mana kita tahu lulusan yg mampu akademik (bukan ortunya kaya) tentu lewat testing. ebtanas atau unas di smp. atau sipenmaru snmptn umptn dan sejenisnya.

kalau semua anak dianggap sama otaknya ya tes masuk atau unas tidak perlu lagi. berarti model piramida seperti yg digambarkan pater drost dan pakar2 pendidikan era orde baru sudah tidak cocok lagi.


Lambertus Hurek
9:33 AM, July 15, 2018

anak2 smk sering magang di tempat saya. setelah lulus, biasanya mereka adu untung ikut seleksi masuk ptn. atau daftar kuliah di swasta... pasti diterima. pokoke iso mbayar spp. lulusan smk memang belum siap kerja. tapi jarang yang nerusin ke politeknik.


Anonymous
2:32 PM, July 15, 2018
Ponakanku lulus sma dr St. Louis tapi gak mau melanjutkan sekolah pdhal nilainya bagus. Karena mamanya buka salon kecantikan, dia kursus rias kecantikan, dengan tujuan meneruskan bisnis mamanya. Jadi sebenarnya itu tergantung anaknya dan orangtuanya juga, berani gak melawan arus dan tidak sekedar ikut2an.

Lambertus Hurek
9:37 AM, July 16, 2018
joss itu. anaknya salah satu mantan bos di sidoarjo malah gak mau sekolah sma. dia milih kerja. buku usaha sendiri. hasilnya lebih sukses ketimbang teman2nya yg lulusan universitas.
cuman kebanyakan ortu khawatir anaknya bakal sulit cari kerja kalo gak sekolah. ijazah itu semacam tiket untuk melamar ke pabrik2.

Anonymous
2:39 AM, July 17, 2018
Memang itu cara memandang pendidikan yang salah. Ijazah (hasil akhirnya) yang dipandang sebagai tiket, bukan isi pendidikan itu sendiri. Saya kasih nasehat ke ponakan itu, universitas itu penting untuk membuka wawasan. Jadi kalau kamu meneruskan kursus kecantikan saja, ga papa, tetapi kamu harus mencari wawasan itu di luar. Kebanyakan orang Indonesia, termasuk dulur2 saya, walaupun lulusan universitas tetapi daya berpikir kritisnya sangat kurang karena masyarakat Indonesia (dan Asia Tenggara pada umumnya) memang tidak melatih ini.

Lambertus Hurek
10:53 AM, July 17, 2018
gak enak memang tapi nyata. ijazah memang tiket di nkri. lowongan jaga toko kudu punya tiket ijazah sma sederajat. jadi caleg atau bupati atau presiden atau wapres ya kudu punya tiket ijazah sma sederajat.
makanya menteri susi yg punya pesawat banyak, pengusaha kaya, ngomong english lebih lancar ketimbang indonesia, punya pilot2 bule... juga perlu tiket. minggu lalu dia lulus paket c. dapat ijazah yg disamakan dengan sma. dapatlah bu susi nyaleg atau dicalonkan jadi bupati gubernur wapres dsb.

Lagu Seriosa Itu Apa?

Surabaya, 29 November 2010

Pada 1980-an lagu seriosa sering diperdengarkan di Televisi Republik Indonesia [TVRI], satu-satunya televisi masa itu. Kini, seriosa nyaris tidak ada lagi. Tidak dapat tempat di televisi atau radio.

Pertanyaannya, lagu seriosa itu apa?

Oleh LAMBERTUS L. HUREK

Saya suka main-main ke kantor Surabaya Symphony Orchestra (SSO) di Jalan Gentengkali 15 Surabaya. Bangunan tiga lantai di kawasan strategis kota Surabaya. Selain kantor, SSO membuka kelas vokal dan musik, juga punya concert hall kecil untuk berlatih atau home concert. Tiap hari ada saja anak-anak dan remaja yang mengikuti les musik klasik.

Saya bertandang ke sana karena kebetulan kenal dekat dengan Pak Solomon Tong, dirigen sekaligus pendiri SSO. Para staf serta beberapa penyanyi andalannya pun saya kenal baik. Jelek-jelek begini, saya sempat mengikuti latihan vokal bersama Paduan Suara SSO. Diskui dengan Pak Tong bikin wawasan musik klasik saya bertambah-tambah.

"Kamu ikutlah karena suaramu bagus. Kamu juga bisa menyanyi," kata Solomon Tong kepada saya di rumahnya, Jalan Kawi 3 Surabaya, di awal karier saya sebagai jurnalis, menjelang kejatuhan Presiden Suharto.

