Jawa Pos genap 75 tahun. Hari jadinya dirayakan sangat meriah pada 1 Juli 2024 lalu. Dress code nuansa tempo doeloe atawa retro.
Band yang diundang pun bawakan lagu-lagu Koes Plus. Ada juga lagu Chrisye. Sangat meriah.
Bukan itu saja. Para pembaca setia Jawa Pos dan semua koran Radar ikut undian berhadiah sepeda motor dan mobil.
Luar biasa! Di era media sosial, digital, ternyata surat kabar cetak masih ada. Setidaknya Jawa Pos masih perkasa.
Di hari jadi ke-75 Jawa Pos bahkan terbit 76 halaman. Gak kaleng-kaleng. Ini fenomenal karena koran nasional terbesar (doeloe) di Jakarta sekarang hanya bisa terbit 16 halaman. Edisi ulang tahunnya pun hanya 16 halaman.
Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe, secara khusus memuji Jawa Pos sebagai koran yang sangat tangguh. JP sudah jadi legenda Surabaya. Legenda Jawa Timur. Bahkan legenda Indonesia.
Jawa Pos terbit perdana pada 1 Juli 1949 di Kembang Jepun. Pusat Pecinan Surabaya. Yang sekarang ada gapura Kya-Kya itu.
The Chung Sen pengusaha Tionghoa punya visi besar menerbitkan surat kabar di masa revolusi fisik. Indonesia memang sudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tapi Belanda masih ada tahun 1949. Belanda baru menyerahkan kedaulan pada akhir Desember 1949.
Dalam suasana yang tidak menentu itu The Chung Sen berani menerbitkan koran Java Post (nama asli Jawa Pos) dalam bahasa Indonesia. "Itu karena rasa nasionalisme Pak The yang tinggi," kata Dukut.
Mana ada pengusaha Tionghoa yang cari duit dengan bikin koran tahun 1949 kalau tidak ada idealisme dan rasa kebangsaan? The jelas memilih berada di kubu merah putih. Beda dengan penguasaha-pengusaha kelas kakap lain di kawasan pecinan yang memilih kabur ke Belanda atau Tiongkok saat genting itu.
Dukut Imam Widodo menulis:
"The Chung Shen mendirikan koran Java Post bukan lantaran bisnis surat kabar kalau itu menjanjikan kenikmatan. Sama sekali tidak! Rasa kebangsaan The Chung Shen sebagai orang Indonesia jauh lebih berbicara daripada urusan cuan!"
Satu per satu koran tua di Surabaya, Indonesia umumnya, mati karena rugi, bangkrut, dibredel dsb. Banyak juga yang dibredel internet dan media sosial.
Jawa Pos jadi satu-satunya koran tempo doeloe yang masih bertahan. Bukan sekadar bertahan tapi berkembang biak ke seluruh Nusantara. Terus beradaptasi dengan era digital.
Dirgahayu Jawa Pos!