Jumat, 15 November 2024

Berat Badan Para Romo, Uskup, hingga Paus Cenderung Tidak Terjaga, Rawan Penyakit

Berat badan para uskup dan imam Katolik sering kali terlihat tidak terkontrol, cenderung mengalami kenaikan yang berdampak pada kesehatan. Ini terlihat hampir di seluruh dunia.

 F. Rahardi, wartawan senior sekaligus pemerhati masalah kegerejaan, mengungkapkan kondisi ini mencerminkan pola hidup yang kurang berolahraga di kalangan pemuka agama.

"Berat badan itu salah satu faktor penentu kesehatan seseorang," kata Rahardi. 

Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang tampak lebih langsing saat terpilih pada konklaf 13 Maret 2013, namun berbeda saat berkunjung ke Indonesia pada awal September 2024.

 "Saat berdiri terlihat sekali tubuhnya berat untuk ditopang. Padahal di Vatikan ada dokter, ahli gizi, dan instruktur olahraga ringan," ujarnya.

Rahardi juga menyoroti sejumlah uskup muda di Indonesia yang sudah mengalami masalah kesehatan, termasuk sakit jantung. Menurutnya, ini terkait pola makan, pola hidup yang cenderung kurang gerak, serta pola pikir.

 "Jalan kaki satu jam per hari itu mudah dan murah, tapi niatnya yang mahal. Yang jual niat pun langka," ungkap Rahardi yang juga penulis buku.

Rahardi mengingat Paus Yohanes XXIII yang dikenal berperawakan gemuk dan hanya memimpin Gereja selama lima tahun, dari 1958 hingga 1963, sebelum wafat di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II. 

"Monsinyur Ruby wis penakiten, kurang gerak," tambah Rahardi, mengenang dengan nada reflektif sebagai mantan seminaris yang tak jadi pastor.

Senada, Wied Harry, salah satu jemaat Katolik, juga menyoroti masalah kesehatan yang kerap dialami para imam muda. 

"Banyak romo muda yang sudah kolesterol, tensi, gula darah, atau asam uratnya tinggi. Selain faktor makanan, peran 'caosan dhahar' dari umat yang biasanya berupa makanan kesukaan romo juga mempengaruhi," tulis Wied di media sosialnya.

Ahli gizi itu menyebut hanya sedikit romo yang sadar pentingnya pola makan sehat, seperti Romo Fitri dan Romo Santo, yang ia kenal dengan baik.

Kamis, 14 November 2024

Mount Batutara in Lembata: A Natural Wonder of Explosive Beauty

Mount Batutara, located in the administrative area of Lembata Regency, sits on Komba Island—a remarkable place that is both an island and a volcanic mountain. Situated in the Flores Sea just north of Lembata Island, Batutara is known for its unique and powerful eruptions.

What makes Mount Batutara especially fascinating is its consistent eruption cycle—every 20 minutes, it releases fiery hot lava, forming beautiful sparks that light up the sky.

 The eruptions are often accompanied by small tsunamis, though these are harmless and can be safely viewed from about 20 meters away. This stunning natural display occurs continuously throughout the day, but according to Ocep Karez, a young man from Atadei who recently visited Batutara, it's most enchanting during dusk and dawn.

A 90-minute journey by speedboat from Lewoleba brings you to Batutara, making it relatively accessible for adventurous travelers. Mount Ile Batutara is one of only three volcanoes in the world with such a unique eruption pattern—the others are in Sicily and the Atlantic Ocean.

Recently designated a geological tourist destination by Lembata Regency, Batutara has begun attracting visitors from across the globe, eager to witness this extraordinary natural show. Just recently, about 35 tourists from Latin America visited Batutara to marvel at its fiery landscape.

"Batutara is incredibly beautiful," said Ocep. "More and more visitors are coming, although most stay along the shoreline to dive and enjoy the coral beauty."