Sayang, karena sibuk meliput ke mana-mana, saya tidak bisa intens berlatih seni suara klasik. Cukup menonton, kemudian menulis sedikit liputan di surat kabar.

Baru-baru ini, setelah membual dengan Yanti dan Mimin (keduanya staf SSO), saya diterima Solomon Tong di ruangannya. Pria kelahiran Xiamen Tiongkok, 20 Oktober 1939, ini tengah menulis sambil menikmati rekaman Konser Kemerdekaan SSO, awal Agustus 2006 di Hotel JW Marriot. Dalam setahun SSO rata-rata menggelar tiga kali konser besar.

"Yang ini konser ke-46 selama 10 tahun usia SSO," ujar Solomon Tong. Saat itu Pauline Poegoeh, soprano andalan SSO, tengah membawakan lagu klasik karya W.A. Mozart.

"Pak Tong, saya ingin tahu apa sebetulnya seriosa itu?" pancing saya.

"Nah, ini pertanyaan bagus. Kita perlu meluruskan istilah seriosa itu. Di luar negeri tidak dikenal lagu atau musik seriosa. Kita di Indonesia saja yang salah kaprah," kata suami Ester Carlina Magawe, pianis top Surabaya, itu.

Celakanya lagi, "Seriosa dalam pengertian Indonesia itu sangat sempit, hanya untuk vokal serius. Ini yang sulit ditangkap masyarakat awam," tegasnya.

Saya pun teringat pemilihan Bintang Radio dan Televisi atau BRTV di TVRI pada 1980-an. Selain keroncong, lomba menyanyi tingkat nasional ini menampilkan kategori seriosa dan hiburan. Lagu seriosa yang saya lihat di TVRI dibawakan dengan 'sangat serius', busana formal, teknik vokal klasik, suara bergetar (vibrasi kuat)--mirip orang kedinginan, begitu olok-olok masyarakat--lagu-lagunya sulit, sehingga peserta sedikit.

Lagu-lagu seriosa yang kerap dilombakan di BRTV antara lain Seuntai Manikam (Djohari), Keluhan Kuncup Melati (Ibu Sud), Cempaka Kuning (Syafei Embut), Taufan (C. Simandjuntak), Fajar Harapan (Ismail Marzuki), Karam (Iskandar), Kasih di Ambang Pintu (Iskandar), Bukit Kemenangan (R. Djuhari), Bintang Sejuta (Ismail Marzuki), Senja Semerah Bara (F.A. Warsono), Mekar Melati (C. Simandjuntak).

Kisah Angin Malam (Saiful Bahri), Puisi Rumah Bambu (FX Sutopo), Wanita (Ismail Marzuki), Kisah Mawar di Malam Hari (Iskandar), Embun (GWR Sinsu), Di Sela-Sela Rumput Hijau (Maladi), Citra (C. Simandjuntak), Dewi Anggraeni (FX Sutopo), Kembang dan Kumbang (Sancaya HR). Kebetulan saya bisa membawakan sebagian di antaranya.

Saya sodorkan daftar lagu ini kepada Solomon Tong. "Lagu-lagu ini yang biasa disebut seriosa itu," kata saya. Tong tersenyum.

Sebagai dirigen orkes simfoni dan mantan juri BRTV jenis seriosa, Tong niscaya sangat paham lagu-lagu seriosa versi Indonesia itu. Dia berkeras istilah 'seriosa' salah kaprah. Tidak cocok dipakai di dunia musik karena bisa membingungkan orang luar negeri.

"Indonesia ini hanya mengutip setengah-setengah lagu-lagu pada zaman Barrock. Di Jerman istilahnya lieder artinya song. Tapi arti sesungguhnya art song," papar Tong.

Puisi yang dilagukan ini melahirkan lieder-lieder yang sangat terkenal di Jerman. Cara pembawaanya pun 'serius', berbeda dengan lagu-lagu biasa.

Di mata Solomon Tong, lagu-lagu seriosa yang dilombakan di BRTV tidak cocok dengan konsep art song.

"Itu kan lagu-lagu kepahlawanan, perjuangan, cinta tanah air. Kita jangan paksakan diri memakai istilah seriosa. Nanti bikin bingung orang," tutur Solomon Tong yang mendirikan SSO pada 1996 itu.

SSO merupakan orkes simfoni langka di Indonesia karena paling aktif menggelar konser besar maupun konser kecil.

