Sabtu, 14 Desember 2024

Pastor Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm Menggembalakan Kawanan Kecil di Paroki Bangkalan Madura

Gereja Katolik Santa Maria Bangkalan kini jauh lebih indah ketimbang yang pernah saya lihat beberapa tahun lalu. Dulu gereja paroki ketiga di Pulau Madura itu sederhana sekali. Mirip gereja stasi.

Cukup lama saya tidak ikut misa di Bangkalan sehingga tidak mengetahui perubahan besar itu. Termasuk perubahan bangunan pastoran, Gua Maria, hingga "rumah singgah" dekat gereja.

Sejak zaman Belanda Pulau Madura ikut Keuskupan Malang. Bukan Keuskupan Surabaya yang nota bene hanya berjarak 5 kilometer dari Surabaya. Karena itu, pastor-pastor yang berkarya di Paroki Bangkalan, Paroki Pamekasan, dan Paroki Sumenep diutus dari Keuskupan Malang. 

Sampang menjadi satu-satunya kabupaten di Pulau Madura, juga Jawa Timur, yang tidak ada parokinya. Cuma stasi kecil dengan kapel yang numpang di rumah seorang Tionghoa. 

Pulau Madura juga sejak dulu dilayani oleh pastor-pastor Karmelit alias Ordo Karmel (O.Carm). Namun, imam-imam Karmelit sempat digantikan romo-romo diosesan alias RD selama empat atau lima tahun. Sebab pater-pater Karmel diutus ke berbagai negara.

Belakangan pastor-pastor Karmelit kembali melayani 3 paroki di Madura. Ordo Karmelit memang sejak dulu memilih pelayanan di kawasan Malang Selatan dan Madura. Keinginan Ordo Karmel itu juga diakomodasi para Uskup Malang yang kebetulan berlatar belakang Karmelit macam Uskup Pandoyoputro, OCarm (+) dan Uskup Pidyarto Gunawan, O.Carm.

Sejak 3 November 2022 pastor Karmelit kembali diutus ke Bangkalan. Pastor Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm yang sebelumnya bertugas di Tumpang, Malang, menggantikan RD Yohanes Triyana. Romo Triyana betugas selama 4,5 tahun di Bangkalan.

Saya cukup terkesan dengan gaya Romo Purnomo, O.Carm. Orangnya humoris, ramah, menyapa semua umat yang ikut misa di gereja. "Anda pasti dari Flores," katanya.

Kok tahu? "Iya, lah, wis jelas," katanya sambil tertawa kecil.

Romo Purnomo ternyata pernah bertugas di NTT. Karena itu, dia paham betul Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor dan sebagainya. Termasuk membedakan logat hingga postur tubuh orang NTT.

Beberapa waktu lalu Romo Purnomo jadi viral di televisi dan media online. Itu setelah dia memberikan pengampunan kepada seorang pemulung yang mencuri patung Yesus dan Bunda Maria, kipas angin, hingga sound system di Gereja Stasi Telang, Paroki Bangkalan.

Kasus pencurian properti itu pun dinyatakan selesai. Tersangka Muzamil dibebaskan. Kasus itu diharapkan menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.

"Sekarang fokus kita adalah pembinaan OMK sesuai dengan program Keuskupan Malang. OMK adalah masa depan gereja," kata Romo Purnomo.

Umat Katolik memang minoritas kecil di Jawa Timur. Di Pulau Madura lebih minoritas lagi. Di tengah situasi itulah Romo Purnomo dengan telaten menggembalakan kawanan kecil, domba-domba di Bangkalan, ke padang yang berumput hijau.

Jumat, 13 Desember 2024

Orang Lamaholot Merantau ke Sabah Sejak 1930-an, Babat Alas Bangun Kota di Masa British

Merantau itu bahasa Lamaholotnya "melarat". Karena melarat, orang Lamaholot yang meliputi Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata "melarat" ke Sabah.

Sejak kapan orang Lamaholot merantau ke Malaysia? Sejak zaman penjajahan. Saat itu Sabah dan Serawak belum semaju sekarang. Masih hutan. 

"Perantau-perantau Lamaholot yang buka hutan, tebang pohon, jadi kuli bangunan, tukang di Sabah," kata Om Kornelis, mantan TKI di Sabah.