With a steep structure, Batutara's peak is bare, unlike other volcanic mountains. The summit features small, sporadic eruptions, releasing ash and smoke every 20-25 seconds, creating a fascinating sight.

Is Batutara Always Open to Visitors?

While it's possible to hike Batutara, visitors must obtain permission from local security officials to ensure they are aware of any climbing activities. 

"There's no phone signal up there, so it's important to inform authorities if you're planning to climb," Ocep added.

With its unique geological features and captivating views, Mount Batutara is fast becoming a must-see destination for those seeking a rare encounter with Earth's raw beauty.

Riwayatnya Hoesinstraat atawa Jalan Husin di Kembang Jepun Surabaya, Mengenang Saudagar Kaya Haji Hoesin bin Haji Tajib Napis


Sudah lama owe penasaran dengen Jalan Husin, Surabaya. Persis di pojokan Shin Hua Barbershop yang terkenal di Kembang Jepun. Agak aneh ada jalan bernama Husin di Handelstraat kawasan pecinan.

Owe dulu sempet nanya kiri kanan tapi tidak dapet jawaban. Memang dari dulu namanya Jalan Husin, kata rekan aktivis tempo doeloe yang seneng blusukan di kota lama.

Eureka! Akhirnya, owe gak sengaja nemu berita kecil di koran tempo doeloe pake bahasa Melayu Tionghoa. Sin Tit Po edisi Selasa, 1 Desember 1931. 

Isi berita kecil itu sebagai berikut:

 Dalam pertemuan Dewan Kota Surabaya tahun 1931, Tuan Hadji Hoesin bin Hadji Tajib Napis, perwakilan dari perusahaan konstruksi Bouw-en Handels Compagnie bin Tajibnapis, mengajukan permintaan agar sebuah jalan baru di Kampung Dukuh diberi nama sesuai jasanya. 

Jalan tersebut diusulkan untuk dinamai Hoesinstraat atau Hoesindwarsstraat.

Oalah... 

Permintaan ini akhirnya disetujui oleh gemeente atau pemerintah kota saat itu, sehingga Jalan Husin menjadi salah satu cabang Jalan Kembang Jepun di sisi utara.

 Jalan ini dikenal sebagai jalan baru sejak tahun 1931, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Tuan Hadji Hoesin. Hadji Hoesin, saudagar kaya asal Banjar,  dianggap memiliki jasa besar bagi masyarakat Kota Surabaya, terutama di sektor pembangunan dan perdagangan.

"Bisnisnya tidak kalah dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa di kawasan Pabean, Kembang Jepun, Cantian, Slompretan, Pabean, Sambongan, dan kawasan pecinan lainnya," ujar Liman, seorang anggota komunitas tempo doeloe.

Owe periksa di Google dengen ketik nama "Hoesin" dan "Tajibnapis". Tidak banyak informasi. Tidak ada artikel yang membahas perdagangan tuan itu pada masa kolonial di Surabaya. Tapi ada satu tulisan di blog yang menyebut Hoesin Tajibnapis salah satu orang terkaya di NTB.

Artinya, sejak dulu bisnis Haji Tajibnapis, dilanjutkan Hoesin bin Tajibnapis dan saudara-saudaranya menyebar ke beberapa kota. Di Surabaya sendiri Tajibnapis jadi saudagar kaya dan tuan tanah yang disegani pemerintah kolonial Belanda.

Karena itu, Gemeente Soerabaia alias pemkot pada masa Hindia Belanda, tahun 1931, meluluskan pembukaan jalan baru dengen nama Hoesinstraat atawa Jalan Husin.

Owe sendiri sering lewat Jalan Husin ke arah Kampung Dukuh lalu terus Nyamplungan mampir sejenak di Wisata Religi Ampel, Masjid Raden Rahmat, Surabaya. Dulu owe fikir Hadji Hoesin ini orang Hadramaut atau Arab dari Kampung Ampel. Ternyata orang Banjar, Kalimantan Selatan. 

Sekian.