Sebagai 'suhu' musik klasik, Tong memang berkeinginan kuat untuk meluruskan banyak istilah musik yang salah kaprah di Indonesia. Salah satunya seriosa. Kalau sekadar berarti 'serius', apanya yang serius? Apa hanya cari pembawaannya? Menurut dia, sebaiknya kita menggunakan istilah-istilah musik yang berlaku universal. Untuk vokal, misalnya, ada opera, aria, oratorio, sacred song, secular song, folk song.

"Kalau yang sedang dibawakan Pauline ini jenis aria dari Mozart. Jangan disebut seriosa! Nggak jelas!" tandas Tong.

"Kenapa anda tidak meluruskan istilah seriosa sejak dulu? Bukankah anda sering menjadi juri BRTV?" tanya saya.

"Saya sih maunya begitu, tapi tidak pernah diberi kesempatan oleh panitia. Waktu saya jadi juri, selalu ada pesanan supaya memberi bobot lebih kepada peserta yang berpenampilan menarik dan macam-macam lah," kenang Tong yang mulai membina paduan suara dan musik klasik sejak 1957.

Beberapa waktu lalu Tong sempat bertemu dengan kepala program TVRI Surabaya. Tong ingin 'meluruskan' salah kaprah istilah seriosa melalui televisi negara itu.

"Pak Sutrisno tanya apa saya bersedia jadi narasumber. Saya jawab oke. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasannya," kata Solomon Tong, kecewa.

Tidak itu saja. Tong pun ingin menggalakkan musik vokal untuk remaja lewat TVRI Surabaya agar muncul bibit-bibit vokalis masa depan. Ternyata, konsep sosialisasi ala Solomon Tong sangat dihargai, tapi masih sulit dilaksanakan di Indonesia. Karena itu, Tong selalu meminta wartawan-wartawan di Surabaya, khususnya saya, untuk membuat tulisan tentang musik klasik yang apresiatif.

"Tanpa media massa, musik klasik tidak akan jalan. Kalian itu mitra saya, partner saya," tegas Tong dalam berbagai kesempatan. Jangan heran, beliau senantiasa memberikan waktu kepada saya untuk membahas tetek-bengek seputar musik klasik kapan saja.



KELUHAN KUNCUP MELATI karya Ibu Sud. Lagu seriosa yang sederhana. Notasi angka ini saya tulis hanya berdasarkan ingatan belaka. Maaf sebesar-besarnya kalau kurang akurat.


AGAR bahasan ini komplet, saya lengkapi dengan pandangan Suka Hadjana, pemusik, dirigen, dan kritikus kelahiran Jogja 17 Agustus 1940. "Istilah musik seriosa sesungguhnya agak berlebihan," tegas Suka Hardjana.

Menurut dia, seriosa ala BRTV tak lain bagian dari seni olah suara (menyanyi) dengan teknik tertentu, diiringi piano atau aransemen orkes. Lagunya pendek-pendek dalam bentuk lied bermatra tiga frasa sederhana: awal, sisipan, ulangan.

"Dilihat dari bentuk penulisan dan pembawaannya pun sesungguhnya masih terlalu sederhana untuk dibilang seni serious(a). Istilah musik seriosa yang kedengaran agak ke-italia-italia-an itu sebenarnya berasal dari pemilahan khazanah musik di Amerika dan Eropa di awal perkembangan industri musik sesudah Perang Dunia II," urai Suka Hardjana.

Adalah Amir Pasaribu yang mengimpor istilah 'seriosa' ke Indonesia untuk memberi ciri salah satu kategori Bintang Radio yang digelar pertama kali pada 1952. Waktu itu televisi belum ada di Indonesia. Setelah TVRI berdiri pada 1964, menjelang Asian Games di Jakarta, Bintang Radio pun diperluas menjadi Bintang Radio dan Televisi (BRTV).

Setelah dominasi TVRI sebagai satu-satunya televisi dihapus, pamor BRTV pun meredup sama sekali. Kini, ajang pemilihan BRTV praktis lenyap sama sekali di Indonesia. Seperti Pak Tong, Pak Suka Hardjana suka menulis kolom reguler di harian Kompas. Berikut sedikit catatan Pak Suka tentang lagu-lagu seriosa versi Indonesia:

"Sangat mengherankan bahwa mereka (penulis lagu seriosa Indonesia) sepertinya sama sekali tak terinspirasi oleh komponis-komponis yang lebih fundamental seperti Bach, Mozart, Debussy, Bartok, Stravinsky, dan lainnya.