Lelaki asal Lomblen Island atawa Lembata itu masih pegang "IC merah" - semacam kartu penduduk musiman - yang dikeluarkan pemerintahan British. Saat itu Sabah masih dijajah oleh Inggris. Sabah baru bergabung dengan Federasi Malaysia pada tahun 1963.

Kamilus Tupen, orang Adonara Timur, mantan perantau di Sabah, pekan lalu mengunggah foto kehidupan orang Adonara sebagai TKI di Tawau, Sabah, pada tahun 1953. Foto hitam putih itu mendapat banyak komentar dari orang Lamaholot, khususnya Adonara.

Meski hanya pekerja kasar, kuli sawit, kuli bangunan, sopir dan aneka pekerjaan 3D (dirty, dangerous, difficult), para TKI Lamaholot itu tampil sangat rapi saat bergambar bersama. Macam orang pigi makan pesta!

 "Pada tahun 1992, saya sendiri sempat menjadi TKI di Labuan, Malaysia. Banyak suka dan duka yang saya alami, tetapi saya selalu mencoba menjadi TKI pembelajar, memanfaatkan kesempatan untuk belajar berbagai hal," ungkap Kamilus.

Sejarah merantau ini bahkan dimulai sebelum Perang Dunia II. Agus Dosi, salah seorang keturunan perantau, mengisahkan bahwa ayahnya sudah merantau ke Sabah pada tahun 1939. "Saat itu, belum ada Indonesia maupun Malaysia. Ayah saya sudah mencari penghidupan di sana sebagai buruh atau pekerja di sektor pemerintahan Inggris," ujarnya.

Hugo Ratu menambahkan, warga kampung mereka telah meninggalkan Adonara untuk menuju Sabah sejak tahun 1930-an. "Mereka berani mengambil risiko besar untuk berlayar ke Sabah, menetap, bekerja, dan membangun keluarga," jelasnya. Generasi mereka dikenal dengan sebutan "Orang Timor" oleh masyarakat lokal di Sabah.

Cukup banyak perantau ini yang menikah dengan warga setempat dan membangun kehidupan di Sabah. Marlin, yang memiliki orang tua angkat asal Honihama, Adonara, menceritakan bagaimana salah satu kerabatnya takut untuk kembali ke kampung halaman karena sudah terlalu lama menetap di Sabah.

 "Beliau sempat bilang, kalau saja belum berkeluarga, mungkin dia bisa pulang. Tapi karena sudah berkeluarga dan terlalu lama, beliau takut tersesat di jalan," katanya.

Kini, keturunan para perantau dari Adonara, Solor, Lembata, dan Flores ini menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas di Sabah. Mereka dikenal sebagai "Orang Timor," yang tetap menjaga warisan budaya leluhur di tengah kehidupan modern di Malaysia. Sebagian besar dari mereka terus mengenang asal-usul dan berupaya menjaga hubungan dengan kampung halaman meskipun jarak dan waktu memisahkan.

Orang-orang Lamaholot ini biasa kumpul-kumpul, makan pesta, menjaga seni budaya nenek moyang mereka. Di era media sosial ini arus perantau Lamaholot ke Sabah agak berkurang karena sudah terbagi ke Malaysia Barat, Batam, dan berbagai daerah di tanah air.

"Tapi yang paling nyaman tetap di Sabah. Bekerja dan tinggal di Sabah itu seperti berada di kampung halaman sendiri. Saban hari kita ketemu orang Lamaholot, bicara bahasa Lamaholot, tobo behing arak (duduk minum arak), sole oha (menari tarian adat) dan sebagainya," kata Om Kornelis.

Paman yang sudah meninggalkan dunia "behing arak" itu cabut dari Sabah karena kecantol dengan Marie, wanita peranakan Tionghoa di Kota Lama, Malang. Tapi kenangannya tentang Sabah di era British tidak pernah pudar. 

Minggu, 08 Desember 2024

Meta AI di WhatsApp sudah lumayan tapi belum bisa diandalkan

Kecerdasan buatan, AI, makin meluas ke mana-mana. WhatsApp, WA, pun baru memperkenalkan Meta AI. Semua pengguna AI pun diberi notifikasi mengenai Meta AI perangkat cerdas di ponselnya.

Dengan Meta AI maka segalanya jadi mudah. Kita bebas bernyata apa saja lalu dia jawab. Jawaban robot sesuai dengan megadata di algoritma digitalnya.