Orang Jawa terkesan keramahan orang Lembata saat mendaki Gunung Ile Werung

Oleh Sarah dan Cio

Tahun 2022 kemarin, saya dan teman saya mau mendaki ke gunung di NTT. Kami dari Bogor menuju Kupang, ke Larantuka, terus ke Ende, Bajawa, Manggarai, dan Labuan Bajo. Rencana awal untuk mendaki Inerie tertunda karena teman saya sakit.

 Akhirnya, kami kembali ke Larantuka dan melanjutkan perjalanan ke Adonara dan Lembata. Banyak cerita di sana, orang-orang NTT sangat ramah. 

Mungkin kalau di Pulau Jawa, beberapa orang bilang galak dan kasar, tetapi saya bisa buktikan bahwa mereka tidak seperti itu. Mereka sangat ramah, sopan, dan peduli dengan orang-orang luar seperti saya.

Ada satu momen ketika kami pergi ke Lemabata, di mana kami ingin mengunjungi dapur alam dan mendaki Gunung Ile Werung di Kecamatan Atadei. Kami melewati sebuah desa dan kebetulan kehabisan air minum. Nama desa itu Bauraja. 

Di ujung desa itu, kami ingin beli minum di warung. Saat sedang belanja, ada anak remaja sekitar 15 tahun yang membawa kelapa muda. 

Teman saya bertanya, "Kelapanya dijual, nggak dek? Biar kami beli, karena sangat haus." Namun, si adek bilang tidak dijual, tapi jika kakak mau, bisa diambilkan.

Dia mengambil sekitar 5 buah dan sudah dikupas pula. Setelah semuanya beres, aku kasih uang 100 ribu, tetapi ditolak sama adeknya. 

Aku pikir kurang, tetapi dia bilang kelapanya gratis, tidak usah bayar. Temanku juga sempat mengeluarkan 100 ribu lagi untuk ditambahkan, tetapi tetap tidak mau.

 Setelah kami paksa, baru dia mau menerima. Yang bikin aku kaget lagi, dia bilang, "Kakak, kapan pulang? Biar nanti kalau lewat, saya tunggu buat kasih buah sama kelapa lagi." 

Sumpah, di situ aku nangis, tidak tahu mau bilang apa.

Aku sama temanku dari Bogor dan cuma modal nekat pergi ke tempat yang sama sekali tidak kami ketahui. Pengalaman selama petualangan atau backpackeran di NTT merupakan pengalaman yang tak terlupakan. 

Daerah atau desa di NTT yang aku datangi selalu punya cerita yang akan selalu aku ingat. Senyum dan tawa mereka begitu ikhlas. Semoga suatu hari nanti bisa kembali ke sana untuk sesuatu yang lebih besar.

Oh ya, untuk si adik, kami akhirnya bertemu lagi keesokan harinya. Saya minta alamat rumah dan nomor HP orang tuanya, dan saya kirimkan beberapa baju serta sepatu untuk sekolah. Tidak banyak, tetapi semoga bisa jadi kenang-kenangan untuk dia.

Sedikit cerita indah di ujung Timur Indonesia. (*)

Catatanku membandingkan kunjunganku ke Tiongkok tahun 1987 vs tahun 2012 dan 2019


Oleh Wens Gerdyman
Arek Surabaya di Amerika Serikat

Pada waktu itu (1987), infrastruktur di Tiongkok masih jauh tertinggal dari kota-kota besar di Indonesia. Di mana-mana orang naik sepeda. Mobil sedikit. Jalan-jalan raya sedang dibangun. 

Hotel berbintang di Beijing bisa dihitung dengan jari. Kereta api cepat tidak ada. WC umum bau. Orang-orang di mana-mana meludah ke jalan. Pakaiannya semua putih, abu-abu, atau biru.

 Orang-orang masih menyapa sesamanya dengan "komrad" atau tongzhi (同志). Keluarga saya masih miskin baik yang di desa maupun di kota. Uang renminbi tidak berharga. Untuk membeli barang asing harus menukar uang RMB menjadi wai hui quan (forex) dulu. 