Tapi hal itu bisa dimengerti bila diingat bahwa sesungguhnya lagu-lagu pendek mendayu-merdu-merayu dari para komponis Romantik mudah masuk selera. Dan itu rasanya lebih dekat dengan apresiasi diletantis para komponis Indonesia dari dulu hingga sekarang," tulis Suka Hardjana di bukunya, Esai & Kritik Musik' (Penerbit Galang Press, Jogjakarta, 2004).

Yo wis, Cak!

Pengungsi Myanmar di Sidoarjo

Sidoarjo, 6 Maret 2015

Dari sekitar 200 imigran pencari suaka politik yang ditampung di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Kecamatan Taman, terdapat sekitar 20 orang warga negara Myanmar. Mereka terus bersabar menunggu keajaiban dari negara ketiga yang akan menampun dan memungkinan mereka bekerja.
Dilihat dari bentuk tubuh, warna kulit, tinggi badan, rambut, dan sebagainya para pengungsi Myanmar ini tak berbeda jauh dengan orang Jawa. Karena itu, ketika berada di pasar agrobisnis milik Pemprov Jatim itu, kita sulit membedakan mereka dengan para pedagang buah atau sayuran. Beda dengan pengungsi Somalia, Sudan, Iran, atau Afghanistan yang fisiknya beda dengan kebanyakan orang Indonesia.

"Banyak orang yang kecele sama pengungsi Myanmar. Diajak bicara bahasa Jawa atau bahasa Indonesia kok nggak nyambung. Biasanya mereka cuma senyum-senyum saja," ujar Mbak Sri kepada saya siang tadi (5/3/20145).

Salah satu pemilik warung nasi dan jus buah ini menjadi langganan pengungsi Myanmar di Puspa Agro. "Wong saya sendiri pernah kecele. Si Min itu saya kira orang Jawa," tambahnya lantas tertawa kecil.

Min yang dimaksud Sri ini tak lain Zow Min. Pria 38 tahun ini baru dua bulan menempati Rusunawa Puspa Agro setelah sebelumnya ditampung di lokasi pengungsian di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. "Kami dari Myanmar ada sekitar 20 orang. Saya sendiri Buddhis, yang lainnya muslim," tutur Zow Min dalam bahasa Indonesia yang lumayan lancar, meski dengan logat Myanmar yang terkesan aneh.

Sebelum dikirim ke Puspa Agro, Jemundo, Zow Min dan kawan-kawan tinggal di Tanjungpinang selama dua tahun lebih. Di kota pesisir itulah mereka belajar bahasa Indonesia dari penduduk setempat sambil berharap segera diberangkatkan ke negara maju yang mau menampung mereka.

Betapa senangnya Min ketika tiba-tiba diminta berkemas-kemas untuk berangkat ke tempat yang jauh. "Ternyata kami dikirim ke Puspa Agro. Tadinya saya kira ke Australia atau Kanada," ujar pria yang murah senyum ini.

Menurut Min, para pengungsi asal Myanmar alias Burma ini sebenarnya melarikan diri dari negaranya secara bergelombang. Tidak ada koordinasi di antara mereka. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak saling mengenal sebelum dipertemukan pihak imigrasi di lokasi pengungsian.

"Saya berangkat dari Myanmar bersama istri, anak, orang tua, dan anak. Perahu kami tabrakan sehingga kami tercerai berai," tutur Min dengan mimik sedih. Karena itu, dia tidak tahu nasib keluarga dekatnya itu. "Apakah mereka masih hidup atau sudah tidak ada, saya tidak tahu," katanya.

Zow Min yang berusaha menyelamatkan diri dari pusaran arus laut akhirnya berhasil diselamatkan sebuah kapal nelayan. Singkat cerita, Min kemudian mendapat status resmi sebagai imigran pencari suaka dari IOM. Nah, di Tanjungpinang barulah dia bergabung dengan puluhan pengungsi Myanmar lain yang sudah lebih dulu berlayar mencari suaka.

"Kami terpaksa lari karena tidak aman. Nyawa kami terancam," katanya.

Min kemudian menceritakan perlakukan aparat keamanan di negaranya terhadap warga Myanmar yang berada di dekat perbatasan dengan Thailand. "Mungkin presiden atau menteri-menteri di Yangon (ibukota Myanmar) baik. Tapi petugas-petugas di bawah ini tidak mau tahu. Makanya, kami terpaksa ambil risiko dengan mencari suaka ke negara lain," ujarnya.