Iseng saya minta Meta AI bikin gambar ilustrasi hujan di Surabaya. Lumayan bagus. Tak sampai satu menit jadi. Kalau digambar biasa, manual, pasti lama.

Saya juga bertanya tentang banjir rob di Surabaya. Perbedaan antara kalender hijriah dan kalender Tionghoa yang nota bene sama-sama lunar calender. 

Mengapa bulan baru dan bulan purnama (hampir) pasti selalu jatuh pada tanggal 1 dan 15 Tionghoa? Sementara tanggalan hijriah tidak tentu? 

Meta AI menjawab dengan sangat detail. Lengkap dengan situs-situs yang jadi rujukan. Luar biasa.

Saya juga minta AI edit naskah berita. Ternyata hasilnya belum bagus. Ada paragraf penting malah dihapus. Kata-kata bahasa Indonesia pun belum sepenuhnya baku (KBBI). Misalnya, Meta AI menggunakan "merubah" mestinya "mengubah", "dirubah" mestinya diubah.

Meta AI jauh lebih hebat jika menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia memang masih dalam pengembangan. Lama-lama AI jadi "pinter beneran" setelah mendapat jutaan masukan dari pengguna WA di Indonesia.

Lama-lama makin banyak orang kehilangan pekerjaan karena diambil alih AI.

Yuliati Umrah Budayakan Tanaman Cempaka Mulia di Tetirah Gayatri, Lereng Gunung Bromo

Yuliati Umrah, Ketua Yayasan Arek Lintang, yang juga dikenal sebagai petani dan perangkai bunga, kini tengah membudayakan tanaman cempaka mulia (Magnolia figo) di Tetirah Gayatri. Bunga dengan aroma wangi khas ini menjadi salah satu tanaman yang ia tanam secara mandiri untuk kebutuhan usaha dan pelestarian tradisi.

Menurut Yuliati, cempaka mulia memiliki sejarah panjang sebagai bunga yang digunakan dalam berbagai ritual penting di Indonesia, khususnya di Ambon, yang merupakan habitat asli bunga ini.

 "Sejak era kuno, bunga ini digunakan sebagai persembahan karena aromanya yang sangat wangi," katanya.

 Yuliati mulai menanam cempaka mulia pada tahun 2020, saat pembangunan Tetirah Gayatri, dan sejak itu ia merawatnya dengan penuh perhatian.

Ia juga baru mengetahui bahwa bunga ini memiliki peran penting dalam adat istiadat masyarakat Tengger. "Baru dua tahun terakhir saya tahu bahwa bunga ini digunakan oleh pemimpin suku Tengger, Romo Dukun, dalam upacara besar dan ritus wajib mereka," lanjutnya.

 Tidak hanya itu. Bunga cempaka mulia juga digunakan dalam tradisi malam Jumat Legi oleh masyarakat di desa-desa di lereng Gunung Arjuno, yang memiliki sejarah sebagai tanah suci sejak era Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Yuliati menambahkan bahwa selama ini banyak yang mengenal bunga cempaka kanthil (cempaka kuning atau cempaka gading) yang berasal dari India dan Nepal. Namun cempaka mulia yang memiliki aroma lebih lembut dan jarang ditemukan, justru menjadi pilihan utama dalam ritual-ritual tersebut.

 "Saya bersyukur dua pohon cempaka mulia saya tumbuh besar dan berbunga banyak. Bahkan, saya sudah berjanji kepada Romo Dukun Tengger untuk tidak segan memetiknya bila dibutuhkan untuk upacara," ujarnya.

Melihat pentingnya pelestarian bunga ini, Yuliati juga mengajak teman-temannya di Desa Bulukerto, lereng Gunung Arjuno, untuk menanam lebih banyak pohon cempaka mulia. "Keburu punah nanti," ungkapnya.

 Ia mengundang siapa pun yang ingin menikmati harum lembut bunga cempaka mulia untuk berkunjung ke Tetirah Gayatri yang terletak di lereng Gunung Bromo.

Kamis, 05 Desember 2024

Menemani Mama Siti di Surabaya, Pengganti Mama Yuli yang Sudah Tiada

Mama Yuliana Manuk anak pertama dari dua bersaudara. Keduanya perempuan. Adiknya Mama Siti Kasa.