Dalam waktu satu generasi (25 tahun) saja, RRT melompati RI dalam pembangunan. Tahun 2012, saya dan istri ke sana menjemput anak yang pergi pertukaran pelajar di Shenzhen.

Kereta api cepat ada. Bahkan sekarang sudah ada yang ke Xiamen-Quanzhou-Fuqing/Hokchia, ke kota-kota nenek moyang kita. Indonesia baru ada Jakarta-Bandung.

Di Beijing, kita ke mana-mana naik kereta bawah tanah dan bus. Jakarta baru ada satu segmen, itupun buatan RRT.

Hotel-hotel berbintang di mana-mana. Stafnya pintar berbahasa Inggris.

Jalan-jalan lebar. Jalan tol di mana-mana.

Mobil mengalahkan sepeda banyaknya, dan buatan RRT.

Motor listrik di mana-mana juga buatan sendiri.

Orang-orang kota berpakaian sangat modis, bahkan di desa-desa pun rapi.

Tahun 2019 saya ke China dari HK, kunjungi customer, mau pesan apa pun dengan aplikasi buatan China, mudah sekali. Didi kuaidi untuk pesan taksi seperti Gojek, dll.

Bayar semua tidak pakai uang tunai.

Bedanya juga, sekarang 同志 (tongzhi) dalam bahasa gaul artinya gay/hombreng. Panggilan cewek tidak boleh 小姐 (xiaojie) karena sudah menjadi kata slang untuk WTS. (Kalau di Taiwan masih boleh).

Sekarang China sudah menyaingi USA (negara angkatku sekarang) dalam segala hal:

Mengirim pesawat ke bulan

Membuat film-film berkualitas Hollywood

Menang Nobel Prize di bidang sains dan sastra

Mengembangkan teknologi internet dan perangkat keras sendiri

Membuat mobil listrik dan sepeda listrik sendiri

Olimpiade menang emas di segala cabang

Universitas-universitasnya top di ranking internasional


Indonesia masih ribut:

Jualan sertifikat halal

Penistaan agama

Membangun ibukota di luar pulau yang proyek-proyeknya mangkrak

Dan sebagainya yang bikin pusing.

Jumat, 08 November 2024

Bruder John Asa dari NTT Jadi Tukang Cukur Sri Paus di Vatikan

Bruder John Asa, SVD, seorang religius asal Timor, Nusa Tenggara Timur, bertugas  selama 33 tahun di Generalat SVD Roma, Italia. Bruder John  diutus dari Provinsi SVD Timor pada tahun 1991.

Dia elah menjalankan tugas-tugas penting, mulai dari menjadi penghubung antara Generalat SVD dengan Vatikan hingga memangkas rambut para pemimpin Gereja Katolik.

Pater Fritz Edomeko, SVD, membagikan pengalamannya bertemu Bruder John saat yang bersangkutan baru tiba dari Roma.

 "Bruder John dikenal sebagai sosok yang ramah, rajin, tekun, cekatan, dan setia dalam menjalankan tugas-tugasnya," ujar Pater Fritz. 

Selama masa tugasnya, Bruder John berhubungan erat dengan tiga Paus, yaitu Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus, serta para kardinal dan staf di Vatikan, termasuk pengawal Swiss yang terkenal itu.

Salah satu momen paling mengesankan dalam perjalanan hidup Bruder John adalah ketika ia dipercaya untuk memangkas rambut Paus Yohanes Paulus II selama 11 bulan. 

Mengenang saat-saat tersebut, Bruder John berkata bahwa pertemuan itu diwarnai obrolan penuh kehangatan dan nasihat. Seringkali diselingi humor segar dari sang Paus.

 "Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan, 'John musti bersyukur berasal dari sebuah negara yang indah, rukun, dan damai,'" cerita Bruder John dengan senyum.