Saat hendak balik ke kamarnya di Rusunawa Puspa Agro, Min meminta bantuan agar dirinya segera dikirim ke Kanada atau USA. Kalau bisa jangan ke Australia, katanya. "Di sini kami memang tidak kelaparan. Makan minum dijamin IOM dan pemerintah Anda. Tapi status kami pengungsi. Kami nggak bisa kerja. Nggak bisa ke mana-mana," katanya.

Gereja Protestan di Lembata

Lewoleba, 28 December 2018

Dulu orang Lembata hanya mengenal dua agama: Kiwan (Katolik) dan Watan (Islam). Ditambah agama leluhur nenek moyang yang tanpa nama. Lama-lama agama asli ini hilang karena rakyat Indonesia diwajibkan menganut agama resmi yang diakui pemerintah.

Karena itu, sejak kecil orang Lembata, khususnya Kecamatan Ile Ape, hanya tahu dua agama di Lembata: Katolik dan Islam. Adakah gereja Protestan di Lembata? Tidak banyak orang kampung yang tahu. Orang Protestan pasti ada karena banyak pegawai atau karyawan yang bekerja di Lembata.

"Saya belum lihat ada gereja protestan di Lembata," kata teman saya yang rupanya kurang blusukan di kampung halamannya sendiri.

Yang pasti, para jemaat Protestan sudah merintis gereja sejak 1970an. Masih sebatas kebaktian dari rumah ke rumah. Para perintis berasal dari Timor dan sekitarnya. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), denominasi terbesar di NTT.

Seiring perkembangan Lembata dari segi ekonomi dan pemerintahan (pembantu bupati Flores Timur), pegawai dan jemaat kristiani non Katolik makin banyak yang datang ke Lembata. Mereka tentu membutuhkan gereja untuk kebaktian rutin. Sama dengan minoritas katolik yang migrasi ke Kupang, Sabu, Rote, Sumba dsb.

Maka, pada 15 September 1981 diresmikan GMIT di Lembata. Gereja kecil tapi cantik. Namanya Sola Fide. Di Lembata sering salah eja menjadi Sola Vide. Bahkan di Lewoleba ada Jalan Sola Vide di dekat gerejanya orang Timor itu.

Orang Lembata yang Katolik rupanya lupa dengan Fide yang artinya iman. Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura. Tiga sola itulah slogan awal gerakan protestanisme saat mereformasi Katolik di Eropa.

Nah, rupanya jemaat protestan terus bertambah. Pada 29 November 1983 GMIT Lembata dikukuhkan menjadi jemaat yang mandiri. Saat bersamaan Bupati Flores Timur Hamonangan Iskandar Munthe meresmikan gereja sebagai tempat kebaktian.

Sejak itulah orang Lembata mulai mengenal Gereja Kristen Protestan. Belakangan muncul juga beberapa gereja aliran pentakosta dan karismatik. Bahkan, kemarin saya melihat ada Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di kawasan Waikomo. Tidak jauh dari Rumah Sakit Damian dan Rumah Sakit Bukit.

"Lembata sekarang sudah berubah menjadi kota. Kalau dulu jarang ada orang Jawa, sekarang gampang sekali menjumpai orang Jawa di pasar, rumah sakit, dan sebagainya," kata Anton, tukang ojek di Lewoleba.