Mama Yuli dan Mama Siti beda agama meski satu orang tua. Mama Yuli Katolik, Mama Siti Islam. Sama-sama kuat menjalankan agamanya. 

Mama Yuli pernah tinggal di asrama Susteran SSpS, Larantuka, saat jadi siswi SKP: Sekolah Kepandaian Puteri. Sembahyang pagi, sembahyang malam, sembahyang malaikat 3 kali sehari. Itu yang diajarkan kepada 4 anaknya di pelosok Pulau Lembata.

Sebaliknya, Mama Siti juga rajin "sembeang moan lema" - sembahyang lima waktu. Pintar mengaji. Bahkan, Mama Siti pernah ikut lomba mengaji alias MTQ tingkat kecamatan meski tidak menang.

Beda agama, beda keyakinan, tapi tinggal serumah. Rukun, damai, tanpa konflik hanya karena perbedaan keyakinan. Itulah budaya Lamaholot di Pulau Lembata, NTT.

"Tite kiwanan nong watanen hama hena. Tite taan tou!" begitu omongan nenek moyang Lamaholot dulu.

Artinya, "Kita yang Katolik dan Islam sama saja. Kita jadi satu!" 

Mama Yuliana sudah meninggal dunia pada 1998. Bapa Nikolaus Nuho Hurek berpulang pada 22 Juli 2019. 

Karena itu, Mama Siti Kasa yang lahir di Bungamuda pada Oktober 1951 itu saya anggap sebagai ibu kandung. Pengganti kakaknya yang sudah tiada. 

Mama Yuli suka ngomong, suaranya keras. Mama Siti sedikit omong dan low tone. Suaranya selalu rendah, tidak pernah teriak-teriak. Beda dengan kebiasaan orang kampung yang suka "goleng" saat memanggil orang di kejauhan.

Belum lama ini Mama Siti berkunjung ke Surabaya. Menemani Karin, cucunya yang baru masuk kuliah perawat di Stikes RKZ. Sejak bayi Mama Siti yang menjaga Karin di Kupang. Mamanya Karin, Vincentia, bertugas sebagai guru sehingga tidak bisa full time mendampingi anaknya Karin.

Itu yang membuat Mama Siti kangen sekali dengan Karin. Sebaliknya, Karin juga sangat kaget dengan pengalaman baru harus hidup jauh dari orang tua.

Saya pun mengajak Mama Siti ngelencer ke beberapa tempat wisata di Surabaya. Salah satunya Wisata Religi Ampel. Mama Siti sembahyang di Makam Sunan Ampel bersama ribuan peziarah lainnya.

"Atadiken aya kae. Niku helo mihek pana geler," kata Mama Siti yang terkejut melihat begitu banyak manusia memenuhi tempat ziarah terkenal di Surabaya itu.

Artinya, "Manusia begitu banyak seperti semut yang datang pergi."

Semoga Mama Siti diberi kesehatan dan umur panjang!

Ikut Misa di Bangkalan bersama Pengurus Kelenteng Eng An Bio

Sabtu lalu saya mampir ke TITD Eng An Bio, Bangkalan. Kelenteng di Jalan PB Sudirman, kawasan pecinan, itu penuh kenangan. 

Saya kenal dekat Tante Yuyun Kho sejak akhir 90-an hingga berpulang. Tante asal Salatiga ini bukan sekadar bio kong, penjaga kelenteng, tapi juga seniman lukis. Dia biasa melukis figur-figur Tionghoa di dinding kelenteng.

Sepeninggal Tante Yuyun ke Nirwana, Om Jakob Basuki jadi penggantinya. Ia juga aktif ritual sembahyang di kelenteng. Menyiapkan teh untuk para dewa dan tugas rutin sebagai bio kong.

Yang menarik, Om Jakob ini ternyata Katolik taat. Rajin pigi misa di gereja. Dia juga sangat hafal nama-nama rama yang pernah bertugas di Paroki St Maria Fatima, Bangkalan, sejak puluhan tahun lalu. Bahkan sebelum dia jadi Katolik.

Om Jakob Basuki dulu sekolah Tionghoa THHK Bangkalan. Tidak jauh dari kelenteng itu. Maka waktu kecil agamanya ikut orang tuanya: pigi sembahyang ndek kelenteng. Saban tanggal 1 dan 15 kalender Imlek.