Kini, setelah puluhan tahun mengabdi di Roma, Bruder John kembali ke Provinsi SVD Timor untuk menjalankan tugas baru. "Di mana saja saya ditempatkan, saya bersedia," ujarnya penuh kerendahan hati.

Kisah Bruder John Asa menjadi bukti nyata bahwa pengabdian yang tulus, bahkan dalam tugas yang mungkin tampak sederhana, seperti memangkas rambut, bisa menjadi bagian penting dalam pelayanan Gereja yang lebih luas.

Rabu, 06 November 2024

Dr. Tjio Hock Tong Kenang Perjalanan Leluhurnya dari Tiongkok hingga Menjadi Pengusaha Sukses di Surabaya

Dr. Tjio Hock Tong, seorang dokter yang kini menetap di Guangzhou, belum lama ini berkunjung ke Surabaya. Selain untuk berlibur, ia juga mengadakan reuni bersama teman-temannya dari SMA Lian Huo, Undaan Wetan, Surabaya. 

Dalam kesempatan tersebut, Tjio mengenang masa kecilnya di kawasan Pabean, dekat Sungai Kalimas, serta perjuangan panjang leluhurnya dari Tiongkok hingga meraih kesuksesan di tanah Surabaya.

"Saya ini generasi keenam dari eyang buyut, seorang tukang potong rambut jalanan bernama Tjio Tjie-Siok, yang juga dikenal sebagai pendekar dari Shaolin Temple Selatan di Cuanciu, Hokkian," kenangnya.

Menurut Tjio, leluhurnya datang ke Nusantara sekitar tahun 1850-an, agak belakangan dibandingkan beberapa perantau lain. Mereka menetap di sekitar Sungai Kalimas, di kawasan Pabean dan Jalan Panggung, Surabaya. Kala itu, kehidupan tidaklah mudah, dan leluhurnya harus berjuang keras untuk bertahan hidup.

"Enam generasi sebelum saya, leluhur kami bekerja sebagai tukang potong rambut jalanan, berteduh di bawah pohon rindang," ujar dokter yang akrab disapa Dr Anthony Tjio itu.

Penghasilan dari jasa potong rambut yang kecil itu perlahan diinvestasikan untuk memulai usaha dagang. Mereka menjual korek kuping, kacang goreng yang dibungkus seperti lontong kecil, dan berkeliling kampung.

Dari pengalaman berdagang kecil-kecilan itu, Tjio dan keluarga leluhurnya mulai mengembangkan usaha palawija, berkeliling hingga ke pedesaan untuk kulakan. Usaha mereka perlahan berkembang dan cukup berhasil hingga mampu membeli tiket kapal untuk mudik ke Hokkian.

"Dari perjalanan mudik itu, leluhur saya membawa dua keponakan untuk kembali ke Surabaya dan mendirikan kongsi dagang Hap Thai di Jalan Panggung, Pabean," ujarnya.

 Hap Thai Kongsie yang bergerak di bidang perdagangan palawija terus berkembang pesat. Persaingan bisnis saat itu belum begitu ketat, sehingga keluarga Tjio bisa meraih kesuksesan dan dikenal sebagai orang kaya pada masa kolonial Belanda.

"Salah satu keponakan yang dia bawa, Tjio Pie-Boen, menjadi pendiri Boen Bio di Kapasan, sedangkan keponakan lainnya mendirikan Kelenteng Hong Tek Hian di Kampung Dukuh," tambahnya.

Di masa kecil, Dr. Tjio sendiri tinggal di sebuah gedung megah yang dikenal sebagai Bioskop Nanking di dekat Pasar Pabean. Kini, gedung tersebut telah beralih fungsi sebagai kantor Bank BCA.

"Dulu, di kanan depan Pasar Pabean ada Bioskop Nanking, sekarang jadi Bank BCA di Jalan Kalimati Kulon. Di sanalah saya tumbuh besar," kenang Tjio sambil menutup perbincangan.