Mr Tjio
7:28 AM, December 30, 2018
Sejak tahun 2000 setengah masa hidup-saya, saya habiskan di Tiongkok. Mulai Heilongjiang di utara sampai Hainan di selatan pernah saya kunjungi. Saya cuma sekali kebetulan melihat gereja katolik di Tiongkok, yaitu di Wangfujing Beijing. Kalau gereja2 Protestan di Tiongkok keleleran.
Di Kota tempat saya tinggal ada sebuah gereja Protestan yang cukup besar, dibangun oleh missionaris orang Amerika pada awal abad ke-20. Di desa-nya Xiao-mei, pembantu saya, yang terpisah hanya 6 Km , juga ada sebuah gereja Protestan. Rumahnya si-gendhok persis dibelakang gereja. Sekeluarga-nya Xiao-mei adalah orang nasrani-protestan. Biasanya orang China ( suku mayoritas Han ) hanya boleh punya anak satu, tetapi gendhok-saya punya saudara 5 orang.
Orang kristen taat tidak mau aborsi, selain itu dia adalah suku minoritas Li. Orang suku minoritas di Tiongkok boleh punya anak sesukanya dan sebanyaknya. Mau memeluk Agama apa pun, sak karepe awake. Suku minoritas Tiongkok adalah orang asli tanah air mereka, jadi bangsa pendatang haruslah menghormati adat-istiadat orang pribumi. Lho wong Cino komunis yo iso ngerti tata-krama.
Waktu pertama kali si-gendhok Xiao-mei melamar bekerja ditempat saya, saya menatap wajahnya sambil bersenyum, dia-nya langsung berkata : Xiansheng, wo ye shi zhongguoren !
( Tuan, saya juga seorang Cina ! ).
Sebabnya si-gendhok berkata demikian adalah sbb.:
Xiao-mei adalah seorang gadis China suku minoritas Li, matanya besar bak bintang timur, kulitnya sawo-matang bak putri Lomblen, tidak putih ala Inul, giginya rata putih, hitungnya mancung, rambutnya lurus terurai sampai dipinggul. Pokoknya Xiao-mei tak bedanya anak gadis asli Indonesia yang cantik.
Lacurnya si-gendhok justru merasa minder, rendah diri, karena kulitnya berwarna gelap. Semua cewek di Tiongkok mendambakan kulit warna putih-gamping. Jadi maksudnya Xiao-mei, saya orang Hitachi = Hitam Tapi China !
Gendhok cino kuwi ora paham lek juragane bocah cine-bali, sing ben dino ber-angan2 rabi karo janda meduro. Ket biyen wis tuwuk ndelok wong wedhok kulit sawo-matang wuda, melalung, adus ning kali.
Si-gendhok mengira saya adalah seorang cina yang lahir dan besar di Eropa, dikira saya tidak mengerti cara membuka degan, cara makan tape ketan, cara mengukus ubi, tela dan keladi. Daripada repot menerangkan letaknya pulau Bali, lebih baik dibiarin saja dia nya mau berwasangka.

Cak Sodiq Mantap Bersama New Monata

Sidoarjo 15 March 2019

Ada yang berbeda dari Sodiq. Dalam beberapa kali konser di Sidoarjo, gitaris dan vokalis dangdut koplo berambut gimbal itu membawa bendera OM New Monata. Personel orkes melayu (OM) yang dibawa Sodiq pun berbeda dengan OM Monata yang bermarkas di Desa Kandangan, Kecamatan Krembung.

Ada apa dengan Sodiq dan OM Monata?

Rupanya sudah enam bulan ini Sodiq cabut dari OM Monata. Pria asal Pandaan itu membentuk grup baru bernama OM New Monata.

"Yang penting, saya dan teman-teman masih bisa menghibur masyarakat. Dan tetap seduluran (dengan OM Monata)," ujar Sodiq yang punya karakter vokal khas itu.

Selama 23 tahun seniman yang akrab disapa Cak Sodiq itu identik dengan OM Monata. Dia kompak bekerja sama dengan Gatot Hariyanto membangun grup terkenal ini dari bawah hingga menjadi OM papan atas di Indonesia. Orkes ini melahirkan banyak penyanyi top di blantika dangdut koplo nasional. Sayang, kolaborasi selama 23 tahun itu harus berakhir.

Formasi lengkap OM Monata bersama Sodiq manggung terakhir kali pada 17 September 2018 di Subang, Jawa Barat. Pulang dari sana, mereka pamit lewat pesan pendek (SMS). "Show berikutnya yang tampil formasi baru," kata Gatot Hariyanto, manajer OM Monata.

Musisi yang hengkang dari Monata adalah Sodiq (vokal/gitar), Nono (gitar), Slamet (suling), dan Juri (kendang). Sedangkan tiga personel lainnya, Robi (kibor), Toni (bas) dan Hanafi (tamborin), memilih bertahan di OM Monata.

Apa penyebab utama Monata pecah?

Gatot enggan menjelaskan. Begitu juga Sodiq. Namun, sebagai manajer dan teman, Gatot mengaku sudah melakukan pendekatan dari hati ke hati. Termasuk mendatangi rumah Sodiq dan kawan-kawan. "Onok opo Rek, kok podo metu, kene kan wis gumbul 23 taun," kenangnya.

 Apa boleh buat, keputusan Sodiq dkk sudah bulat.

Setelah 23 tahun ngorkes bareng, akhirnya OM Monata benar-benar pecah. "Yang penting, kita tetap rukun, guyub, dan saling menghormati," kata Sodiq.ï