Kemudian dipanggil jadi "anak Tuhan": ikut Gereja Pentakosta. Rajin kebaktian, katanya. Tapi juga dia penasaran dengan Sai Baba di Surabaya. Ikutlah dia agamanya Sai Baba. "Semua agama itu baik," katanya.

Mungkin karena pengaruh teman Tionghoa yang ikut Katolik, Jakob akhirnya coba-coba jadi katekumen. Ikut misa. Dekat dengan pastor. Lama-lama dipermandikan secara Katolik. 

Gereja terakhirnya ini dianggap "ramah Tionghoa" dan "ramah kelenteng". Orang Katolik macam Pak Jakob boleh datang ke kelenteng. Bahkan jadi pengurus penting semacam Om Tan ini. "Saya sudah tanya romo, gak masalah," katanya.

Sabtu sore, saya mampir misa di Gereja Katolik Santa Maria Fatima, Bangkalan. Bangunannya makin megah dan cantik. Jauh berbeda dengan ketika saya berkunjung pertama dulu.

Eh, ternyata Om Jakob Basuki sudah ada di dalam gereja. Baca lembaran misa. Saya pun bersalaman lagi dengan baba Tionghoa yang hobi mengisi teka-teki silang (TTS) itu. 

"Saya biasa misa hari Sabtu sore. Hujan gak hujan tetap datang karena itu kewajiban kita sebagai umat Katolik," katanya mirip katekis di kampung.

Misa Minggu Advent I dipimpin Romo Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm. Pastor asal Tumpang, Malang, itu memang satu-satunya romo yang bertugas di Paroki Bangkalan. Umat Katolik di Kabupaten Bangkalan memang sedikit. Jadi, tidak perlu banyak pastor seperti paroki-paroki di Surabaya yang minimal tiga romo untuk satu paroki.

Mea culpa!
Mea maxima culpa!

Nostalgia Restoran Kiet Wan Kie di Kembang Jepun: Ikon Kuliner Legendaris di Surabaya

Surabaya, kota dengan sejarah panjang sebagai pusat perdagangan, menyimpan kenangan manis tentang restoran legendaris Kiet Wan Kie (KWK). Restoran Tionghoa ini pernah menjadi primadona pada era Hindia Belanda, menyajikan masakan khas Hong Kong di Jalan Kembang Jepun.

Gedung eks restoran KWK hingga kini masih berdiri dan digunakan sebagai kantor serta gudang ekspedisi KWK. Meski lokasi utamanya telah berubah fungsi, Resto KWK tetap eksis di beberapa tempat di Surabaya. Restoran ini masih terkenal di kalangan warga Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.

Di masa lalu, Restoran KWK berlokasi sangat strategis di tengah keramaian kawasan pecinan. Restoran ini sering menjadi jujukan warga Tionghoa untuk mengadakan pesta atau mentraktir tamu dan rekan bisnis mereka. "Masakannya memang khas," ujar Baba Liem di Jalan Kembang Jepun.

Pada masa Hindia Belanda, KWK menawarkan menu spesial seperti babi opor muda (spenvarken) yang hanya tersedia di akhir pekan dan hari besar. Pelanggan juga dapat memesan makanan khusus untuk pesta kecil maupun besar, mencerminkan fleksibilitas dan keunggulan pelayanannya.

 Sistem "kartjis" untuk pembelian makanan yang diperkenalkan KWK menjadi salah satu inovasi modern pada zamannya.

Meski masakan KWK kini sudah beradaptasi dengan selera modern, reputasi restoran ini sebagai bagian dari sejarah kuliner Surabaya tetap hidup. Bagi warga Tionghoa yang mengenang masa lalu, KWK bukan sekadar restoran, tetapi simbol kebersamaan dan tempat berbagi momen istimewa.

Tidak banyak yang tahu bahwa Ekspedisi KWK di Kembang Jepun yang tembus ke belakang di Jalan Kopi itu dulunya restoran mewah di Soerabaia. Saat ini gedungnya kelihatan kusam dan kurang terawat. Sama dengan gedung-gedung tua lain di kawasan Kembang Jepun, Sambongan, Kopi, Bongkaran, Slompretan, Gula, Kalimati, Songoyudan, hingga Jalan Husin.